Anda di halaman 1dari 12

Konferensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut

(Menilik Nusantara dalam Perspektif Hukum Laut dan Permasalahan di dalamnya)

Disusun sebagai Tugas Semester


Mata Kuliah.....
Dosen Pemgampu.....

Oleh :
Mata Kuliah.....
S1....
Universitas.....
Konferensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut
(Menilik Nusantara dalam Perspektif Hukum Laut dan Permasalahan di dalamnya)
Oleh :

ABSTRAK

Batas wilayah kelautan merupakan hal yang krusial bagi sebuah Negara. Pemanfaatan
sumber daya alam baik untuk kebutuhan industry dan pemanfaatan energy didalamnya perlu
adanya suatu kebijakan yang mengatur batas dan hal terkait penyelesaian masalahnya. Salah
satu aturan yang berlaku secara internasional adalah Konvensi PBB tentang hokum laut II
tahun 1982 (UNCLOS 1982). Ketentuan secara internasional tersebut telah meberikan
kontribusi positif bagi Negara Indonesia, yaitu diakuinya Negara kepulauan dan diaturnya
ZEE sepanjang 200 mil. Namun, sepanjang pelaksanaan konvensi PBB tentang hokum laut
masih terdapat penyelewengan terhadap batas teritori Negara lain dan upaya –upaya yang
melanggar ketentuan. Penegakan hokum terkait hokum laut yang mengacu pada UNCLOS
1982 harus selalu ditegakkan karena akan berpotensi menimbulkan kerugian material bagi
Negara yang bersangkutan.
Kata kunci : Konvensi, UNCLOS, Pelanggaran, Hukum
I. PENDAHULUAN

Bentuk wilayah Indonesia yang berkepulauan menjadikan pentingnya suatu


aturan yang mengatur terkait pemanfaatan dan batas laut di wilayah Negara
Indonesia. Hokum laut adalah kaidah hokum yang mengatur hak dan dan
kewenangan Negara atas kawasan laut dibawah yurisdiksi nasional. Adanya hokum
laut yaitu mengatur pemanfaatan laut dari segi lalu lintas dan sumber kekayaan alam
serta sumber energy sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.

Peraturan hukum laut di Indonesia mengalami perkembangan dari zaman ke


zaman dan tentu saja akan berdampak pada ketentuan yang mengatur pemanfaatan
dan batas laut wilayahnya. Penegasan hokum laut di Indonesia diperlukan agar tidak
terjadi penyalahgunaan wewenang pihak lain untuk mengeksplorasi kekayaan alam
di Indonesia. Maka untuk mempertajam bahasan dalam makalah ini penulis
mengajukan rumusan masalah yaitu:

- Bagaimana sejarah , Perkembangan terkait Hukum laut Internasional


- Bagaimana Manfaat terbentuknya hokum laut internasional di Indonesia
- Bagaimana Kritik terhadap hukum laut secara internasional dan di Indonesia

Metodologi yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan menggunakan data


yang bersumber dari buku, jurnal, dan artikel yang menjadi rujukan dalam
pembahasan.
II. PEMBAHASAN
Sejarah, Perkembangan Terkait Hukum Laut Internasional
Perkembangan hukum laut dan zona maritime diawali adanya pertentangan 2
konsepsi hokum kebiasaan Internasional. Hukum kebiasaan internasional
sebagaimana diungkapkan di atas, sangat kental dalam kelahiran hukum laut. Salah
satunya adalah persaingan dua konsepsi, yaitu (Djalal, 1979):
1. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut adalah milik bersama masyarakat
dunia, dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara.
2. Res Nulius, yang menyatakan bahwa laut tidak ada yang memiliki dan karena itu
dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.
Untuk memahami pertentangan tersebut, beberapa negara telah melaksanakannya
sebagai berikut.
1. Zaman Sebelum Romawi
Phunicia Kuno telah mendirikan suatu kerajaan yang menganggap laut yang mereka
kuasai sebagai milik negara mereka. Anggapan tersebut dianut pula oleh Bangsa
Persia, Yunani, dan Rhodia. Bahkan di zaman Rhodia, hukum laut telah berkembang
dan diatur dalam kekuasaan negara. Hukum ini kemudian menjadi dasar dari Hukum
Romawi mengenai laut.
2. Zaman Romawi
Setelah Perang Punis III, Romawi berkembang menjadi penguasa tunggal di Laut
Tengah yang kemudian dianggap sebagai ”danau” mereka. Dalam Hukum Romawi,
laut diartikan sebagai public property dan milik Kerajaan Roma. Di zaman Romawi
pula diakuinya hak penduduk pantai untuk menangkap ikan di perairan dekat
pantainya.
3. Setelah Zaman Romawi
Mulai berkembang Konsepsi Laut Wilayah, karena masing-masing Negara
merupakan pecahan dari Kerajaan Romawi. Mereka menuntut laut yang berdekatan
dengan pantai mereka masing-masing. Namun, ada juga Negara-negara yang
menuntut lebih jauh dari itu, bahkan ada yang menyalahgunakan dengan memungut
biaya pelayaran, sehingga kemudian dibuat pembatasan kekuasaan sampai batas
tertentu. Setelah runtuhnya Imperium Roma, bermunculan tuntutan sejumlah negara
yang berdekatan dengan pantai. Salah satu contoh klaim adalah Venetia atas sebagian
besar Laut Adriatik yang diakui oleh Paus Alexander III pada tahun 1177. Venetia
memungut bea terhadap setiap kapal yang berlayar di Laut Adriatik (Sodik, 2011).
4. Zaman Portugal dan Spanyol
Setelah ditemukannya jalan laut ke timur dan dirampasnya Konstantinopel oleh Turki
pada tahun 1433, orang Portugis berlayar ke Indonesia melalui Samudera Hindia dan
kemudian menuntut Samudera Hindia dan Laut Atlantik sebagai milik negara
mereka. Spanyol telah sampai ke Maluku melalui Samudera Pasifik dan menuntut
Samudera Pasifik sebagai miliknya
5. Munculnya Belanda
Pembagian dunia milik Spanyol dan Portugis menimbulkan tantangan dari pihak
Belanda terutama dalam bidang pelayaran dan perikanan. Di bidang pelayaran,
Belanda berlayar ke Samudera Hindia dan mengadakan perdagangan dengan
Indonesia. Pada tahun 1602 Belanda mendirikan Vereenigde Oostindische
Compagnie (VOC) untuk berdagang ke/dari Indonesia. Penerobosan Belanda ke
Samudera Hindia bertentangan dengan kepentingan Portugal. Di bidang perikanan,
Belanda menentang tuntutan Inggris karena orang Belanda telah berabad-abad
menangkap ikan di perairan tersebut, bahkan telah melaksanakan berbagai perjanjian
dengan kedua negara.
6. Munculnya Inggris
Sebelum 1604, Inggris menganut faham kebebasan lautan, tetapi tahun 1604 James I
memproklamasikan King Chamber Area yang terdiri atas 26 daerah sepanjang dan di
sekeliling Inggris sebagai Laut Inggris (Mare Anglicanum). Di wilayah tersebut,
James I melarang nelayan Belanda menangkap ikan dan tahun 1609 James I
memungut pajak bagi kapal nelayan asing yang menangkap ikan di wilayah tersebut.
Dari pertentangan antara Portugal, Spanyol, Inggris, dan Belanda timbul
“battle of the books” yang berkisar antara teori Mare Liberum Belanda dan Mare
Clausum Inggris. Mare Liberum adalah suatu teori yang mengemukakan bahwa laut
adalah sesuatu yang tidak mempunyai batas, sehingga tidak dapat dimiliki. Mare
Clausum adalah teori yang menyatakan bahwa laut dapat dimiliki oleh suatu negara.
Sejarah kemudian membuktikan kedua teori tersebut tidak dapat mempertahankan
ajaran masing-masing. Kemudian Grotius dalam bukunya De Jure Belli Ac Pasis
(1625) mengakui bahwa laut sepanjang pantai suatu negara dapat dimiliki sejauh
yang dapat dikuasai dari darat.
Oleh karena itu, LBB memprakarsai penyelenggaraan konferensi
internasional di Den Haag pada tanggal 13 Maret – 12 April 1930 untuk
mengkodifikasikan hukum internasional. Konferensi international ini dihadiri oleh
delegasi dari 47 negara. Adapun bidang-bidang hukum international yang
dikodifikasikan, yaitu tentang kewarganegaraan (nationality), perairan teritorial
(teritorial waters), tanggung jawab negara terhadap kerugian yang diderita
perorangan ataupun harta kekayaan orang asing yang ada di wilayah negara lain.
Konferensi Den Haag 1930 ini tidak menghasilkan suatu konvensi, kecuali hanya
beberapa rancangan pasal-pasal yang disetujui sementara. Hal ini dikarenakan,
pendapat para peserta konferensi berbeda-beda mengenai batas luar laut teritorial,
seperti ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), ada pula yang
menghendaki 6 mil laut (12 negara), serta negara-negara Nordic yang menghendaki
laut teritorial selebar 4 mil (Anwar, 1989). Kegagalan Konferensi Kodifikasi Hukum
Internasional di Den Haag 1930 menyisakan ketidakseragaman lebar laut teritorial
dan klaim sepihak lebar laut teritorial oleh beberapa negara pantai. Berdasarkan
Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 21 Februari 1957, disepakati untuk
mengadakan Konferensi Hukum Laut pada bulan Maret 1958. Konferensi PBB I yang
diadakan pada tahun 1958 dilaksanakan di Jenewa dari tanggal 24 Februari sampai
27 April 1958. Konferensi Jenewa diketuai oleh Pangeran Wan Waithayakon dari
Thailand dan dihadiri oleh 700 delegasi dari 86 negara termasuk Indonesia (Anwar,
1989). Konferensi tersebut telah berhasil menerima empat Konvensi Internasional
yang menjadi dasar utama dari Hukum Laut Internasional, yaitu:
1. Convention on the Teritorial Sea and Contiguous Zone (Konvensi tentang Laut
Teritorial dan Zona Tambahan), mulai berlaku pada tanggal 10 September 1964;
2. Convention on the High Seas (Konvensi tentang Laut Lepas), mulai berlaku pada
tanggal 30 September 1964;
3. Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas
(Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber-Sumber Daya Hayati Laut
Lepas), mulai berlaku pada tanggal 20 Maret 1966;
4. Convention on the Continental Shelf (Konvensi tentang Landas Kontinen),
mulai berlaku pada tanggal 10 Juni 1964.
Salah satu kegagalan utama dari Konferensi Hukum Laut Jenewa 1958 adalah
tidak dapat menetapkan lebar laut wilayah karena adanya perbedaan pendapat yang
besar antara negara-negara maritim dan negara-negara nonmaritim. Selain itu, antara
tahun 1958 hingga 1960 terdapat berbagai perbedaan dalam klaim terhadap laut
teritorial. Kegagalan ini menyebabkan diadakannya Konferensi Hukum Laut II tahun
1960.
Setelah Konferensi Hukum Laut Jenewa 1960, masalah kelautan tidak
terkendali dan mengarah kepada ketidakpastian. Bahkan negara-negara dunia
mengenalkan rezim-rezim baru hukum laut, yaitu zona eksklusif, zona perikanan,
zona ekonomi, dan zona-zona lainnya. Ketidakpastian ini mengarah kepada
bermunculannya sengketa-sengketa di wilayah laut, seperti Kasus Landas Kontinen
Laut Utara (North Sea Continental Shelf Case) tahun 1969, Kasus Landas Kontinen
antara Inggris dan Perancis (Anglo-French Continental Shelf Case) tahun 1977,
Kasus Landas Kontinen antara Libya dan Malta (Libya-Malta Continental Shelf
Case) tahun 1984, Kasus Landas Kontinen antara Guinea dan Guinea-Bissau
(Guinea-Guinea-Bissau Continental Shelf Case) tahun 1985, dan sengketa di Laut
China Selatan yang memperebutkan Kepulauan Paracel dan Spartley yang masih
berlangsung hingga sekarang (Parthiana, 2014). Berdasarkan perkembangan
permasalahan kelautan serta semakin matangnya hasil pembahasan naskah Konvensi,
maka Majelis Umum PBB dalam sidang umumnya pada tahun 1973 berhasil
mengesahkan Resolusi Nomor 3067 yang menyerukan kepada negara-negara supaya
menyelenggarakan Konferensi Hukum Laut Internasional di Caracas, Venezuela
pada tahun 1973. Konferensi ini dilakukan secara silih berganti di New York dan
Jenewa, dan berakhir dengan menyusun naskah final yang ditandatangani dalam
Konferensi di Montego Bay, Jamaika pada tanggal 10 Desember 1982. Konferensi
ini merupakan kegiatan puncak dari PBB yang menghasilkan Konvensi PBB tentang
Hukum Laut atau yang dikenal dengan United Nation Convention on the Law of the
Sea yang kemudian disebut UNCLOS 1982. UNCLOS mengatur zona maritime yang
dapat dikalim suatu Negara, riset kelautan, polusi, hingga prosedur penyelesaian
sengketa Negara – Negara.
Manfaat Terbentuknya Hukum Laut Internasional di Indonesia
Konvensi PBB tentang hukum laut II tahun 1982 (UNCLOS 1982) sudah
diratifikasi dengan UU No 17 Tahun 1985. Pentingnya konvensi ini adalah diakuinya
Indonesia sebagai Negara kepulauan, memiliki ZEE 200 mil laut dan lebar laut
territorial 12 mil serta tidak ada perairan bebas antar pulau. Ketentuan dalam
UNCLOS 1982 diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan sesuai hukum laut
Internasional.
Kritik Terhadap Hukum Laut di Dunia Internasional dan Indonesia
Meskipun Unclos dipandang sebagai hukum internasional terbaik yang
mengatur wilayah laut secara internasional namun masih terdapat beberapa
penyelewengan yang dapat terjadi di wilayah laut suatu Negara. Secara regulasi
bahwa UNCLOS 1982 hanya mengatur terkait dengan kebebasan setiap negara
melintasi laut internasional negara lain berdasarkan pasal 87 UNCLOS 1982. Namun,
kebebasan ini sendiri sering kali terjadi pelanggaran maupun kejahatan seperti kasus
illegal transshipment dalam kasus Juno trader dan MV.Norstar. Kapal-kapal dalam
melakukan transaksi apapun yang melanggar ketentuan hukum internasional atau
yang berkaitan dengan illegal transshipment di wilayah laut suatu negara harus
menaati segala ketentuan yang berlaku diwilayah negara tersebut. Akan tetapi, yang
terjadi terhadap kapal Juno trader dan kapal MV.Norstar dalam hal ini telah
melakukan tindakan illegal transshipment yang telah diatur dalam Pasal 21 UNCLOS
1982. Mengenai kasus pertama UNCLOS 1982 belum mengatur permintaan negara
lain terhadap penindakan kapal yang di indikasi melakukan illegal transshipment
dalam hal ini kapal MV.Norstar yang di indikasi melakukan pelanggaran di ZEE Italy
tetapi ditangkap diperairan Spanyol atas dasar permintaan Italy, padahal kapal ini
tidak melanggar Ketentuan perundang-undangan Spanyol. Disamping itu,
Penangkapan illegal transshipment atas dasar indikasi tidak dapat dilakukan karena
membuat penangkapan kapal tidak mempunyai dasar dan bukti dan kuat. Walaupun
dalam kasus Juno Trader terbukti melakukan penangkapan ikan ilegal dengan sampel
yang diambil oleh negara Guinea tetapi hal ini menjadi permasalahan ketika
penangkapan yang dilakukan tidak terbukti melakukan pelanggaran Hukum.
Permasalahan ini menjadi krusial karena harus memperhatikan kerugian material
maupun imaterial dari kapal yang ditangkap.
Di Indonesia sendiri terdapat kasus mengenai dugaan pelanggaran kedaulatan
dan hak berdaulat Indonesia oleh kapal riset dari negara Tiongkok sepanjang tahun
2018 hingga 2021. Beberapa indikasi tersebut adalah:
a. Kapal Survei Berbendera Tiongkok Hai Yang Di Zhi 10
Kapal ini melakukan intrusi di wilayah Zona Ekonomi I, sejak akhir Agustus
hingga September 2021 dengan dikawal kapal Tiongkok Coast Guard 4303
(CCG4303), kapal tersebut bernavigasi dengan pola cetakan sawah rapi di Laut
Natuna Utara dengan hanya berjarak tujuh puluh mil laut dari Pulau Natuna Besar
dan sembilan mil laut dari instalasi migas Nobel Clyde Boudreaux di Blok Migas
Tuna dan Blok Migas Sokang.40
b. Kapal Survei berbendera Tiongkok Xiang Yang Hong 03
Berdasarkan data dari IOJI41, pada Januari 2021, kapal tersebut ditemukan
melintasi wilayah laut Indonesia (ZEEI, Laut Teritorial dan Perairan Kepulauan
Indonesia) dari arah Laut Natuna Utara menuju ke Selat Sunda. Kemudian, pada
tanggal 19 Januari 2021, masyarakat lokal Anambas menemukan suatu alat yang
diduga sebagai sensor mengapung untuk penelitian bawah laut. Alat ini ditemukan di
lokasi dan waktu yang tidak jauh dari lokasi dan waktu perlintasan Xiang Yang Hong
03
c. Kapal Riset Berbendera Tiongkok Yuan Wang 06
Dari laporan IOJI, kapal riset yang mampu mengendalikan satelit dan roket
Tiongkok ini, berada di wilayah Alur Laut Kepulauan Indonesia III selama empat
bulan, dimulai dari bulan Januari hingga bulan April 2018. Kapal tersebut selama
periode tertentu di laut Maluku, bernavigasi dengan lintasan bolak-balik dari satu titik
ke titik lainnya secara berulang dan diduga pola navigasi ini adalah pola pergerakan
ketika melakukan penelitian di laut.
Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia, dijelaskan bahwa penelitian ilmiah merupakan segala aktivitas
yang berhubungan dengan penelitian tentang seluruh aspek kelautan baik itu di
permukaan air, dalam ruang air, dasar laut, maupun tanah di bawahnya di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia. 23 Hal ini cukup berbeda dengan UNCLOS 1982 di
mana tidak memberikan definisi mengenai apa itu penelitian ilmiah kelautan di dalam
Konvensinya dikarenakan alasan tidak adanya penjelasan pasti mengenai perbedaan
antara penelitian yang berlandaskan atas murni untuk ilmu pengetahuan atau
penelitian dengan tujuan industrial.24 Sementara itu, Indonesia, seperti diamanatkan
oleh Pasal 246 Konvensi UNCLOS 1982, memiliki hak untuk menetapkan syarat-
syarat dalam hal memperoleh izin untuk melakukan penelitian ilmiah di wilayah Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia
III. KESIMPULAN

Sebagai Negara yang berbentuk kepulauan Indonesia perlu menegakkan suatu


peraturan terkait batas dan aturan pemanfaatan sumber daya alam baik sebagai
wilayah territorial bahkan untuk kepentingan penelitian. Salah satu aturan yang
mengartur hokum kelautan adalah Konvensi PBB tentang hokum laut II tahun 1982
(UNCLOS 1982) sudah diratifikasi dengan UU No 17 Tahun 1985. Adanya kasus
penyelewengan konvensi yang dilakukan baik di luar maupun dalam negeri
membuktikan bahwa ketaatan terhadap konvensi yang sudah dibuat masih rendah.
Sehingga perlu pengawasan dan penegakan hokum laut di suatu Negara.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, C. 1989. Horizon Baru Hukum Laut Internasional: Konvensi Hukum Laut 1982.
Jakarta. Penerbit Djambatan.
Buntoro, K. dan L. Pertama. Wilayah Nusantara Dalam Perspektif Hukum Laut Dan Beberapa
Implikasi. Artikel. Majalah Cakrawala TNI AL.
Djalal, H. 1979. Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut. Jakarta: Binacipta.
Fahrudin, A. dan A. Solihin. 2018. Legalitas Hukum Kelautan dan Perikanan. Universitas
Terbuka.
Hadju, Z. A. A. 2021. Analisis UNCLOS 1982 Terkait Permasalahan Yurisdiksi Negara dan
Penegakan Hukum Atas Kapal Berbendera Negara Asing. S A S I Vo l . 2 7 N o . 1.
Universitas Padjadjaran, Bandung.
Lapadengan, M. I. dan A. Afriansyah. 2023. Pelanggaran Penelitian Ilmiah Kelautan Tanpa
Izin oleh Pihak Asing di Wilayah Indonesia. Journal of International Law Vol. 4 No. 1
(2023): 64-92. Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Sodik, D.M. 2011. Hukum Laut Internasional dalam Pengaturannya di Indonesia. Bandung:
Refika Aditama.
Windari, R. 2009. Hukum Laut, Zona-Zona Marjtim Sesuai Unclos 1982 Dan Konvensi-
Konvensi Bidang Maritim. Badan Koordinasi Keamanan Laut.

Anda mungkin juga menyukai