‘’ LANDAS KONTINEN ‘’
DOSEN PENGAMPU :
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
1. Ristyn Karisma Ayu Sy { B10018158 }
2. Risha Rahma Feris { B10018156 }
3. Erma Novita Veranita { B10018155 }
4. Albar Ramadhan { B10018165 }
5. Ali Azwar { B10018157 }
6. Asmida Wanti Hs { B10018154 }
7. Raja Ika Hari { B10018159 }
8. Gunawan Edo Wardo { B10018164 }
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI
2020
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Berkembangnya lapangan hukum laut dalam hal Landas Kontinen erat kaitannya
dengan bertambah majunya teknologi, teknik penggalian kekayaan alam terutama minyak
bumi, yang dalam perkembangannya memungkinkan eksplorasi dan eksploitasi tidak hanya
di daratan tapi juga di dalam tanah di bawah dasar laut.
Landas Kontinen dapat dikatakan sebagai perkembangan baru pasca Perang Dunia II.
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja menyebutkan bahwa,
3
Tindakan pemerintah Amerika Serikat terkait dataran kontinen (Continental Shelf) ini
didasarkan atas pendapat ahli-ahli geologi minyak bumi bahwa bagian-bagian tertentu dari
dataran kontinen di luar batas 3 mil mengandung endapan-endapan minyak bumi yang sangat
berharga yang memungkinkan untuk mengeksploitasikan secara teratur suatu daerah di
bawah permukaan laut (submarine area).
Proklamasi Trauman Tahun 1945 tersebut tidak menimbulkan protes dari Negara-
negara lain, bahkan sejak tindakan Amerika Serikat yang hanya didasarkan pada pernyataan-
pernyataan sepihak terkait masalah Landas Kontinen berkembang dan mendapat perhatian
dari Negara-negara Amerika Latin yang justru mengikuti jejak dan langkah dari Amerika
Serikat tersebut, diantaranya seperti Chili, Equador, dan Peru tepatnya pada Deklarasi
Santiago 18 Agustus 1952, dimana ketiga Negara tersebut mengklaim bahwa area lautan
beserta dasar laut dan tanah di bawahnya dalam jarak 200 mil laut dari pantainya berada di
bawah kedaulatannya.
Pada perkembangan berikutnya Negara-negara internasional kembali membicarakan
pengaturan hukum mengenai Landas Kontinen dalam Konvensi Jenewa 1958 yang dihadiri
oleh 700 delegasi dari 86 negara. atau disebut juga dengan Konvensi Hukum Laut 1958,
diadakan oleh Internasional Law Commission yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-
bangsa (PBB), Pasal 1 Konvensi Jenewa 1958 berbunyi :
“For the purpose of these articles, the term “continental shelf” is used as refering (a) to the
seabed and subsoil of the submarine areas adjacent to the coast but autside the area of the
territorial sea, to a depth of 200 metres or beyond that limit, to where the superjecent waters
admits of the exploitation of the natural resources of the said areas to seabed and subsoli of
similar submarine areas adjacent to the coast of islands”.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa Landas Kontinen adalah dasar laut dan tanah di
bawahnya yang bersambungan dengan pantai tetapi di luar laut teritorial, sampai pada
kedalaman 200 meter atau lebih sepanjang dalamnya air laut di atasnya masih memungkinkan
untuk dapat mengeksplorasinya dan mengeksploitasi sumber-sumber daya alam. Artinya,
Landas Kontinen merupakan kedaulatan Negara pantai sampai di kedalaman 200 meter atau
di luar batas itu sampai di kedalam air yang memungkinkan eksploitasi sumber-sumber alam
dari daerah tersebut, serta hak Negara pantai atas Landas Kontinen tidak bergantung pada
pendudukan atau proklamasi yang diumumkan, sehingga dapat diartikan bahwa tidak ada
Negara lain yang dapat melakukan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam pada Landas
Kontinen suatu Negara pantai tanpa adanya persetujuan dari Negara pantai tersebut.
4
Beberapa tahun setelah dilaksanakannya Konvensi Jenewa 1958, Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tahun 1982 menentukan untuk mengadakan Konvensi
Hukum Laut 1982, yang merupakan puncak karya dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)
tentang hukum laut, yang dijadikan sebagai penyempurnaan daripada Konvensi Jenewa 1958,
Konvensi yang disetujui di Montego Bay – Jamaica yang membicarakan pengaturan lebih
lanjut daripada Landas Kontinen.
Pada Konvensi Hukum Laut 1982 atau yang lebih dikenal dengan United
Nations Convention on the Law of the Sea III (UNCLOS III), Pasal 76 angka 1
menyebutkan bahwa Landas Kontinen suatu Negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di
bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya
sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau
hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut territorial diukur,
dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut.
Sebagai negara kepulauan, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi Hukum
Laut Internasional, UNCLOS (United Nations Covention on the Law of the Sea) sejak
diterbitkannya Undang-undang nomor 17 tahun 1985 tentang ratifikasi Konvensi PBB
tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982).
1) jarak sampai 200 mil laut jika tepian luar kontinen tidak mencapai jarak 200
mil laut tersebut;
2) kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar kontinen
yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 mil laut yang diukur dari garis dasar
Laut Teritorial jika di luar 200 mil laut masih terdapat daerah dasar laut yang
merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan dan jika memenuhi
kriteria kedalaman sedimentasi yang ditetapkan dalam konvensi; atau
3) tidak boleh melebihi l00 mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2500 meter.
Kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar
kontinen yang ditentukan dalam Konvensi ini pada akhirnya dapat diterima negara-negara
bukan negara pantai, khususnya negara-negara tanpa pantai atau negara-negara yang
geografis tidak beruntung setelah Konvensi juga menentukan bahwa negara pantai
mempunyai kewajiban untuk memberikan pembayaran atau kontribusi dalam natura yang
berkenaan dengan eksploitasi sumber kekayaan non-hayati Landas Kontinen di luar 200 mil
laut.
5
Pembayaran atau kontribusi tersebut harus dilakukan melalui Otorita Dasar Laut
Internasional yang akan membagikannya kepada negara peserta Konvensi didasarkan pada
kriteria pembagian yang adil dengan memperhatikan kepentingan serta kebutuhan negara-
negara berkembang, khususnya negara-negara yang perkembangannya masih paling rendah
dan negara-negara tanpa pantai. Sekalipun Landas Kontinen pada mulanya termasuk dalam
rejim Zona Ekonomi Eksklusif, namun dalam Konvensi ini Landas Kontinen diatur dalam
Bab tersendiri. Hal ini berkaitan dengan diterimanya kriteria kelanjutan alamiah wilayah
daratan hingga pinggiran luar tepian kontinen, yang memungkinkan lebar landas Kontinen
melebihi lebar Zona Ekonomi Eksklusif.
Pembagian laut atas dua bagian, yaitu laut teritorial yang berada di bawah kedaulatan
Negara pantai dan laut lepas yang bersifat bebas berlaku cukup lama dan mendapat
perumusan dalam Konvensi Den Haag 1930. Pembagian ini dianggap sebagai rekaman dari
Hukum Kebiasaan pada waktu itu. Tetapi keadaan berubah sesudah Perang Dunia ke II.
Diantara faktor penyebab perubahan itu, yaitu bertambah bergantungnya masyarakat bangsa-
bangsa pada laut sebagai sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati seperti
mineral minyak dan gas bumi, serta kemungkinan pengambil didukung dengan kemajuan
teknologi di bidang kelautan. Alasan demikian itu telah mendorong terjadinya tindakan
sepihak dari negara-negara untuk melindungi, memelihara dan mencadangkan sumber
kekayaan alamnya tidak saja di laut teritorialnya, tetapi juga menghendaki hak berdaulat yang
lebih luas lagi, yaitu di laut lepas yang berada di luar yurisdiksinya dan berbatasan dengan
laut teritorialnya. Tindakan sepihak negara-negara ini mengakibatkan perubahan-perubahan
dalam ketentuan hukum laut yang terbentuk sebelum perang dan merupakan kejadian atau
peristiwa yang mempunyai pengaruh yang jauh dan mendalam serta merupakan kejadian
yang cukup penting dalam sejarah perkembangan hukum laut internasional.
Sebenarnya di dalam sejarah hukum laut sudah ada preseden daripada penguasaan atau
pengambilan kekayaan alam dari dasar laut, seperti penambangan batubara di Selat Inggris
(English Channell) di Cornwall dan pengambilan mutiara dari dasar laut dekat pantai Ceylon
dan di teluk Persia yang di dasarkan atas hukum kebiasaan yang berlaku sejak dahulu kala.
6
Lain daripada itu perjanjian antara Venezuela dan Inggris tahun 1942 yang membagi dasar
laut yang terletak antara Venezuela dan Trinidad dan Tabago di luar laut teritorial Inggris dan
Venezuela.
Salah satu di antara peristiwa penting yang mempunyai pengaruh yang jauh dan
mendalam terhadap perkembangan hukum laut masa kini adalah tindakan sepihak Amerika
Serikat yang dinyatakan dalam Proklamasi Truman 1945 tentang “Continental Shelf” dan
Perikanan. Kedua Proklamasi Truman ini merupakan tindakan sepihak Amerika Serikat
dalam perluasan yurisdiksi atas laut lepas yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat
untuk tujuan pemanfaatan kekayaan alamnya.
Adapun landasan teori yang dikemukakan Amerika Serikat untuk mengambil tindakan
tersebut, karena “continental shelf” dapat dianggap sebagai kelanjutan alamiah (“natural
prolongation”) daripada wilayah daratan Amerika Serikat dan bagaimanapun usaha-usaha
untuk mengolah kekayaan yang terkandung di dalamnya memerlukan kerjasama dan
perlindungan dari pantai, dan berada di bawah yurisdiksi dan kontrolnya. Pada waktu itu
Presiden Truman belum lagi menentukan kriteria apa yang dinamakan dengan “continental
shelf” tersebut, tapi menegaskan Amerika Serikat tidak menuntut “continental shelf” sebagai
wilayah Amerika Serikat, melainkan hanya menuntut kekayaan alamnya, dan status perairan
di atasnya tetap sebagai laut lepas. Selang beberapa tahun banyak Negara mengklaim landas
kontinennya masing-masing. Pada Konferinsi Genewa tahun 1958 sebanyak 20 negara pantai
menyepakatilandas kontinen pada umumnya. Konferensi landas kontinen ini menyepakati
bahwa status hukum landas kontinen yaitu bahwa setiap Negara hanya mempunyai hak untuk
berdaulat untuk mengekspolarasi dan mengeksplotasi kekeyaan alamnya di landas kotinen.
Konsepsi landas kontinen adalah suatu konsep yang banyak dipermasalahkan dalam
Konperensi Hukum Laut PBB III, terutama dengan diajukannya konsepsi ZEE 200 meter
telah menimbulkan perbedaan pendapat antara kelompok-kelompok peserta.
2.3 Batas luar Landas Kontinen dan Delimitasi Landas Kontinen antara negara yang
pantainya saling berhadapan dan berdampingan
Penetapan garis batas landas kontinen adalah suatu yang sangat penting untuk
menghindar terjadinya tumpah tindih klaim. Masalah delimitasi diatur dalam pasal 83
Kovensi dimana penetapan garis batas landas kontinen antara negara yang pantainya
berhadapan atau berdampingan harus dilakukan dengan persetujuan atas dasar hukum
internasional.
b. Apabila tidak dicapai persetujuan, harus digunakan prosedur dalam Bab XV tentang
Penyelesaian sengketa. (Pasal 83 ayat (2))
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian pada bab pembahasan sebagai jawaban atas permasalahan
yang timbul dalam bab pendahuluan makalah ini, maka dapatlah ditarik kesimpulan-
kesimpulan sebagai berikut.
1. Perkembangan lapangan hukum laut dalam hal Landas Kontinen erat kaitannya dengan
bertambah majunya teknologi, teknik penggalian kekayaan alam terutama minyak bumi.
Yaitu dimulai dari adanya Proklamasi Trauman oleh Presiden Amerika serikat Tahun 1945,
Konvensi Hukum Laut 1958, dan dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 yang dalam
perkembangannya tersebut memiliki pengertian/defenisinya masing-masing. Indonesia
sebagai salah satu Negara yang ikut meratifikasi konvensi tersebut juga telah mengesahkan
dan mengukuhkannya dalam peraturan perundang-undangan nasional, salah satunya UU No.1
Tahun 1973 tentang Landas Kontinen.
3. Secara umum batas landas kontinen sudah diatur di dalam UNCLOS, namun dalam hal
penetapan garis batas landas kontinen suatu Negara dapat merealisasikannya dengan
mengadakan perjanjian-perjanjian bilateral dengan Negara-negara yang berbatasan langsung
dengan garis batas landas kontinennya sebagai upaya untuk menghindari terjadinya konflik
perbatasan.
4. Salah satu bentuk contoh kasus yang berkaitan erat dengan Landas Kontinen dan sedang
marak-maraknya terjadi pada saat ini serta belum terselesaikan sampai sekarang adalah Kasus
Ambalat, Blok dasar laut yang dipersengketakan oleh Indonesia dan Malaysia.
3.2 Saran
1. Memperhatikan kesimpulan tersebut di atas serta dengan adanya kesempatan bagi penulis
dalam penulisan ini, maka penulis mencoba memberikan saran-saran yang kemungkinan ada
gunanya bagi penulis sendiri, para pembaca umumnya, maupun Instansi Pemerintah terkait
pada khususnya. Adapun saran-saran yang penulis sampaikan adalah sebagai
berikut.Pemerintah suatu Negara, diharapkan agar lebih memberikan perhatian khusus
terhadap wilayah laut Landas Kontinen, agar lebih memperhatikan secara seksama Penetapan
Garis Batas Landas Kontinen, apalagi dengan Negara yang berbatasan langsung dengan
Negara tersebut.
2. Khususnya untuk Pemerintah Negara Republik Indonesia diharapkan agar dapat lebih tegas
lagi dalam menyikapi klaim-klaim Negara tetangga terhadap klaim kedaulatan wilayah laut
Indonesia. Salah satunya adalah dengan mempertegas pencantuman pengaturannya dalam
peraturan perundang-undangan Nasional. Selain itu mengenai Perbatasan Garis Landas
Kontinen agar lebih diperjelas dengan melakukan Perjanjian-perjanjian bilateral dan
melaporkannya secara berkala ke Komisi Batas Landas Kontinen, dimana tujuannya adalah
untuk menghindari konflik-konflik yang kemungkinan akan dapat terjadi di masa yang akan
datang jika tidak diantisipasi dari awal.
14
DAFTAR PUSTAKA
http://amandadj.blogspot.com/2012/01/batas-wilayah-negara-republik-indonesia.html
.,
http://ojs.unud.ac.id/index.php/widya/article/download/3673/2701
http://annekasaldianmardhiah.blogspot.com/2013/04/hukum-laut-internasional_19.html
I Wayan Parthiana ,
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/1498,10
http://amandadj.blogspot.com/2012/01/batas-wilayah-negara-republik-indonesia.html