Anda di halaman 1dari 6

Nama : Dasika Mura

Kelas : VIII C
Mata Pelajaran : IPS

3 Kasus Wilayah Perbatasan Negara ( Kasus Tapal Batas) yang


terjadi dibeberapa negara ASEAN.

1. Perbatasan Pulau Sipadan & Ligitan yang dulunya dipermasalahkan oleh


Indonesia dg Malaysia.

Gambar 1
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan antara
Indonesia dan Malaysia dalam mempertahankan wilayah suatu negara. Pada
tanggal 17 Desember 2002 merupakan hari yang sangat menyedihkan bagi bangsa
Indonesia karena ICJ (International Court of Justice) menjatuhkan keputusan yang
membuat negara Indonesia harus kehilangan 2 dari 17.500 pulau yang tersebar di
berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pulau Sipadan dan Ligitan adalah dua pulau yang terletak di selat
Makasar, di perbatasan antara Kalimantan Timur dan Sabah. Pulau Sipadan
merupakan pucuk gunung merapi dibawah laut yang memiliki luas 50000m² dan
terletak 15mil laut dari pantai sabah dan 40 mil laut dari pantai Pulau Sebatik.
Sedangkan Pulau Ligitan merupakan pulau karang yang terdiri dari semak belukar
dan pohon seluas 18000 m² yang terletak 21 mil laut dari Pantai Sabah dan 57,6
mil dari pantai Pulau Sebatik diujung timur laut pulau Kalimantan.
Namun lebih jauh sebelumnya sebenarnya pada masa kolonial sudah
terjadi perselisihan antara pemerintahan Hindia Belanda dan Inggris dimana
pemerintahan Inggris telah membuat peraturan mengenai perlindungan penyu
(Turtle Preservation Ordinance) dan pernah melakukan penarikan pajak ke
peternak penyu di pulau itu dan terdapat mercusuar dengan tulisan “dibangun oleh
Inggris”. Yang kemudian di tentang oleh pemerintah Hindia Belanda karena
Hindia Belanda lah yang merasa memiliki pulau tersebut.
Konflik ini berawal ketika Indonesia dan Malaysia menyelenggarakan
pertemuan teknis hukum laut pada tahun 1967 namun perselisihan pendapat mulai
memanasdua tahun berikutnya pada tahun 1969 saat membahas batas landas
kontinen negara. Kedua negara saling mengklaim bahwa kedua pulau tersebut
merupakan bagian dari wilayah negaranya masing-masing dengan cara
memasukan dua pulau tersebut kedalam wilayah peta nasionalnya.
Kemudian pada tahun 1988 Indonesia dan Malaysia menyepakati untuk
masalah perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan tersebut dibawa dalam keadaan
status quo ketika PM Mahathir Muhammad mengunjungi Jakarta dan dikukuhkan
kembali saat Presiden Soeharto berkunjung ke Kuala Lumpur. Namun kedua
belah pihak memiliki perbedaan dalam mengartikan status quo tersebut, pihak
Indonesia mengartikan sebagai kedua pulau tersebut tidak boleh ditempati sampai
persoalan atas kepemilikan dua pulau tersebut selesai. Sedangkan pihak Malaysia
mengartikan status quo dengan tetap berada di bawah Malaysia hingga
permasalahan tersebut terselesaikan ,sehingga pengusaha Malaysia telah
membangun resor, cottage, dan beberapa tempat penginapan. Melalui Menlu Ali
Alatas Indonesia melayangkan nota protes karena membangun fasilitas di daerah
sengketa.
Karena konflik masih terus berlanjut Indonesia mengajak Malaysia
menyelesaikan melalui “treaty of amity and coorporation”. Suatu lembaga
dibawah naungan ASEAN yang beranggotakan para Menlu dari anggota ASEAN.
Namun disini Malaysia menolak karena Malaysia telah terlibat sengketa Pulau
Batu Puteh dengan Singapore sehingga Malaysia beranggapan akan
mengakibatkan kekalahan jika kasus ini di selesaikan oleh Dewan Tinggi
ASEAN.
Pada awalnya Indonesia tidak ingin membawa kasus ini ke ICJ namun
pada akhirnya pada tahun 1998 pemerintah Indonesia-Malaysia membawa kasus
ini ke Mahkamah Internasional. Delegasi Indonesia diwakili dengan pengacara
internasional yang beranggotakan Prof. Alain Pellet dari Prancis, Prof. Alfred
Soons dari Belanda, Sir Arthur Watts dari Inggris, Rodman R. Bundy dari
Amerika, dan Loretta Malintoppi dari prancis. Indonesia mengajukan bukti bahwa
pulau ini bagian dari wilayah negara kesatuan republik Indonesia berdasarkan
perjanjian Juanda. Malaysia mengajukan bukti bahwa kedua pulau ini bagian dari
Malaysia dengan dasar perjanjian Sultan Sulu dengan Inggris yang selanjutnya
menjadi wilayah Malaysia setelah merdeka dari Inggris. Hakim ICJ menolak bukti
Indonesia karena perjanjian Juanda hanya mengatur pembagian darat, bukan laut.
Hakim juga menolak bukti Malaysia soal perjanjian Sultan Sulu dengan Inggris.

Namun akhirnya hakim ICJ menyatakan kedua pulau ini menjadi milik
Malaysia dengan dasar asas kedaulatan yang pernah dilakukan di pulau ini
sebelum perjanjian Juanda, yaitu penarikan pajak oleh Inggris. Dari 17 hakim ICJ,
16 mendukung putusan dan hanya satu yang menolak.
Kasus lepasnya pulau sipadan dan pulau ligitan menjadi pukulan telak
bagi Indonesia dan harus dijadikan pelajaran untuk kedepanya. Pemerintahan
diminta lebih serius dan waspada dalam menjaga wilayah kesatuan republik
Indonesia selain itu sebagai warga negera indonesia juga harus turut ikut serta
untuk melindungi dan menjaga apa yang telah bangsa ini miliki. Malaysia bisa
memenangkan karena telah merawat pulau itu. Mereka mendirikan bangunan
sebagai simbol bahwa mereka telah merawat dan menjadi pemilik pulau itu.
Selain itu kerukunan antar negara juga perlu dijaga demi menjaga perdamaian
dunia.
Sumber : https://student-activity.binus.ac.id/himslaw/2018/03/kasus-sengketa-
pulau-sipadan-dan-pulau-nigitan/

2. Perbatasan Kepulauan Natuna yang dipermasalahkan oleh Tiongkok dan


Indonesia.

Gambar 2
Berada di kawasan dengan sumber daya alam melimpah dan berbatasan
langsung dengan laut bebas membuat Natuna menjadi incaran banyak negara
tetangga. Kontraversi diawali dari Malaysia yang menyatakan bahwa Natuna
secara sah seharusnya milik Malaysia. Namun untuk menghindari konflik
panjang, pada era konfrontasi 1962-1966 Malaysia tidak menggugat status
Natuna. Lepas dari konflik tersebut, Indonesia membangun berbagai infrastruktur
di kepulauan seluas 3.420 kilometer persegi. Etnis Melayu menjadi penduduk
mayoritas di Natuna, mencapai sekitar 85 persen. Suku Jawa sekitar 6,34 persen
dan etnis Tionghoa sekitar 2,52 persen
Selepas kofrontasi Indonesia-Malaysia, sentimen anti China di kawasan
Natuna muncul. Dari 5.000-6.000 orang, tersisa 1.000 orang etnis China.
Kemudian muncul slentingan warga keturunan Tionghoa menghubungi Presiden
China saat itu, Deng Xiaoping untuk mendukung kemerdekaan Natuna. Meski
banyak pihak yang memaksa merebut Natuna, secara Hukum Internasional,
negosiasi yang dibangun China tidak dapat dibuktikan sampai saat ini. Pada 2009
secara nyata China melanggar Sembilan Titik ditarik dari Pulau Spartly ditengah
Laut China Selatan, lalu diklaim sebagai wilayah Zona Ekonomi Eksklusifnya.
Saat itu Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono memprotes
langkah China melalui Komisi Landas Kontinen PBB. Di mana garis putus-putus
yang diklaim China sebagai Pembaharuan peta 1947 membuat pemerintah
Indonesia atas negara-negara yang berkonflik akibat Laut China Selatan.
Meski saat itu China tidak pernah menyinggung isu Natuna dihadapan
PBB, sejak 1996 Indonesia telah mengerahkan lebih dari 20.000 personil TNI
untuk menjaga Natuna yang memiliki cadangan gas terbesar di Asia. Memasuki
era Presiden Joko Widodo, pihaknya kembali menegaskan dengan keras, bahwa
Sembilan Titik yang diklaim China tidak memiliki dasar hukum internasional apa
pun. Bahkan dikutip dari Surat Kabar Jepang Yomiuri Shimbun, Presiden Joko
Widodo mengatakan China perlu hati-hati dalam menentukan peta perbatasan
lautnya. Indonesia salah satu negara yang terancam dirugikan akibat Sembilan
Titik yang digambar China. Menurut Kementrian Luar Negeri, klaim China atas
Natuna telah melanggar Zona Ekonomi Eksklusif milik Indonesia. Posisi Natuna
sangat jauh dari China. Natuna justru berdekatan dengan batas Vietnam dan
Malaysia. Sehingga tidak masuk akal jika China mengklaim Natuna masuk
wilahnya. Bahkan Indonesia beberapa kali masih menangkap kapal-kapal
asing yang masuk ke Natuna. Dilansir dari Kompas.com kapal penangkap ikan
dan coast guard China diduga melakukan pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif
dengan memasuki Perairan Natuna pada 31 Desember 2019. Mereka juga
melakukan pelanggaran ZEE seperti melakukan praktik illegal, Unreported and
Unregulated (IUU) Fishing di wilayan tertitori Indonesia. Pemerintah Indonesia
melalui Menteri Luar Negeri Retno Masudi meminta China untuk patuh terhadap
ketentuan yang telah ditetapkan UNCLOS 1982 tentang batas teritori. Selain itu
kementrian Luar Negeri telah mengirimkan nota protes resmi dan memanggil
Dubes China untuk Indonesia di Jakarta. Keberadaan Natuna dilihat dari hukum
Landas Kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya
dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar teritorial. Teritorial
yang dimaksud adalah sepanjang 200 mil laut dari garis pangkal. Landas
Kontinen negara pantai tidak boleh melebihi batas-batas yang sudah diatur dalam
Pasal 76 ayat 4 hingga 6. Salah satu masalah penting dari klaim China adalah
garis demarkasi.
Tidak ada peta yang bisa menunjukkan seperti apa bentuk garis tersebut.
Pasalnya tidak ada penjelasan dari pihak China. Sembilan Titik atau Nine Dash
Line China tidak bisa disahkan sebagai perbatasan teritorial karena tidak sesuai
dengan hukum internasional. Dalam hukum internasional mengatakan bahwa
perbatasan teritorial harus stabil dan terdefinisi dengan baik. Sembilan Titik yang
dibuat China tidak stabil karena dari 11 menjadi sembilan garis tanpa alasan.
Kemudian tidak ada definisi secara jelas dan kuat. Selain itu tidak memiliki
koordinat geografis dan tidak menjelaskan bentuk bila semua garis dihubungkan.
Pemerintah Indonesia tetap melakukan beberapa upaya diplomatik dengan
China, agar sengketa Laut China Selatan tidak meluas sampai ke Natuna. Kedua
belah pihak sudah sepakat mengedepankan diplomasi dengan
mengimplementasikan Declaration on the Conduct of Parties in the South China
Sea (DOC). Selain itu, Indonesia juga sudah mengusulkan zero draft code of
conduct South China Sea yang bisa dijadikan senjata bagi diplomasi Indonesia.
Tiga poin tersebut, yaitu: Menciptakan rasa saling percaya. Mencegah terjadinya
insiden. Mengelola insiden, jika memang insiden terjadi dan tidak dapat dihindari.
Sumber : https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/04/180000169/sejarah-
konflik-natuna-dan-upaya-indonesia.

3. Perbatasan Kuil Preah Vihear yang dipermasalahkan oleh Thailand dan


Kamboja.
Gambar 3 Bendera Kamboja berkibar saat kuil Preah Vihear menjadi warisan
budaya dunia.
Sengketa perebutan lahan wilayah sekitar berdirinya kuil Preah Vihear di
perbatasan Thailand dan Kamboja diharapkan akan segera menemui titik damai
karena Pengadilan tertinggi PBB (ICJ) akan memutuskan untuk mengatur wilayah
di lokasi sengketa ini. Keputusan ICJ tidak dapat diganggu-gugat serta tak bisa
diubah lagi dengan pengajuan banding. Persengketaan atas hak atas lahan di
sekitar kuil berusia sekitar 900 tahun ini telah lama menyebabkan bentrokan
antara kedua negara yang masing-masing mengklaim sebagai pemilik sah lahan
tersebut.
Pada tahun 1962 sebuah putusan Mahkamah Internasional memang
menyatakan bangunan kuil adalah bagian dari wilayah Kamboja, namun
keputusan ini tidak mencakup siapa yang berhak atas area di sekitar kuil.
Keputusan ini mengecewakan Thailand, terlebih ketika wilayah tempat kuil
berada ini ditetapkan sebagai Situs Warisan Budaya Dunia oleh Unesco pada
2008. Kedua pihak pun mulai menempatkan pasukan di wilayah sengketa itu.
Pada 2011 silam, pihak Kamboja berusaha mengklarifikasi putusan
mengenai tanah di sekitar kuil setelah meletusnya kekerasan di bulan April yang
menewaskan 18 orang dan memaksa puluhan ribu warga lainnya
mengungsi.Kedua belah pihak sepakat untuk menarik pasukan dari wilayah
sengketa pada Desember 2011. Namun pada Sabtu (09/11) kemarin, kepala
pasukan militer Kamboja di perbatasan Thailand mengadakan pertemuan darurat
setelah pesawat Thailand terlihat terbang rendah di sekitar daerah sengketa di
dekat kuil. Komandan wilayah regional Kamboja, Jenderal Srey Deuk,
mengatakan kepada BBC dia mengharapkan tidak akan ada masalah dengan
militer Thailand setelah adanya keputusan PBB pada hari ini, Senin (11/11). Ia
mengatakan Kamboja tidak berencana mendatangkan pasukan tambahan untuk
berjaga di wilayah kuil.
Namun demikian masyarakat tetap khawatir dengan adanya kemungkinan
terjadinya kekerasan terutama di desa-desa perbatasan mengingat wilayah ini
telah menjadi titik pertikaian selama lebih dari satu abad.
Sumber:
https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2013/11/131111_thailand_perebutancandi

Anda mungkin juga menyukai