Anda di halaman 1dari 4

TUGAS

MATA KULIAH
HUKUM LAUT

“ ANGLO NORWEGIAN FISHERIES CASE “

Di buat Oleh
Nama : Toar Enjel Tangkere
No. Stambuk : D10119607
Kelas : A NonReg 2019
Ruang : BT3

Universitas Tadulako
Fakultas Hukum
Program Studi Ilmu Hukum
A. Kronologi Kasus

Kasus ini melibatkan antara Inggris dan Norwegia. Inggris menganggap


penetapan garis pangkal oleh Norwegia tidak sesuai dengan hukum internasional.
Dikarenakan Norwegia menetapkan garis pangkalnya dari skjaergaard.
Skjaergaard rmerupakan wilayah laut yang memisahkan pulau-pulau kecil,
gugusan fjord, dan karang. Sedangkan menurut Inggris penetapan garis pangkal
oleh Norwegia tidak sesuai dengan hukum internasional, karena seharusnya garis
pangkal ditarik dari daratan yang kering.
nggris membawa kasus ini ke mahkamah internasional dengan alasan utama
bahwa Inggris merasa dirugikan dalam penetapan garis pangkal zona perikanan
tersebut. Inggris merasa Norwegia salah dalam menetapkan base-line sehingga
dapat mengekploitasi daerah sejauh 4 miles yang memang kaya akan sumber daya
perikanan.

B. Masalah

Dalam pandangan Inggris (skaergaard) merupakan gugusan pulau-pulau yang


terletak di hadapan pantai Norwegia, tidak merupakan bagian dari daratan tetap
Norwegia. Inggris melakukan gugatan tentang cara penarikan garis pangkal lurus
sebagaimana ditetapkan dalam firman Raja (Royal Decree) tahun 1935 dengan
ketentuan Hukum Internasional yang berlaku karena baik Inggris maupun
Norwegia telah membuat deklarasi menerima Yurisdiksi, Mahkamah Internasional
di bawah optional clause maka dengan landasab itulah Inggris mengadukan
Norwegia ke Makamah Internasional dan meminta Mahkamah Internasional untuk
menegaskan bahwa cara penetapan garis pangkal yang dilakukan Norwegia
melanggar hukum dan asas-asas hukum Internasioanal. Dalam tuntutan itu Inggris
juga meminta ganti rugi atas kerugian bagi nelayan-nelayan Inggris yang ditahan
oleh Norwegia. Nelayan tersebut ditahan setelah Norwegia menegaskan daerah-
daerah tertentu tidak boleh melakukan pelayaran oleh warga Negara Asing,
penegsan ini dikeluarkan sekitar tahun 1911. Dalam sengketa ini Inggris tetap
berpendirian bahwa satu-satunya cara penetapan garis pangkal yang tepat dan
merupakan kaidah yang berlaku umum surut, Artinya garis luar laut terotirial
harus mengikuti segala liku-liku garis pangkal yang dalam hal ini sama benar atau
identik dengan garis pasang surut. Dalam menarik garis pangkal Norwegia tidak
boleh melebihi 10 mil.

C. Putusan Mahkamah Internasional

Pada proses pengadilan, kedua pihak sama-sama berpegang teguh pada prinsip
masing-masing. Namun Kerajaan Norwegia mengungkapkan dalam argumentasi-
argumentasi mereka bahwa faktor sejarah dari zona perikanan tersebut telah
disepakati oleh kedua belah pihak sejak berabad-abad yang lalu.
  Dasar Pertimbangan dan Putusan Mahkamah internasional akhirnya memutus
perkara ini pada 18 desember 1951 setelah dua tahun melewati proses
persidangan, dengan menghasilkan keputusan bahwa metode dan hasil dari
penetapan baseline oleh Norwegia berdasarkan dekritnya itu sesuai dengan hukum
internasional.
Pertimbangan mahkamah internasional adalah :
1.    Pertama, sudah menjadi hukum kebiasaan pada Norwegia sejak abad ke-17
daerah tersebut milik Norwegia.
2.      Kedua, bahwa skaejgaard yang dimaksud masih memiliki hubungan
territorial dengan daratan Noorwegia, sehingga secara yurisdiksi masih menjadi
wilayah kedaulatan Norwegia.
3.    Ketiga, bahwa wilayah tersebut memiliki kepentingan ekonomi dari penduduk
local Norwegia, dimana wilayah yang kaya akan sumber perikanan tersebut
dijadikan sumber matapencaharian bagi nelayan-nelayan Norwegia, sejak abad ke
17.
4.      Keempat adalah melihat kondisi geografis dari Norwegia sendiri yang
memang relief negaranya merupakan gugusan pegunungan dan pantai-pantainya
yang berkarang sehingga skaejgaard juga dianggap sebagai daratan.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut yang diambil oleh mahkamah internasional
untuk memutus bahwa kasus ini dimenangkan oleh Norwegia.

Dalam hal ini Mahkamah Internasional mempelajari tiga macam cara


penarikan garis pangkal yang berpedoman kepada asas pasang surut, antara lain :
Cara Trace Parallele dimana garis batas luar mengikuti segala liku dari pada
garis pasang surut.
Cara Arcs of Circles dimana lansung ditetapkan batas luar tanpa adanya garis
pangkal terlebih dulu. (cara ini dikesampingkan oleh Mahkamah Internasional
karna tidak relevan lagi).
Cara Straight Base Line (garis pangkal lurus) dimana garis pangkal ditarik tidak
tepat menurut garis pasang surut dengan segala likunya melainkan ditarik garis-
garis lurus yang menghubungkan titik-titik tertentu yang berada pada garis pasang
surut.
Kemudian sengketa ini diputuskan oleh Mahkmah Internasional yang dalam
keputusannya bahwa tidak sependapat dengan pihak Inggris bahwa penarikan
garis pangkal oleh Norwegia hanya dapat dibebankan sebagai suatu pengecualian.
Norwegia menarik garis lurus tidak lain dari pada suatu penetrapan dari pada
suatu kaidah Hukum Internasional yang berlaku umujm pada suatu kaidah
khusus. Mahkamah juga menolak pendapat Inggris dan tidak dapat menerima
dalil Inggris bahwa panjang garis pangkal yang ditarik Norwegia tidak boleh
melebihi 10 mil. Walaupun ukuran 10 mil memang dianut dalam praktek
beberapa Negara dalam perjanjian antara mereka dan disebut pula dalam
beberapa keputusan pewarisan arbitral awards ukuran 10 mil tidak merupakan
suatu kaidah Hukum Internasional yang berlaku umum. Mahkamah Internasional
berpendapat bahwa karenanya Norwegia dalam menarik garis tidak melanggar
putusan pada tahun 1936 tentang zona Perikanan

D. Analisis

Dari kasus ini general principles yang dapat diambil adalah bahwa
penetapan baseline atau garis pangkal laut territorial sebuah Negara pantai dapat
pula diambil dari gugusan pulau-pulau kecil yang masih mempunyai hubungan
territorial dengan daratan. Kasus ini juga dianggap sebagai sebagai salah
satu landmark dalam hukum kebiasaan internasional sehingga melahirkan
Konvensi Jenewa
Konvensi I Jenewa tahun 1958 mengenai laut teritorial dan jalur
tambahan (Convention on the Territoal Sea and Contiguous Zone) menetapkan
bahwa apabila penarikan garis pangkal dari ujung ke ujung diberlakukan maka
tadinya laut yang merupakan laut lepas menjadi laut pedalaman di mana harus ada
hak lalu-lintas damai (right of innocent passage). Dalam Konvensi I Jenewa tahun
1958 Pasal 4 ayat (1) menetapkan dalam hal-hal mana dapat dipergunakan sistem
penarikan garis pangkal lurus, yakni: (1) di tempat-tempat di mana pantai banyak
liku-liku tajam atau laut masuk jauh ke dalam dan (2) apabila terdapat deretan
pulau yang letaknya tak jauh dari pantai. Ayat 2, 3, dan 5 memuat syarat-syarat
yang harus diperhatikan di dalam menggunakan penarikan garis pangkal menurut
sistem garis pangkal lurus dari ujung ke ujung. Syarat pertama adalah bahwa
garis-garis lurus demikian tidak boleh menyimpang terlalu banyak dari arah
umum daripada pantai dan bahwa bagian laut yang terletak pada sisi dalam (sisi
darat) garis-garis demikian harus cukup dekat pada wilayah daratan untuk dapat
diatur oleh ketentuan perairan pedalaman (ayat 2). Syarat kedua adalah bahwa
garis-garis lurus tidak boleh ditarik di antara dua pulau atau bagian daratan yang
hanya timbul di atas permukaan air di waktu pasang surut (low-tide elevations)
kecuali apabila di atasnya telah didirikan mercusuar  atau instalasi-instalasi serupa
yang setiap waktu ada di atas permukaan air (ayat 3). Syarat ketiga adalah
penarikan garis pangkal tidak boleh dilakukan sedemikian rupa hingga
memutuskan hubungan laut wilayah negara lain dengan laut lepas ( ayat 5).
Ayat 4 dapat dianggap sebagai tambahan ketentuan ayat 1 menegenai
penetapan garis lurus sebagai garis pangkal.  Ayat ini menetapkan bahwa dalam
penetapan garis pangkal lurus dapat diperhatikan kebutuhan-kebutuhan istimewa
yang bersifat ekonomis daripada suatu daerah yang dapat dibuktikan oleh
kebiasaan-kebiasaan dan kebutuhan yang telah berlangsung lama.

Ketentuan dalam ayat 1 menunjukkan bahwa sistem garis pangkal lurus 


adalah cara penarikan garis pangkal istimewa yang dapat dipergunakan suatu
negara. Ketentuan ini berarti bahwa satu Negara dapat menggunakannya
disebagian pantainya, yang memenuhi syarat ayat 1. Dengan perkataan lain, suatu
Negara dapat menggunakan satu kombinasi pada sistem “normal base-line” dan
“straight base-line” .

E. Daftar Pustaka

[1] Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional,


Alumni, Bandung, halaman 144.

[2] J.G. Starke, An Introduction to International Law, dalam Yudha Bhakti


Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Op, Cit, halaman 24

[3] Tyo setiadi, “Anglo-Norway Fisheries  Case” Ibid

Anda mungkin juga menyukai