Anda di halaman 1dari 10

TUGAS HUKUM INTERNASIONAL

RANGKUMAN PEMBAGIAN ZONA MARITIM DI WILAYAH LAUT


SERTA ANALISA KASUSNYA

Oleh :

Aulia Aprilia Sari


D1A021102
B1

ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2022
1. Laut teritorial
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut yang pertama (1958) dan kedua
(1960) di Jenewa tidak memecahkan permasalahan Iebar laut teritorial. Pada waktu itu, dalam
praktiknya penguasaan negara-negara maju terhadap perairan di sekitarnya menunjukkan
keanekaragaman, sehingga dalam menentukan Iebar laut tentorial tergantung pada kepentingan negara
yang bersangkutan. Pertentangan kepentingan negara terhadap arti laut mempunyai andil terhadap
terselenggaranya Konferensi Hukum Laut ketiga, sehingga konferensi ini menjadi wadah pembicaraan
masalah pertentangan kepentingan yang berakibat masing-masing negara pantai menetapkan Iebar laut
teritorialnya secara sepihak (Prijanto, 2007: 2-5). Konferensi PBB tentang Hukum Laut ketiga telah
berhasil menentukan Iebar laut teritorial maksimal 12 mil laut (pasal 3 United Nations Convention on
the Law of the Sea - UNCLOS) merupakan hak negara pantai untuk menetapkan Iebar laut teritorialnya
tidak melebihi 12 m11 laut, yang diukur dari garis pangkal. Selanjutnya, dalam pasal 4 UNCLOS
ditentukan pula batas terluar laut teritorial adalah garis yang jarak setiap titiknya dari titik yang terdekat
garis pangkal, sama dengan Iebar laut teritorial.

Penentuan Iebar laut teritorial ini sebagai bagian dari keseluruhan paket rejim-rejim Hukum Laut,
khususnya bersamaan dengan pelaksanaan:
1 . kebebasan transit melalui selat yang digunakan untuk pelayaran internasional;
2. kebebasan transit dan hak akses negara tanpa pantai ke dan dari laut;
3. tetap dihormatinya hak lintas damai melalui laut teritorial.

Ada pun rejim I aut teritorial memuat ketentuan, bahwa negara pantai mempunyai kedaulatan penuh atas
laut teritorial, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya, serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya. Hal ini dinyatakan dalam ketentuan pasal 2 UNCLOS, bahwa kedaulatan suatu
negara pantai, selain laut teritorial, juga meliputi ruang udara di atas laut teritorial, serta dasar laut, dan
tanah di bawahnya dari suatu wilayah daratan dan perairan pedalamannya. Dalam hal suatu negara
kepulauan adalah perairan kepulauannya sebagai laut teritorial.

Untuk mengetahui wujud laut teritorial, perlu diketahui batas-batasnya sebagai wujud nyata suatu laut
teritorial negara pantai menurut ketentuan UNCLOS sebagai berikut:
1. batas laut teritorial sesuai dengan ketentuan pasal 3 UNCLOS merupakan laut yang lebarnya tidak
melebihi 12 mil, diukur dari garis pangkal;
2. batas tertuar dari laut teritorial sesuai dengan ketentuan pasal 4 UNCLOS adalah garis yang
merupakan hasil dari titik-titik yang diukur dari garis pangkal, yang membentuk garis taut teritorial.

Batas ini merupakan batas kedaulatan teritorial negara pantai yang meliputi laut teritorial, termasuk
ruang udara di atasnya, dasar laut, beserta tanah di bawahnya, adalah bukan merupakan hak muttak,
karena negara pantai masih harus memberikan kesempatan untuk berlakunya hak tintas damai,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan bagian 3, sub bagian A, pasal 17 sampai dengan pasat 32
UNCLOS.
Kasus :
Pada sekitar tahun 1970 disepakati India–Sri Lanka maritime boundary agreements, sedangkan di sekitar
tahun 1960, India sedang mengadapi krisis finansial, maka dari itu India mencari solusi dengan
melakukan ekspor sumber daya laut. Oleh karena itu, pemerintah India memberikan subsidi kepada
masyarkat nelayan Tamil Nadu di daerah Rameswaram untuk menggunakan kapal – kapal yang pada
akhirnya berkembang menjadi trawler untuk kegiatan penangkapan ikan. Dari keputusan tersebut
pemerintah India berhasil mendapatkan keuntungan dari ekspor sumber daya laut. Sayangnya, trawler
ini menggunakan sistem penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Kapal ini menggunakan jaring
– jaring dengan bola besi yang dijatuhkan kedasar laut. Metode ini memang sangat efektif untuk
menangkap hasil laut termasuk udang, ikan, dan lainnya. Namun, sangat merusak dan menghancurkan
ekosistem bawah laut termasuk karang dan koral tempat ikan berkembang biak.

Kegiatan overfishing yang dilakukan dengan meode ini tentu saja berdampak pada berkurangnya atau
bahkan hilangnya sumber daya laut yang biasa dicari oleh masyarakat nelayan Tamil Nadu India. Hal ini
mendorong masyarakat nelayan Tamil Nadu untuk mencari wilayah lokasi baru untuk melakukan
penangkapan ikan hingga menuju wilayah perairan Sri Lanka. Ketika masyarakat nelayan India sedang
menikmati hasil ekspor laut, di sisi lain Sri Lanka sedang mengalami masalah perang saudara, yaitu
Liberation Tigers of Tamil Eelam/LTTE (Pemberontakan Macan Tamil) yang melibatkan orang – orang
Tamil dengan tujuan utama untuk mendirikan negara Tamil yang merdeka dan berdaulat di sebelah
timur laut Sri Lanka. Dalam masa perang tersebut, pemerintah Sri Lanka memberlakukan sistem
keamanan pengawasan area pantai dan laut serta melarang aktivitas penangkapan ikan dan penggunaan
kapal bermotor.

Analisa :
Penegakan Hukum Ilegal Fishing di Laut Teritorial Pelanggaran terhadap peraturan perundang-
undangan negara pantai terjadi di laut teritorial atau perairan pedalaman atau perairan kepulauan suatu
negara, maka sesuai dengan kedaulatan yang diberikan oleh pasal 2 UNCLOS 1982, negara pantai dapat
memberlakukan semua peraturan hukumnya bahkan hukum pidananya terhadap kapal tersebut. Asalkan
pelanggaran tersebut membawa dampak bagi negara pantai atau menganggu keamanan negara pantai
sebagaimana ditentukan dalam pasal 27 (1) UNCLOS 1982 (. Kasus pelanggaran di atas telah
disebutkan dalam pasal 27 (1) UNCLOS 1982 yang mana pelanggaran tersebut telah mengganggu
wilayah pantai. Yaitu aktivitas nelayan-nelayan di sekitar pantai.). Akan tetapi jika unsur-unsur yang
disebutkan dalam Pasal 27 (1) UNCLOS 1982 ini tidak terpenuhi, maka negara pantai tidak dapat
menerapkan yurisdiksi pidananya terhadap kapal tersebut. Luasnya kewenangan negara pantai untuk
menegakan hukumnya bagi kapal asing yang melakukan pelanggaran hukum di laut teritorial, perairan
pedalaman atau perairan kepulauan ini (memenuhi ketentuan pasal 27 ayat 1) adalah perwujudan dari
yurisdiksi teritorialitas.

2. Zona tambahan
Jalur ini merupakan jalur laut yang tidak melebihi 24 mil laut dari garis dasar laut teritorial diukur atau
12 mil laut setelah batas laut teritorial, yang diberikan hak, menurut UNCLOS, bagi negara pantai untuk
penerapan hukumnya dan sekaligus guna mencegah terjadinya pelanggaran. Dalam pengaturan lebarnya,
keberadaan zona ini dalam Konvensi Hukum Laut ketiga telah diperluas dari Iebar sebagaimana
menurut hukum laut klasik. Pengertian zona ini adalah suatu zona yang berbatasan dengan laut
teritorialnya, dinamakan zona tambahan, adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal33 ayat
(1) UNCLOS.

Ada perbedaan antara Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 dengan Konvensi PBB yang dihasilkan
pada Tahun 1958. Dalam Konvensi 1958 menentukan Iebar zona tambahan pada Iebar laut teritorial
diukur. Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 menentukan bahwa, dengan ditentukannya Iebar laut
tentorial maksimal 12 mil laut, maka Iebar zona tambahan adalah tidak melebihi atau maksimal 24
millaut diukur dari garis pangkal dari mana garis dasar laut teritorial ditentukan.

Di zona tambahan ini, negara pantai dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan, untuk:
1. mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang bea cukai, fiskal, keimigrasian, dan
kesehatan yang berlaku di negara pantai;
2. menindak pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai.

Kasus :
kasus illegal transshipment yaitu penangkapan kapal motor MV Norstar Panama pada tahun 1994
sampai 1998. MV Norstar itu terlibat dalam memasok gasoil (bahan bakar mesin diesel) untuk yacht
mega (kapal pesiar besar) di perairan zona tambahan laut teritorial Spanyol. Permohonan ini lebih lanjut
menyatakan bahwa MV Norstar ditangkap di Teluk Palma de Mallorca pada 24 September 1998 oleh
pejabat Spanyol, atas permintaan Italy, yang diduga karena telah dipasoknya minyak untuk yacht
mega (kapal pesiar besar) yang bertentangan dengan undang-undang Italy, terkait dengan pelanggaran
tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran transshipment yakni proses pemindahan muatan dari
satu kapal ke kapal lainnya yang terjadi di wilayah ZEE Spanyol yang memicu respon Italy untuk
melakukan langkah diplomatis dengan Spanyol menangkap kapal tersebut.

Analisa :
Penangkapan Terhadap kapal motor MV.Norstar ini sendiri telah melanggar ketentuan yang diatur
dalam UNCLOS 1982 seperti:
1. Penahanan dari barang-barang yang siap untuk diturunkan dari kapal dengan maksud untuk
diturunkan ke darat, penyitaan kapal yang mengangkut barang-barang demikian sudah
merupakah suatu yang dinamakan kebiasaan internasional.
2. Penyitaan dari pada barang-barang asal negara asing yang dipindahkan dari suatu kapal ke kapal
lainnya di tengah laut untuk diturunkan ke darat atau dimasukkan ke kapal lain yang ada di
pelabuhan
Kapal-kapal dalam melakukan transaksi apapun yang melanggar ketentuan hukum internasional atau
yang berkaitan dengan illegal transshipment di wilayah laut suatu negara harus menaati segala ketentuan
yang berlaku diwilayah negara tersebut. Akan tetapi, yang terjadi terhadap kapal Juno trader dan
kapal MV.Norstar dalam hal ini telah melakukan tindakan illegal transshipment yang telah diatur dalam
Pasal 21 UNCLOS 1982.
Pasal 21 UNCLOS 1982 berkaitan dengan Pasal 19 Ayat 2 UNCLOS 1982 yang mendasari bahwa
setiap kapal berbendera asing harus dianggap telah merugikan dan membahayakan kedamaian,
ketertiban negara pantai jika di laut teritorial terdapat beberapa atau salah satu jenis pelanggaran terkait
dengan kegiatan yang diatur dalam pasal 19 dan 21 UNCLOS 1982.
Dari ketentuan Pasal 19 point G dan I dapat dikemukakan bahwa: Pertama, lintasan itu damai selama
tidak merugikan kedamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai. Kedua, Pasal 19 point b
menyebutkan suatu daftar tentang kegiatan-kegiatan yang menyebabkan lintas kapal asing dianggap
tidak damai. Dari ketentuan jelas bahwa kapal Juno Trader dan kapal MV.Norstar dianggap telah
melanggar Pasal 19 Ayat 2 karena dianggap merugikan negara pantai dengan melakukan illegal
transshipment di zona tambahan dan ZEE negara pantai yang dengan tindakan tersebut berupa
pemindahan muatan dari satu kapal ke kapal lainnya yang tentunya merupakan pelanggaran terhadap
hukum nasional negara yang bersangkutan dan melanggaran beberapa pasal dari UNCLOS 1982.
kasus penangkapan kapal MV Norstar  seperti yang telah dijelaskan diatas, membuktikan bahwa
terdapat tindakan represif yang jelas melanggar ketetuan Pasal 27 ayat (1) UNCLOS 1982 menjelaskan
bahwa: Yurisdiksi kriminal Negara pantai tidak dapat dilaksanakan di atas kapal asing yang sedang
melintasi laut teritorial zona tambahan untuk menangkap siapapun atau untuk mengadakan penyidikan
yang bertalian dengan kejahatan apapun yang dilakukan di atas kapal selama lintas demikian, kecuali
dalam hal yang berikut : (a) apabila akibat kejahatan itu dirasakan di Negara pantai; (b) apabila
kejahatan itu termasuk jenis yang mengganggu kedamaian Negara tersebut atau ketertiban laut wilayah;
(c) apabila telah diminta bantuan penguasa setempat oleh nakhoda kapal oleh wakil diplomatik atau
pejabat konsuler Negara bendera; atau (d) apabila tindakan demikian diperlukan untuk menumpas
perdagangan gelap narkotika atau bahan psychotropis.

3. Zona ekonomi ekslusif


Sebagaimana diketahui, bahwa kepentingan ekonomi negara pantai yang mendasari keinginan untuk
dapat melakukan eksploitasi dan eksplorasi perairan telah menciptakan suatu zona khusus dalam
ketentuan UNCLOS, sebagai perluasan perairan yang dapat didasari hak namun juga pembatasan hak
terhadap keberlakuannya atas adanya kebebasan negara lainnya yang harus dihormati oleh negara pantai
di perairan yang dimaksud. Keberadaan zona ini merupakan kompromi terhadap keinginan radikal
dalam pengaturan hukum laut, terhadap permasalahan-permasalahan kepentingan perluasan hak negara
pantai untuk dapat melakukan eksploitasi perairannya yang menghendaki penguasaan hingga 200 mil
laut dan penerapan hak perikanan yang terbatas di luar laut teritorial 3 mil laut sehingga tetap dapat
menggunakan seluas-luasnya kebebasan di laut lepas
Ketentuan pasal 55 UNCLOS, menentukan zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah di luar dan
berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rejim hukum khusus yang ditetapkan
berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan negara
lain. Untuk itu, Iebar zona ini dalam ketentuan pasal 57 UNCLOS, menentukan bahwa zona ekonomi
eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari mana Iebar laut teritorial diukur.

Zona ekonomi eksklusif yang dimaksud adalah .. tidak tunduk pada kedaulatan penuh negara pantai,
namun negara pantai hanya dapat melakukan pengelolaan perairan berdasar atas hak. berdaulat •. yang
juga memberikan hak kebebasan bag1 negara lamnya, sehingga hak kebebasan sebagaimana dimaksud
pasal 58 UNCLOS tentang hak dan kewajiban negara lain dan ketentuan Bab VII bagian 1 UNCLOS
berlaku pada zona ini. Oengan demikian, berdasarkan ketentuan ter~ebut~ sebenarnya zona ini
menyerupai laut lepas yang d1lekat1 dengan hak berdaulat negara pantai, sehingga dalam zona ini
berlakulah prinsip sui generis bagi negara pantai, yang tidak demikian halnya dengan laut lepas yang
sebenarnya, yang tidak dapat dimiliki oleh suatu negara manapun.

Jika negara pantai membangun pulau buatan, instalasi dan bangunan lainnya, maka berdasar ketentuan
pasal 60 UNCLOS ayat (8) bangunan tersebut tidak mempunyai status pulau, sehingga tidak berhak atau
mempunyai taut teritorial sendiri, dan kehadirannya tidak mempengaruhi penetapan batas laut teritorial,
zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen dan terhadapnya hanya dapat ditentukan zona keselamatan
yang tidak melebihi 500 meter di sekeliling bangunan yang diukur dari setiap titik terluarnya.

Kasus :
Pada minggu, 1 november 2020 sekitar pukul 14.48 WIB. Saat petugas dari Badan Keamanan Laut
(Bakamla) RI melakukan patroli di perairan Natuna Utara, mereka mendapati dua kapal berbendera
Vietnam sedang melakukan pencurian ikan. Mengetahui hal itu, Komandan KN Pulau Nipah 321 Letkol
Bakamla Anto Hartanto langsung melakukan upaya penghadangan dan penangkapan.

kasus penangkapan dua kapal Vietnam itu berawal saat Operasi Cegah Tangkal 2020 dilakukan di
wilayah tersebut. Sesaat kemudian, Komandan KN Pulau Nipah 321 Letkol Bakamla Anto Hartanto
mendeteksi kontak radar dari kapal ikan asing itu. Saat dilihat menggunakan teropong, terlihat para
awak di kapal tersebut sedang berusaha memotong jaring untuk menangkap ikan. Mengetahui hal itu,
Komandan KN Pulau Nipah 321 langsung meningkatkan kecepatan untuk menuju ke lokasi kapal
tersebut. Melihat kedatangan petugas, kapal ikan Vietnam dengan nomor lambung TG 9583 TS sempat
berusaha kabur. Namun berkat kesigapan petugas saat itu, mereka akhirnya berhasil diamankan. Saat
dilakukan pemeriksaan awal, kapal tersebut membawa serta 20 orang anak buah kapal (ABK), dan
palkanya terisi setengah dengan jenis ikan campuran. Penangkapan kapal kedua Setelah mengamankan
satu kapal ikan asing asal Vietnam itu, petugas Bakamla kembali mendeteksi keberadaan KIA baru lagi
yang diduga melakukan tindakan serupa tak jauh dari lokasi tersebut. Setelah dilakukan pengejaran, KN
Pulau Nipah 321 akhirnya berhasil mengamankan kapal ikan asing lainnya asal Vietnam dengan nomor
lambung TG 9489 TS. Untuk kesekian kalinya, KIA asal Vietnam berhasil diamankan karena dicurigai
melakukan tindak penangkapan ikan secara ilegal. Setelah dilakukan pemeriksaan, kapal kedua yang
diamankan itu juga diketahui memuat hasil tangkapan ikan campur dan membawa lima orang ABK.

Analisa :
Masalah kedaulatan wilayah merupakan masalah sensitif. Tidak ada negara yang rela kehilangan
sejengkal wilayahnya. Karena itu, masalah perbatasan tidak didiamkan. Masalah perbatasan berpotensi
besar menimbulkan konflik. Dalam kasus Natuna yang diklaim secara sepihak oleh pemerintah
Tiongkok mengindikasikan bahwa kekuatan dan pertahanan nasional dalam hal kedaulatan Negara
masih memiliki kekurangan dan celah yang bisa dimanfaatkan oleh Negara lain. Disisi lain pemerintah
Tiongkok juga terlalu percaya diri dengan pengkklaiman yang dilakukannya atas wilayah Natuna.
Dimasukannya wilayah Natuna kedalam Zona Ekonomi Eksklusifnya Tiongkok memberikan masalah
baru kepada Indonesia meskipun kasus ini sudah lama bergulir. Kasus ini semakin membuat pemerintah
Indonesia geram yakni dengan adanya kapal Tiongkok yang berlabuh dan memasuki wilayah laut
Indonesia tanpa izin. Serta beberapa kasus pencurian ikan yang dilakukan Negara ini diatas perairan
wilayah Indonesia,

Dalam kasus ini, sebenarnya Indonesia berada diposisi yang kuat daripada Tiongkok yang hanya
mendasarkan pada aturan nine dash line itu. Apalagi ditambah dengan polah Tiongkok yang selama ini
kerap melanggar zona eksklusif perairan Indonesia, selain itu juga dengan beberapa kali tersangkut
masalah illegal fishing yang dilakukan oleh masyarakat Tiongkok terhadap perairan Indonesia dan kapal
China yang masuk dalam wilayah perairan Indonesia dan tanpa seizin dari pihak Indoensia dan tindakan
ini jelas melanggar Undang-Undang ZEE Nomor 5 Tahun 1983 khususnya dalam Pasal 7. Dalam pasal
ini dijelaskan bahwa barang siapa melakukan kegiatan di perairan wilayah Indonesia harus mendapat
persetujuan dari pemerintah Indonesia

jika mengacu pada UNCLOS 1982 maka ada peraturan yang mengatur segala macam peraturan
mengenai wilayah kedaulatan Perairan dan wilayah laut Indonesia berdasarkan Pasal 73 UNCLOS
Indonesia sebagai "coastal state" memiliki hak untuk mengekplorasi, ekploitasi, konservasi dan
mengkontrol sumber daya alam pada wilayah ZEE."Indonesia juga berhak untuk melakukan tindakan
seperti "boarding", inspeksi penahanan dan melakukan proses hukum untuk menegakkan hukum
penangkapan ikan.

Berdasarkan Pasal 58 ayat 3 UNCLOS, negara-negara lain harus menghormati dan melaksanakan aturan
yang diterapkan oleh Indonesia sebagai 'coastal state'. untuk menggunakan lautnya sebagai mata
pencaharian pokok yang sudah berlangsung puluhan atau ratusan tahun. Namun, jika wilayah tradisional
tersebut melampaui teritorial wilayah negara lain, maka harus ada agreement atau persetujuan bilateral
lebih dahulu dari negara-negara tersebut agar teritorialnya boleh digunakan oleh nelayan tradisional
tersebut. Sepanjang tidak ada agreement atau persetujuan bilateral antar-negara maka hak nelayan
tradisional (traditional fishing rights) untuk melaut di teritorial negara lain tetap dikategorikan sebagai
perbuatan illegal fishing.
4. Laut lepas
Laut lepas adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI), laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia, dan perairan pedalaman Indonesia.
Berbeda dengan konvensi jenewa 1958 tentang Laut Lepas yang menetapkan laut lepas dimulai dari
batas terluar laut teritorial, konvensi ini menetapkan bahwa laut lepas tidak mencakup zona ekonomi
eksklusif, laut teritorial, perairan pedalaman dan perairan kepulauan.

Kecuali perbedaan-perbedaan tersebut, pada dasarnya tidak terdapat perbedaan antara konvensi jenewa
1958 tentang Laut Lepas dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut mengenai hak-
hak dan kebebasan di Laut Lepas,

Kebebasan tersebut harus dilaksanakan oleh setiap negara dengan mengindahkan hak negara lain dalam
melaksanakan kebebasan di laut lepas. Di samping mengatur hak-hak kebebasan di laut lepas, konvensi
ini juga mengatur masalah konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di laut lepas yang
dahulu diatur dalam konvensi Jenewa 1958 tentang Perikanan dan konservasi sumber kekayaan hayati di
laut lepas.

Kasus :
Perkembangan kasus yang terjadi di laut lepas semakin beragam dari mulai Illegal Fishing hingga
modus yang terbaru yakni Illegal Transhipment. Tindakan yang dilakukan oleh kapal penangkap ikan
berupa illegal transhipment sebenarnya bentuk lain dari illegal fishing karena modusnya hampir mirip,
bedanya yakni illegal transhipment dilakukan dilaut lepas dengan modus menggunakan kapal pencari
ikan, tapi jika kapal pencari ikan ini penuh maka akan melakukan alih muatan dengan kapal induk yang
sudah menunggu di laut lepas.
Satgas telah menetapkan SM, nakhoda KM Fransisca dari PT BSM dan Dirut PT BSM, RSL sebagai
tersangka atas temuan 3 modus tersebut. RSL merupakan salah satu pengusaha kapal perikanan di Bali.
Kapal yang dibuat perusahaan RSL terdiri atas buatan dalam negeri dan luar negeri.

SM ditahan pada 20 Agustus 2016 sedangkan RSL ditahan bersama dengan Direktur PT BSM, IKR
pada 22 Agustus 2016. Tersangka disangkakan melanggar UU nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 2 miliar. Belum dijelaskan
nasib IKR atas kasus ini.

Analisa :
Pada prakteknya, permasalahan illegal transhipment tersebut sudah menjadi atensi organisasi dunia dan
regional sebagai salah satu contoh bentuk kejahatan Transnasional yang merugikan banyak negara
pantai dan tentu mengancam keberlangsungan sumber daya perikanan.
Berdasarkan prinsip kebebasan (freedom), hampir semua negara baik negara berpantai atau tidak, dapat
memanfaatkan laut lepas dengan syarat memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh konvensi atau
ketentuan hukum internasional lainnya. Menurut Pasal 87 UNCLOS 1982, meliputi : 1) Freedom of
navigation; 2) Freedom of overflight; 4) Freedom to lay submarine cables and pipelines, subject to Part
VI; 5) Freedom to construct artificial islands and other installations permitted under international law,
subject to Part VI; 6) Freedom of fishing, subject to the conditions laid down in section 2; and 7)
Freedom of scientific research, subject to Parts VI and XIII. Dari ketujuh Kebebasan tersebut harus
dilaksanakan oleh setiap negara dengan memperhatikan hak negara lain dalam melakukan hak
kebebasan di laut lepas berdasarkan syarat yang telah ditentukan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 dan
ketentuan lain dalam Hukum Internasional.

Selanjutnya, berbicara mengenai kriteria praktik illegal transhipment di laut lepas menurut United
Nations Convention Against Transnational Organized Crime And The Protocols Thereto/ UNTOC
sebagai Kejahatan Internasional Terorganisi, sebagai berikut: 1) Kelompok penjahat terorganisasi,
kelompok terstruktur yang terdiri atas 3 (tiga) atau lebih banyak orang, dengan maksud dan tujuan untuk
memperoleh keuntungan yang sebesarbesarnya. Kapal pengepul yang mengumpulkan hasil tangkapan
dari nelayan kecil bekerjasama, perusahaan membeli ikan langsung dari nelayan di laut, lalu ditampung
dalam kapal yang dilengkapi dengan cold storage, perusahaan memberikan modal kerja. Kapal
penangkap ikan dalam satu perusahaan atau manajemen memindahkan ikan di laut setelah muatan penuh
ke kapal pengangkutan dengan daya muat ribuan ton dan ikan langsung di bawa ke luar negeri atau
dipindahkan di pelabuhan pangkalan lalu ikan langsung diangkut oleh pengangkut ke luar negeri, 3)
Kejahatan serius, melakukan kegiatan tindak pidana penangkapan ikan secara illegal, 4) Properti,
penggunaan dokumen palsu atau dokumen kapal lain, tidak sahnya surat laut kapal, pelanggaran
kemudahan khusus keimigrasian, tenaga kerja asing yang tidak memiliki izin kerja, mengubah kapal
asing seolah-olah menjadi kapal buatan dalam negeri, dan kapal asing tidak melakukan deregistrasi
(tidak lapor ulang) dikarenakan pemilik kapal tidak dapat memenuhi persyaratan untuk menunjukkan
validitas serta legalitas dokumen kapal, terakhir 5) Hasil kejahatan, melanggar ketentuan peraturan
penangkapan ikan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Tirtamulia, Tjondro.2011. Zona-Zona Laut UNCLOS. Surabaya : Brillian Internasional.
2. Heryandi. 2015. Hukum Laut Internasional. Bandar Lampung : Justice Publisher.
3. Darwis, Muhammad.2015. Hukum Laut Dalam Konsepsi Hukum Indonesia. Pekanbaru : Suska
Press
4. Rehatta, Veriena J. B. Penyelesaian Sengketa Perikanan Di Laut Lepas Menurut Hukum
Internasional. Jurnal Sasi Vol. 20 No.1 Bulan Januari - Juni 2014

Anda mungkin juga menyukai