atas landas kontinen tergantung dari kemampuan suatu negara untuk mengeksploitasi
sumberdaya alam (Konvensi Jenewa 1958 pasal 1)
Sementara itu, ketika Indonesia sudah mulai memberikan blok konsesi, Malaysia
mengeluarkan Peta Baru pada bulan Desember 1979 dengan batas terluar klaim maritim yang
sangat eksesif di Laut Sulawesi . Peta ini secara jelas memasukkan kawasan dasar laut, yang
kemudian oleh Indonesia disebut Blok Ambalat, sebagai bagian dari Malaysia.
Indonesia dan beberapa negara tetangga lainnya tidak mengakui Peta ini dan mengajukan
protes. Indonesia mengirim nota protes bulan Februari 1980 terkait Pulau Sipadan dan
Ligitan yang juga dimasukkan dalam peta itu, padahal penyelesaian sengketa kepemilikan
kedua pulau tersebut pada waktu itu belum tuntas
Protes ini diikuti oleh Filipina dan Cina terkait Spratly Island. Singapura mengirimkan
protesnya bulan April 1980 terkait dengan Pedra Branca (Pulau Batu Puteh). Protes juga
dilayangkan oleh Thailand, Vietnam, Taiwan, dan United Kingdom atas nama Brunei
Darussalam. Singkatnya, Peta 1979 adalah peta sepihak Malaysia yang tidak mendapat
pengakuan dari negara tetangga dan dunia internasional. Meski demikian, Peta 1979 tetap
menjadi peta resmi yang berlaku di Malaysia (setidaknya secara sepihak) bahkan hingga kini.
Fakta ini menjadi dasar pandangan bahwa Malaysia mendasarkan klaimnya atas Ambalat
pada Peta 1979. Di sisi lain, Indonesia memberikan konsesi atas Blok Ambalat (1999) dan
East Ambalat (2004) setelah meratifikasi UNCLOS (1985). Logikanya, tindakan Indonesia
terkait klaim kawasan maritim setelah meratifikasi UNCLOS harus sesuai dengan aturan
UNCLOS. Inilah yang menjadi dasar pandangan bahwa Indonesia mengklaim Ambalat
berdasarkan UNCLOS.
Dampak bagi hubungan antar Negara :
Menimbulkan ketegangan antar 2 negara. Ketegangan yang terjadi bermacam-macam namun
sebagian besar terjadi di daerah perbatasan yaitu sikap kedua Negara yang mempersiapkan
pertahanannya misal Malaysia memperbanyak pasukan, Indonesia mengadakan latihan
perang di perairan Sebatik, kaltim. Hal ini juga mengakibatkan nelayan antara 2 negara waswas saat melaut
Usulan cara diplomasi yang lebih tepat digunakan dalam penyelesaian Blok Ambalat yaitu:
1. Negosiasi
teknik penyelesaian sengketa yang tidak melibatkan pihak ketiga. negosiasi hanya
berpusat pada diskusi pihak-pihak terkait yakni Indonesia dan Malaysia. Perbedaan
persepsi yang dimiliki oleh kedua negara diharapkan akan diperoleh jalan keluar dan
menyebabkan pemahaman atas inti persoalan menjadi lebih mudah untuk dipecahkan.
Bilamana jalan keluar ditemukan kedua belah pihak, maka akan berlanjut pada pemberian
konsesi dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.
2. Mediasi
melibatkan pihak ketiga, dalam hal ini pihak ketiga bertindak sebagai pelaku mediasi
(mediator). Seorang mediator memiliki peran yang aktif untuk mencari solusi yang tepat
untuk melancarkan terjadinya kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa.
3. Inquiry
Inquiry yaitu ketika terdapat sengketa antara Indonesia dan Malaysia maka untuk
menyelesaikannya sengketa tersebut, kedua belah pihak dapat mendirikan sebuah komisi
atau badan yang bersifat internasional untuk mencari dan mendengarkan semua buktibukti yang relevan dengan permasalahan yang dipersengketakan.
12. Banyak yg memahami Indonesia kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan.
Awal mula kasus
-
tahun 1967 : dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara
ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya.
Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status
status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda.
Malaysia malah membangun cottage di SIPADAN dan Ligitan. Di atas Sipadan, pulau
yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah
menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata
itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa
memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar
pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam
sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak
memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya
1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity
and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain
menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan
perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia
menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu
Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di
Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak
Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob)
melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk
mencabut klaim atas kedua pulau.
Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan
selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke
Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan
PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM
Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997,
kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29
Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi
pada 19 November 1997
Keputusan kasus
tahun 1998
: masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ
17 Desember 2002 : ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan
Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di
lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang
berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI,
sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh
Indonesia.
Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa
memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu
pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata
berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap
pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an.
Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan,
serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan
tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di
selat Makassar
Indonesia tidak kehilangan pulau karena Sipadan dan Ligitan memang tidak pernah
menjadi milik Indonesia sebelumnya. Sipadan dan Ligitan adalah pulau tak bertuan
yang setelah disidangkan ternyata menjadi milik Malaysia. Meski demikian, istilah
kehilangan pulau ini memang beralasan, misalnya karena Indonesia pernah mendirikan titik
pangkal (atau disebut juga titik dasar, TD) di Pulau Sipadan dan Ligitan seperti diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 38/2002. Secara hukum, tindakan ini bisa dipertanyakan karena
status kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan ketika itu belum tuntas. Selain itu, tindakan
menjadikan kedua pulau tersebut sebagai titik pangkal terjadi setelah 1969, sehingga tidak
dipertimbangkan oleh ICJ dalam membuat putusan.
Sebab terjadinya kesalahpahaman
Dalam hukum internasional dikenal istilah uti possidetis juris yang artinya negara baru akan
memiliki wilayah yang sama dengan penjajahnya, termasuk batas-batas wilayahnya. Tidak
diklaimnya Sipadan dan Ligitan oleh Belanda secara hukum menyebabkan kedua pulau
tersebut bukan bagian dari Indonesia sebagai penerus Belanda. Di sisi lain, Inggris pun tidak
pernah secara definitif menegaskan bahwa Sipadan dan Ligitan sebagai bagian dari
wilayahnya sehingga kedua pulau itu tidak bisa secara otomatis menjadi wilayah Malaysia
sebagai penerus Inggris (ICJ, 2002).
Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia
karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai
persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini
berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas
kepemilikan dua pulau ini selesai.
13.
Indonesia dan Filipina menyepakati batas maritime pada bulan Mei 2014. Jelaskan
kesepakatan itu dengan bantuan skema/gambar dan deskripsi yang memadai
Salah satu negara tetangga yang sampai dengan saat ini belum mencapai kesepakatan ZEE
dan Batas Landas Kontinen (BLK) dengan Indonesia adalah Filipina. Indonesia dan Filipina
memiliki perbatasan maritim (Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen) di perairan
sekitar laut Sulawesi dan Samudera Pasifik. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1973 tentang Batas Landas Kontinen Indonesia (BLKI) serta Undang-Undang Nomor 17
Tahun 1985 tentang pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS), BLKI ditarik sama lebar dengan batas ZEE (200 mil laut) atau sampai dengan
maksimum 350 mil laut dari garis pangkal kepulauan Indonesia.
Menurut pasal 55 dan 57 UNCLOS dapat diketahui juga bahwa ZEE adalah wilayah diluar
dan berdampingan dengan laut teritorial, ZEE tidak boleh melebihi 200 mil laut yang
diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Namun dalam prakteknya penarikan
batas ZEE sepanjang 200 mil tersebut tidak selalu bisa dilakukan, kadangkala kurang
dari 200 mil. Hal ini biasanya terjadi karena posisi wilayah laut suatu negara berhadapan atau
berdampingan dengan wilayah laut negara lainnya sehingga saat akan ditarik garis batas ZEE
sepanjang 200 mil terjadi tumpang tindih wilayah. Apabila hal ini terjadi maka pengaturan
penetapan garis batas ZEE dilaksanakan dengan berdasar pada Pasal 74 UNCLOS.
Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa penetapan garis batas ZEE antaranegara yang
pantainya saling berhadapan atau berdampingan harus dilakukan dengan persetujuan yang
berdasar pada hokum internasional sebagaimana tercantum dalam pasal 38 statuta ICJ.
Guna mencapai persetujuan garis batas wilayah laut yang saling tumpang tindih tersebut, cara
pertama yang biasanya ditempuh adalah negosiasi antara pihak yang bersengketa
(antaranegara yang wilayahnya saling tumpang tindih). Negosiasi antar negara biasanya
dilaksanakan dalam bentuk perundingan yang hanya melibatkan pihak dari kedua negara.
Selain dengan negosiasi proses penentuan garis batas wilayah laut dapat juga dilaksanakan
dengan mediasi, arbitrasi, atau menyerahkan kepada pengadilan internasional
seperti International Court of Justice (ICJ) atau International Tribunal on the Law of the Sea
(ITLOS). Namun akan lebih baik apabila dengan negosiasi batas wilayah dapat disepakati
dibandingkan harus sampai ketahap arbitrasi, mediasi, atau bahkan sampai ke forum ICJ atau
ITLOS.
Hal inilah yang saat ini sedang coba disepakati oleh Indonesia dan Filipina. Indonesia dan
Filipina memiliki wilayah laut yang saling berhadapan dan berdampingan, akibatnya
penarikan garis batas ZEE tidak bisa mencapai 200 mil. Apabila kedua negara yang
merupakan negara kepulauan sama-sama menarik garis ZEE 200 mil mengelilingi kepulauan
masing-masing, akan terjadi tumpang tindih wilayah dibagian selatan Mindanao dan
perhimpitan batas di perairan laut Sulawesi. Oleh karena itu kedua negara perlu untuk
menentukan garis batas ZEE di kedua wilayah yang saling tumpang tindih dan berhimpit
tersebut.
Perundingan penetapan garis batas ZEE RI-Filipina telah berlangsung sejak lama. Di tingkat
teknis forum Joint Permanent Working Group on Maritime and Ocean Concerns (JPWGMOC), perundingan telah berlangsung sejak tahun 2003 dan sampai saat ini telah
berlangsung dalam 7 (tujuh) putaran. Sebelum pertemuan JPWG-MOC kedelapan digelar,
beberapa pertemuan informal telah diadakan. Pertemuan terakhir yang dilakukan guna
mempersiapkan JPWG-MOC kedelapan adalah The Second Prepatory Meeting to the 8th
JPWG-MOC yang diadakan pada tanggal 7-9 Januari 2014.
Pada The Second Prepatory Meeting to the 8th JPWG-MOC tim teknis kedua negara telah
mencapai kesepakatan mengenai garis sementara batas ZEE RI-Filipina (Provisional
Exclusive Economic Zone Boundary Line or PEBL). PEBL yang disepakati ini masih bersifat
informal dan non-binding, sehingga masih perlu dikonsultasikan lebih lanjut kepada otoritas
yang lebih tinggi di masing-masing negara guna diperoleh mandate untuk disepakatinya garis
PEBL sebagai garis batas ZEE yang bersifat definitif (Exclusive Economic Zone Boundary
Line or EBL). Garis PEBL yang disepakati saat ini memberikan keuntungan yang lebih
besar bagi Indonesia karena garis batas tersebut memberikan luas perairan ZEE yang
lebih besar bagi Indonesia jika dibandingkan dengan Filippina.
Pertemuan terakhir antara Menteri Luar Negeri Indonesia dan Menteri Luar Negeri
Filipina dalam pertemuan keenam Komisi Gabungan Untuk Kerja Sama Bilateral (Joint
Commission for Bilateral Cooperation/JBC) Indonesia-Filipina pada 24 Februari 2014 yang
lalu, salah satunya menyepakati secara tentative dan sementara hasil penetapan batas laut
ZEE yang telah disepakati pada The Second Prepatory Meeting to the 8th JPWG-MOC.
Selanjutnya batas laut yang disepakati sementara ini diharapkan dapat disepakati oleh kedua
Kepala Negara pada kunjungan Presiden RI ke Manila pada Mei mendatang.
14.
Jelaskan keunikan batas maritime Indonesia dengan Australia di Laut timor terkait
perbedaan garis batas landas kontinen dan ZEE
Terkait batas maritim, ada beberapa hal penting yang perlu menjadi pertimbangan yaitu:
1. Ada tiga lokasi yang memerlukan penetapan atau delimitasi yaitu Selat Ombai, Selat
Wetar dan Laut Timor seperti terlihat pada Gambar 1.
batas maritime? Jika ada apakah terjadi pelanggaran? Jika belum ada, mengapa terjadi
penangkapan?)
Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, maka penentuan titik
dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap negara perlu diratifikasi berdasarkan aturan badan
internasional yang baru. Selama ini penarikan batas Landas Kontinen Indonesia dengan
Malaysia di Perairan Selat Malaka berpedoman pada Konvensi Hukum Laut 1958. MoU RI
dengan Malaysia yang ditandatangani pada 27 Oktober 1969 yang menetapkan Pulau Jara
dan Pulau Perak sebagai acuan titik dasar dalam penarikan Garis Pangkal jelas jelas
merugikan pihak Indonesia, karena median line yang diambil dalam menentukan batas landas
kontinen kedua negara tersebut cenderung mengarah ke perairan Indonesia. Tidak hanya itu,
Indonesia juga belum ada kesepakatan dengan pihak Malaysia tentang ZEE-nya. Penentuan
ZEE ini sangat penting dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan masing-masing
negara
-
Kaitannya dengan batas maritime adalah jelas bahwa antara Indonesia dan Malaysia
belum ada kesepakatan mengenai batas
Tidak ada pelanggaran hukum yang terjadi karena belum ada kesepakatan antar dua
pihak mengenai batas laut
10.
sebutkan dan jelaskan 3 permasalahan batas maritime Indonesia dengan Negara
tetangga beserta usulan penyelesaiannya
Perjanjian Republik Indonesia-Malaysia mengenai perbatasan di Selat Malaka dan
sengketa yang terjadi
Kesepakatan antara Indonesia dengan Malaysia mengenai Selat Malaka terdapat pada
Perjanjian antara Republik Indonesia dan Malaysia tentang penetapan garis batas laut
wilayah kedua negara di Selat Malaka. Isi perjanjian tersebut sesuai ketentuan pasal 1 ayat
2 Undang-undang No. 4 Prp. tahun 1960 yang menyatakan bahwa Jika ada selat yang
lebarnya tidak melebihi 24 mil laut dan negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya
negara tepi, maka garis batas laut wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat. Maka sesuai
kesepakatan bahwa, garis batas laut wilayah tersebut sesuai dengan garis batas landas
kontinen antara kedua negara di Selat Malaka yang mulai berlaku pada bulan November
1969.
Meskipun perjanjian bilateral mengenai perbatasan di Selat Malaka sudah disepakati,
namun masih terjadi sengketa antara kedua negara. Menurut Patroli Kementrian Kelautan
Perikanan (KKP), mereka berhasil menangkap dua kapal Malaysia yang sedang menangkap
ikan di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Selat Malaka. Hal ini tentu
merupakan pelanggaran karena memasuki wilayah Indonesia serta mengambil sumber daya
Indonesia secara ilegal. Namun ketika petugas Patroli Kementrian Kelautan dan Perikanan
(KKP) itu menangkap dua kapal Malaysia lalu di tengah perjalanan muncul tiga helikopter
Patroli Malaysia yang mengahalangi penangkapan tersebut, padahal dua kapal tersebut
memang melakukan kesalahan. Pada akhirnya helikopter Malaysia itupun berhenti
menghalangi karena pertugas Patroli Kementrian Kelautan Perikanan (KKP) Indonesia tidak
memerdulikan tiga helokopter tersebut. Kasus ini menunjukan tidak displinnya Malaysia
dalam menaati perjanjian yang sudah disepakati dan diperparah lagi dengan pembelaan
Patroli Malaysia padahal kapal tersebut jelas-jelas melanggar aturan.
Upaya penyelesaian :
Indonesia dan Malaysia memang sudah menetapkan garis batas landas kontinen tahun
1969 sehingga sudah adanya kejelasan dalam pembagian dasar laut dan kekayaan alam
misalnya kekayaan minyak, gas dll. Namun belum adanya kejelasan mengenai pembagian
tubuh air dan kekayaannya seperti ikan. Ketidakjelasan tersebut mengakibatkan Indonesia
dan Malaysia memiliki pengakuan masing-masing. Indonesia mengakui garis tengah antara
Indonesia dan semenanjung Malaysia sebagai garis batas ZEE. Malaysia mengakui secara
sepihak bahwa batas landas kontinen itu merupakan sekaligus garis batas ZEE, tentu
Indonesia tidak setuju dengan pengakuan itu karena belum diadakan kesepakatan mengenai
batas ZEE antar kedua negara. Contoh sengketa yang terjadi mengenai pengakuan atas
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) , sudah dijelaskan sebelumnya bahwa tidak adanya
kesepakatan sehingga pengakuan sepihak yang yang diakui negara Indonesia belum tentu
diakui negara Malaysia dan sebaliknya karena standar untuk menentukan pengakuan tersebut
berbeda. Pengakuan masing-masing negara yang belum disepakati ini juga mengakibatkan
adanya kawasan wilayah yang diakui oleh kedua negara sehingga jika salah satu negara
memasuki kawasan ini akan di anggap sebagai pelanggaran padahal belum adanya ketegasan
yang memastikan hal itu pelanggaran atau tidak. Maka sebaiknya dilakukan perundingan atau
negoisasi secara damai supaya tidak terjadi sengketa lebih lanjut.
Perjanjian Republik Indonesia-Papua New Guinea (PNG) mengenai perbatasan
wilayah beserta sengketa yang terjadi
Perjanjian yang disepakati yaitu pada tanggal 13 Desember 1980 di Jakarta,
Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Papua Nugini tentang
Batas-batas Maritim antara Republik Indonesia dan Papua Nugini dan Kerjasama tentang
Masalah-masalah yang bersangkutan yang menghasilkan kesepakatan garis-garis lurus
lateral yang menghubungkan enam titik batas di depan pantai selatan pulau Irian dan dua
buah titik batas di depan pantai utara pulau Irian.
Sengketa yang terjadi yaitu pihak Indonesia maupun PNG tidak menjalani perjanjian
yang telah disepakati yaitu dalam proses pembuatan penegasan pembatasan wilayah dari
perencanaan, pelaksanaan, dan penggambaran seharusnya dilakukan bersama-sama. Tetapi
kenyataan di lapangan tidak sesuai perjanjian, kedua pihak melakukan proses pembuatan
penegasan pembatasan masing-masing, meskipun hasil akhirnya tetap harus mendapat tanda
tangan oleh kedua negara. Desa Wara Smoll, Kabupaten Bintang secara hukum merupakan
wilayah NKRI namun ironisnya wilayah ini di tempati, diolah, dan dimanfaatkan oleh warga
PNG. Hal ini merupakan ancaman yang harus segera diselesaikan oleh negara Indonesia
karena kita tidak boleh membiarkan potensi alam kita dimanfaatkan oleh negara lain.
Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan masyaraka yang tinggal di perbatasan
menyebabkan masyarakat cenderung mengutamakan hukum tradisional yang berlaku
dibandingkan hukum pada negara masing-masing. Masih adanya keraguan mengenai
perbatasan yang akurat sehingga mengakibatkan kesalahan misalnya salah menangkap
nelayan asing yang sebenarnya berada di kawasan yang tepat menurut negara bersangkut,
menimbulkan konflik mengenai pengakuan potensi minyak secara sepihak.
Upaya penyelesaian :
Papua
New
Guinea
merupakan
daerah
kekuasaan
Australia
diselat
Malaka.
Hal
tersebut
di
sepakati
melalui
dan
Singapura
selama
ini
bersengketa
wilayah
dengan
Malaysia, sejak negeri jiran itu mengeluarkan peta wilayah tahun 1979
dengan
menarik
garis
kedaulatan
di
luar
ketentuan
hukum
laut
internasional.
Singapura dan Malaysia sempat membawa sengketa wilayah pulau karang
Pedra Branca dan Batu Puteh ke Makamah Internasional, yang berujung
pada kemenangan Singapura. Sebaliknya Indonesia dalam kasus serupa,
harus kehilangan Pulau Sipa dan Legitan pada Malaysia di Makamah
Internasional. Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo menyatakan
Singapura dan Malaysia saat ini pun masih bernegosiasi pasca putusan
Makamah Internasional. Singapura dan Malaysia saat ini masih dalam
tahap negosiasi menyelesaikan masalah batas karang, dan Singapura
tidak memiliki keberatan apapun atas keputusan Makamah Internasional,
termasuk untuk peta wilayah 1979, kata Yeo.