Guru Besar FH Unhas SEJARAH HUKUM LAUT Konferensi Internasional utama yang membahas masalah laut teritorial ialah “codification conference” (13 Maret – 12 April 1930) di Den Haag, di bawah naungan Liga Bangsa Bangsa, dan dihadiri delegasi dari 47 negara. Konferensi ini tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari laut teritorial dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai pada zona tambahan. Ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), 6 mil (12 negara), dan 4 mil (15 negara). Lanjutan… Setelah perdebatan panjang dan tidak menemukan kata sepakat diantara negara-negara yang bersengketa tentang wilayah maritim, maka PBB mengadakan konferensi hukum laut pertama pada tahun 1958, dan konferensi hukum laut yang kedua pada tahun 1960 yaitu yang lebih dikenal dengan istilah UNCLOS 1 dan UNCLOS 2. KONFERENSI HUKUM LAUT I (1958) Konvensi tentang laut teritorial dan Jalur tambahan (convention on the territorial sea and contiguous zone) belum ada kesepakatan dan diusulkan dilanjutkan di UNCLOS II. Konvensi tentang laut lepas (convention on the high seas), yaitu : Kebebasan pelayaran, Kebebasan menangkap ikan, Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa, dan Kebebasan terbang di atas laut lepas. Konvensi tentang perikanan dan perlindungan sumber- sumber hayati di laut lepas (convention on fishing and conservation of the living resources of the high sea) . Konvensi tentang landas kontinen (convention on continental shelf). KONVENSI HUKUM LAUT II (1960) Pada tanggal 17 Maret – 26 April 1960 kembali dilaksanakn konferensi hukum laut yang kedua atau UNCLOS II, membicarakan tentang lebar laut teritorial dan zona tambahan perikanan, namun masih mengalami kegagalan untuk mencapai kesepakatan, sehingga perlu diadakan konferensi lagi. Pada pertemuan konferensi hukum laut kedua, telah disapakati untuk mengadakan kembali pertemuan untuk mencari kesepakatan dalam pengaturan kelautan maka diadakan kembali Konferensi Hukum Laut PBB III atau UNCLOS III yang dihadiri 119 negara KONDISI PERAIRAN INDONESIA Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie1939 (Staatsblad 1939 No. 422) atau yang biasa disingkat dengan Ordonantie 1939, wilayah laut dalam suatu pulau di Nusantara memiliki ketetapan hukum yang diakui secara internasional. Ordonantie 1939 menetapkan bahwa jarak laut teritorial bagi tiap-tiap pulau sejauh tiga mil. Peraturan ini, memunculkan ’kantong-kantong’ lautan bebas di tengah-tengah wilayah negara yang membuat kapal-kapal asing dapat berlayar secara bebas. Ordonansi itu juga berlaku bagi kapal-kapal perang Belanda yang tidak mungkin dilarang oleh Indonesia. Kapal-kapal Belanda dapat dengan bebas menjelajahi perairan laut di antara pulau-pulau di Indonesia karena memang hukum laut internasional yang berlaku saat itu masih memungkinkannya. Indonesia tidak memiliki hak untuk melarangnya apalagi kekuatan Angkatan Laut Indonesia masih jauh ketinggalan dengan Belanda. DEKLARASI DJUANDA 13 DESEMBER 1957 ”segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau- pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia. Lalu- lintas yang damai diperairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia”. ISI DEKLARASI DJUANDA (13 DESEMBER 1957) Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan : a. untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat. b. Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan azas negara Kepulauan. c. Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI. Peta Batas Wilayah Indonesia Berdasarkan TZMKO 1939 (sebelum Deklarasi Djoeanda) PETA PERAIRAN INDONESIA SETELAH DEKLARASI DJUANDA KONVENSI HUKUM LAUT 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) telah diterima baik oleh Konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Ketiga di New York pada tanggal 30 April 1982 dan telah ditandatangani oleh Negara Republik Indonesia bersama-sama seratus delapan belas penandatangan lain di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982. United Nations Convention on the Law of the Sea mengatur rejim-rejim hukum laut, termasuk rejim hukum Negara Kepulauan secara menyeluruh dan dalam satu paket. Rejim hukum Negara Kepulauan mempunyai arti dan peranan penting untuk memantapkan kedudukan Indonesia sebagai Negara Kepulauan dalam rangka implementasi Wawasan Nusantara. Konvensi Hukum Laut 1982 telah Diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law of The Sea. REJIM NEGARA KEPULAUAN Yang dimaksud dengan "Negara Kepulauan" menurut Konvensi Hukum Laut 1982 adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Konvensi menentukan pula bahwa gugusan kepulauan berarti suatu gugusan pulau-pulau termasuk bagian pulau, perairan diantara gugusan pulau-pulau tersebut dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga gugusan pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya tersebut merupakan suatu kesatuan geografi dan politik yang hakiki, atau secara historis telah dianggap sebagai satu kesatuan demikian. PENARIKAN GARIS PANGKAL KEPULAUAN Negara Kepulauan dapat menarik garis dasar/pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa : di dalam garis dasar/pangkal demikian termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara daerah perairan dan daerah daratan, termasuk atol, adalah antara satu berbanding satu (1 : 1) dan sembilan berbanding satu (9 : 1); panjang garis dasar/pangkal demikian tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali bahwa hingga 3 % dari jumlah seluruh garis dasar/pangkal yang mengelilingi setiap kepulauan dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga pada suatu kepanjangan maksimum 125 mil laut; penarikan garis dasar/pangkal demikian tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum Negara Kepulauan. Negara Kepulauan berkewajiban menetapkan garis-garis dasar/pangkal kepulauan pada peta dengan skala yang cukup untuk menetapkan posisinya. Peta atau daftar koordinat geografi demikian harus diumumkan sebagaimana mestinya dan satu salinan dari setiap peta atau daftar demikian harus didepositkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. HAK-HAK NEGARA KEPULAUAN Dalam "perairan kepulauan" berlaku hak lintas damai (right of innocent passage) bagi kapal-kapal negara lain. Namun demikian Negara Kepulauan dapat menangguhkan untuk sementara waktu hak lintas damai tersebut pada bagian-bagian tertentu dari "perairan kepulauannya" apabila di anggap perlu untuk melindungi kepentingan keamanannya. Negara Kepulauan dapat menetapkan alur laut kepulauan dan rute penerbangan di atas alur laut tersebut. Kapal asing dan pesawat udara asing menikmati hak lintas alur laut kepulauan melalui alur laut dan rute penerbangan tersebut untuk transit dari suatu bagian Laut Lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif ke bagian lain dari Laut Lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Lanjutan… Alur laut kepulauan dan rute penerbangan tersebut ditetapkan dengan menarik garis poros. Kapal dan pesawat udara asing yang melakukan lintas transit melalui alur laut dan rute penerbangan tersebut tidak boleh berlayar atau terbang melampaui 25 mil laut sisi kiri dan sisi kanan garis poros tersebut. Sekalipun kapal dan pesawat udara asing menikmati hak lintas alur laut kepulauan melalui alur laut dan rute penerbangan tersebut, namun hal ini di bidang lain daripada pelayaran dan penerbangan tidak boleh mengurangi kedaulatan Negara Kepulauan atas air serta ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya dan sumber kekayaan di dalamnya. Negara Kepulauan berkewajiban pula menghormati hak-hak tradisional penangkapan ikan dan kegiatan lain yang sah dari negara-negara tetangga yang langsung berdampingan, serta kabel laut yang telah ada di bagian tertentu perairan kepulauan yang dahulunya merupakan Laut Lepas. Hak-hak tradisional dan kegiatan lain yang sah tersebut tidak boleh dialihkan kepada atau dibagi dengan negara ketiga atau warganegaranya. Peta Perairan Indonesia Berdasarkan UU No. 6 Tahun 1996 Peta Alur Laut Kepulauan Indonesia REJIM LAUT TERITORIAL Negara pantai mempunyai kedaulatan penuh atas Laut Teritorial, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam Laut Teritorial berlaku hak lintas laut damai bagi kendaraan- kendaraan air asing. Pelayaran lintas laut damai tersebut harus dilakukan secara terus menerus, langsung serta secepatnya, sedangkan berhenti dan membuang jangkar hanya dapat dilakukan bagi keperluan navigasi yang normal atau kerena keadaan memaksa (force majeure) atau dalam keadaan bahaya atau untuk tujuan memberikan bantuan pada orang, kapal atau pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya. Negara pantai berhak membuat peraturan tentang lintas laut damai yang berkenaan dengan keselamatan pelayaran dan pengaturan lintas laut, perlindungan alat bantuan serta fasilitas navigasi, perlindungan kabel dan pipa bawah laut, konservasi kekayaan alam hayati, pencegahan terhadap pelanggaran atas peraturan perikanan, pelestarian lingkungan hidup dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran, penelitian ilmiah kelautan dan survei hidrografi dan pencegahan pelanggaran peraturan bea cukai, fiskal, imigrasi dan kesehatan. REZIM ZONA TAMBAHAN
Di Zona Tambahan negara pantai dapat
melaksanakan pengawasan dan pengendalian yang perlu, untuk : Mencegah pelanggaran terhadap peraturan perundangundangannya di bidang bea cukai, fiskal, keimigrasian dan kesehatan yang berlaku di wilayah darat dan Laut Teritorial negara pantai; Menindak pelanggaran-pelanggaran atas peraturan perundang-undangan tersebut yang dilakukan di wilayah darat dan Laut Teritorial negara pantai. REZIM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Di Zona Ekonomi Eksklusif, negara pantai mempunyai: hak berdaulat untuk tujuan eksploirasi, eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati di ruang air dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi zona ekonomi eksklusif tersebut seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin; Yurisdiksi yang berkaitan dengan pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya, penelitian ilmiah dan perlindungan serta pelestarian lingkungan laut; kewajiban untuk menghormati kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional, pemasangan kabel atau pipa bawah laut menurut prinsip hukum internasional yang berlaku di Zona Ekonomi Eksklusif; Kewajiban untuk memberikan kesempatan terutama kepada negara tidak berpantai atau negara yang secara geografis tidak beruntung untuk turut serta memanfaatkan surplus dari jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan. Lanjutan…
Negara-negara tanpa pantai dan negara-negara
yang secara geografis tidak beruntung baru dapat menerima penetapan lebar Laut Teritorial maksimal 12 mil laut dan Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200 mil laut dengan ketentuan bahwa mereka memperoleh kesempatan untuk turut serta memanfaatkan surplus dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Mereka mempunyai hak transit ke dan dari laut melalui wilayah negara pantai/negara transit. REZIM LANDAS KONTINEN Landas kontinen di atur oleh Pasal 76-85 Konvensi Hukum Laut 1982 yang di dalamnya terdapat pengertian landas kontinen, hak negara pantai di landas kontinen, penetapan batas landas kontinen oleh setiap negara, pembuatan peta dan koordinat geografis dan menyampaikan ke Sekretaris Jenderal PBB. Pengertian landas kontinen menurut Pasal 76 Konvensi Hukum Laut 1982 adalah sebagai berikut : 1. The continental shelf of a coastal state comprises the sea-bed and subsoil of the submarine areas that extend beyond it’s teritorial sea throughout the natural prolongation of its land territory to the outer edge of the coninentl margin, or to a distance of 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured where the outer edge of the continental margin does not extend up to that distance. 2. The fixed points compising the line of the outer limits of the continental shelf on the sea-bed, drawn in accordance with paragraph 4 (a) (i) and (ii), either shall not exceed 350 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured or shall not exceed 100 nautical miles from the 2,500 metre isobath, which is a line connecting the depth of 2,500 metres Lanjutan…. Pengertian Landas kontinen menurut Pasal 76 ayat (1), ayat (2) Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut adalah landas kontinen yang meliputi sebagai berikut : 1. dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang adanya kelanjutan ilmiah dari wilayah daratannya sampai ke pinggiran tepi kontinen; atau 2. dasar laut dan tanah di bawahnya sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal di mana laut teritorial diukur; 3. landas kontinen dimungkinkan mencapai 350 mil laut dari garis pangkal di mana laut teritorial diukur; atau 4. tidak melebihi 100 mil laut dari kedalaman (isobath) 2500 meter. REZIM LANDAS KONTINEN Jarak sampai 200 mil laut jika tepian luar kontinen tidak mencapai jarak 200 mil laut tersebut; Kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar kontinen yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 mil laut yang diukur dari garis dasar Laut Teritorial jika di luar 200 mil laut masih terdapat daerah dasar laut yang merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan dan jika memenuhi kriteria kedalaman sedimentasi yang ditetapkan dalam konvensi; atau Tidak boleh melebihi l00 mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2500 meter. Landas Kontinen Menurut Konvensi Hukum Laut 1982 Lanjutan… Indonesia diperkirakan memiliki potensi untuk menetapkan batas terluar landas kontinen sampai sejauh 350 mil di tiga tempat, yaitu Aceh sebelah Barat, Pulau Sumba sebelah Selatan, dan Utara Pulau Irian ke arah Utara. Indonesia mempunyak hak eksplorasi dan eksploitasi kekayaan sumber daya alam di landas kontinen sebagaimana diatur oleh Pasal 77 Konvensi Hukum Laut 1982, tetapi di samping itu Indonesia mempunyai kewajiban untuk menetapkan batas terluar landas kontinen sejauh 350 mil dan menyampaikan kepada Komisi Landas Kontinen (Commission on the Limits of the Continental Shelf) yang selanjutnya diatur oleh Lampiran (Annex) II Konvensi Hukum Laut 1982. Penentapan batas-batas landas kontinen baik sejauh 200 mil maupun 350 mil tersebut wajib disampaikan salinannya kepada Sekretaris Jenderal PBB yang di dalamnya memuat informasi yang relevan seperti data geodetik dan peta-peta lainnya.