MATA KULIAH
HUKUM LAUT
Di buat Oleh
Nama : Toar Enjel Tangkere
No. Stambuk : D10119607
Kelas : A NonReg 2019
Ruang : BT3
Universitas Tadulako
Fakultas Hukum
Program Studi Ilmu Hukum
A. Kronologi Kasus
B. Masalah
Pada proses pengadilan, kedua pihak sama-sama berpegang teguh pada prinsip
masing-masing. Namun Kerajaan Norwegia mengungkapkan dalam argumentasi-
argumentasi mereka bahwa faktor sejarah dari zona perikanan tersebut telah
disepakati oleh kedua belah pihak sejak berabad-abad yang lalu.
Dasar Pertimbangan dan Putusan Mahkamah internasional akhirnya memutus
perkara ini pada 18 desember 1951 setelah dua tahun melewati proses
persidangan, dengan menghasilkan keputusan bahwa metode dan hasil dari
penetapan baseline oleh Norwegia berdasarkan dekritnya itu sesuai dengan hukum
internasional.
Pertimbangan mahkamah internasional adalah :
1. Pertama, sudah menjadi hukum kebiasaan pada Norwegia sejak abad ke-17
daerah tersebut milik Norwegia.
2. Kedua, bahwa skaejgaard yang dimaksud masih memiliki hubungan
territorial dengan daratan Noorwegia, sehingga secara yurisdiksi masih menjadi
wilayah kedaulatan Norwegia.
3. Ketiga, bahwa wilayah tersebut memiliki kepentingan ekonomi dari penduduk
local Norwegia, dimana wilayah yang kaya akan sumber perikanan tersebut
dijadikan sumber matapencaharian bagi nelayan-nelayan Norwegia, sejak abad ke
17.
4. Keempat adalah melihat kondisi geografis dari Norwegia sendiri yang
memang relief negaranya merupakan gugusan pegunungan dan pantai-pantainya
yang berkarang sehingga skaejgaard juga dianggap sebagai daratan.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut yang diambil oleh mahkamah internasional
untuk memutus bahwa kasus ini dimenangkan oleh Norwegia.
D. Analisis
Dari kasus ini general principles yang dapat diambil adalah bahwa
penetapan baseline atau garis pangkal laut territorial sebuah Negara pantai dapat
pula diambil dari gugusan pulau-pulau kecil yang masih mempunyai hubungan
territorial dengan daratan. Kasus ini juga dianggap sebagai sebagai salah
satu landmark dalam hukum kebiasaan internasional sehingga melahirkan
Konvensi Jenewa
Konvensi I Jenewa tahun 1958 mengenai laut teritorial dan jalur
tambahan (Convention on the Territoal Sea and Contiguous Zone) menetapkan
bahwa apabila penarikan garis pangkal dari ujung ke ujung diberlakukan maka
tadinya laut yang merupakan laut lepas menjadi laut pedalaman di mana harus ada
hak lalu-lintas damai (right of innocent passage). Dalam Konvensi I Jenewa tahun
1958 Pasal 4 ayat (1) menetapkan dalam hal-hal mana dapat dipergunakan sistem
penarikan garis pangkal lurus, yakni: (1) di tempat-tempat di mana pantai banyak
liku-liku tajam atau laut masuk jauh ke dalam dan (2) apabila terdapat deretan
pulau yang letaknya tak jauh dari pantai. Ayat 2, 3, dan 5 memuat syarat-syarat
yang harus diperhatikan di dalam menggunakan penarikan garis pangkal menurut
sistem garis pangkal lurus dari ujung ke ujung. Syarat pertama adalah bahwa
garis-garis lurus demikian tidak boleh menyimpang terlalu banyak dari arah
umum daripada pantai dan bahwa bagian laut yang terletak pada sisi dalam (sisi
darat) garis-garis demikian harus cukup dekat pada wilayah daratan untuk dapat
diatur oleh ketentuan perairan pedalaman (ayat 2). Syarat kedua adalah bahwa
garis-garis lurus tidak boleh ditarik di antara dua pulau atau bagian daratan yang
hanya timbul di atas permukaan air di waktu pasang surut (low-tide elevations)
kecuali apabila di atasnya telah didirikan mercusuar atau instalasi-instalasi serupa
yang setiap waktu ada di atas permukaan air (ayat 3). Syarat ketiga adalah
penarikan garis pangkal tidak boleh dilakukan sedemikian rupa hingga
memutuskan hubungan laut wilayah negara lain dengan laut lepas ( ayat 5).
Ayat 4 dapat dianggap sebagai tambahan ketentuan ayat 1 menegenai
penetapan garis lurus sebagai garis pangkal. Ayat ini menetapkan bahwa dalam
penetapan garis pangkal lurus dapat diperhatikan kebutuhan-kebutuhan istimewa
yang bersifat ekonomis daripada suatu daerah yang dapat dibuktikan oleh
kebiasaan-kebiasaan dan kebutuhan yang telah berlangsung lama.
E. Daftar Pustaka