Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH HUKUM LAUT

Dosen Pengampu
Muhammad Zulfajrin, S.H., LL.M

Disusun oleh
Nama : St Raodah
Nim : I0120368
Kelas : Ilmu Hukum A

PRODI ILMU HUKUM ANGKATAN 2020


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULAWESI BARAT
TAHUN 2022/2023
DAFTAR ISI

Daftar Isi…………………………………………………………………………………………………………….2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……………………………………………………………………………………………….3
B. Identifikasi Masalah…………………………………………………………………………………….,…4
C. Tujuan…………………………………………………………………………………………………………..4

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut di Indonesia………………………………………………5


B. Sumber – Sumber Hukum Laut………………………………………………………………………..8
C. Sistem Penegakan Hukum di Perairan Indonesia………………………………………………11
D. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)………………………………………………………………………..13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………………………………………………..15
B. Daftar Pustaka………………………………………………………………………………………………16
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum laut merupakan cabang hukum internasional. Semenjak berakhirnya perang Dunia
II, hukum laut mengalami revolusi atau perubahan- perubahan mendalam sesuai dengan
perkembangan dan tuntutan zaman. Saat ini peran hukum laut sangat menonjol dalam
mengatur sejauh mana kekuasaan suatu negara terhadap laut dan tentang kekayaan yang ada
di dalamnya. Laut menurut definisi hukum adalah keseluruhan air laut yang berhubungan
secara bebas di seluruh permukaan bumi. Jadi Laut Mati, Laut Kaspia,dan Great Salt Lake yang
ada di Amerika Serikat dari segi hukum tidak dapat dikatakan laut, karena laut-laut tersebut
tertutup dan tidak mempunyai hubungan dengan bagian-bagian laut lainnya di dunia.

Laut merupakan bagian terluas di permukaan bumi sebab 3⁄4 permukaan bumi ialah laut
yang menghubungkan suatu negara dan negara lain. Selain itu, laut juga penting dalam
hubungan antar bangsa dan negara untuk mengatur kompetisi antar bangsa dan negara
dalam mencari dan mendayagunakan kekayaan laut. Saat ini, pemanfaatan dan
pengembangan perikanan serta pertambangan yang terkandung di kawasan dasar laut (Sea
Bed) semakin hari pertumbuhannya semakin pesat. Oleh karena itu, perlu adanya pengaturan
yang mengatur tentang pelaksanaan hukum laut maupun pemanfaatan kawasan dasar laut.
Hal tersebut, menyebabkan penting pula adanya Hukum Laut Internasional untuk mengatur
jalur pelayaran dan perdagangan Internasional.

Secara geografis Indonesia merupakan negara maritim. Negara maritim merupakan suatu
konsep dimana negara dalam hal ini Indonesia mampu memanfaaatkan semua potensi laut
baik itu perikanan, kelautan, pertambangan, wisata bahari maupun pertahanan negara.
Seperti yang kita tahu bahwa Indonesia memiliki wilayah perairan terbesar di dunia dan dua
pertiga dari luas wilayahnya adalah perairan. Potensi wilayah pesisir dan lautan Indonesia
dipandang dari segi fisik, terdiri dari Perairan Kepulauan seluas 2,9 juta km2, Laut Teritorial
seluas 0,3 juta km2, luas ZEE sekitar 3,0 juta km2, panjang garis pantai lebih dari 81.00 km87
dan disamping itu Indonesia memiliki pulau berjumlah 17.504 pulau.
Hukum laut pada pokoknya hanya mengatur kegiatan-kegiatan di atas permukaan laut,
dasar laut, serta kekayaan mineral yang terkandung didalamnya. Hukum laut menjadi penting
untuk mengatur sumber daya alam serta untuk mengatur hal-hal tertentu, seperti jalur
tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen. Dalam konteks hukum nasional,
Wilayah Perairan diatur melalui Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia. Wilayah Perairan Indonesia adalah segala perairan sekitar, di antara, dan yang
menghubungkan pulau-pulau atau bagian-bagian pulau yang termasuk dataran Negara
Republik Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Praktik
masyarakat internasional membuktikan bahwa laut merupakan wilayah yang kompleks dan
menimbulkan banyak permasalahan dalam pengukuran batas wilayahnya. Oleh karenanya
Hukum Internasional mengatur secara tersendiri wilayah laut dan pemanfaatannya di dalam
United Nations Convention Of The Law On The Sea tahun 1982 (Selanjutnya disebut UNCLOS
1982).

B. Identifikasi Masalah
1. Sejarah perkembangan hukum laut di Indonesia.
2. Sumber – sumber hukum laut.
3. Sistem penegakan hukum di perairan Indonesia.
4. Zona ekonomi eksklusif (zee) dalam UNCLOS 1982.

C. Tujuan
1. Agar kita mengetahui bagaimana sejarah perkembangan hukum laut di Indonesia.
2. Agar kita mengetahui sumber – sumber hukum laut.
3. Agar kita mengetahui bagaiman sistem penegakan hukum di perairan Indonesia.
4. Agar kita mengetahui tentang Zona Ekonomi Eksklusif dalam UNCLOS 1982.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Indonesia


Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terluas di dunia, sebagai negara
dengan kepulauan dan garis pantai terpanjang didunia, ini menjadi salah satu
keuntungan bagi negara indonesia, sektor maritim dan laut indonesia sangat strategis
baik dari faktor pariwisata, perdagangan, dan juga menjadi jalur lintas nasional
maupun internasional. Konsep negara kepulauan Indonesia ini sendiri di dapat pada
tahun 1957 melalui Deklarasi Juanda. pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah
deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut
sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah
NKRI.
Di masa lampau, perairan Indonesia diatur oleh Teritoriaal Zee En Marietieme
Kringen Ordonnantie Tahun 1939, tercantum dalam staatsblad 1939 No. 442 dan yang
mulai berlaku tanggal 25 September 1939. Mengenai laut wilayah, pasal 1 Ordonasi
tersebut antara lain menyatakan bahwa : “Lebar laut Indonesia adalah 3 mil laut,
diukur dari garis air rendah dari pulau-pulau yang termasuk dalam daerah Indonesia.”
Ketentuan yang dilahirkan di zaman penjajahan ini masih tetap kita pakai sampai
tahun 1957, walaupun lama sebelumnya sudah terasa bahwa ketentuan tersebut tidak
sesuai lagi dengan kepentingan-kepentingan pokok Indonesia, baik dibidang ekonomi,
politik maupun dibidang keamanan.
Penentuan batas laut yang demikian ini sudah tidak cocok lagi dengan
perkembangan zaman, tidak sesuai dengan kepentingan rakyat banyak kaarena sifat
khusus Indonesia yang merupakan Negara kepulauan serta letaknya yang strategis.
Kalau kita teruskan menganut dan melaksanakan ketentuan-ketentuan lama ini
akibatnya akan sangat merugikan kepentingan- kepentingan nasional kita. Bila cara
pengukuran yang lama tetap dipakai yaitu lebar laut wilayah yang di ukur dari garis
pangkal air rendah maka sebagian besar dari pulau-pulau kita akan mempunyai laut
wilayahnya sendiri-sendiri dan sebagai akibatnya di antara laut-laut wilayah tersebut
terdapat pula bagian-bagian laut lepas. Walaupun diantara ribuan pulau-pulau tersebut
masih banyak terdapat pulau-pulau yang jaraknya satu sama lain kurang dari 6 mil,
jadi hanya akan merupakan kelompok pulau-pulau atau pulau-pulau yang mempunyai
laut wilayahnya sendiri-sendiri karena jaraknya satu sama lain lebih dari 6 mil dan
demikian mempunyai kantong-kantong laut lepas.
Banyaknya laut-laut wilayah dengan kantong-kantong laut lepas dalam kepulauan
Indonesia akan menimbulkan banyak persoalan dan bahkan dapat membahayakan
keutuhan wilayah nasional. Dari segi keamanan, bentuk laut yang demikian akan
menimbulkan banyak kesulitan dalam melakukan pengawasan. Kita dapat bayangkan
betapa berat dan rumitnya tugas kapal-kapal perang atau kapal-kapal pengawas
pantai untuk menjaga perairan kita terhadap usaha-usaha penyelundupan, kegiatan-
kegiatan subversive asing dan usaha-usaha pelanggaran hukum lainya, karena banyak
dan berbelit-belitnya susunan kepulauan yang harus diawasi. Setiap waktu kapal-kapal
pengawas harus menentukan posisinya apakah berada di laut wilayah atau laut lepas
karena pada saat itu peraturan hukum tentang bagian-bagian laut tersebut berbeda
satu sama lain.
Selanjutnya kantong-kantong laut lepas yang terdapat di antara pulau- pulau dan
kelompok pulau-pulau tersebut akan menyebabkan terdapatnya pula kantong-kantong
udara bebas di wilayah udara kita yang akan menimbulkan pula persoalan-persoalan
dari segi penerbangan. Adanya kantong-kantong laut lepas menyebabkan wilayah
udara kita tidak homogen dan hal ini akan merupakan ancaman terhadap keamanan
nasional.
Demikian demi untuk mengamankan kepentingan-kepentingan pokok Indonesia, baik
dari segi ekonomi, pelayaran, politik maupun dari segi hankamnas pemerintah merasa
perlu merombak ketentuan-ketentuan lama dan mengumumkan ketentuan-ketentuan
baru di bidang perairan nasional.
Ketentuan-ketentuan baru ini pada mulanya dikeluarkan dalam bentuk
pengumuman pemerintah tanggal 13 Desember 1957, yang kemudian dikenal dengan
nama Deklarasi Djuanda yang isinya sebagai berikut : Bahwa segala perairan di
sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau
yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia dengan tidak memandang luas
atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara
Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional
yang berada dibawah kedaulatan mutlak dari Negara Republik Indonesia.
Lalu lintas damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin selama
dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan Negara
Indonesia. Penentuan batas laut territorial yang lebarnya 12 mil yang di ukur dari
garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau- pulau Negara Republik
Indonesia akan di tentukan dengan undang-undang.
Menurut pendapat penulis disini bahwa, lebar laut Indonesia menjadi 12 mil
yang diukur dari garis pangkal yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau
Indonesia terluar. Selanjutnya, wilayah Republik Indonesia merupakan paduan tunggal
yang tidak dapat dipisah-pisahkan antara daratan dan lautan serta udara diatasnya.
Konsepsi baru ini kemudian diperkokoh dengan undang-undang No. 4 Prp. Tahun
1960.
Jadi dengan ketentuan hukum yang baru ini, seluruh kepulauan dan perairan
Indonesia adalah suatu satu kesatuan dimana dasar laut, lapisan tanah dibawahnya,
udara diatasnya, serta seluruh kekayaan alamnya berada di bawah kedaulatan
Indonesia.
Berikut adalah ketentuan-ketentuan baru yang mengatur perairan Indonesia
sesuai Undang-undang No. 4 Prp. Tahun 1960 yang antara lain :21
a. Perairan Indonesia adalah laut wilayah Indonesia beserta perairan pedalaman
Indonesia.
b. Laut wilayah Indonesia ialah lajur laut selebar 12 mil laut yang garis luarnya di
ukur tegak lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah
dari pada pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang terluar dalam wilayah
Indonesia dengan ketentuan bahwa jika ada selat yang lebarnya tidak melebihi
24 mil laut dan Negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya Negara tepi,
garis batas laut wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat.
c. Perairan pedalaman Indonesia ialah semua perairan yang terletak pada sisi
dalam dari garis dasar.
d. Lalu lintas laut damai dalam perairan pedalaman Indonesia terbuka bagi
kendaraan asing.
e. Juga diterimanya dan berlakunya konsepsi hukum laut territorial 12 mil adalah
pada konsepsi hukum laut internasional I ( UNCLOS ) pada tahun 1958, bahwa
laut territorial di tetapkan 12 mil dari garis pangkal surut air pantai.

B. Sumber – Sumber Hukum Laut


Laut tidak hanya berfungsi untuk pelayaran (permukaan perairan), akan tetapi
juga memiliki nilai potensi sumber daya yang besar, baik yang terdapat di kolom
perairan (ikan) maupun di dasar perairan (minyak dan gas bumi). Di masa lalu,
dengan penguasaan teknologi yang terbatas, permukaan laut hanya dimanfaatkan
untuk kepentingan pelayaran. Sekarang, dengan berkembangnya teknologi, laut
sudah dimanfaatkan hingga dasar perairannya. Oleh karenanya, hukum laut
berkembang pesat sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini sebagaimana
diungkapkan Mauna (2000), bahwa hukum laut yang dulunya bersifat
unidimensional sekarang telah berubah menjadi pluridimensional yang sekaligus
merombak filosofi dan konsepsi hukum laut di masa lalu.
Prodjodikoro (1991) menambahkan bahwa hukum laut oleh pakar-pakar di
masa lalu hanya diartikan yang terkait dengan aturan pelayaran kapal di laut,
khususnya pengangkutan orang atau barang dengan kapal laut. Artinya, hukum
laut hanya ditinjau dari segi hukum perdata (privaat recht). Padahal, hukum laut
juga mengatur wilayah hukum publik (publiek recht).
Sementara itu, berbicara mengenai sumber hukum laut, ketentuan- ketentuan
mengenai hukum laut sebelum tahun 1958 didasarkan atas hukum kebiasaan
(Mauna, 2000). Hukum kebiasaan internasional merupakan salah satu sumber
hukum yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional
Permanen. Istilah kebiasaan (custom) dan adat istiadat (usage) sering digunakan
secara bergantian. Namun demikian, kedua istilah tersebut mempunyai perbedaan
teknis yang sangat tegas, adat istiadat merupakan tahapan yang mendahului
adanya kebiasaan. Dengan kata lain, kebiasaan adalah suatu adat istiadat yang
telah memperoleh kekuatan hukum (Starke, 2001).
Hukum kebiasaan berasal dari praktik negara-negara melalui sikap dan tindakan
yang diambil terhadap suatu persoalan. Bila suatu negara mengambil suatu
kebijaksanaan dan kebijaksanaan tersebut diikuti oleh negara-negara lain dan
dilakukan berkali-kali serta tanpa adanya protes atau tantangan dari pihak lain,
maka secara berangsur-angsur terbentuklah suatu kebiasaan. Dengan kata lain,
terbentuknya suatu hukum kebiasaan didasari oleh praktik yang sama, dilakukan
secara konstan, tanpa adanya pihak yang menentang serta diikuti oleh banyak
negara (Mauna, 2000). Hal ini sesuai dengan pernyataan para pakar hukum
internasional, bahwa ada unsur yang harus dipenuhi agar kebiasaan internasional
dipandang sebagai hukum kebiasaan internasional, yaitu (Kusumaatmadja dan
Agoes, 2003; dan Parthiana, 1990):
a. Perilaku itu harus merupakan praktik atau perilaku yang secara umum telah
dilakukkan atau dipraktikkan oleh negara-negara.
b. Perilaku yang telah dipraktikkan secara umum tersebut, oleh negara- negara
atau masyarakat internasional, telah diterima atau ditaati sebagai perilaku
yang memiliki nilai sebagai hukum.
Sementara itu, secara utuh Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional
Permanen menyebutkan bahwa sumber hukum internasional terdiri atas:
1. Perjanjian internasional, adalah perjanjian yang diadakan antar anggota
masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum
tertentu. Berdasarkan batasan tersebut, maka untuk dapat disebutkan sebagai
perjanjian internasional, perjanjian tersebut harus dilakukan oleh subjek
hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional. Adapun
subjek hukum internasional, yaitu: Negara, Tahta Suci (vatikan), Palang Merah
Internasional, Organisasi Internasional, Organisasi Pembebasan atau bangsa
yang sedang memperjuangkan haknya, kaum beligerensi, individu, dan
subjek-subjek hukum internasional lainnya.
a) Kebiasaan-kebiasaan internasional. Pasal 38 ayat (1) sub b yang menyebutkan
bahwa international custom, as evidence of a general practice accepted as
law. Artinya, hukum kebiasan internasional adalah kebiasaan internasional
yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum. Hal ini
sebagaimana ditambahkan Rudy (2001), bahwa unsur-unsur hukum kebiasaan
internasional, yaitu: (a) harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum,
dan diterapkan berulang-ulang dari masa ke masa; dan (b) kebiasaan itu
harus diterima sebagai hukum.
2. Prinsip hukum umum, adalah asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-
bangsa yang beradab (general principles of law recognized by civilized nation).
Kusumaatmadja dan Agoes (2003) menambahkan bahwa yang dimaksud
dengan asas hukum ialah asas hukum yang mendasari sistem hukum modern.
Adapun yang dimaksud sistem hukum modern ialah sistem hukum positif yang
didasarkan atas asas dan lembaga hukum negara barat yang sebagian besar
didasarkan atas asas dan lembaga hukum Romawi.
Sumber hukum tambahan, adalah keputusan pengadilan dan pendapat para
sarjana terkemuka di dunia. Namun, keputusan pengadilan dan pendapat para
sarjana tersebut tidak mengikat, artinya tidak dapat menimbulkan suatu kaidah
hukum (Kusumaatmadja dan Agoes, 2003).
Keputusan badan perlengkapan (organs) organisasi dan lembaga internasional.
Sumber hukum ini dilatarbelakangi oleh pertumbuhan lembaga dan organisasi
internasional dalam 50 tahun belakangan ini yang telah mengakibatkan timbulnya
berbagai keputusan baik dari badan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif dari
lembaga atau organisasi internasional (Kusumaatmadja dan Agoes, 2003).
Hukum kebiasaan internasional sebagaimana diungkapkan di atas, sangat kental
dalam kelahiran hukum laut. Salah satunya adalah persaingan dua konsepsi, yaitu
(Djalal, 1979):
1. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut adalah milik Bersama masyarakat
dunia, dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara.
2. Res Nulius, yang menyatakan bahwa laut tidak ada yang memiliki dan karena itu
dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.

Sodik (2011) mengungkapkan bahwa pertentangan kedua konsepsi tersebut


diawali dengan sejarah panjang mengenai penguasaan laut oleh Imperium Roma,
yang menguasai tepi lautan Tengah secara mutlak sehingga lautan tersebut
terbebas dari gangguan bajak laut. Pemikiran hukum bangsa Romawi terhadap tepi
Lautan Tengah didasarkan pada doktrin res communis omnium (hak bersama
seluruh umat manusia) yang menjadi cikal bakal prinsip kebebasan di laut lepas.
Sementara itu, di sisi lain terdapat hak penduduk pantai di zaman itu untuk
menangkap ikan di perairan dekat pantainya telah diakui (Djalal, 1979). Artinya,
penguasaan atas negara di wilayah laut yang berdekatan dengan pantai didasarkan
atas konsepsi res nullius.

C. Sistem Penegakan Hukum di Perairan Indonesia


Untuk menjamin terciptanya kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan dalam bidang kelautan, saat ini Pemerintah Indonesia menjalankan dua
kegiatan penegakan hukum di laut yaitu: pengawasan atau patroli laut (sea patrols)
dan pengintaian atau pengamatan dari udara (maritime surveillance). Pengamatan
dari udara dilaksanakan oleh Angkatan Udara Republik Indonesia (TNI AU). Fokus
dari pengamatan udara yaitu seluruh perairan Indonesia, termasuk Alur Laut
Kepulauan Indonesia (ALKI) dan daerah Ekonomi Eksklusif Indonesia. ALKI
adalah alur laut yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia untuk alur pelayaran
kapal-kapal asing yang melewati perairan teritorial Indonesia, sebagai salah satu
konsekuensi dari ratifikasi Konvensi Hukum Laut Internasional (the United Nations
of the Law of the Sea Convention). Terdapat 3 alur laut yang telah ditetapkan oleh
indonesia, yaitu:
(1) Selat Sunda-Selat Karimata-Laut Cina Selatan;
(2) Selat Lombok-Selat Makasar-Laut Sulawesi; dan
(3) Tiga alur tambahan (optional routes) atau dari Samudera Pasifik :
• Samudera Pasifik-Laut Maluku-Laut Seram-Laut Banda-Selat Ombai-Laut Sawu;
• Samudera Pasifik-Laut Maluku-Laut Seram-Laut Banda-Selat Leti-Laut Timor; dan
• Samudera Pasifik-Laut Maluku-Laut Seram-Laut Banda-Laut Arafura (AGOES,
1997).
Pengamatan dari udara adalah kegiatan penting di dalam pelaksanaan
penegakan hukum di perairan Indonesia. Namun, ketiadaan perencanaan dan
implementasi kegiatan penegakan hukum di laut telah menyebabkan pengamatan
dari udara kurang begitu efektif. Hal ini tercermin dengan tidak terpakainya data
dan informasi yang telah dikumpulkan oleh kegiatan pengamatan udara oleh
lembaga-lembaga pemerintah yang berwenang, seperti DKP. Problem kekurangan
dana dan keterbatasan sarana dan prasarana dari operasi pengamatan udara juga
memperparah pelaksanaan kegiatan pengamatan laut dari udara di Indonesia. Oleh
karena itu kegiatan penegakan hukum di perairan Indonesia lebih banyak
dilaksanakan oleh patroli pantai dan laut. Kegiatan pengamatan dari udara hanya
dipergunakan untuk kegiatan operasi pertolongan kecelakaan di laut (safety-at-
sea), Search and Rescue (SAR), dan operasi pengejaran perompak (hotpursuit) dan
nelayan asing yang melakukan praktek penangkapan terlarang.
Terdapat beberapa tugas dari patroli laut dalam kaitan penegakan hukum
terhadap peraturan perundangan yang berlaku di perairan Indonesia. Paling sedikit
terdapat dua tugas yang dibebankan kepada gugus tugas patroli laut di dalam
kawasan pesisir atau territorial Indonesia. Tugas pertama dari patroli laut adalah
pemantauan, pengawasan, dan pengintaian/pengamatan terhadap kegiatan kapal-
kapal penangkapan ikan. Kegiatan ini dilaksanakan oleh DIRJEN PSLP-DKP, TNI AL
dan POLAIRUD. Untuk menjalankan kegiatan tersebut saat ini DKP memiliki 9 unit
kapal "surveillance". Kapal-kapal tersebut dilengkapi dengan radio, radar, dan
peralatan navigasi lainnya. 9 kapal pengawasan milik DKP tersebut ditempatkan di
7 wilayah perairan yaitu: Jakarta, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Nusa Tenggara
Timur, Irian Jaya, Kalimantan Barat dan Laut Banda.
Tugas kedua yang dilaksanakan oleh patroli laut untuk kawasan pesisir adalah
pemantauan, pengawasan, dan pengintaian/ pengamatan untuk kegiatan
konservasi dan perlindungan keanekaragaman hayati laut. Tugas ini biasanya
dilakukan oleh Ditjen PHKA-DEPHUT, dengan bantuan dari TNI AL dan POLAIRUD.
Selain hal tersebut, patroli laut juga dilaksanakan di perairan ZEE Indonesia,
dan perairan yang berbatasan dengan negara tetangga. Patroli ini bertujuan untuk
menjaga kedaulatan nasional dan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan
terlarang lainnya, seperti: penyelundupan, perompakan, kegiatan penangkapan
ikan terlarang. Patroli ini dilaksanakan oleh beberapa lembaga pemerintah, antara
lain TNI AL, POLAIRUD, Bea Cukai, Imigrasi, dan DKP.

D. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dalam UNCLOS 1982


Konvensi III PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) membagi laut dalam tiga
bagian. Pertama, laut yang merupakan bagian dari wilayah kedaulatan sebuah negara
(laut teritorial dan laut pedalaman); Kedua, laut yang bukan merupakan wilayah
kedaulatan sebuah negara namun negara tersebut memiliki sejumlah hak dan
yurisdiksi terhadap aktifitas tertentu (zona tambahan dan zona ekonomi eksklusif);
Ketiga, laut yang bukan merupakan wilayah kedaulatan dan bukan merupakan
hak/yurisdiksi negara manapun, yaitu laut bebas.
Zona ekonomi eksklusif (ZEE) adalah salah satu fitur paling revolusioner dari
UNCLOS 1982 dan memberi dampak yang signifikan pada pengelolaan dan konservasi
sumber daya laut. Rezim ZEE menertibkan klaim-klaim sepihak (unilateral) atas
perairan oleh negara-negara di masa sebelumnya, dengan memberi hak kepada
Negara pantai untuk eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber
daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di
atasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis zona
tersebut, seperti pembangkitan energi dari air, arus laut dan angin.
Hak eksklusif di ZEE disertai tanggung jawab dan kewajiban. Sebagai contoh,
UNCLOS 1982 mendorong pemanfaatan stok ikan secara optimal. Di ZEE-nya, setiap
Negara pantai harus menentukan total tangkapan yang diperbolehkan untuk setiap
spesies ikan, dan memperkirakan kapasitas penangkapannya. Negara pantai
berkewajiban untuk memberi akses kepada Negara lain, khususnya negara tetangga
dan negara yang tanpa laut (landlock states), terhadap surplus hasil tangkapan yang
diizinkan. Akses tersebut harus diberikan sesuai dengan upaya konservasi yang
ditetapkan oleh peraturan Negara pantai. Selain itu, negara pantai memiliki kewajiban
tertentu lainnya, seperti upaya pencegahan polusi dan memfasilitasi penelitian ilmiah
kelautan di ZEE mereka.
ZEE diatur pada Bab V dari UNCLOS 1982. Terdiri atas 21 pasal, dari pasal 55
hingga pasal 75. Pasal 55 UNCLOS 1982 mendefinisikan ZEE sebagai perairan (laut)
yang terletak di luar dan berbatasan dengan laut teritorial, tunduk pada rezim hukum
khusus (special legal regime) yang ditetapkan dalam Bab V ini berdasarkan hak-hak
dan yurisdiksi negara pantai, hak-hak, serta kebebasan-kebebasan negara lain.
Area ZEE didefinisikan “Bagian perairan (laut) yang terletak di luar dari dan
berbatasan dengan laut teritorial selebar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis
pangkal darimana lebar laut teritorial diukur”. Lebar ZEE bagi setiap negara pantai
tidak lebih dari 200 mil sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 57 UNCLOS 1982 yang
berbunyi “the exclusive economic zone shall not extend beyond 200 nautical miles
from the baseline from which the breadth of territorial sea is measured”
Sebelum lahirnya ZEE, hukum laut internasional hanya mengakui laut teritorial dan
laut bebas. Rezim ZEE mengubah secara revolusioner pengaturan atas laut di atas.
ZEE adalah warisan yang paling berharga dari UNCLOS 1982. Daerah penangkapan
ikan yang paling menguntungkan sebagian besar berada di perairan pesisir hingga
batas ZEE 200 mil. Sekitar 87 persen cadangan hidrokarbon dunia (yang diketahui dan
diperkirakan) berada di ZEE.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terluas di dunia, sebagai negara
dengan kepulauan dan garis pantai terpanjang didunia, ini menjadi salah satu
keuntungan bagi negara indonesia, sektor maritim dan laut indonesia sangat strategis
baik dari faktor pariwisata, perdagangan, dan juga menjadi jalur lintas nasional
maupun internasional.
Res Communis, yang menyatakan bahwa laut adalah milik Bersama masyarakat
dunia, dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara. Res
Nulius, yang menyatakan bahwa laut tidak ada yang memiliki dan karena itu dapat
diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.
Zona ekonomi eksklusif (ZEE) adalah salah satu fitur paling revolusioner dari
UNCLOS 1982 dan memberi dampak yang signifikan pada pengelolaan dan konservasi
sumber daya laut. Rezim ZEE menertibkan klaim-klaim sepihak (unilateral) atas
perairan oleh negara-negara di masa sebelumnya, dengan memberi hak kepada
Negara pantai untuk eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber
daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di
atasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis zona
tersebut, seperti pembangkitan energi dari air, arus laut dan angin.
Daftar Pustaka
https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/19405/1/T1_312015139_BAB
%20I.pdf
http://eprints.umm.ac.id/50222/3/BAB%20II.pdf
https://pustaka.ut.ac.id/lib/wp-content/uploads/pdfmk/MMPI530202-M1.pdf
http://oseanografi.lipi.go.id/dokumen/oseana_xxxii(1)1-13.pdf

Anda mungkin juga menyukai