Anda di halaman 1dari 13

RESUME HUKUM INTERNASIONAL

HUKUM LAUT INTERNASIONAL

Dosen Pengampu : Lalu Guna Nugraha, S.H., M.H.

Disusun oleh :

Santi Dewi Sukresna

D1A020476

Hukum Internasional H1

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MATARAM

2020/2021
Hukum Laut Internasional

A. Pengertian Hukum Laut Internasional

Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi. Definisi
ini hanya bersifat fisik semata. Sedangkan, menurut definisi hukum, laut adalah keseluruhan
air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi.1 Laut adalah suatu
keluasan air yang meluas diantara berbagai benua dan pulau-pulau di dunia. Laut dapat
dikatakan sebagai jalan raya yang menghubungkan transportasi keseluruhan pelosok dunia.
Melalui laut, masyarakat internasional dan subjek-subjek hukum internasional lainnya yang
memiliki kepentingan dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum dalam pelayaran,
perdagangan sampai penelitian ilmu pengetahuan. Pengertian hukum laut dalam arti luas,
yaitu meliputi segala peraturan hukum yang ada hubungannya dengan laut. 2

Hukum laut internasional adalah seperangkat norma hukum yang mengatur hubungan
hukum antara negara pantai atau yang berhubungan dengan pantai, yang terkurung oleh
daratan dan atau organisasi maupun subyek hukum internasional lainnya, yang mengatur
mengenai kedaulatan negara atas laut, yurisdiksi negara dan hak-hak negara atas perairan
tersebut. Hukum laut internasional mempelajari tentang aspek-aspek hukum di laut dan
peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi di laut.3

B. Pentingnya Pengaturan Hukum Laut Internasional

Pentingnya laut dalam hubungan antarbangsa menyebabkan penting pula arti pengaturan
hukum laut internasional. Berikut beberapa alasan mengenai pentingnya pengaturan hukum
laut internasional:

1) 70% permukaan bumi merupakan laut


2) Laut merupakan ‘jalan raya’ yang menghubungkan satu negara yang satu dengan negara
yang lainnya.
3) Kekayaan hewani dan kekayaan mineral yang terkandung di dasar laut
1
Boer Mauna, Hukum Internasional (Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global), PT
Alumini, Bandung, 2018, hlm. 305.
2
Norsel Maranden, “Makalah Hukum Laut”( https://www.slideshare.net/NorselMaranden/pengertian-hukum-
laut-nasional-dan-hukum-laut-internasional-serta-sejarah-hukum-laut-nasional-dan-hukum-laut-internasional,
diakses pada tanggal 13 Mei 2021)
3
Arianty Anggraeny Mangarengi, “Hukum Laut” (http://kalam.umi.ac.id/course/info.php?id=8799, diakses pada
tanggal 16 Mei 2021)

1
4) Terjadinya tindak pidana diatas wilayah laut4
C. Pengaturan Hukum Laut Internasional
Sampai tahun 1958, ketentuan-ketentuan umum mengenai laut terutama didasarkan atas
hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan internasional merupakan salah satu sumber hukum yang
terdapat dalam Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional Permanen. Hukum
kebiasaan berasal dari praktik negara-negara melalui sikap dan tindakan yang diambil
terhadap suatu persoalan. Hukum kebiasaan juga merupakan kebiasaan umum yang diterima
sebagai hukum.5
Kemudian, tahun 1958 merupakan tahap penting dan bersejarah bagi perkembangan
hukum laut internasional, karena di tahun itu PBB menyelenggarakan suatu Konferensi
Hukum Laut di Jenewa dari 24 Februari sampai dengan 27 April 1958 dengan nama
Konferensi PBB I tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on The Law of the
Sea (UNCLOS) dan dihadiri oleh 86 negara. Pada konferensi PBB tersebut, berhasil
disepakati empat konvensi, yaitu sebagai berikut:
a) Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone (Konvensi tentang Laut
Teritorial dan Zona Tambahan), mulai berlaku pada tanggal 10 September 1964;
b) Convention on the High Seas (Konvensi tentang Laut Lepas), mulai berlaku pada tanggal
30 September 1962;
c) Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas
(Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber-Sumber Daya Hayati Laut
Lepas), mulai berlaku pada tanggal 20 Maret 1966;
d) Convention on the Continental Shelf (Konvensi tentang Landas Kontinen), mulai berlaku
pada tanggal 10 Juni 1964. 6

Akan tetapi, dalam Konferensi 1958 ini tidak berhasil menentukan lebar laut wilayah.
Oleh karena itu, pada tahun 1960 diadakan Konferensi PBB II tentang Hukum Laut yang

4
Herman Sanjaya, “Hukum Laut Internasional, Hukum Udara, dan Luar Angkasa”
(https://slideplayer.info/slide/12070465/, diakses pada tanggal 16 Mei 2021)
5
Achmad Fahrudin dan Akhmad Solihin, “Perkembangan Hukum Laut Internasional dan Perundang-
Undangan Indonesia” ( https://www.pustaka.ut.ac.id/lib/wp-content/uploads/pdfmk/MMPI530202-M1.pdf,
diakses pada tanggal 16 Mei 2021)
6
Sudut Hukum, “Sumber Hukum Laut Internasional” (https://suduthukum.com/2017/07/sumber-hukum-laut-
internasional.html#:~:text=Kebiasaan%20internasional%20adalah%20sumber%20hukum%20laut%20yang
%20paling%20penting.&text=Perjanjian%20internasional%20adalah%20perjanjian%20yang,pada%20tahun
%201958%20di%20Jenewa, diakses pada 16 Mei 2021)

2
membahas secara khusus masalah ini. Namun, karena kurang 1 suara dalam proses
pemungutan suara, konferensi ini gagal menghasilkan konvensi tentang laut wilayah.7

Konferensi PBB III tentang Hukum Laut diadakan pada 30 April 1982. Konferensi ini
dilaksanakan secara silih berganti di New York dan Jenewa, dan berakhir dengan menyusun
naskah final yang ditandatangani dalam Konferensi di Montego Bay, Jamaika pada tanggal
10 Desember 1982. Konferensi ini merupakan kegiatan puncak dari PBB yang menghasilkan
Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nation Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS) 1982.

UNCLOS 1982 berisi 17 bab, 320 pasal, dan 9 lampiran yang merepresentasikan capaian
monumental masyarakat internasional serta merupakan kerangka pengaturan yang
komprehensif dalam mengatur hampir semua kegiatan di laut. Selain penting sebagai suatu
perangkat hukum laut yang baru, Konvensi Hukum Laut 1982 juga sangat penting karena di
samping mencerminkan hasil usaha masyarakat internasional untuk mengodifikasikan
ketentuan-ketentuan hukum internasional yang telah ada, juga menggambarkan suatu
perkembangan yang progresif (progressive development) dalam hukum internasional.

UNCLOS 1982 merupakan karya hukum masyarakat internasional terbesar di abad ke-20.
Konvensi ini berisi penetapan batas-batas terluar dan garis batas antar negara dari berbagai
zona maritim, seperti perairan dalam, laut teritorial, selat, zona tambahan, zona ekonomi
eksklusif, landas kontinen, laut bebas/lepas, dan kawasan. Konvensi ini diratifikasi oleh 149
negara. 8

D. Status Hukum Zona Maritim

Berkaitan dengan hukum laut internasional, status hukum zona maritim merupakan salah
satu hal yang dibahas dalam UNCLOS. Di dalam hukum laut internasional dikenal mengenai
beberapa status hukum zona maritim, yaitu :

1. Status hukum dimana suatu wilayah berada di bawah kedaulatan penuh negara, meliputi
laut pedalaman, laut teritorial, dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional.
2. Negara mempunyai yurisdiksi khusus dan terbatas pada zona tambahan.
3. Negara mempunyai yurisdiksi eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya alamnya pada
ZEE dan Landas Kontinen.
7
Boer Mauna, op.cit hlm. 309.
8
Achmad Fahrudin dan Akhmad Solihin, loc.cit.

3
4. Berada di bawah pengaturan internasional khusus, yaitu daerah dasar laut samudera
dalam.
5. Tidak berada di bawah kedaulatan manapun, yaitu laut lepas.

Penetapan garis pangkal kepulauan sangat penting bagi sebagai batu pijakan penarikan
zona maritim. Dimana zona maritim tersebut terdiri dari internal water (perairan pedalaman),
territorial sea (laut territorial), contiguous zone (zona tambahan), exclusive economic zone
(zona ekonomi eksklusif), continental shelf (landas kontinen), archipelagic waters (perairan
kepulauan) yang hanya dimiliki oleh negara kepulauan.

E. Perairan Pedalaman (Internal Water)

Dalam pasal 8 ayat (1)  United Nations Conventions on the Law of the Sea  (UNCLOS
1982) disebutkan bahwa yang dinamakan Perairan Pedalaman adalah perairan pada sisi darat
garis pangkal laut teritorial. Pasal tersebut selengkapnya berbunyi, “Perairan pada sisi darat
garis pangkal laut territorial merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut”. 9

Perairan pedalaman adalah perairan yang ditutup oleh garis dasar penutup teluk, muara,
pelabuhan, dan garis-garis dasar yang menutup lekukan di pantai sampai 100 mil laut dan
maksimum 125 mil laut. Dengan kata lain, perairan pedalaman adalah bagian dari laut yang
berada ke arah daratan dari garis dasar kepulauan. 10

F. Laut Teritorial (Territorial Sea)

Laut teritorial adalah bagian laut selebar 12 mil laut diukur dari garis dasar kepulauan ke
arah laut. Garis dasar kepulauan adalah garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari
pulau-pulau terluar, dengan catatan bahwa dalam garis dasar tersebut sudah termasuk pulau-
pulau utama yang mempunyai rasio antara daerah air dan daerah daratan, termasuk atoll,
adalah antara 1 : 1 atau 9 : 1 (Pasal 47, ayat 1 UNCLOS 1982). Panjang garis dasar tersebut
tidak melebihi 100 mil laut, kecuali sampai 3% dari jumlah garis dasar yang menutup
kepulauan boleh melebihi panjang tersebut sampai maksimum 125 mil laut (Pasal 47, ayat 2
UNCLOS 1982). Pada wilayah laut teritorial, negara mempunyai kedaulatan penuh, kecuali
hak lintas damai bagi kapal-kapal niaga dan kapal-kapal perang asing (Pasal 17 UNCLOS

9
Fahmicode, “Hukum Laut” (https://hukummaritim.wordpress.com/2012/09/10/2-perairan-pedalaman/, diakses
pada tanggal 20 Mei 2021)
10
Sugeng Hari Wisudo, “Wilayah Perairan Indonesia” (http://repository.ut.ac.id/4573/1/LUHT4455-M1.pdf,
hlm. 9, diakses pada tanggal 20 Mei 2021)

4
1982). Semua kapal asing yang menikmati lintasan melalui laut teritorial suatu negara wajib
mematuhi semua peraturan dan undang-undang dari negara terkait dan juga peraturan-
peraturan internasional yang terkait dengan pencegahan tabrakan di laut (Pasal 21 UNCLOS
1982).

Pada wilayah laut teritorial:

a. Negara memiliki kedaulatan penuh atas wilayah laut teritorial, ruang udara di atasnya,
dasar laut dan tanah di bawahnya, serta segenap sumber kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya.
b. Negara membuat peraturan mengenai lintas laut damai yang berkaitan dengan
keselamatan pelayaran dan pengaturan lalu lintas, perlindungan serta fasilitas navigasi,
kabel laut, konservasi sumber daya alam, pencegahan pelanggaran perikanan,
pengurangan dan pengendalian pencemaran, penelitian ilmiah kelautan, dan pencegahan
pelanggaran peraturan cukai, fiskal, imigrasi dan kesehatan.11

Kedaulatan teritorial atas wilayah laut dibatasi oleh kepentingan pelayaran internasional
yang diwujudkan dalam konsep hak lintas damai (the right of innocent passage). Hak lintas
damai adalah hak setiap kapal asing untuk berlayar di laut teritorial suatu negara dengan
melintasi laut teritorial tersebut tanpa masuk ke perairan pedalaman atau berlabuh di
pelabuhan atau galangan yang berada di luar perairan pedalaman atau berlayar menuju dan
keluar dari perairan pedalaman suatu negara.12

G. Selat untuk Pelayaran Internasional

Selat internasional adalah sebuah wilayah perairan alami yang menjadi tempat perlintasan
yang ukurannya tidak lebih luas dari dua kali lebar laut teritorial negara pantai masing –
masing, selat internasional memisahkan dua dataran dan menghubungkan antara satu laut
lepas sebuah negara pantai dengan laut lepas negara lain atau antara satu Zona Ekonomi
Ekslusif (ZEE) dengan ZEE lain dengan laut teritorial negara lain jika memungkinkan, selat
internasional menghubungkan perairan pedalaman dari sebuah perairan kepulauan yang
digunakan untuk pelayaran internasional.

11
Sugeng Hari Wisudo, op.cit hlm. 8.
12
Herman Sanjaya, loc.cit.

5
Apabila ada bagian dari selat yang letaknya lebih dekat ke daratan utama dan ada alur laut
yang memisahkan daratan tersebut dengan suatu pulau dan dapat memberikan kenyamanan
yang sama untuk pelayaran. Maka, berlaku hak lintas damai.13

H. Zona Tambahan (Contiguous Zone)

Setiap Negara pantai mempunyai zona tambahan yang jauhnya tidak boleh melebihi 24
mil yang diukur dari garis pangkal di mana lebar laut teritorial diukur atau sejauh 12 mil
diukur dari laut teritorial suatu negara pantai. Di zona tambahan setiap negara pantai dapat
melaksanakan pengawasan yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran peraturan
perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau sanitasi, dan menghukum para
pelakunya. 14

Dalam zona tambahan ini negara mempunyai kewenangan tertentu, yang terkait dengan
Pasal 33 UNCLOS (1982), yakni: (a) Pencegahan pelanggaran keimigrasian, bea cukai,
fiskal, dan karantina hewan dan tanaman; (b) Menindak pelaku pelanggaran terhadap
peraturan tersebut di atas.15

I. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone)

Zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut
territorial, yang tunduk pada rejim hukum khusus berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi
negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan negara lain (Bab V, Pasal 55 Rezim
Khusus ZEE, UNCLOS 1982). Pasal 57 menentukan bahwa “Zona ekonomi eksklusif tidak
boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut
teritorial”. 16

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, rezim hukum khusus ini tampak dalam
kekhususan dari hukum yang berlaku pada ZEE sebagai suatu keterpaduan yang meliputi: (a)
hak-hak berdaulat, yurisdiksi,dan kewajiban negara pantai; (b) hak-hak serta kebebasan dari
13
RF Intan, “Permasalahan Perompakan di Selat Malaka” (http://scholar.unand.ac.id/31066/17/2.%20BAB
%201%20PENDAHULUAN.pdf, diakses pada tanggal 20 Mei 2021)
14
Fisip.uai, “Hukum Laut” (https://fisip.uai.ac.id/wp-content/uploads/downloads/2014/02/Hukum-Laut.pdf,
diakses pada tanggal 20 Mei 2021)
15
Sugeng Hari Wisudo, op.cit hlm. 9.
16
Thomas Nugroho, “Hukum Laut Internasional United Nations Convention on The Law of The Sea
(UNCLOS)” (http://thomasnu.staff.ipb.ac.id/files/2015/07/United-Nations-Convention-on-The-Law-of-The-
Sea_Materi-Kuliah-Kapita-Selekta_Tom.pdf, diakses pada tanggal 20 Mei 2021)

6
negara-negara lain; (c) kebebasan-kebebasan laut lepas; dan (d) kaidah-kaidah hukum
internasional sebagaimana ditentukan dalam konvensi. 17

Di ZEE, negara pantai mempunyai:

a) Hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi, eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber
kekayaan alam baik hayati maupun non hayati di ruang air dan kegiatan-kegiatan lainnya
untuk eksploirasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut seperti pembangkitan tenaga dari
air, arus dan angin;
b) Yurisdiksi yang berkaitan dengan pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan,
instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya, penelitian ilmiah dan perlindungan
serta pelestarian lingkungan laut;
c) Kewajiban untuk menghormati kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional,
pemasangan kabel atau pipa bawah laut menurut prinsip hukum internasional yang
berlaku di Zona Ekonomi Eksklusif;
d) Kewajiban untuk memberikan kesempatan terutama kepada negara tidak berpantai atau
negara yang secara geografis tidak beruntung untuk turut serta memanfaatkan surplus dari
jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan.18
J. Landas Kontinen (Continental Shelf)

Perihal landas kontinen diatur pertama kali dalam Konvensi Hukum Laut IV Jenewa
Tahun 1958, dan diatur kembali dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS
1982). Landas kontinen dalam Konvensi Hukum Laut IV Jenewa Tahun 1958 diatur dalam
pasal 1 – 15, pengertiannya sebagai berikut : “Istilah landas kontinen digunakan untuk
menunjuk (a) dasar laut dan tanah di bawah laut yang berdampingan dengan pantai tapi
berada di luar wilayah laut teritorialnya, sampai kedalaman 200 meter, atau melebihi batas
itu, di mana kedalaman perairan yang berdampingan itu memungkinkan untuk eksploitasi
sumber-sumber kekayaan di daerah tersebut; (b) dasar laut dan tanah di bawahnya yang
berdampingan dengan pantai dari pulau-pulau”.
Sedangkan Landas Kontinen dalam UNCLOS 1982 diatur dalam Bab VI pasal 76 – 85,
definisinya sebagai berikut : “Landas kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan
tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut
17
I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia, Yrama Widya, Bandung, 2014,
hlm. 145
18
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention
on The Law od The Sea (https://ngada.org/uu17-1985pjl.htm, diakses pada tanggal 20 Mei 2021)

7
teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi
kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut
territorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut”.19
K. Laut Lepas (High Seas)

Laut lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk wilayah laut teritorial
atau wilayah perairan internal suatu negara. UNCLOS 1982 memberikan definisi laut lepas,
yaitu semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, laut
teritorial atau perairan pedalaman suatu negara, atau perairan kepulauan suatu negara
kepulauan, yang tidak mengakibatkan pengurangan apapun terhadap kebebasan yang
dinikmati semua negara di zona ekonomi eksklusif. Laut lepas terbuka untuk semua negara
baik itu negara berpantai maupun negara tidak berpantai.

Prinsip yang digunakan dalam konsep laut lepas menggunakan prinsip kebebasan, yaitu
tidak berlakunya kedaulatan, hak berdaulat atau yurisdiksi suatu negara. Kebebasan yang
dimaksud dalam UNCLOS 1982 juga dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa tidak ada
satupun negara yang dapat menegakkan yurisdiksinya di laut lepas dan laut lepas ini hanya
digunakan untuk kegiatan yang bertujuan untuk perdamaian. Oleh sebab itu, yurisdiksi
sebuah kapal yang berlayar di laut lepas didasarkan pada peraturan-peraturan yang berlaku
dalam yurisdiksi benderanya (floating portion of the flag state). 20

L. Negara Kepulauan

Dalam Bab IV UNCLOS 1982 pasal 46 – pasal 54 secara khusus mengatur tentang
negara-negara kepulauan. Masyarakat internasional telah mengakui bahwa ada bagian laut
yang karena keadaannya yang khusus disebut sebagai perairan kepulauan. Perairan kepulauan
berada di bawah kedaulatan negara kepulauan yang bersangkutan. Kedaulatan tersebut
meluas sampai di ruang udara di atas perairan kepulauan, pada dasar laut perairan kepulauan
dan tanah di bawahnya.

Definisi negara kepulauan dan kepulauan ditetapkan dalam Pasal 46 UNCLOS 1982 sebagai
berikut:

19
Khaidir Anwar, Hukum Laut Internasional Dalam Perkembangan, Justice Publisher, Bandar Lampung,
Januari 2015, hlm. 9.
20
Asri dwi Utami, Siti Muslimah, Ayub Torry Satriyo Kusumo, “Yurisdiksi Internasional Penanggulangan
Perompak di Laut Lepas”, Yustisia. Vol. 3 No. 1, Surakarta 2014, hlm. 97.

8
a) Negara kepulauan berarti suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih
kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain;
b) Kepulauan berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan di antaranya dan
lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga
pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi,
ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian.

Kemudian, pada pasal 47 diatur mengenai garis pangkal kepulauan (archipelagic


baselines). Pasal 48 dan 49 mengatur tentang lebar laut teritorial, zona tambahan, zona
ekonomi eksklusif, dan landas kontinen harus diukur dari garis pangkal kepulauan. Pasal 49
UNCLOS 1982 mengatur tentang status hukum perairan kepulauan, ruang udara di atas
perairan kepulauan dan dasar laut serta tanah di bawahnya.

Negara Kepulauan juga dibebani kewajiban menghormati hak nelayan tradisional serta
perjanjian-perjanjian dengan negara-negara lain yang telah ada. Kemudian, harus
memperkenankan pemeliharaan dan penggantian kabel-kabel semacam dengan
pemberitahuan yang semestinya mengenai lokasi dan maksud untuk memperbaiki atau
menggantinya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 yang mengatur tentang kewajiban bagi
negara kepulauan untuk menghormati perjanjian yang berlaku, hak perikanan tradisional dan
kabel laut yang ada.

Selain itu, kedaulatan perairan kepulauan oleh negara kepulauan juga wajib
memperhatikan rejim lintas pelayaran kapal asing, yaitu hak lintas damai dan hak lintas alur-
alur laut kepulauan (ALK). Pengaturan mengenai perairan Kepulauan sesuai dengan yang
terdapat di wilayah Laut Teritorial, yaitu kapal semua negara mempunyai hak lintas
damai “innocent passage” sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 52 UNCLOS 1982.21

M. Negara Tidak Berpantai

Negara yang tidak berpantai adalah negara yang secara geografis tidak beruntung (land
locked and geographically disadvantaged states). Negara tidak berpantai memiliki hak dalam

21
Faisol Rahman, “Hukum Perairan Kepulauan - Archipelagic Waters”
(https://newberkeley.wordpress.com/2017/03/14/hukum-perairan-kepulauan-archipelagic-waters/, diakses pada
tanggal 20 Mei 2021)

9
kegiatan eksploitasi dan eksplorasi di Zona Ekonomi Eksklusif di kawasan dan sub kawasan
yang sama. 22

22
Herman Sanjaya, loc.cit.

10
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Khaidir. (2015). Hukum Laut Internasional Dalam Perkembangan. Bandar Lampung:
Justice Publisher.

Fahmicode. (2012, September 10). Hukum Laut. Dipetik Mei 20, 2021, dari
Hukummaritim.wordpress: https://hukummaritim.wordpress.com/2012/09/10/2-
perairan-pedalaman/

Fahrudin, Achmad, dan Solihin, Akhmad. (t.thn.). Perkembangan Hukum Laut Internasional
dan Perundang-Undangan Indonesia. Dipetik Mei 16, 2021, dari Pustaka.ut.ac.id:
https://www.pustaka.ut.ac.id/lib/wp-content/uploads/pdfmk/MMPI530202-M1.pdf

Fisip.uai. (2017, Februari). Hukum Laut. Dipetik Mei 20, 2021, dari Fisip.uai.ac.id:
https://fisip.uai.ac.id/wp-content/uploads/downloads/2014/02/Hukum-Laut.pdf

Hukum, Sudut. (2017, Juli 26). Sumber Hukum Laut Internasional. Dipetik Mei 16, 2021,
dari Sudut Hukum: https://suduthukum.com/2017/07/sumber-hukum-laut-
internasional.html#:~:text=Kebiasaan%20internasional%20adalah%20sumber
%20hukum%20laut%20yang%20paling%20penting.&text=Perjanjian
%20internasional%20adalah%20perjanjian%20yang,pada%20tahun%201958%20di
%20Jenew

Intan, RF. (2017). Permasalahan Perompakan di Selat Malaka. Dipetik Mei 20, 2021, dari
Scholar.unand.ac.id: http://scholar.unand.ac.id/31066/17/2.%20BAB
%201%20PENDAHULUAN.pdf

Mangarengi, Arianty Anggraeny. (t.thn.). Hukum Laut. Dipetik Mei 16, 2021, dari
Universitas Muslim Indonesia: http://kalam.umi.ac.id/course/info.php?id=8799

Maranden, Norsel. (t.thn.). Makalah Hukum Laut. Dipetik Mei 13, 2021, dari Slideshare:
https://www.slideshare.net/NorselMaranden/pengertian-hukum-laut-nasional-dan-
hukum-laut-internasional-serta-sejarah-hukum-laut-nasional-dan-hukum-laut-
internasional

Mauna, Boer. (2018). Hukum Internasional (Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global). Bandung: PT Alumini.

11
Nugroho, Thomas. (2015, Juli). Hukum Laut Internasional United Nations Convention on
The Law of The Sea (UNCLOS). Dipetik Mei 20, 2021, dari Thomasnu.staff.ipb.ac.id:
http://thomasnu.staff.ipb.ac.id/files/2015/07/United-Nations-Convention-on-The-
Law-of-The-Sea_Materi-Kuliah-Kapita-Selekta_Tom.pdf

Parthiana, I Wayan. (2014). Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia. Bandung:
Yrama Widya.

Rahman, Faisol. (2017, Maret 14). Hukum Perairan Kepulauan - Archipelagic Waters.
Dipetik Mei 20, 2021, dari newberkeley.wordpress:
https://newberkeley.wordpress.com/2017/03/14/hukum-perairan-kepulauan-
archipelagic-waters/

Sanjaya, Herman. (2018). Hukum Laut Internasional, Hukum Udara, dan Luar Angkasa.
Dipetik Mei 16, 2021, dari Slideplayer: https://slideplayer.info/slide/12070465/

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United


Nations Convention on The Law of The Sea. (t.thn.). Dipetik Mei 20, 2021, dari
Ngada.org: https://ngada.org/uu17-1985pjl.htm

Utami, Asri Dwi, Muslimah, Siti, dan Kusumo, Ayub Torry. (2014). Yurisdiksi Internasional
Penanggulangan Perompak di Laut Lepas. Yustisia , 97.

Wisudo, Sugeng Wisudo. (2019, Maret 4). Wilayah Perairan Indonesia. Dipetik Mei 20,
2021, dari Repository.ut.ac.id: http://repository.ut.ac.id/4573/1/LUHT4455-M1.pdf

12

Anda mungkin juga menyukai