Anda di halaman 1dari 2

Anglo Norway Fisheries Case

Prinsip Hukum Internasional yang terdapat dalam kasus ini adalah penetapan “base line” zona
perikanan Norwegia. Base line merupakan garis pangkal yang dijadikan sebagai pedoman untuk menarik
garis zona perikanan sepanjang 3 mil atau 4 mil dari garis pangkal tersebut. Kedua Negara memiliki
kebiasaan internasional masing-masing mengenai peneatapan garis zona perikanan. 3mil diadopsi oleh
United Kingdom sedangkan jarak 4 mil diadopsi oleh Norwegia. Sehingga terjadi sengketa yang
membutuhkan Mahkamah Internasional untuk memutuskannya.

Hasil putusan dari Mahkamah Internasional diputuskan 18 Desember 1951. Dengan hasil putusan
yang memenangkan Norwegia dengan hasil voting 10 banding 2. Yang mendasari hasil putusan
Mahkamah Internasional ini adalah yang pertama, Mahkamah berpendapat bahwa penetapan yang
dilakukan Norwegia telah dilakukan dengan sungguh-sungguh dan diakui oleh Negara-negara lain
sehingga sesuai dengan Hukum Internasional. Kedua, Pertimbangan mahkamah berdasarkan atas bentuk
geografis negara Norwegia yang mempunyai corak yang khas, yaitu pantainya berliku-liku (fjord) dan
didepan pantai terdapat deretan pulau yang dalam bahasa Norwegia disebut “skjaergaard”. Skjaergaard
yang dimaksud masih memiliki hubungan territorial dengan dataran Norway, sehingga secara yuridis
masih menjadi wilayah kedaulatan Norwegia. Yang ketiga, Wilayah tersebut memiliki kepentingan
ekonomi bagi penduduka local Norwegia. Dimana wilayah tersebut kaya akan sumber perikanan yang
dijadikan mata pencaharian bagi nelayan-nelayan Norwegia.

Dari hasil putusan Mahkamah Internasional ini mempengaruhi bagi perkembangan Hukum
Internasional. Hasil putusan ini pada hakekatnya untuk memelihara kesatuan pulau-pulau di dekat
pantainya yang merupakan integral dari wilayah Norewgia sendiri. Karena dengan dimenangkannya
Norwegia dalam penetapan base line maka kebiasaan internasional dari Negara tersebut secara tidak
langsung diakui dan menjadi cikal bakal dikenalnya penetapan garis pangkal untuk Negara-negara yang
memiliki deretan pulau-pulau sepanjang pantainya. Pengaruh dari kasus ini juga terlihat dari adanya
Konvensi Jenewa. Kasus ini merupakan landmark Kebiasaan Internasional sehingga melahirkan Konvensi
Jenewa tahun 1958 dimana konvensi ini mengatur tentang tata cara penarikan garis pangkal.

Konvensi I Jenewa tahun 1958 mengenai laut teritorial dan jalur tambahan (Convention on the
Territoal Sea and Contiguous Zone) menetapkan bahwa apabila penarikan garis pangkal dari ujung ke
ujung diberlakukan maka tadinya laut yang merupakan laut lepas menjadi laut pedalaman di mana harus
ada hak lalu-lintas damai (right of innocent passage). Dari Konvensi Jenewa ini lahir pula Konvensi
hukum laut tahun 1982, sehingga kita mengenal 3 penarikan garis pangkal. Pertama, Garis pangkal biasa
yaitu garis air terendah sepanjang pantai pada waktu air sedang surut, yang mengikuti segala lukuk liku
(morfologi) pantai. Kedua, Garis Pangkal lurus yaitu garis air terendah yang menghubungkan titik-titik
pangkal berupa titik-titik terluar dari pantai daratan utama suatu negara atau dari pantai pada gugusan
pulau dimukannya. Ketiga, Garis pangkal lurus kepulaluan yaitu garis-garis air rendah yang
menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau dan karang kering terluar dari wilayah negara.

Disimpulkan dari kasus ini, maka dapat menimbulkan atau mempengaruhi Hukum Internasional
atau perkembangan Hukum Internasional di dunia. Contohnya Konvensi Jenewa tahun 1958 yang
menyantumkan tentang penarikan garis pangkal. Dan juga Konvensi Hukum Laut 1982 yang membuat
kita mengetahui atau mengenal 3 penarikan Garis Pangkal yaitu Garis pangkal biasa, Garis pangkal lurus,
dan Garis pangkal lurus kepulauan.i

i
http://muliadirusmana.blogspot.co.id/2011/01/anglo-norwegian-fisheries-case-tentang.html
https://tyosetiadilaw.wordpress.com/2010/05/06/anglo-norway-fisheries-case/

Anda mungkin juga menyukai