Anda di halaman 1dari 16

PAPER

‘’ LANDAS KONTINEN ‘’

DOSEN PENGAMPU :

 Rahayu Repindowaty Harahap, S.H ., LL.M.

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 4
1. Ristyn Karisma Ayu Sy { B10018158 }
2. Risha Rahma Feris { B10018156 }
3. Erma Novita Veranita { B10018155 }
4. Albar Ramadhan { B10018165 }
5. Ali Azwar { B10018157 }
6. Asmida Wanti Hs { B10018154 }
7. Raja Ika Hari { B10018159 }
8. Gunawan Edo Wardo { B10018164 }

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada taraf integrasi masyarakat dunia saat ini, masyarakat-masyarakat sudah
terorganisir dalam suatu satuan-satuan politik yang bebas satu dari yang lainnya sebagai
Negara yang berdaulat, dimana masing-masing Negara tersebut mempunyai Pemerintah
sendiri, penduduk, dan wilayah. Sehingga kekuatan dari tindakan politik suatu Negara
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum laut.
“Pemikiran-pemikiran atau konsepsi-konsepsi tentang hukum laut tumbuh dan
berkembang melalui adanya hukum kebiasaan internasional, suatu pemikiran-pemikiran yang
masih sangat sederhana terkait bagaimana dengan penggunaan dan pemanfaatan laut, karena
hukum internasional akan dapat menjadi hukum yang lebih efektif dan dapat diterima
masyarakat internasional, apabila dapat memberi manfaat bersama untuk Negara-negara.
Untuk mengamati perkembangan dan pembentukan hukum laut maka diperlukan suatu
penelitian dan analisis atas kepentingan-kepentingan yang mendasari sikap-sikap Negara
sebagai anggota atau bagian dari masyarakat internasional”.
Negara-negara yang sedang berkembang akan berusaha melakukan penguasaan atas
laut guna perluasan yurisdiksi untuk melindungi kepentingan-kepentingannya, apalagi
kemajuan teknologi yang semakin maju mendorong adanya keinginan untuk memanfaatkan
sumber daya alam yang akan dapat memberikan keuntungan bagi suatu negara. Oleh karena
itu, untuk mengimplementasikan keinginan-keinginan dan mengatur kepentingan-
kepentingan Negara-negara internasional agar tidak terjadi tumpang tindih antar kepentingan
tersebut maka diadakanlah konvensi-konvensi hukum laut internasional, dimana terakhir
telah berhasil dilaksanakannya Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
1982 yang telah menghasilkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS)
III, yang diantaranya mengatur terkait batas-batas maritim meliputi batas-batas laut territorial
(Territorial Sea), Zona Ekonomi Eksklusif (Economic Exclusive Zone), dan begitu juga
dengan batas-batas Landas Kontinen (Continental Shelf) yang nantinya akan menjadi pokok
pembahasan dalam penulisan ini.
Pada awalnya landas kontinen hanya memiliki pengertian geografis dan geologis saja.
Secara geografis dan geologis Landas Kontinen diartikan sebagai plate-form atau daerah
dasar laut yang terletak antara dasar laut dangkal dan dan titik dimana dasar laut menurun
secara tajam atau terjal, yang dinamakan lereng kontinen.
Salah satu Negara yang telah mengesahkan Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut
adalah Indonesia. Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang sudah
diakui secara internasional. Negara yang terdiri dari 17.504 pulau dengan luas total wilayah
7,9 Juta Kilometer Persegi, yang terdiri atas 1,9 Juta Kilometer Persegi daratan dan 5,8 Juta
Kilometer Persegi berupa Lautan. Dengan kata lain luas wilayah laut Indonesia adalah tiga
kali luas wilayah daratannya. Oleh karena itu sudah sepatutnyalah Pemerintah Indonesia
perlu memberikan perhatian khusus dalam hal penetuan batas-batas maritim dengan Negara-
negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia,terlebih lagi yang berhubungan dengan
Batas Landas Kontinen karena hal ini menyangkut pengamanan, pencadangan, dan
pemanfaatan daripada sumber-sumber kekayaan mineral dasar laut dan tanah di bawahnya,
seperti pengaturan batas-batas maritim Indonesia dengan Malaysia, Singapura, Thailand,
India, Papua Nugini, Australia, Vietnam, Filipina, dan Palos.
Berdasarkan hal tersebut di atas dan untuk mengkaji lebih dalam hal-hal yang
berkaitan dengan pengaturan batas-batas maritim suatu Negara dalam hukum laut
internasional terkhususnya pengaturan mengenai Landas Kontinen, maka Penulis merasa
tertarik untuk mengangakat perihal landas kontinen dalam sebuah makalah dengan judul
“LANDAS KONTINEN”

1.2    Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah Sejarah dan Pengertian Landas Kontinen ?
2. Bagaimanakah Status Hukum Landas Kontinen ?
3. Bagaimanakah Batas luar Landas Kontinen dan Delimitasi Landas Kontinen antara negara
yang pantainya saling berhadapan dan berdampingan ?

1.3    Manfaat Penulisan


1.   Secara teoritis berguna untuk menambah wawasan mengenai Landas Kontinen; yaitu dimulai
dari defenisi, status hukum, garis batas luar Landas Kontinen. Sehingga dapat memberikan
pandangan yang luas akan pentingnya pemanfaatan daripada wilayah laut Landas Kontinen.
2.   Secara praktis penulisan ini diharapkan akan dapat bermanfaat bagi para Pelajar, Mahasiswa,
Pengajar, Pemerintah pada khususnya serta bagi masyarakat pada umumnya terkait
pemahaman mengenai Landas Kontinen.
2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Sejarah dan Pengertian Landas Kontinen

Berkembangnya lapangan hukum laut dalam hal Landas Kontinen erat kaitannya
dengan bertambah majunya teknologi, teknik penggalian kekayaan alam terutama minyak
bumi, yang dalam perkembangannya memungkinkan eksplorasi dan eksploitasi tidak hanya
di daratan tapi juga di dalam tanah di bawah dasar laut.
Landas Kontinen dapat dikatakan sebagai perkembangan baru pasca Perang Dunia II.
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja menyebutkan bahwa,

“ Diantara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam


hukum laut internasional setelah akhir Perang Dunia ke- II dapat dikemukakan tiga faktor
yang terpenting sebagai berikut:
a. faktor Pertama dapat disebut banyaknya jumlah Negara yang menjadi merdeka
sehingga mengakibatkan perubahan peta bumi politik yang tidak kecil di dalam dunia
setelah Perang Dunia ke- II.
b. Faktor Kedua adalah kemajuan teknologi sebagai akibat samping atau tambahan
daripada kemajuan-kemajuan dalam teknologi yang terjadi dengan pesatnya selama
Perang Dunia ke- II.
c. Faktor Ketiga adalah tambahan bergantungnya bangsa-bangsa pada laut sebagai
sumber kekayaan alam, baik kekayaan hayati ( Living Resources ) maupun kekayaan
mineral termasuk minyak bumi dan gas. “
Berbicara mengenai pranata hukum laut, khususnya tentang Landas Kontinen,
pertama kalinya berawal dari adanya Proklamasi Presiden Amerika Serikat Harry S Truman
pada tanggal 28 September 1945 yang didasarkan pada tindakan penguasaan sepihak, ialah
dengan tujuan memanfaatkan, mengamankan, dan mencadangkan kekayaan mineral dasar
laut (seabed) dan tanah di bawahnya (subsoil) yang berbatasan dengan pantai Amerika
Serikat untuk kepentingan rakyat dan bangsa Amerika Serikat.
“Di dalam pertimbangannya Proklamasi Trauman tersebut di atas antara lain
menyatakan perlunya dirangsang pencarian sumber-sumber baru daripada minyak bumi dan
barang tambang lain mengingat kebutuhan dunia jangka panjang akan sumber minyak bumi
dan barang tambang lainnya.” Proklamasi Trauman tahun 1945 tersebut menjadi titik tolak
yang menciptakan suatu perkembangan baru dan mengakibatkan suatu perubahan yang besar
dalam hukum laut internasional.

3
Tindakan pemerintah Amerika Serikat terkait dataran kontinen (Continental Shelf) ini
didasarkan atas pendapat ahli-ahli geologi minyak bumi bahwa bagian-bagian tertentu dari
dataran kontinen di luar batas 3 mil mengandung endapan-endapan minyak bumi yang sangat
berharga yang memungkinkan untuk mengeksploitasikan secara teratur suatu daerah di
bawah permukaan laut (submarine area).
Proklamasi Trauman Tahun 1945 tersebut tidak menimbulkan protes dari Negara-
negara lain, bahkan sejak tindakan Amerika Serikat yang hanya didasarkan pada pernyataan-
pernyataan sepihak terkait masalah Landas Kontinen berkembang dan mendapat perhatian
dari Negara-negara Amerika Latin yang justru mengikuti jejak dan langkah dari Amerika
Serikat tersebut, diantaranya seperti Chili, Equador, dan Peru tepatnya pada Deklarasi
Santiago 18 Agustus 1952, dimana ketiga Negara tersebut mengklaim bahwa area lautan
beserta dasar laut dan tanah di bawahnya dalam jarak 200 mil laut dari pantainya berada di
bawah kedaulatannya.
Pada perkembangan berikutnya Negara-negara internasional kembali membicarakan
pengaturan hukum mengenai Landas Kontinen dalam Konvensi Jenewa 1958 yang dihadiri
oleh 700 delegasi dari 86 negara. atau disebut juga dengan Konvensi Hukum Laut 1958,
diadakan oleh Internasional Law Commission yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-
bangsa (PBB), Pasal 1 Konvensi Jenewa 1958 berbunyi :
“For the purpose of these articles, the term “continental shelf” is used as refering (a) to the
seabed and subsoil of the submarine areas adjacent to the coast but autside the area of the
territorial sea, to a depth of 200 metres or beyond that limit, to where the superjecent waters
admits of the exploitation of the natural resources of the said areas to seabed and subsoli of
similar submarine areas adjacent to the coast of islands”.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa Landas Kontinen adalah dasar laut dan tanah di
bawahnya yang bersambungan dengan pantai tetapi di luar laut teritorial, sampai pada
kedalaman 200 meter atau lebih sepanjang dalamnya air laut di atasnya masih memungkinkan
untuk dapat mengeksplorasinya dan mengeksploitasi sumber-sumber daya alam. Artinya,
Landas Kontinen merupakan kedaulatan Negara pantai sampai di kedalaman 200 meter atau
di luar batas itu sampai di kedalam air yang memungkinkan eksploitasi sumber-sumber alam
dari daerah tersebut, serta hak Negara pantai atas Landas Kontinen tidak bergantung pada
pendudukan atau proklamasi yang diumumkan, sehingga dapat diartikan bahwa tidak ada
Negara lain yang dapat melakukan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam pada Landas
Kontinen suatu Negara pantai tanpa adanya persetujuan dari Negara pantai tersebut.

4
Beberapa tahun setelah dilaksanakannya Konvensi Jenewa 1958, Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tahun 1982 menentukan untuk mengadakan Konvensi
Hukum Laut 1982, yang merupakan puncak karya dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)
tentang hukum laut, yang dijadikan sebagai penyempurnaan daripada Konvensi Jenewa 1958,
Konvensi yang disetujui di Montego Bay – Jamaica yang membicarakan pengaturan lebih
lanjut daripada Landas Kontinen.
Pada Konvensi Hukum Laut 1982 atau yang lebih dikenal dengan United
Nations Convention on the Law of the Sea III (UNCLOS III), Pasal 76 angka 1
menyebutkan bahwa Landas Kontinen suatu Negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di
bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya
sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau
hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut territorial diukur,
dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut.
Sebagai negara kepulauan, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi Hukum
Laut Internasional, UNCLOS (United Nations Covention on the Law of the Sea) sejak
diterbitkannya Undang-undang nomor 17 tahun 1985 tentang ratifikasi Konvensi PBB
tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982).
1) jarak sampai 200 mil laut jika tepian luar kontinen tidak mencapai jarak 200
mil laut tersebut;
2) kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar kontinen
yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 mil laut yang diukur dari garis dasar
Laut Teritorial jika di luar 200 mil laut masih terdapat daerah dasar laut yang
merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan dan jika memenuhi
kriteria kedalaman sedimentasi yang ditetapkan dalam konvensi; atau
3) tidak boleh melebihi l00 mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2500 meter.

Kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar
kontinen yang ditentukan dalam Konvensi ini pada akhirnya dapat diterima negara-negara
bukan negara pantai, khususnya negara-negara tanpa pantai atau negara-negara yang
geografis tidak beruntung setelah Konvensi juga menentukan bahwa negara pantai
mempunyai kewajiban untuk memberikan pembayaran atau kontribusi dalam natura yang
berkenaan dengan eksploitasi sumber kekayaan non-hayati Landas Kontinen di luar 200 mil
laut.
5
Pembayaran atau kontribusi tersebut harus dilakukan melalui Otorita Dasar Laut
Internasional yang akan membagikannya kepada negara peserta Konvensi didasarkan pada
kriteria pembagian yang adil dengan memperhatikan kepentingan serta kebutuhan negara-
negara berkembang, khususnya negara-negara yang perkembangannya masih paling rendah
dan negara-negara tanpa pantai. Sekalipun Landas Kontinen pada mulanya termasuk dalam
rejim Zona Ekonomi Eksklusif, namun dalam Konvensi ini Landas Kontinen diatur dalam
Bab tersendiri. Hal ini berkaitan dengan diterimanya kriteria kelanjutan alamiah wilayah
daratan hingga pinggiran luar tepian kontinen, yang memungkinkan lebar landas Kontinen
melebihi lebar Zona Ekonomi Eksklusif.

2.2 Status Hukum Landas Kontinen

Pembagian laut atas dua bagian, yaitu laut teritorial yang berada di bawah kedaulatan
Negara pantai dan laut lepas yang bersifat bebas berlaku cukup lama dan mendapat
perumusan dalam Konvensi Den Haag 1930. Pembagian ini dianggap sebagai rekaman dari
Hukum Kebiasaan pada waktu itu. Tetapi keadaan berubah sesudah Perang Dunia ke II.
Diantara faktor penyebab perubahan itu, yaitu bertambah bergantungnya masyarakat bangsa-
bangsa pada laut sebagai sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati seperti
mineral minyak dan gas bumi, serta kemungkinan pengambil didukung dengan kemajuan
teknologi di bidang kelautan. Alasan demikian itu telah mendorong terjadinya tindakan
sepihak dari negara-negara untuk melindungi, memelihara dan mencadangkan sumber
kekayaan alamnya tidak saja di laut teritorialnya, tetapi juga menghendaki hak berdaulat yang
lebih luas lagi, yaitu di laut lepas yang berada di luar yurisdiksinya dan berbatasan dengan
laut teritorialnya. Tindakan sepihak negara-negara ini mengakibatkan perubahan-perubahan
dalam ketentuan hukum laut yang terbentuk sebelum perang dan merupakan kejadian atau
peristiwa yang mempunyai pengaruh yang jauh dan mendalam serta merupakan kejadian
yang cukup penting dalam sejarah perkembangan hukum laut internasional.

Sebenarnya di dalam sejarah hukum laut sudah ada preseden daripada penguasaan atau
pengambilan kekayaan alam dari dasar laut, seperti penambangan batubara di Selat Inggris
(English Channell) di Cornwall dan pengambilan mutiara dari dasar laut dekat pantai Ceylon
dan di teluk Persia yang di dasarkan atas hukum kebiasaan yang berlaku sejak dahulu kala.
6

Lain daripada itu perjanjian antara Venezuela dan Inggris tahun 1942 yang membagi dasar
laut yang terletak antara Venezuela dan Trinidad dan Tabago di luar laut teritorial Inggris dan
Venezuela.

Salah satu di antara peristiwa penting yang mempunyai pengaruh yang jauh dan
mendalam terhadap perkembangan hukum laut masa kini adalah tindakan sepihak Amerika
Serikat yang dinyatakan dalam Proklamasi Truman 1945 tentang “Continental Shelf” dan
Perikanan. Kedua Proklamasi Truman ini merupakan tindakan sepihak Amerika Serikat
dalam perluasan yurisdiksi atas laut lepas yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat
untuk tujuan pemanfaatan kekayaan alamnya.

Adapun landasan teori yang dikemukakan Amerika Serikat untuk mengambil tindakan
tersebut, karena “continental shelf” dapat dianggap sebagai kelanjutan alamiah (“natural
prolongation”) daripada wilayah daratan Amerika Serikat dan bagaimanapun usaha-usaha
untuk mengolah kekayaan yang terkandung di dalamnya memerlukan kerjasama dan
perlindungan dari pantai, dan berada di bawah yurisdiksi dan kontrolnya. Pada waktu itu
Presiden Truman belum lagi menentukan kriteria apa yang dinamakan dengan “continental
shelf” tersebut, tapi menegaskan Amerika Serikat tidak menuntut “continental shelf” sebagai
wilayah Amerika Serikat, melainkan hanya menuntut kekayaan alamnya, dan status perairan
di atasnya tetap sebagai laut lepas. Selang beberapa tahun banyak Negara mengklaim landas
kontinennya masing-masing. Pada Konferinsi Genewa tahun 1958 sebanyak 20 negara pantai
menyepakatilandas kontinen pada umumnya. Konferensi landas kontinen ini menyepakati
bahwa status hukum landas kontinen yaitu bahwa setiap Negara hanya mempunyai hak untuk
berdaulat untuk mengekspolarasi dan mengeksplotasi kekeyaan alamnya di landas kotinen.
Konsepsi landas kontinen adalah suatu konsep yang banyak dipermasalahkan dalam
Konperensi Hukum Laut PBB III, terutama dengan diajukannya konsepsi ZEE 200 meter
telah menimbulkan perbedaan pendapat antara kelompok-kelompok peserta.

     2.3 Batas luar Landas Kontinen dan Delimitasi Landas Kontinen antara negara yang
pantainya saling berhadapan dan berdampingan

Penetapan garis batas landas kontinen adalah suatu yang sangat penting untuk
menghindar terjadinya tumpah tindih klaim. Masalah delimitasi diatur dalam pasal 83
Kovensi dimana penetapan garis batas landas kontinen antara negara yang pantainya
berhadapan atau berdampingan harus dilakukan dengan persetujuan atas dasar hukum
internasional.

1. Berdasarkan Konvensi Jenewa 1958.


Ketentuan mengenai batasan dari Landas Kontinen jika didasarkan pada Konvensi
Jenewa 1958 sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1, yaitu “dasar laut dan tanah di
bawahnya yang bersambungan dengan pantai tetapi diluar laut teritorial, sampai pada
kedalaman 200 meter atau lebih, sepanjang dalamnya air laut di atasnya masih memungkin
kan untuk dapat mengekplorasi-nya dan mengekploitasi sumber-sumber daya alamnya”.
Sedangkan ketentuan mengenai penetapan Garis Batas Landas Kontinen, dapat dilihat
dari rumusan Pasal 6 Konvensi Jenewa 1958 tersebut, yaitu :
a.       Dalam hal landas kontinen bersambung ke wilayah dua atau lebih negara lain yang
pantainya saling berhadapan, batas dari landas kontinen ditentukan melalui suatu perjanjian
internasional.
b.      Apabila perjanjian seperti itu tidak ada maka garis batas biasanya adalah garis tengah
2. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982.
Ketentuan mengenai batasan dari Landas Kontinen jika didasarkan pada Konvensi
Hukum Laut PBB 1982 sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 76, yaitu “Pantai meliputi
dasar laut dan tanah dibawahnya dari daerah dibawah permukaan laut yang terletak di luar
laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah hingga daratannya hingga pinggiran luar
kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut
teritorialnya diukur”. Dan lebih lanjut ayat (2) nya menyebutkan bahwa “Landas Kontinen
suatu negara pantai tidak boleh melebihi dari batas-batas sebagaimana ditentukan dalam ayat
4 hingga ayat 6”.
Sedangkan ketentuan mengenai penetapan Garis Batas Landas Kontinen berdasarkan
Konvensi ini adalah :
a. Batas Landas Kontinen dari Negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau
bersambung, dilakukan dengan perjanjian atas dasar hukum internasional
sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional (Pasal 83
ayat (1)), yaitu :
1) Perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang
mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang
bersengketa;
2) Kebiasaan-kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah
diterima sebagai hukum

3) Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab; 

4) Keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran sarjana-sarjana yang paling terkemuka dari


berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi penetapan kaedah-kaedah hukum

b.  Apabila tidak dicapai persetujuan, harus digunakan prosedur dalam Bab XV tentang
Penyelesaian sengketa. (Pasal 83 ayat (2))

Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas menurut ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982


untuk mengukur lebar landas kontinen dapat ditentukan dengan beberapa alternatif, yaitu :

1. Sampai batas terluar tepian kontinen (“the continental margin”)


2. Sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal laut teritorial apabila tepian kontinen
tidak melebihi 200 mil laut;
3. Sampai jarak 350 mil laut dari garis pangkal laut teritorial apabila tepian kontinen
melebihi 200 mil laut, atau
4. Tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman (“isobath”) 2500 meter.

3.Pengaturan Garis Batas Landas Kontinen Indonesia dengan Negara-negara tetangga.


Sebagaimana yang telah dijabarkan pada pembahasan sebelumnya, dapat diketahui
bahwasanya setelah sepakatinya mengenai peraturan hukum laut pada Konvensi Hukum Laut
PBB 1982, sebagai bentuk tindak lanjutnya, Negara Indonesia yang merupakan Negara yang
merdeka dan berdaulat mengeluarkan pengumuman terkait Landas Kontinen Indonesia
kepada Negara-negara di dunia sekitar Tahun 1969 yang dikukuhkan dengan dibuat dan
disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia,
maka semenjak itulah mulai diadakannya kesepakatan atau perjanjian-perjanjian terkait
pengaturan Garis Batas Landas Kontinen dengan Negara-negara yang berbatasan langsung
dengan Indonesia.
Diantara beberapa perjanjian yang pernah dilakukan Indonesia dengan Negara tetangga
untuk kejelasan pengaturan atau penetapan Garis batas Landas Kontinen diantaranya adalah :
a.       Indonesia – Malaysia
Untuk pertama kalinya Indonesia melakukan perjanjian batas Landas Kontinen adalah
dengan Malaysia. Kedua belah pihak bersepakat, pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan
penandatanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia, yang disebut sebagai Perjanjian
Tapal Batas Kontinental Indonesia – Malaysia kedua negara masing-masing melakukan
ratifikasi pada 7 November 1969.
Batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia ditarik dari dekat Singapura dan berakhir
di dekat Pulau Batu Mandi di Selat Malaka. Artinya tidak ada batas perairan yang berupa
batas laut wilayah antara Malaysia dan Indonesia setelah Pulau Batu Mandi ke arah Barat
Laut di Selat Malaka.
9
Yang ada hanyalah batas landas kontinen yang ditetapkan pada tahun 1969. Namun sampai
sekarang ini masih ada dari batas-batas Landas Kontinen Indonesia – Malaysia yang masih
belum jelas kepastiannya akibat klaim masing-masing Negara atas wilayahnya.
b.      Indonesia – Singapura
Batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura ditentukan atas dasar hukum
internasional. Perjanjian ini didasari atas Konvensi PBB Tentang batas wilayah laut (The
United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) pada 1982. Kedua negara juga
turut meratifikasi UNCLOS. Ratifikasi dari batas wilayah laut yang disetujui ini merupakan
kelanjutan dari perjanjian batas wilayah laut yang sebelumnya telah disetujui oleh kedua
negara sebelumnya pada 25 Mei 1973.
Perjanjian tersebut akan menentukan dasar hukum bagi petugas berwenang kedua
negara dalam menjaga keamanan, keselamatan navigasi, penegakan hukum dan pengamanan
atas zona maritim berdasarkan hukum yang berlaku. Indonesia dan Singapura masih harus
menyelesaikan masalah perbatasan mereka di wilayah timur antara Batam dan Changi dan
lokasi diantara Bintan serta South Ledge, Middle Rock dan Batu Puteh. Penyelesaian batas
wilayah timur ini masih menunggu negosiasi antara Singapura dan Malaysia yang masih
harus dilakukan usai Pengadilan Internasional memerintahkan Singapura dan Malaysia untuk
melakukan perundingan.
c.       Indonesia – Filipina
Proses perundingan batas maritim RI – Filipina yang dilakukan sampai dengan tahun
2007 telah mencapai kemajuan yang signifikan dengan dihasilkannya kesepakatan atas garis
batas diantara kedua Tim Teknis Perunding. Saat ini proses perundingan masih tertunda
karena persoalan internal di pihak Filipina, yaitu dikeluarkannya Republic Act No. 9522
bulan Maret 2009, yang berisikan perubahan dari penetapan titik-titik dasar garis pangkal
(baseline) negara kepulauan Filipina, yang sebelumnya ditetapkan dalam Republic Act No.
3046 tahun 1961 dan Republic Act No. 5446 tahun 1968. Pada kesempatan pertemuan
bilateral tingkat kepala negara antara RI-Filipina yang diselenggarakan pada tanggal 8 Maret
2011, Menteri Luar Negeri kedua negara telah menandatangani Joint Declaration between the
Republic of Indonesia and the Republic of the Philippines concerning Maritime Boundary
Delimitation, yang intinya:
1)  Mempercepat proses penyelesaikan penetapan batas maritim RI-Filipina sesuai dengan
ketentuan UNCLOS 1982;
2)    Menginstruksikan Tim Teknis Bersama Penetapan Batas Maritim antara Republik Indonesia
dan Republik Filipina untuk bertemu dalam waktu yang secepat mungkin
10
d.      Indonesia – Thailand
Penetapan garis batas landas kontinen kedua negara terletak di Selat Malaka dan laut
Andaman. Perjanjian ini ditandatangai tanggal 17 Desember 1971, dan berlaku mulai 7 April
1972.
Jika ditinjau dari segi geografis, kemungkinan timbulnya masalah perbatasan antara RI
dengan Thailand tidak begitu kompleks, karena jarak antara ujung pulau Sumatera dengan
Thailand cukup jauh, RI-Thailand sudah memiliki perjanjian Landas Kontinen yang terletak
di dua titik koordinat tertentu di kawasan perairan Selat Malaka bagian utara dan Laut
Andaman.
e.       Indonesia – Vietnam
Indonesia dan Viet Nam telah menyelesaikan perjanjian batas Landas Kontinen pada
tahun 2003. Batas landas kontinen antara Indonesia – Vietnam ditarik dari pulau besar ke
pulau besar (main land to main land). Dalam perjanjian tersebut Indonesia berhasil
meyakinkan Vietnam untuk menggunakan dasar Konvensi Laut UNCLOS 1982. Dengan
demikian prinsip Indonesia sebagai negara Kepulauan telah terakomodasi.
f.        Indonesia – Australia
Perairan antara Indonesia dengan Australia meliputi wilayah yang sangat luas,
terbentang lebih kurang 2.100 mil laut dari selat Torres sampai perairan P.Chrismas.
Perjanjian perbatasan maritim antara Indonesia dengan Australia yang telah ditentukan dan
disepakati, menjadi sesuatu yang menarik untuk dipelajari perkembangannya, karena
perjanjian tersebut dilaksanakan baik sebelum berlakunya UNCLOS 1982 maupun
sesudahnya. Perjanjian yang telah ditetapkan juga menarik karena adanya negara Timor Leste
yang telah merdeka sehingga ada perjanjian (Timor Gap Treaty) yang menjadi batal dan
batas-batas laut yang ada harus dirundingkan kembali secara trilateral antara RI – Timor
Leste – Australia.
2.4.    Contoh Kasus ( Sengketa Ambalat )
Pada bulan Februari 2005, hubungan Indonesia dan Malaysia mengalami ketegangan
karena sengketa kepemilikan atas blok Ambalat, yaitu blok dasar laut (Landas Kontinen)
seluas 15.235 km2 yang berlokasi di sebelah timur Pulau Borneo (Kalimantan). Ambalat
memiliki keistimewaan yaitu memiliki kakayaan laut dan bawah laut, khususnya untuk
pertambangan minyak.
Sengketa ini muncul pada saat perusahaan minyak Malaysia, Petronas, memberikan
konsesi eksplorasi minyak kepada perusahaan Shell pada tanggal 16 Februari 2005.
11
Sementara itu, Indonesia sudah memberikan konsesi untuk wilayah dasar laut yang
sama kepada Unocal pada tanggal 12 Desember 2004, Dengan kata lain, dalam perspektif
Indonesia, Malaysia telah mengklaim kawasan yang sebelumnya telah dikelola oleh
Indonesia. Adanya tumpang tindih pemberian konsesi inilah yang menjadi pemicu
ketegangan antara kedua Negara, khususnya hal ini menimbulkan reaksi dari berbagai
kalangan di Indonesia.
Pada dasarnya Indonesia mengacu pada UNCLOS, sementara Malaysia bersikukuh
pada peta yang disiapkannya tahun 1979. Peta 1979 adalah peta sepihak Malaysia yang tidak
mendapat pengakuan dari negara tetangga dan dunia internasional. Meski demikian, Pata
1979 tetap menjadi peta resmi yang berlaku di Malaysia (setidaknya secara sepihak) bahkan
hingga saat ini . Padahal Indonesia dan Malaysia sama-sama telah meratifikasi/menjadi
anggota UNCLOS. Indonesia bahkan sudah menandatangani UNCLOS pada tahun 1985
melalui UU No. 17 Tahun 1985, sedangkan Malaysia melakukan ratifikasi pada tanggal 14
Oktober 1996 (United Nations, 2009). Ini berarti bahwa Indonesia dan Malaysia harus
mengikuti ketentuan UNCLOS dalam melakukan klaim atas kawasan laut seperti laut
teritorial, ZEE dan landas kontinen. Artinya, dalam menyatakan hak atas Ambalat pun kedua
negara harus mengacu pada UNCLOS.
Ancaman perbatasan yang dilakukan Malaysia ini semakin diperparah saat Indonesia
kalah suara ketika International Court of Justice (ICJ) menyatakan bahwa pulau Sipadan dan
Ligitan termasuk kedalam wilayah kedaulatan Malaysia. Diberikannya kedaulatan atas
Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia oleh International Court of Justice pada tahun 2002
melahirkan potensi berubahnya konfigurasi garis pangkal Indonesia dan Malaysia di sekitar
Laut Sulawesi. Ada kemungkinan bahwa Malaysia akan menggunakan kedua pulau tersebut
sebagai titik pangkal. Konsekuensinya, wilayah laut yang bisa diklaim oleh Malaysia akan
melebar ke bagian selatan menuju Blok Ambalat. Hal inilah yang menjadi dasar pandangan
bahwa Sipadan dan Ligitan berpengaruh pada klaim Malaysia atas Ambalat dan dapat
membahayakan klaim Indonesia atas Ambalat.

12
BAB III
PENUTUP

3.1     Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian pada bab pembahasan sebagai jawaban atas permasalahan
yang timbul dalam bab pendahuluan makalah ini, maka dapatlah ditarik kesimpulan-
kesimpulan sebagai berikut.
1.  Perkembangan lapangan hukum laut dalam hal Landas Kontinen erat kaitannya dengan
bertambah majunya teknologi, teknik penggalian kekayaan alam terutama minyak bumi.
Yaitu dimulai dari adanya Proklamasi Trauman oleh Presiden Amerika serikat Tahun 1945,
Konvensi Hukum Laut 1958, dan dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 yang dalam
perkembangannya tersebut memiliki pengertian/defenisinya masing-masing. Indonesia
sebagai salah satu Negara yang ikut meratifikasi konvensi tersebut juga telah mengesahkan
dan mengukuhkannya dalam peraturan perundang-undangan nasional, salah satunya UU No.1
Tahun 1973 tentang Landas Kontinen.
3.  Secara umum batas landas kontinen sudah diatur di dalam UNCLOS, namun dalam hal
penetapan garis batas landas kontinen suatu Negara dapat merealisasikannya dengan
mengadakan perjanjian-perjanjian bilateral dengan Negara-negara yang berbatasan langsung
dengan garis batas landas kontinennya sebagai upaya untuk menghindari terjadinya konflik
perbatasan.
4.   Salah satu bentuk contoh kasus yang berkaitan erat dengan Landas Kontinen dan sedang
marak-maraknya terjadi pada saat ini serta belum terselesaikan sampai sekarang adalah Kasus
Ambalat, Blok dasar laut yang dipersengketakan oleh Indonesia dan Malaysia.
3.2 Saran

1. Memperhatikan kesimpulan tersebut di atas serta dengan adanya kesempatan bagi penulis
dalam penulisan ini, maka penulis mencoba memberikan saran-saran yang kemungkinan ada
gunanya bagi penulis sendiri, para pembaca umumnya, maupun Instansi Pemerintah terkait
pada khususnya. Adapun saran-saran yang penulis sampaikan adalah sebagai
berikut.Pemerintah suatu Negara, diharapkan agar lebih memberikan perhatian khusus
terhadap wilayah laut Landas Kontinen, agar lebih memperhatikan secara seksama Penetapan
Garis Batas Landas Kontinen, apalagi dengan Negara yang berbatasan langsung dengan
Negara tersebut.

2.   Khususnya untuk Pemerintah Negara Republik Indonesia diharapkan agar dapat lebih tegas
lagi dalam menyikapi klaim-klaim Negara tetangga terhadap klaim kedaulatan wilayah laut
Indonesia. Salah satunya adalah dengan mempertegas pencantuman pengaturannya dalam
peraturan perundang-undangan Nasional. Selain itu mengenai Perbatasan Garis Landas
Kontinen agar lebih diperjelas dengan melakukan Perjanjian-perjanjian bilateral dan
melaporkannya secara berkala ke Komisi Batas Landas Kontinen, dimana tujuannya adalah
untuk menghindari konflik-konflik yang kemungkinan akan dapat terjadi di masa yang akan
datang jika tidak diantisipasi dari awal.
14
DAFTAR PUSTAKA

Ramlan, Hukum Laut Internasional, Universitas Jambi, Jambi, 2006.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Bandung, 1986.


I Wayan Parthiana ,
Pengantar Hukm Internasional, PT Mandar Maju.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/1498,10

http://amandadj.blogspot.com/2012/01/batas-wilayah-negara-republik-indonesia.html
.,

http://ojs.unud.ac.id/index.php/widya/article/download/3673/2701

http://annekasaldianmardhiah.blogspot.com/2013/04/hukum-laut-internasional_19.html

I Wayan Parthiana ,

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/1498,10

http://amandadj.blogspot.com/2012/01/batas-wilayah-negara-republik-indonesia.html

Anda mungkin juga menyukai