Dita Aninda
XI IPA 5
12
Astrid Rahima
XI IPA 5
06
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam
pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau
Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat
agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quoakan tetapi ternyata pengertian ini
berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena
Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai,
sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh
ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. karena kita taat pada hukum
internasional yang melarang mengunjungi daerah status quo, ketika anggota kita pulang dari sana
membawa laporan, malah dimarahi. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana SIPADAN dan
Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut
Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti
wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari
jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah Indonesia, yang
juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan
di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa
pemiliknya.Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam
peta nasionalnya
Malaysia Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC
(Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Baliini antara
lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang
terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat
pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa
kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketakepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei
Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan
sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta
meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak
membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7
Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan
pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and
Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia
meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula
meratifikasi pada 19 November 1997.
Keputusan Mahkamah Internasional
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke Mahkamah
Internasional. Kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 Mahkamah
Internasional mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan
antara Indonesia dengan Malaysia. Dalam persidangan Mahkamah Internasional yang melibatkan
argumentasi kontra argumentasi, berbagai dalil hukum, teori, bukti sejarah, dokumen dan fakta
pendukung dari kedua belah pihak yang masing-masing dilengkapi oleh tim pengacara handal,
akhirnya Mahkamah Internasional memutuskan pulau Sipadan dan pulau Ligitan milik Malaysia.
Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1
orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI,
sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan
Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan
dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah
melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa
burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu
suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi
pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu)
akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat
Makassar.
Lebih dari itu,sebenarnya Mahkamah Internasional sudah mengetahui kalau Belanda adalah
pemilik pulau itu dahulunya. Tetapi, belanda tidak pernah melakukan tindakan yang nyata apapun di
Pulau itu. Justru sebaliknya Inggris-lah yang banyak melakukan pembangunan dan invasi
di kedua pulau itu. Kemudian, Mahkamah Internasional menolak pembelaan dan argumen Indonesia
yang bersandar pada konvensi 1891. Argumen ini hanya mengatur batasan wilayah di Kalimantan
(darat) tidak di perairan. Jauh dari pada itu Konvensi 1891, hanya menarik 3 mil dari titik pantai
(kalau sekarang 12 mil) dan penarikan 3 mil itu tidak sampai ke sipadan dan Ligitan.
Dan terakhir Indonesia kalah di Faktor Occupation (pendudukan). Intinya masyarakat yang
tinggal di pulau tersebut banyak bergantung pada transpotasi dan bantuan ekonomi dari Malaysia
bertahun-tahun. Sarana hiburan seperti pemancar radio, telepon, dan televisi juga berasal dari
Malaysia selama bertahu-tahun).
Dari pernyataan diatas yang menjadi penyebab utama
kekalahan Indonesia adalah Indonesia kurang memiliki data dan bukti historis yang dapat
menunjukan bahwa Belanda juga memiliki kehendak dan tindakan menjalankan fungsi negara yang
malahan lebih kuat dari Inggris pada masanya. Lebih dari itu,sebenarnya Mahkamah Internasional
sudah mengetahui kalau Belanda adalah pemilik pulau itu dahulunya. Tetapi, belanda tidak pernah
melakukan tindakan yang nyata apapun di Pulau itu. Justru sebaliknya Inggris-lah yang banyak
melakukan pembangunan dan invasi di kedua pulau itu. Kemudian, Mahkamah Internasional
menolak pembelaan dan argumen Indonesia yang bersandar pada konvensi 1891. Argumen ini
hanya mengatur batasan wilayah di Kalimantan (darat) tidak di perairan. Jauh dari pada itu Konvensi
1891, hanya menarik 3 mil dari titik pantai (kalau sekarang 12 mil) dan penarikan 3 mil itu tidak
sampai ke sipadan dan Ligitan.
Dengan memperhatikan posisi dan letak Sipadan dan Ligitan serta ambisi strategis/ekonomis
Belanda adalah sulit dibayangkan kalau Belanda tidak melakukan kegiatan pengawasan dan
pemanfaatan kedua pulau tersebut pada waktu itu. Disamping itu, nampaknya Indonesia memang
agak mengabaikan Sipadan dan Ligitan. Sebelum 1969 barangkali karena Indonesia tidak menyadari
keberadaan posisi kedua pulau itu, atau mungkin juga karena terlalu banyak persoalan yang
dihadapi. Tetapi sesudah tahun 1969 pada saat mulai muncul sengketa klaim, meskipun disepakati
status quo atas Sipadan dan Ligitan, justru Malaysia tetap melanjutkan kegiatannya berupa
penangkapan ikan, pariwisata, dan kehadiran penduduk yang terus meningkat.
Dasar Keputusan MI
1. Bukti-bukti yang menjadi dasar klaim kedua negara atas Pulau Sipadan dan Ligitan :
a. Negara Indonesia, bukti yang menyatakan bahwa Sipadan dan Ligitan sebagai milik Indonesia
adalah deklarasi Djuanda dan Perpu no 4 Tahun 1960, serta isi dari Pasal IV Konvensi Belanda dan
Inggris tahun 1891 yang di tanda tangani di London, dalam pasal itu menyatakan bahwa kedua
negara itu sepakat bahwa batas antara jajahan Belanda dan negara-negara yang dilindungi Inggris di
pulau yang sama di ukur dari titik 4 menit 10 detik lintang utara di pantai timur Kalimantan. Dari titik
posisi itu lantas di tarik ketimur mengikuti garis paralel melintasi Pulau Sebatik. Bagian pulau yang
terletak sebelah utara garis paralel sepenuhnya milik British North Borneo Company. Sedangkan
Bagian selatan garis paralel menjadi hak milik Belanda. Berdasarkan kesepakatan itu, Pulau Sipadan
dan Ligitan masuk ke wilayah Belanda dan di wariskan ke Indonesia yang merdeka pada tahun 17
Agustus 1945. Selain itu Indonesia mengklaim kedua wilayah tersebut adalah wilayah milik Sultan
Bulungan dan menjadi wilayah dari kerajaan Kutai di Kalimantan.
b. Negara Malaysia juga memiliki dasar yang kuat untuk mendapatkan klaim kedua pulau tersebut
yaitu berdasarkan Traktat Paris tahun 1809 yang merupakan perjanjian perbatasan Malaysia dan
Filipina. Kemudian perjanjian Spanyol-Amerika pada tahun 1900 dan perjanjian Inggris-Amerika
Serikat pada tahun 1930. Selain dengan dasar perjanjian-perjanjian tersebut Sipadan dan Ligitan
merupakan hak turun temurun dari Sultan Sulu yang menyerahkan kepada Spanyol, Amerika Serikat,
Inggris dan kemudian kepada Malaysia setelah memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun
1963. Sehingga Indonesia tidak mempunyai bukti cukup kuat untuk mengklaim Sipadan dan Ligitan
karena setelah ditinggalkan Belanda, Indonesia menelantarkan kedua pulau itu. Sesuai dengan
aturan hukum internasional hak atas wilayah bisa diperoleh pihak ke tiga bila wilayah tersebut di
telantarkan untuk kurun waktu tertentu oleh pemilik aslinya.
2. Dasar Keputusan Mahkamah Internasional (ICJ) tentang Pulau Sipadan dan Ligitan :
Mahkamah Internasional memenangkan pihak Malaysia atas Pulau Sipadan dan Ligitan,
berdasarkan:
b. Penguasaan efektif (effectrive occupation), (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan
teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan
tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung,
pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercusuar sejak
1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan,
serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkain kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal
dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
Dalam mengkaji bukti-bukti hukum sebelum 1969 yang menunjukkan adanya effective
occupation atas pulau-pulau Sipadan-Ligitan, Mahkamah mempertimbangkan bukti-bukti yang
diajukan kedua negara, yakni:
1. Indonesia mengajukan bukti-bukti adanya patroli AL Belanda di kawasan ini dari
tahun 1895 hingga 1928, termasuk kehadiran kapal AL Belanda Lynx ke Sipadan pada
November-December 1921; dan adanya survei hidrografi kapal Belanda Macasser di
perairan Sipadan Ligitan pada Oktober-November 1903. Patroli ini dilanjutkan oleh patroli
TNI-AL. Selain itu, bukti yang diajukan adalah adanya kegiatan perikanan nelayan
Indonesia pada tahun 1950-1960an dan bahkan awal 1970an.
2. Malaysia mengajukan bukti-bukti berupa bukti hukum Inggris yakni Turtle
Preservation Ordinance 1917; perijinan kapal nelayan kawasan Sipadan Ligitan; regulasi
suaka burung tahun 1933 dan pembangunan suar pada tahun 1962 dan 1963. Semuanya
adalah produk hukum pemerintah kolonial Inggris, bukan Malaysia.
Putusan Mahkamah Internasional
Sebelum menilai bukti-bukti Indonesia, Mahkamah Internasional menegaskan bahwa UU
4/Prp 1960 tentang negara kepulauan tidak mencantumkan Sipadan-Ligitan sebagai milik
Indonesia. Mahkamah berpandangan hal ini relevan terhadap kasus pulau Sipadan-Ligitan karena
Indonesia tidak memasukkannya dalam suatu perundang-undangan nasional. Terhadap patroli AL
Belanda, Mahkamah berpendapat bahwa hal ini merupakan bagian dari latihan bersama atau
kesepakatan bersama dalam memerangi perompakan, sehingga tidak bisa dijadikan dasar
pengajuan klaim.