Anda di halaman 1dari 4

Nama : Dhani Putra Vadyza

NPM : 1810012111338
Resume dan Analisis (Praktek kemahiran Hukum Internasional)
Kasus Sipadan dan Ligitan

Sengketa Sipadan dan ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas
kepemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu Pulau Sipadan dan pulau
ligitan kasus Sipadan dan ligitan adalah perselisihan pertama yang terjadi dan dibawa ke
pengadilan oleh Indonesia dan Malaysia pada akhir tahun 60-an dimana awal konflik antara
Indonesia dan Malaysia dimulai kedua negara belum menyadari dengan keberadaan Pulau
Sipadan dan ligitan ke dua negara belum menyadari dengan status yang dimiliki oleh pulau
tersebut dan kita dapat melihat bahwa saat Malaysia masih menggunakan peta yang dibuatnya
sebelum ditarik kembali.
Pada tahun 1988 sampai 1997 kita dapat mengetahui bahwa kedua negara mencoba melakukan
cara diplomatis untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan diadakannya pertemuan
yakni di Jakarta tanggal 17 Juli 1995 dan 26 September 1995 kedua negara tidak menyentuh opsi
penyelesaian diplomatis pertikaian antara Indonesia dan Malaysia atas Sipadan dan ligitan telah
bertahan lebih dari 30 tahun dapat dimengerti bahwa emosi beberapa orang mungkin melekat
pada kasus ini
Kesimpulan dikarenakan secara diplomatik tidak bisa menyelesaikan sengketa yang ada sehingga
permasalahan tersebut dicoba diselesaikan dengan bantuan mahkamah internasional dan peran
dari mahkamah internasional sebagai pihak netral dan membantu untuk menyelesaikan sengketa
yang ada dan pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional memutuskan bahwa
yang memiliki kedaulatan penuh atas Pulau Sipadan dan ligitan merupakan negara Malaysia
 Awal Sengketa
Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan berada di Laut Sulawesi, terletak di timur laut dari
Pulau Kalimantan. Jarak antara kedua pulau tersebut berkisar sekitar 15,5 mil laut. Koordinat
dari Pulau Ligitan terletak pada 4˚09’ Lintang Utara dan 118˚ 53’ Bujur Timur.
Sementara koordinat Pulau Sipadan terletak pada 4˚06’ Lintang Utara dan 118˚ 37’ Bujur
Timur. Pulau Sipadan memiliki luas yang sedikit lebih besar daripada Pulau Ligitan.
Indonesia dan Malaysia memberikan izin eksplorasi minyak di perairan di sebelah timur
Pulau Kalimantan pada era 1960-an. Izin pertama yang diberikan Indonesia kepada perusahaan
asing dikeluarkan pada 6 Oktober 1966 antara P.N. Pertambangan Minjak Nasional (Permina)
dan Japan Petroleum Exploration Company Limited (Japex). Sementara itu, Malaysia
memberikan izin eksplorasi kepada Sabah Teiseki Oil Company pada tahun 1968.
Sengketa kepemilikan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan mencuat pada tahun 1969
ketika kedua negara mendiskusikan delimitasi landas kontinen kedua negara. Di tahun yang
sama, Indonesia dan Malaysia berhasil menyelesaikan perundingan batas landas kontinen(Landas
kontinen meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dan berada di bawah permukaan laut serta
merupakan kelanjutan alamiah wilayah daratan negara tersebut dan Batas terdalam landas
kontinen berada di luar laut teritorial suatu negara (bukan dari pantai))., meskipun tidak meliputi
wilayah di sebelah timur Pulau Kalimantan.
Pada tahun 1991, Indonesia dan Malaysia membentuk Kelompok Kerja Bersama untuk
mempelajari situasi kedua pulau tersebut. Sayangnya, kedua pihak tidak bisa mencapai
persetujuan sehingga merekomendasikan untuk membawa sengketa ini ke Mahkamah
Internasional.

 Perjanjian Khusus Indonesia – Malaysia


Kesepakatan Indonesia dan Malaysia untuk membawa permasalahan Ligitan-Sipadan ke
Mahkamah Internasional dituangkan dalam suatu perjanjian yang ditandatangani di Kuala
Lumpur pada 31 Mei 1997. Kedua negara kemudian menyampaikan notifikasi bersama kepada
Mahkamah Internasional tertanggal 2 November 1998 yang pada pokoknya meminta mahkamah
untuk memutus kedaulatan atas kedua pulau tersebut berdasarkan traktat, perjanjian, dan bukti-
bukti lain yang disampaikan oleh para pihak.
Guna menghadapi Malaysia, Indonesia menyusun tim yang terdiri dari pakar hukum
internasional yang reputasinya diakui dunia. Tidak hanya itu, Indonesia juga menyusun tim dari
lintas instansi nasional. Berdasarkan data yang tercantum dalam Putusan Mahkamah
Internasional, Indonesia diwakili oleh pejabat-pejabat dari Departemen Luar Negeri (termasuk
KBRI Den Haag), Departemen Pertambangan dan Energi, Tentara Nasional Indonesia,
Departemen Pertahanan, dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Klaim Indonesia
Dalam rangka meyakinkan para hakim Mahkamah Internasional, Indonesia mengajukan
tiga argumentasi. Dua argumentasi disampaikan secara tertulis, dan satu argumentasi alternatif
diajukan ketika oral pleadings.
Pertama, bahwa kedaulatan Indonesia atas kedua pulau tersebut diperoleh berdasarkan
Konvensi 20 Juni 1891 antara Inggris dan Belanda. Konvensi 1891 ini mengatur penetapan batas
di Pulau Kalimantan antara Belanda dan negara-negara di Pulau Kalimantan yang berada di
bawah protektorat Inggris Raya.
Indonesia berargumentasi bahwa ketentuan dalam Konvensi 1891 yang menyatakan garis
4˚10’ LU yang membagi Pulau Sebatik tidak berhenti di ujung Pulau Sebatik, melainkan harus
diteruskan ke arah Timur sebagai suatu allocation line yang membuat pulau-pulau di sisi utara
garis menjadi milik Inggris dan pulau-pulau di sisi selatan garis menjadi milik Belanda. Dengan
demikian, Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan yang berada di sisi selatan garis menjadi milik
Belanda.
Kedua, sekiranya mahkamah menolak klaim pertama Indonesia, maka Indonesia berhak
atas kedua pulau tersebut atas dasar Indonesia sebagai pewaris dari Sultan Bulungan yang
memiliki kekuasaan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan.
Ketiga, Indonesia mengajukan bukti-bukti effective occupation yang ditunjukkan oleh
Belanda dan Indonesia sebagai dasar untuk membuktikan adanya kekuasaan Indonesia (atau
Belanda) terhadap Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan. Bentuk-bentuk effective occupation yang
diajukan sebagai bukti oleh Indonesia adalah patroli Angkatan Laut Belanda pada tahun 1921
dan juga TNI Angkatan Laut sesudah Indonesia merdeka. Indonesia juga merujuk pada aktivitas
nelayan di perairan sekitar Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan sebagai bukti adanya effective
occupation.

Klaim Malaysia
Malaysia mengajukan dua pokok klaim dalam persidangan. Pertama, Malaysia
berpendapat bahwa kedaulatan diperoleh berdasarkan original title oleh Sultan Sulu yang
kemudian secara berkelanjutan diteruskan kepada Spanyol, Amerika Serikta, Inggris (Negara
Borneo Utara), Inggris Raya, hingga akhirnya ke Malaysia.
Kedua, Malaysia juga mengajukan klaim atas dasar effective occupation. Bukti-bukti
yang diajukan Malaysia berupa penguasaan dan pengelolaan penyu dan pengambilan telur penyu
oleh Inggris, pembentukan wilayah suaka burung di Sipadan pada 1933, dan pembangunan
mercusuar di kedua pulau oleh otoritas kolonial British North Borneo pada tahun 1960-an yang
kemudian dirawat secara berkala oleh Pemerintah Malaysia.

Pendapat Mahkamah Internasional


Mahkamah Internasional menolak argumentasi pertama Indonesia mengenai Konvensi
1891. Dalam pandangan mahkamah, Konvensi 1891 tidak dimaksudkan untuk mendelimitasi
batas di wilayah perairan sebelah timur pulau Kalimantan dan Sebatik atau menetapkan
kedaulatan atas pulau-pulau lainnya. Dengan demikian, argumentasi Indonesia bahwa garis 4˚
10’LU adalah suatu allocation line ditolak.
Mahkamah Internasional juga menolak kedua klaim succession Indonesia dan Malaysia.
Kedua negara dianggap tidak bisa memberikan bukti kuat bahwa Sultan Bulungan ataupun
Sultan Sulu menguasai kedua pulau tersebut. Dengan demikian, sekalipun Indonesia dan
Malaysia dianggap sebagai penerus dari kedua kesultanan tersebut, Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan tidak termasuk wilayah yang kemudian diwariskan kepada Indonesia dan Malaysia.
Pada akhirnya, Mahkamah Internasional menggunakan analisis terhadap klaim effective
occupation dan berkesimpulan bahwa klaim yang diajukan oleh Malaysia lebih menunjukkan
bukti adanya effective administration atas kedua pulau tersebut dibandingkan klaim yang
diajukan oleh Indonesia. Secara khusus ditegaskan bahwa effective occupation harus memiliki
karakteristik legislatif dan pengaturan.
Dalam hal ini, Indonesia tidak dapat membuktikan adanya tindakan Belanda atau
Indonesia yang memenuhi kriteria tersebut, terlebih lagi Indonesia tidak memasukkan Pulau
Ligitan dan Pulau Sipadan ke dalam Perppu Nomor 4 Tahun 1960.
Dalam pandangan Mahkamah Internasional, tindakan Malaysia “both in its own name
and as successor State of Great Britain, are modest in number but diverse in character and
include legislative, administrative and quasi-judicial acts”.

Arti dari Putusan Ligitan-Sipadan


Semenjak adanya putusan ini, terdapat kesan bahwa effective occupation menjadi
penentu utama dan satu-satunya dasar dalam memutus kepemilikan suatu wilayah. Padahal tidak
demikian! Putusan Ligitan-Sipadan justru menunjukkan bahwa effective occupation merupakan
metode lapis ketiga (atau paling tidak bukan yang utama) dalam menentukan kedaulatan. Hal
pertama yang ditilik oleh Mahkamah Internasional adalah dokumen perjanjian internasional.
Putusan mahkamah dapat dianalogikan seperti menentukan kepemilikan sebuah mobil.
Tentunya, faktor utama adalah dengan merujuk pada Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor
(BPKB), bukan dengan melihat siapa yang menguasai mobil tersebut. Apabila BPKB tidak
ditemukan, maka ahli waris dari orang yang dianggap pernah menguasai mobil tersebut lah yang
berhak untuk memiliki.
Apabila cara kedua pun tidak memberikan hasil yang memuaskan, baru lah kepemilikan
ditentukan oleh siapa yang memenuhi aspek effective occupation (misalnya dengan merawat
mobil secara rutin tanpa protes dari siapapun).
Oleh sebab itu, kekhawatiran yang berlebihan bahwa Indonesia di masa depan akan
“kehilangan pulau” menjadi kurang beralasan lagi karena pemerintah telah mendata 17.504 pulau
dan diserahkan kepada PBB. Satu-satunya potensi kehilangan pulau yang nyata adalah sebagai
dampak dari perubahan iklim.
Sebagai penutup, riwayat Indonesia di Mahkamah Internasional ini adalah bentuk
pengejawantahan amanat konstitusi untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia dan juga menjadi
kontribusi nyata Indonesia bagi perkembangan hukum internasional, khususnya dengan semakin
jelasnya pengaturan mengenai interpretation of treaties, the rule of succession, dan effective
occupation. Indonesia senantiasa mengedepankan langkah damai dalam menuntaskan
permasalahannya dengan negara sahabat.
Kesimpulan :

Sengketa Sipadan dan ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas
kepemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu Pulau Sipadan dan pulau
ligitan kasus Sipadan dan ligitan adalah perselisihan pertama yang terjadi dan dibawa ke
pengadilan oleh Indonesia dan Malaysia pada akhir tahun 60-an dimana awal konflik antara
Indonesia dan Malaysia dimulai kedua negara belum menyadari dengan keberadaan Pulau
Sipadan dan ligitan ke dua negara belum menyadari dengan status yang dimiliki oleh pulau
tersebut dan kita dapat melihat bahwa saat Malaysia masih menggunakan peta yang dibuatnya
sebelum ditarik kembali.
Pada tahun 1988 sampai 1997 kita dapat mengetahui bahwa kedua negara mencoba
melakukan cara diplomatis untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan diadakannya
pertemuan yakni di Jakarta tanggal 17 Juli 1995 dan 26 September 1995 kedua negara tidak
menyentuh opsi penyelesaian diplomatis pertikaian antara Indonesia dan Malaysia atas Sipadan
dan ligitan telah bertahan lebih dari 30 tahun dapat dimengerti bahwa emosi beberapa orang
mungkin melekat pada kasus ini
Kesimpulan dikarenakan secara diplomatik tidak bisa menyelesaikan sengketa yang ada
sehingga permasalahan tersebut dicoba diselesaikan dengan bantuan mahkamah internasional
dan peran dari mahkamah internasional sebagai pihak netral dan membantu untuk menyelesaikan
sengketa yang ada dan pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional memutuskan
bahwa yang memiliki kedaulatan penuh atas Pulau Sipadan dan ligitan merupakan negara
Malaysia

Anda mungkin juga menyukai