Anda di halaman 1dari 5

PORTOFOLIO PPKN MENGKAJI SEJARAH SENGKETA PULAU SIPADAN DAN

PULAU LIGITAN ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA

DISUSUN OLEH :
PIERRE DIMAS NURCAHYANTO (XII 5/31)

SMA NEGERI 109 JAKARTA


SMAN 109 Jakarta Jl. Gardu No.31 10, RT.10/RW.2 12630 Srengseng Sawah Jakarta Selatan
TAHUN AJARAN 20223/2024
Gambar 1.1

A. LATAR BELAKANG
Sengketa antara Indonesia dan Malaysia mengenai Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
memiliki akar sejarah yang rumit. Pada masa kolonial, terutama ketika wilayah tersebut berada
di bawah kekuasaan Kesultanan Sulu, Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dianggap sebagai
bagian dari wilayah tersebut. Namun, setelah ditetapkannya Perjanjian Madrid pada tahun
1885, sejumlah batas wilayah kolonial di Asia Tenggara diatur, dan Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Sulu, yang kemudian menjadi bagian dari
Hindia Belanda setelah Indonesia meraih kemerdekaannya pada tahun 1945. Sengketa terkait
batas wilayah pun muncul.

Indonesia mengklaim bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan seharusnya menjadi
bagian dari wilayahnya, merujuk pada prinsip uti possidetis juris, yaitu prinsip bahwa batas
wilayah kolonial yang ada saat kemerdekaan seharusnya dipertahankan. Pada saat
pembentukan Malaysia pada tahun 1963, Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan menjadi bagian dari
wilayah Malaysia. Indonesia menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pembentukan Malaysia
dan menegaskan klaimnya terhadap Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Sengketa ini kemudian
diajukan ke Pengadilan Internasional (International Court of Justice/ICJ) pada tahun 1998. Pada
tahun 2002, ICJ mengeluarkan keputusan yang menetapkan bahwa kedua pulau tersebut berada
di bawah kedaulatan Malaysia. Putusan tersebut didasarkan pada interpretasi terhadap sejarah
dan dokumen hukum yang ada.

B. Sejarah Pulau Sipadan dan Ligitan


Pada 1967, sengketa antara Indonesia dan Malaysia berkembang ketika keduanya tidak setuju
mengenai batas wilayah Pulau Sipadan dan Ligitan dalam pertemuan teknis hukum laut.
Meskipun disepakati untuk menjaga status quo, interpretasi status quo ini memunculkan
perbedaan pemahaman. Malaysia membangun resort pariwisata baru di pulau tersebut,
sementara Indonesia memandangnya sebagai larangan menduduki hingga sengketa
kepemilikan selesai.
Ketidaksepakatan semakin memburuk pada 1969 ketika Malaysia sepihak mencantumkan
pulau-pulau tersebut dalam peta nasionalnya. Pada 1976, upaya penyelesaian dilakukan melalui
Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara (TAC) di ASEAN, tetapi Malaysia
menolak dengan alasan terlibat dalam sengketa lain. Pada 1991, Malaysia mengusir warga
Indonesia dan meminta pencabutan klaim atas kedua pulau.
Situasi melunak pada 1996 ketika Presiden Soeharto setuju dengan kesepakatan "Final and
Binding" di Kuala Lumpur. Persetujuan ini diratifikasi oleh kedua negara pada 1997. Namun,
pada 1998, sengketa dibawa ke International Court of Justice (ICJ). Pada 17 Desember 2002,
ICJ memberikan keputusan yang mendukung Malaysia dengan suara 16-1. Alasannya adalah
tindakan administratif Inggris terkait wilayah tersebut dan kegagalan upaya berdasarkan chain
of title untuk menentukan batas di Selat Makassar. kedua pulau tersebut merupakan bagian dari
wilayah Indonesia berdasarkan perjanjian Konvensi London tahun 1824 dan UU No. 24 tahun
1997 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

• Klaim Indonesia
 Indonesia berpendapat bahwa Pulau Sebatik (pulau yang berdekatan dengan pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan), dengan garis lokasi “Lintang Utara mengarah ke laut
Timur 4°10”, seharusnya membagi wilayah antara Malaysia dan Indonesia. Namun,
mahkamah internasional menolak klaim ini.
 Indonesia mencita-citakan kedaulatan Pulau Sipadan & Ligitan dari perjanjian di
zaman penjajahan Belanda dan Inggris tahun 1891, tetapi mahkamah internasional
menilai perjanjian tersebut kurang jelas dan dianggap ingin membatasi garis laut,
tidak mengalokasikan kedua pulau ke Indonesia.
 Klaim bahwa Sipadan dan Ligitan dimiliki oleh Sultan Bulungan tidak didukung oleh
bukti kuat dan juga ditolak oleh mahkamah internasional.
• Klaim Malaysia
 Malaysia mengklaim hak atas kedua pulau berdasarkan transaksi sejarah dengan Sultan
Sulu hingga Inggris, yang akhirnya diserahkan kepada Malaysia. Meskipun Indonesia
memiliki klaim serupa, hal ini tidak mendapat pengakuan.
 Malaysia berpendapat bahwa penguasaan damai dan berkesinambungan sejak tahun
1878 oleh Inggris dan kemudian Malaysia, bersamaan dengan kelalaian (inactivity)
Belanda dan Indonesia, memberikan hak kepemilikan atas kedua pulau sesuai hukum
internasional “daluwarsa prescription”.
 Klaim bahwa perjanjian 1981 tidak mendukung klaim Indonesia karena hanya
mengatur batas daratan wilayah Borneo dan tidak mencakup kepulauan yang terpisah
dari Pulau Borneo
Dampak sengketa ini mencakup tegangnya hubungan diplomatik antara Indonesia dan
Malaysia. Meskipun kedua negara berkomitmen menjaga hubungan bilateral, isu ini tetap
menjadi sumber ketidaksetujuan di tingkat diplomatik. Sengketa ini juga mempengaruhi
hubungan bilateral dan kerjasama di berbagai bidang. Secara ekonomi, potensi pariwisata dan
pemanfaatan sumber daya alam di Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi terhambat. Keputusan
ICJ meningkatkan kredibilitas lembaga tersebut tetapi mencemarkan nama kedua negara di
mata internasional.

C. Keputusan Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia
Proses penyelesaian kasus Sipadan dan Ligitan memakan waktu yang cukup lama, dimulai dari
pemeriksaan oleh Mahkamah Internasional (MI) pada November 1998. Persidangan terbagi
menjadi dua sesi, yakni Argumentasi Tertulis dan Argumentasi Lisan.

Argumentasi tertulis dilakukan dalam beberapa tahap, seperti penyampaian dasar klaim
(memorial) pada November 1999, jawaban (Concert Memorial) pada Agustus 2000, dan reply
pada Maret 2001. Sesi lisan berlangsung pada 3-12 Juni 2002.

Indonesia dan Malaysia masing-masing menyampaikan argumen mereka. Indonesia


mengklaim berdasarkan Konvensi 1891 dan sebagai pewaris Sultan Bulungan yang memiliki
kekuasaan atas Pulau Sipadan dan Ligitan, dengan menyertakan bukti-bukti effective
occupation. Sementara Malaysia berpegang pada original title oleh Sultan Sulu dan bukti-bukti
effective occupation.

Setelah proses argumentasi selesai, 15 hakim MI mempelajari kasus tersebut. MI menolak


argumen Indonesia mengenai Konvensi 1891 dan klaim sebagai pewaris pulau, menyatakan
buktinya tidak kuat. Mahkamah Internasional lebih mempertimbangkan bukti-bukti effective
occupation dari Malaysia, sehingga pada 17 Desember 2002, MI memutuskan bahwa Malaysia
memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan.

D. Dampak Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan


1) Bidang Diplomatik
Karena adanya sengketa ini, maka terciptanya ketegangan diplomatik antara Indonesia dan
Malaysia. Meskipun keduanya berkomitmen untuk menjaga hubungan bilateral, isu ini
tetap menjadi sumber ketidaksetujuan di tingkat diplomatik. Sengketa ini menekankan
pentingnya diplomasi dan dialog dalam menangani perbedaan teritorial antara negara-
negara tetangga. Dan pentingnya merawat pulau-pulau yang dimiliki suatu negara dan juga
pentingnya menyimpan surat-surat atau bukti-bukti kepemilikan yang penting agar dapat
memiliki bukti yang kuat, dan terakhir harus dapat menjada relasi baik dengan semua
negara, Negosiasi dan dialog menjadi kunci dalam mencari solusi damai.

2) Relasi Indonesia & Malaysia


Dampak sengketa terhadap hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia terlihat dalam
beberapa periode kedepanya, bahkan sampai sekarang, dengan adanya sengketa ini,
persaingan anatara kedua negara ini semakin ketat. Meskipun ada usaha untuk memperbaiki
hubungan, namun sengketa ini tetap dapat mempengaruhi kerjasama di berbagai bidang.

3) Sumber Daya Alam


Pulau Sipadan & linggitan terkenal dengan keindahan bawah lautnya dan menjadi destinasi
utama bagi parawisatawan. Sengketa ini juga mempengaruhi pemanfaatan sumber daya
alam yang dimiliki pulau tersebut, secara banyaknya ragam & keindahan perairan pulau
tersebut, menjadikan pulau ini sebagai potensi ekonomi yang dapat diperoleh dan
mempengaruhi batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia di sekitar wilayah perairan
tersebut.

4) Internasional
Keterlibatan International Court of Justice (ICJ) dalam menyelesaikan sengketa ini
meningkatkan kredibilitas ICJ itu sendiri, dan juga Keputusan ICJ yang netral membuat
kedua negara dapat menerima Keputusan tersebut dengan lapang dada. Kejadian ini juga
dapat mencemarkan nama kedua negara yang terlibat dimata international, yang juga dapat
mengakibatkan kerugian dari berbagai macam aspek.

E. KESIMPULAN

Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia memiliki akar sejarah
kompleks, dimulai dari masa kolonial hingga era kemerdekaan. Klaim terhadap kedua pulau ini
berkaitan dengan Perjanjian Madrid 1885 dan prinsip uti possidetis juris. Konflik mencapai
puncaknya saat pembentukan Malaysia pada 1963, diikuti oleh tindakan unilateral Malaysia
terkait pulau-pulau tersebut.
Proses penyelesaian sengketa ini melibatkan International Court of Justice (ICJ) pada tahun
1998. Setelah serangkaian proses pemeriksaan dan persidangan, pada 17 Desember 2002, ICJ
memutuskan bahwa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan berada di tangan Malaysia.
Keputusan ini didasarkan pada evaluasi bukti-bukti effective occupation dari kedua belah
pihak.

Dampaknya mencakup ketegangan diplomatis, pengaruh terhadap hubungan bilateral


Indonesia-Malaysia, serta konsekuensi terhadap pemanfaatan sumber daya alam dan pariwisata
di kedua pulau tersebut. Proses penyelesaian melibatkan ICJ juga memberikan dampak
internasional terhadap reputasi kedua negara.

Sebagai pelajaran, sengketa ini menyoroti pentingnya diplomasi, dialog, dan perawatan bukti
kepemilikan yang kuat dalam menangani perbedaan teritorial. Meskipun keputusan ICJ
dianggap netral, dampaknya masih terasa dalam berbagai aspek hubungan bilateral dan
pemanfaatan sumber daya alam di wilayah terkait.

F. GLOSARIUM
 International Court of Justice :
Pengadilan internasional yang menyelesaikan sengketa antara negara dan memberikan
pendapat hukum mengenai masalah hukum internasional

 Mahkamah Internasional :
Pengadilan internasional yang menangani kasus-kasus yang melibatkan individu atau
negara

 Negosiasi:
proses tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara
satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) yang lain

 Bilateral :
Jenis kerjasama yang terjadi antara dua negara atau pihak.

 Sengketa :
Perselisihan atau konflik antara dua pihak atau lebih

 Resort :
tempat peristirahatan atau wisata.

G. Referensi
 https://www.kompas.com/skola/read/2019/12/19/180000269/bentuk-kerja-sama-
internasional-bilateral-regional-multilateral?page=all
 https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6556403/contoh-kerja-sama-bilateral-
regional-multilateral-indonesia-dengan-negara-lain
 https://www.liputan6.com/hot/read/5161934/bilateral-adalah-bentuk-kerja-sama-
internasional-kenali-tujuan-dan-hubungannya

Anda mungkin juga menyukai