Anda di halaman 1dari 5

Masalah Ketimpangan Sosial di Bidang Pendidikan

Pendidikan menjadi penting karena merupakan social elevator, yaitu saluran mobilitas sosial vertikal
yang efektif agar seseorang dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya di masa depan. Pendidikan
juga merupakan kunci pembangunan masyarakat, terutama di bidang sumber daya manusia.

Namun sayangnya, di Indonesia masih ada kesenjangan fasilitas dan kualitas


pendidikan di tiap daerah. Akibatnya, anak-anak di kota-kota besar jauh lebih
mudah mendapat akses pendidikan yang baik. Serta berkesempatan
meningkatkan kualitas hidupnya dibanding anak-anak di wilayah pedesaan.

Faktor yang mempengaruhi ketimpangan sosial

Randall Collins dalam bukunya The Credential Society: An Historical Sociology of


Education and Stratification, menilai bahwa pendidikan formal merupakan awal
dari proses stratifikasi sosial. Di Indonesia, hal ini didukung oleh adanya pola
perjalanan sekolah anak yang berbeda dari kalangan keluarga mampu dan miskin.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan sosial di bidang pendidikan
antara lain:

 Kualitas Lingkungan Sekolah. Faktor ini meliputi masyarakat dan


lingkungan sekitar yang mendukung seorang anak untuk mendapat
pendidikan yang baik.
 Kesempatan Memperoleh Pendidikan yang Berkualitas. Keterbatasan dari
segi kualitas pengajar, budaya masyarakat, hingga kemudahan akses ke
sekolah juga berpengaruh terhadap mudah atau tidaknya kesempatan
seseorang untuk mendapat pendidikan yang berkualitas.
 Kualitas Lulusan. Semakin baik kualitas lulusan di wilayah tersebut, makin
besar pula kesempatan wilayah itu untuk menjadi lebih berkembang dan
sejahtera.
 Fasilitas Pendidikan. Hal ini juga mencakup ketersediaan fasilitas
pendidikan, rasio guru-siswa, dan kualitas guru.

Upaya mengatasi ketimpangan sosial

Upaya untuk mengurangi ketimpangan sosial di bidang pendidikan ini perlahan-


lahan mulai banyak digagas oleh orang-orang di berbagai belahan dunia. Di
Indonesia, salah satu yang bisa menjadi contoh adalah Indonesia Mengajar.
Gerakan ini memfasilitasi lulusan universitas untuk mengajar sekolah dasar di
daerah-daerah terpencil. Tujuannya agar daerah-daerah tersebut berkesempatan
mendapat kualitas pengajar yang serupa dengan yang ada di daerah-daerah yang
lebih maju. Selain itu, gerakan-gerakan mengajar anak jalanan dan start
up pendidikan seperti Ruangguru juga menjadi salah satu alternatif bagi pelajar
untuk mendapat akses ilmu dan pendidikan yang berkualitas.

Demo Hari Tani di Patung Kuda, Buruh Soroti Leletnya


Pemerintah Atasi Konflik Lahan
Reporter
Moh. Khory Alfarizi
Editor
Francisca Christy Rosana
Sabtu, 24 September 2022 11:48 WIB

Partai Buruh dan Serikat Petani Indonesia menggelar aksi demonstrasi di area Patung Kuda,
Jalan Medan Medeka Barat, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 24 September 2022. TEMPO/Khory Alfarizi

TEMPO.CO, Jakarta - Partai Buruh dan Serikat Petani Indonesia (SPI)


menggelar demo di Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta
Pusat, Sabtu, 24 September 2022. Demo itu bertepatan dengan
peringatan Hari Tani Nasional.

"Bertepatan dengan momentum Hari Tani, kami menyampaikan, setidaknya


terdapat sepuluh hal yang menjadi catatan kritis Partai Buruh terhadap
pelaksanaan reforma agraria di Indonesia," ujar Presiden Partai Buruh Said
Iqbal lewat keterangan tertulis pada Sabtu, 24 September 2022.

Dalam aksi demo, buruh menyuarakan sepuluh catatan dan tuntutan atas
kegagalan pemerintah dalam melaksanakan reforma agraria. Pertama, buruh
menyoroti ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah. Laporan
Penelitian Badan Pertanahan Nasional 2019 menunjukkan luas tanah
pertanian yang dimiliki petani berdasarkan hasil Sensus Pertanian
menunjukkan distribusi yang tidak merata.

Petani gurem dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektare


mendominasi, yakni sebanyak 16,25 juta rumah tangga atau hampir 60
persen, menurut hasil survei pertanian antar sensus (Sutas BPS 2018).
Selama empat dekade, rasio kepemilikan tanah berfluktuasi pada rentang
nilai 0,50 - 0,72 ketare.

Nilai tersebut, menurut kelompok buruh, berada dalam kelas ketimpangan


sedang (0,4 ≤ G ≤ 0,5) dan tinggi (G>0,5). Berdasarkan data BPS,
ketimpangan kepemilikan tanah pada 2013 mencapai 0,68, yang berarti 68
persen sumber daya tanah yang ada dikuasai oleh hanya 1 persen kelompok
penduduk Indonesia. "Ketimpangan ini yang menyebabkan konflik agraria
masih terjaga dan sangat banyak yang belum kunjung selesai," kata Said
Iqbal.

Catatan kedua, buruh menyoroti kemiskinan yang masih didominasi di


wilayah perdesaan. Per Maret 2022, BPS menyatakan jumlah penduduk
miskin di Indonesia menembus 26,16 juta jiwa atau sekitar 9,54 persen dari
total penduduk.

"Jumlah penduduk miskin paling banyak tersebar di pedesaan, yakni 14,34


juta orang; sementara di wilayah perkotaan jumlah penduduk miskin
mencapai 11,82 juta orang," kata Said Iqbal.

Ketiga, penyelesaian konflik agraria dinilai masih lambat. Menurut Said Iqbal,
Presiden Jokowi sudah meminta Tim Percepatan Penyelesaian Konflik
Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria (PPKA-PKRA) 2021
menyelesaikan 50 persen kasus. Namun target itu tidak tercapai. Akibatnya,
angka konflik agraria di Indonesia masih tinggi.

SPI mencatat sekurang-kurangnya terjadi 104 kasus konflik agraria selama


2021. Dari data tersebut, konflik agraria masih didominasi oleh sektor
perkebunan (46 kasus), diikuti oleh pertambangan (20 kasus), kehutanan (8
kasus), pesisir (4 kasus), dan proyek strategis nasional (4 kasus).

Catatan keempat, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) itu


melanjutkan, progres redistribusi tanah bagi petani lambat, meski pemerintah
menyebut ada kemajuan dalam hal target redistribusi. Sistem Informasi
Geografis Tanah Objek Reforma Agraria (SIG-TORA) per 10 September 2022
menunjukan capaian legalisasi lebih besar daripada redistribusi.

"Oleh karena itu, sesungguhnya capaian redistribusi tersebut belum dirasakan


oleh para organisasi petani dan gerakan tani di Indonesia," ucap Said Iqbal.
"Reforma Agraria cenderung difokuskan hanya pada sertifikasi dan legalisasi,
bukan upaya merombak ketimpangan penguasaan tanah dan menyelesaikan
konflik agraria."

Kelima, buruh menyoroti lahirnya UU Cipta Kerja yang berseberangan dengan


spirit UUPA 1960 dan Reforma Agraria Sejati. Substansi UU Cipta Kerja yang
mengakomodasi kepentingan modal dan investasi menjadi legitimasi untuk
merampas tanah milik petani, masyarakat adat, dan orang-orang yang
bekerja di perdesaan.

 1

Anda mungkin juga menyukai