Anda di halaman 1dari 5

NAMA: DWI KARTIKA SARI

KELAS: X TITL 1

MATPEL: PKN

1. SENGKETA PULAU NATUNA


 Latar belakang
Persengketaan ini dipicu dengan berlayarnya kapal illegal Cina yaitu Kapal Coast Guard Cina
di Perairan Laut Natuna Utara. Kapal tersebut memasuki perbatasan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) tanpa izin. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konflik
Kepulauan Natuna. Dimana, dalam konflik ini China mengklaim sepihak laut Natuna yang
masih dalam wilayah perairan Indonesia. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif jenis kajian kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perairan yang
terletak di Kabupaten Natuna Provinsi Riau adalah salah satu kekayaan sumber daya alam
Indonesia yang harus dijaga. Akan tetapi, konflik ini terjadi karena China mengklaim secara
sepihak Perairan Natuna yang dianggap wilayah mereka. Padahal sudah ditegaskan oleh
Badan Hukum Laut Internasional yang dibawah naungan PBB, UNCLOS 1982 menyatakan
bahwa Natuna merupakan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).

 Kronologi
Sengketa Kepulauan Natuna berlangsung dari tahun 2016 terjadi lantaran disebabkan
adanya kapal-kapal ikan ilegal milik negara China yang memasuki wilayah atau kawasan
perairan Kepulauan Natuna pada bulan Maret lalu di Tahun 2016. Mengetahui tentang hal
ini, pemerintahan Indonesia berencana untuk menangkap kapal-kapal asing tersebut,
namun lantaran ada campur tangan sangkut paut dari kapal Coast Guard China yang dengan
disengaja menabrak KM Kway Fey 10078. Menurut Faindatul Muslimah, yang pada masa itu
masih menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan dan meminta seorang Jurnal Ilmu
Hukum Sui Generis P-ISSN: 2809-3925 Volume 2 No 3, Juli 2022 65 Prodi Ilmu Hukum
Universitas Pendidikan Ganesha Menteri dari luar negeri untuk menjatuhkan sebuah nota
protes terhadap negara China yang berisi tentang pelanggaran memasuki wilayah teritorial
dari negara Indonesia.

 Motif
sengketa Indonesia dengan China yakni tentang perubahan nama Laut China Selatan
menjadi nama Laut Natuna utara.

 Upaya penyelesaian
Dalam persengketaan serta konflik terkait dengan Kepulauan Natuna oleh Indonesia dan
China sudah tentu adanya upaya yang harus ditempuh untuk mengatasi persengketaan
tersebut. Adapun upaya yang harus dilakukan oleh Indonesia dalam menjaga kawasan atau
wilayah Kepulauan Natuna diantaranya yakni:
1. Meningkatkan Manajemen Perbatasan Wilayah terhadap Kepulauan Natuna.
2. Peningkatan Kegiatan Ekonomi melalui Eksplorasi Minyak di Wilayah Kepulauan Natuna.
3. Meningkatkan Kabapilitas Pertahanan di Wilayah Kepulauan Natuna.

2. SEENGKETA BLOK AMBALAT


 Latar belakang
Sengketa ini dimulai ketika perusahaan minyak Malaysia yakni petronas telah memberikan
konsensi dan hak eksplorasi kepada the royal duct/ shell group companies perusahaan
minyak yang mereka beri nama blok ND6 (Y) dan ND 7 (Z) melalui kontrak bagi hasil pada
tanggal 16 Februari 2005 di Kuala Lumpur. Indonesia sendiripun telah juga memberi konsesi
pengeboran di blok Ambalat kepada 2 2 perusahaan Amerika, Unocal dan perusahaan Itali
yang di tanda tangani kontrak bagi hasil dilakukan pada tanggal 12 Desember 2004, hal ini
bermula dari masalah perebutan minyak gas dan gas yang bergeser kearah kepemilikan
atau ke daulatan wilayah suatu Negara tertentu. Hal tersebut mendapatkan perhatiaan
besar dari masyarakat internasional terutama Negara-negara ASEAN lainnya, dikarenakan
sedikit banyak ini akan menimbulkan pengaruh juga terhadap Negara-negara di kawasan
tersebut.

 Kronologi
Sengketa blok Ambalat dimulai ketika kedua negara masing-masing melakukan penelitian di
dasar laut untuk mengetahui landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif pada tahun 1969.
Kedua negara kemudian menandatangani Perjanjian Tapal Batas Landas Kontinen Indonesia-
Malaysia pada 27 Oktober 1969 yang diratifikasi oleh masing-masing negara pada tahun
yang sama. Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Blok Ambalat merupakan milik Indonesia.

Namun, pada 1979, Malaysia mengingkari perjanjian ini dengan memasukkan blok maritim
Ambalat ke dalam peta wilayahnya. Hal ini menyebabkan pemerintahan Indonesia menolak
peta baru Malaysia tersebut. Tak hanya Indonesia, peta tersebut juga diprotes oleh Filipina,
Singapura, Thailand, Tiongkok, Vietnam, karena dianggap sebagai upaya atas perebutan
wilayah negara lain. Aksi sepihak Malaysia ini diikuti dengan penangkapan nelayan Indonesia
pada wilayah-wilayah yang diklaim. Berdasarkan klaim batas wilayah yang tercantum dalam
peta tahun 1979 tersebut, Malaysia membagi dua blok konsesi minyak, yakni Blok Y (ND6)
dan Blok Z (ND7).

Adapun Blok Y merupakan blok yang tumpang tindih dengan wilayah konsesi minyak yang
diklaim Indonesia. Sementara Blok Z adalah blok yang tumpang tindih dengan wilayah yang
diklaim Filipina. Pada 16 Februari 2005, Malaysia memberikan konsesi minyak di kedua blok
tersebut kepada perusahaan minyak milik Inggris dan Belanda, Shell. Kapal-kapal patroli
Malaysia pun diketahui berulang kali melintasi batas wilayah Indonesia dengan alasan area
tersebut merupakan bagian dari wilayah Malaysia. Klaim sepihak dan beragam tindakan
provokasi ini berdampak pada peningkatan eskalasi hubungan kedua negara.

Akhirnya, pada tahun 2009, pemimpin kedua negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi mengambil langkah politik untuk
meredakan ketegangan akibat Ambalat. Masing-masing pihak menjelaskan landasan hukum
klaim atas Ambalat. Baca juga: Sengketa-sengketa Perbatasan di Indonesia Malaysia
mengklaim Ambalat dengan menerapkan prosedur penarikan garis pangkal kepulauan
(archipelagic baseline) dari Pulau Sipadan dan Ligitan yang berhasil mereka rebut pada
tahun 2002. Malaysia berargumentasi bahwa tiap pulau berhak memiliki laut teritorial, zona
ekonomi eksklusif dan landas kontinennya sendiri.

Namun, alasan ini ditolak pemerintah Indonesia yang menegaskan bahwa rezim penetapan
batas landas kontinen mempunyai ketentuan khusus yang menyebut keberadaan pulau-
pulau yang relatif kecil tidak akan diakui sebagai titik ukur landas kontinen. Selain itu,
Malaysia adalah negara pantai (coastal state) dan bukan negara kepulauan (archipelagic
state) sehingga tidak bisa menarik garis pangkal dari Pulau Sipadan dan Ligitan. Klaim
Malaysia tersebut bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut atau UNCLOS 1982 yang
sama-sama diratifikasi oleh Indonesia dan Malaysia. Berdasarkan konvensi ini, Ambalat
diakui sebagai wilayah Indonesia.

 Motif
Karena masalah minyak yang di klaim oleh beberapa negara yang berada di ASEAN.

 Penyelesaian masalah
Berdasarkan hukum internasional, dalam hal terjadinya sengketa wilayah laut, maka
penyelesaiannya dilakukan sesuai ketentuan UNCLOS 1982. Negara yang bersengketa
diwajibkan menyelesaikan dengan cara-cara damai. Jika cara tersebut tidak berhasil
mencapai persetujuan, maka negara-negara terkait harus mengajukan sebagian sengketa
kepada prosedur wajib. Dengan prosedur ini, sengketa hukum laut akan diselesaikan melalui
mekanisme dan institusi peradilan internasional yang telah ada, seperti Mahkamah
Internasional.

3. SENGEKETA PULAU SIPADAN DAN LIGITAN


 Latar belakang
Yang melatarbelakangi sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan antara pemerintahan Indonesia
dengan pemerintah Malaysia adalah klaim kedua negara atas kepemilikan dan kedaulatan
terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan di lepas pantai pulau Kalimantan.
 Kronologi
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam
pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata
memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua
negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status
quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor
pariwisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo
sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak
Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh
ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Sedangkan
Malaysia malah membangun resort di sana SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita,
awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun
cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, siap menanti wisatawan.
Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari
jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah
Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala
Lumpur meminta agar pembangunan di sana dihentikan terlebih dahulu. Alasannya, Sipadan
dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya. Pada tahun 1969
pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta
nasionalnya.

Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty
of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini
antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk
menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak
Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk
klaim pulau batu puteh, sengketa kepemilikan sabah dengan Filipina serta
sengketa kepulauan spratly di Laut Cina Selatan dengan Brunei
Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu
menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga
negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan
selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya
ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui
usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan
Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding,"pada tanggal 31 Mei
1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada
tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia
meratifikasi pada 19 November 1997.

 Motif
Karena malaysia mengganggap kedua pulau itu berada di daerah kekuasaannya. Sedangkan
Indonesia merasa kedua pulau itu ada dalam kekuasaan Belanda.

 Penyelesaian masalah
Kedua pulau yang letaknya di tengah Indonesia tepatnya di Selat Makassar ini akhirnya
dimenangkan oleh Malaysia pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah akhirnya
memuruskan bahwa Malaysia adalah pihak yang memiliki kedaulatan penuh atas pulau
Sipadan dan Ligitan.

 Cara agar Pulau lain tidak di ambil oleh Negara lain:


Menurut Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) ratusan pulau itu akan disertifikatkan agar tidak diambil asing. Hal itu sejalan dengan tugas
pemerintah dalam memberikan kesejahteraan masyarakat pulau, pertahanan dan keamanan
pulau serta kelestarian lingkungan pulau.

Anda mungkin juga menyukai