Pendahuluan
Kasus yang akan dibahas tentang perebutan pulau dengan negara tetangga yaitu Malaysia
yang masih berada satu kawasan dengan Indonesia.
Konflik Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan
terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000
meter²) dengan koordinat: 4°6′52,86″LU 118°37′ 43,52″BT dan pulau Ligitan (luas: 18.000
meter²) dengan koordinat: 4°9′LU 118°53′BT. Sikap Indonesia semula ingin membawa
masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan
sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.
Untuk itulah diperlukan satu sistem perpolitikan yang mengatur hubungan antar negara-
negara yang letaknya berdekatan diatas permukaan bumi ini. Sistem politik tersebut
dinamakan geopolitik yang mutlak dimiliki dan diterapkan oleh setiap negara di sekitarnya
tak terkecuali Indonesia. Indonesia pun harus memiliki sistem geopolitik yang cocok
diterapkan dengan kondisi kepulauannya yang unik dan letak Geografi. 73 negara Indonesia
diatas permukaan planet bumi. Geopolitik Indonesia tiada lain adalah wawasan nusantara.
Wawasan nusantara tidak mengandung unsur-unsur kekerasan, cara pandang bangsa
Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan ide nasionalnya yang dilandasi
pancasila dan UUD 1945 yang merupakan aspirasi bangsa Indonesia yang merdeka,
berdaulat, dan bermartabat serta menjiwai tata hidup dan tindak kebijaksanaanya dalam
mencapai tujuan nasional. Dalam hal ini sebagai warga negara Indonesia yang baik yang
menerapkan geopolitik wajib ikut untuk melestarikan dan menjaga keutuhan wilayah negara.
Dan tidak dapat dipungkiri di Indonesia bergulir konflik perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan
dengan Negara tetangga yaitu Malaysia. Sebenarnya antara Indonesia dengan Malaysia tidak
hanya terjadi konflik perebutan Pulau atau wilayah negara saja tetapi pernah juga terjadi
konflik perebutan kebudayaan,makanan khas,lagu-lagu daerah. Dan yang terus bergulir
dalam konflik perebutan pulau ini salah satunya Pulau Sipadan dan Ligitan.
BAB II
PEMBAHASAN
Kekuatan hukum yang mengikat antara masing-masing pihak yang bersengketa. Selain
arbitrase, lembaga lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa internasional
melalui jalur hukum adalah pengadilan internasional. Pada saat ini ada beberapa pengadilan
internasional dan pengadilan internasional regional yang hadir untuk menyelesaikan berbagai
macam sengketa internasional. Misalnya International Court of Justice (ICJ), International
Criminal Court, International Tribunal on the Law of the Sea, European Court for Human
Rights, dan lainnya.
Penyelesaian sengketa internasional melalui jalur hukum berarti adanya pengurangan
kedaulatan terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Karena tidak ada lagi keleluasaan yang
dimiliki oleh para pihak, misalnya seperti memilih hakim, memilih hukum dan hukum acara
yang digunakan. Tetapi dengan bersengketa di pengadilan internasional, maka para pihak
akan mendapatkan putusan yang mengikat masing-masing pihak yang bersengketa. Dalam
mengantisipasi negosiasi pada tahap berikutnya,maka perlu terus dilakukan pengkajian
mendalam untuk memperkuat posisi tawar menawar kita. Landasan hukum yang kuat akan
menjadi modal dasarnya, namun harus didukung dengan kepiawaian dalam seni bernegosiasi
untuk menyakinkan pihak lawan. Apabila atas dasar hasil kajian yang mendalam dan
komprehensif, posisi Indonesia secara yuridis sangat kuat, maka penyelesaian secara hukum
harus tetap dibuka kemungkinannya. Dengan alasan apapun, opsi perangsebaiknya tidak
digunakan untuk mencegah berulangnya kejadian serupa, maka Pemerintah Indonesia harus
menangani secara lebih serius masalah wilayah perbatasan dan pulau- pulau yang berbatasan
dengan negara tetangga. Bayangkan saja untuk memperjuangkan Sipadan-Ligitan di
Mahkamah Internasional harus keluar dana lebih dari Rp16 miliar. Dan itu bukan uang yang
sedikit terlebih lagi kehilangan satu pulau berarti ancaman terhadap integritas wilayah
Indonesia. Hal ini penting, karena sengketa pulau yang dimiliki Indonesia bukan saja
Sipadan-Ligitan, tetapi banyak pulau lainnya. Selain itu, ini juga bisa menjadi preseden
buruk.[3]
2.4. Cara atau Sikap yang Harus Dilakukan Indonesia Jika Mengatasi Kasus yang
Sama
Terhadap pertanggungjawaban pemerintah untuk mempertahankan eksistensi keutuhan
wilayah. Ahli hukum internasional, Hilangnya Pulau Sipadan dan Lingitan di Mahkamah
Internasional, menjadi pelajaran yang sangat berharga sekali, harus diakui bahwa pemerintah
memang tidak menggunakan bantuan dari pengacara atau pakar hukum internasional dari
Indonesia, kecuali ahli-ahli dari Deplu sendiri. Dari sekian ribu pengacara yang ada di
Indonesia, menurut Havas, belum ada satupun yang memiliki keterampilan yang memadai
untuk berlaga di Mahkamah Internasional. Salah satunya adalah memperkuat dan
memperbanyak ahli hukum yang menguasai pengetahuan tentang hukum internasional.
Menurut Director of Treaties on Political, Security and Teritorial
A�airs Deplu, Arif Havas Oegroseno, Indonesia minim sekali orang yang ahli di bidang
hukum internasional. Namun, tidak seharusnya ketiadaan para pakar hukum internasional
membuat kita menjadi tidak percaya diri. Jangan menggunakan pengacara asing karena,
Selain itu, ia juga berpendapat bahwa pengacara dalam negeri memiliki sense ofbelonging
yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengacara asing. Sedangkan, pengacara-
pengacara asing relatif melihat kasus tersebut dari sisi bisnisnya semata
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam
pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata
memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua
negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo
akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata
baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai
tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia
mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh
ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. karena kita taat
pada hukum internasional yang melarang mengunjungi daerah status quo, ketika anggota kita
pulang dari sana membawa laporan, malah dimarahi. Sedangkan Malaysia malah membangun
resort di sana SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara
di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau
yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah
menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata
itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa
memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar
pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam
sengketa, belum diputus siapa pemiliknya. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak
memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC
(Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau
Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk
menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak
Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim
pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan
Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan
Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara
Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak
Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
Setelah hampir 30 tahun, perundingan tiba pada jalan buntu, karena baik Indonesia yang
bertahan pada posisi dan argumentasi bahwa kedua pulau tersebut telah menjadi bagian
wilayahnya sejak masa penjajahan Belanda, maupun Malaysia yang juga meyakini
kedaulatannya atas pulau-pulau tersebut sejak masa colonial Inggris, tetap bertahan pada
posisi masing-masing. Pada 1997 kedua belah pihak sepakat menempuh jalan hukum yaitu
dengan menyerahkan sengketa tersebut kepada Mahkamah Internasional.
Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN
dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya
ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui
usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan
Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei
1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada
tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia
meratifikasi pada 19 November 1997.[4]
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dalam menentukan
kedaulatan di Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan suatu cara penyelesaian sengketa secara
damai,dimana Indonesia dan Malaysia memilih Mahkamah Internasional untuk
menyelesaikan sengketa ini, dasar hukum di dalam penyelesaian sengketa ini adalah pasal 2
ayat 3 dan pasal 33 Piagam PBB. Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan disebabkan karena
adanya ketidakjelasan garis perbatasan yang dibuat oleh Belanda dan Inggris yang
merupakan negara pendahulu dari Indonesia dan Malaysia di perairan timur Pulau Borneo,
sehingga pada saat Indonesia dan Malaysia berunding untuk menentukan garis perbatasan
kedua negara di Pulau Borneo, masalah ini muncul karena kedua pihak saling
mengklaimkedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan. Berbagai pertemuan bilateral
dilakukan oleh kedua negara dalam upaya melakukan pemecahan atas sengketa ini namun
sengketa ini tidak dapat diselesaikan, sehingga kedua negara sepakat untuk menyerahkan
penyelesaian sengketa ini kepada Mahkamah Internasional. Berbagai macam argumentasi dan
bukti yuridis dikemukakan kedua pihak dalam persidangan di Mahkamah Internasional, dan
pada akhirnya Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kedaulatan atas Pulau Sipadan
dan Ligitan merupakan milik Malaysia atas dasar prinsip okupasi, dimana Malaysia dan
Inggris sebagai negara pendahulu lebih banyak melaksanakan efektivitas di Pulau Sipadan
dan Ligitan.
3.2. Saran
Sebagai negara kepulauan yang berwawasan nusantara, maka Indonesia harus menjaga
keutuhan wilayahnya. Pulau-pulau terluar biasanya adalah daerah terpencil, miskin bahkan
tidak berpenduduk dan jauh dari perhatian Pemerintah.
Keberadaan pulau-pulau ini secara geografis sangatlah strategis, karena berdasarkan pulau
inilah batas negara kita ditentukan. Pulau-pulau ini seharusnya mendapatkan perhatian dan
pengawasan serius agar tidak menimbulkan permasalahan yang dapat menggangu keutuhan
wilayah Indonesia, khususnya pulau yang terletak di wilayah perbatasan dengan negara
negara yang tidak/ belum memiliki perjanjian (agreement) dengan Indonesia. Dari 92 pulau
terluar yang dimiliki Indonesia terdapat 12 pulau yang harus mendapat perhatian khusus,
Pulau-pulau tersebut adalah Pulau Rondo, Berhala, Nipa, Sekatung, Marore, Miangas, Fani,
Fanildo, Dana, Batek, Marampit dan Pulau Bras.
Jangan takut bersikap tegas, kalau memang harus perang, rakyat Indonesia pasti mendukung
demi keutuhan NKRI. Karena NKRI adalah harga mati.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Adolf Huala, 2006 , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika Jakarta.
2
http://newsprincezza.blogspot.com/2008/08/indonesia-malaysia-sipadan-ligitan.html. (6
Maret 2014)
3
Moh Burhan Tsani,1990, Hukum dan Hubungan Internasional.Liberty:Yogyakarta
4
Sumaryo Suryokusumo, 1997, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional,
Alumni:Bandung. (6 Maret 2014)