Oleh :
TANGGAL PENGUMPULAN
4 September 2017
Ph. 031-5929487
2017
SEJARAH LAHIRNYA HUKUM LAUT INTERNASIONAL
Riva Dianita
3515100048
Departemen Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Email : riva.dianita@gmail.com
Abstrak.
Terdapat dua konsepsi mengenai laut, yaitu res nullius dan res communis. Kedua teori
tersebut saling melengkapi, yakni dalam batas tertentu yang dimiliki sampai jarak tertentu.
Pada zaman bangsa Romawi, kekuasaan terhadap laut adalah bahwa laut merupakan suatu
“res communis omnium” yang berarti bahwa laut merupakan hak bersama seluruh ummat.
Azas “res communis ommnium” dalam arti hak bersama (seluruh) manusia untuk
menggunakan laut yang berarti hak semua orang untuk melayari laut bebas dari gangguan
perampok (bajak laut). Negara yang muncul setelah runtuhnya Imperium Roma disekitar tepi
Laut Tengah masing-masing menuntut bagian dari laut yang berbatasan dengan pantainya
berdasarkan alasan bermacam-macam. Selden mengemukakan bahwa selama laut dikuasai
oleh suatu negara tertentu, maka negara tersebut mempunyai kekuasaan atas laut tersebut.
Terdapat tahapan-tahapan pelaksanaan konferensi hukum laut yaitu Konfrensi Kodifikasi
Den Haag tahun 1930, Hukum Laut setelah PD II, Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun
1958.
Kata Kunci : res nullius, res communis, Hukum Laut
PENDAHULUAN
Sejak dahulu kala telah terdapat dua konsepsi mengenai laut, yaitu:
1. Res nullius, berpendapat bahwa laut sebagai ranah tak bertuan atau kawasan yang
tidak ada pemiliknya.karena tidak ada pemiliknya, maka laut dapat diambil atau
dimiliki oleh masing-masing negara.
2. Res communis, berpendapat bahwa laut adalah milik masyarakat dunia, karena itu
tidak dapat diambil dan dimiliki secara individual oleh negara-negara. Sebagai milik
bersama, maka laut harus dipergunakan untuk kepentingan semua negara dan
pemanfaatannya terbuka bagi semua negara.
Dalam pelaksanaanya, kedua teori tersebut saling melengkapi, yakni dalam batas-
batas tertentu dapat dimiliki, tetapi dibatasi sampai jarak tertentu dapat dilihat dalam praktik
yang dianut Negara-negara sejak dulu hingga sekarang.
Demikian hukum laut internasional baru yang sedang dalam proses pembentukannya
tidak dapat sama sekali dilepaskan dari hukum laut internasional yang dasar-dasarnya
diletakkan dalam abad XVI di Eropa Barat. Perkembangan yang kini sedang terjadi di bidang
hukum internasional merupakan lanjutan dari suatu proses perubahan yang telah dimulai
sejak akhir perang dunia ke-II. Gerakan-gerakan ini yang melahirkan konsepsi-konsepsi
hukum laut baru seperti continental shelf dan fisheries zone (jalur perikanan) mengakibatkan
diadakannya Konferensi-konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 yang berhasil
merumuskan perkembangan-perkembangan baru dalam perpaduan dengan hukum laut
tradisionil, sehingga terbentuklah Hukum Laut Internasional Modern (Modern International
Law of the Sea) sebagaimana tercantum dalam Konvensi-konvensi Hukum Laut Jenewa
tahun 1958.
ISI
Hukum laut internasional modern (Modern International Law Of The Sea) yang
diciptakan oleh Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 adalah sebagai pengganti hukum
laut internasional tradisionil (Traditional Law Of The Sea) yang dirumuskan oleh Konferensi
Kodifikasi Den Haag tahun 1930, dalam waktu kurang lebih 10 tahun sudah tidak lagi dapat
memenuhi kebutuhan bidang pengakuan hukum laut internasional yang terus berkembang
dengan cepatnya menuju suatu hukum laut internasional baru (A New International Law Of
The Sea) yang sekarang telah terbentuk dalam Konferensi Hukum Laut III.
Untuk dapat memahami proses pembentukan hukum internasional laut baru (A New
International Law Of The Sea) ini perlu terlebih dahulu mengetahui sejarah latar belakang
hukum laut internasional, baik hukum laut internasional Jenewa maupun hukum laut
internasional tradisionil.
1. Zaman Romawi
Pada masa kejayaanya, Imperium Roma menguasai seluruh Lautan Tengah
(Mediteranian). Persoalan penguasaan laut tidak menimbulkan persoalan hukum, karena tidak
ada yang menentang atau menggugat kekuasaan mutlak Roma atau Lautan Tengah. Laut
Tengah dapat dianggap sebagai danau. Penguasaan tersebut bertujuan untuk membebaskan
Laut Tengah dari ancaman bajak laut.
Dasar penguasaan bangsa Romawi terhadap laut adalah bahwa laut merupakan suatu
“res communis omnium” yang berarti bahwa laut merupakan hak bersama seluruh ummat.
Menurut konsepsi ini penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang. Azas “res
communis ommnium” dalam arti hak bersama (seluruh) manusia untuk menggunakan laut
yang berarti hak semua orang untuk melayari laut bebas dari gangguan perampok (bajak
laut).
Keadaan yang dilukiskan di atas berakhir dengan runtuhnya Imperium Roma dan
munculnya berbagai kerajaan dan negara di sekitar Lautan Tengah yang masing-masing
merdeka dan berdiri sendiri.
Mengingat kenyataan bahwa pemikiran tentang hukum dikuasai oleh konsepsi-
konsepsi dan azas-azas yang ditinggalkan oleh bangsa Romawi, maka konsepsi-konsepsi
tentang hubungan antara negara di tepi dan laut dituangkan dalam konsepsi-konsepsi atau
azas-azas hukum Romawi hidup terus walaupun Imperium Roma sendiri telah hancur lenyap.
2. Abad Pertengahan
Negara-negara yang muncul setelah runtuhnya Imperium Roma disekitar tepi Laut
Tengah masing-masing menuntut bagian dari laut yang berbatasan dengan pantainya
berdasarkan alasan bermacam-macam.
Post-Glossator atau komentator mencari penyelesaian hukum didasarkan atas azas-azas
dan konsepsi-konsepsi hukum Romawi. Kebutuhan untuk memberikan dasar teoritis bagi
klaim kedaulatan atas laut oleh negara-negara ini antara lain menimbulkan beberapa teori,
diantaranya yang paling terkenal adalah yang dikemukakan oleh Bartolus dan Baldus, dua
ahli hukum terkemuka di abad pertengahan.
Bartolus meletakkan dasar bagi pembagian dua dari laut yakni bagian laut yang berada di
bawah kekuasaan kedaulatan negara pantai dan di luar itu berupa bagian laut yang bebas dari
kekuasaan dan kedaulatan siapapun. Teori ini merupakan dasar bagi pembagian dua dari laut
yang klasik dalam laut teritorial (laut wilayah) dan laut lepas. Konsepsi Baldus agak
berlainan dan sebenarnya lebih maju. Ia membedakan tiga konsepsi bertalian dengan
penguasaan atas laut yakni: (1) kepemilikan laut, (2) pemakaian laut, dan (3) yurisdiksi atas
laut dan wewenang untuk melakukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan di laut.
Di dalam masa pembentukan hukum laut internasional ini dengan demikian terjadi
perjuangan untuk menguasai lautan yang berdasarkan berbagai alasan dan kepentingan yang
berlainan.
Pada waktu yang bersamaan terjadi pula adu pendapat di antara penulis-penulis atau
ahli hukum yang masing-masing mengemukakan alasan atau argumentasi untuk
membenarkan tindakan (sepihak) yang diambil oleh pemerintah atau negaranya.
Kehebatan adu pendapat antara ahli-ahli hukum yang masing-masing mempertahankan
laut bebas dan laut yang dikuasai oleh negara pantai ini bertambah meningkat dengan
meningkatnya kemampuan manusia untuk mengarungi lautan dan mengambil kekayaan dari
laut dengan bertambahnya kapal-kapal yang digunakan. Dengan demikian sejak permulaan
sejarah hukum laut internasional di samping faktor-faktor politik berlaku pula faktor-faktor
ekonomi dan teknologi dalam menentukan sikap dan kebijaksanaan negara-negara terhadap
laut.
3. Zaman Modern
a. Mare Clausum (laut tertutup) vs Mare Liberum (laut terbuka)
Dikemukakan oleh John Selden pada tahun 1635. Teori ini dikemukakan pada abad XVII
oleh Inggris untuk menentang teori yang telah dikemukakan oleh Grotius. Selden
mengemukakan bahwa selama laut dikuasai oleh suatu negara tertentu, maka negara tersebut
mempunyai kekuasaan atas laut tersebut. Teori ini dikembangkan oleh Pontanus yang
mengemukakan bahwa : Kedaulatan suatu Negara (souvereignty) atas laut mencakup di
dalamnya wewenang untuk melarang pihak ketiga, tidak lagi dikaitkan dengan dominium atas
laut Laut yang berdekatan dengan daratan yang bisa menjadi kedaulatan negara pantai,
selebihnya adalah laut bebas. Teori Mare Clausum kembali dikembangkan oleh Cornelis van
Bynkershoek yang menyatakan terrae protestas finitur ubi finitur armorum vis atau lebih
dikenal dengan teori tembakan meriam, yang menyebutkan bahwa lebar laut territorial suatu
negara adalah sejauh 3 mil laut. Alasannya karena 3 mil laut adalah jarak yang paling jauh
yang bisa ditempuh oleh tembakan meriam.
b. Sengketa Perikanan Antara Inggris Dan Norwegia “Anglo-Norwegian Fisheries Case”.
(Keputusan Mahkamah Internasional Tahun 1951).
Perkara antara Inggris dan Norwegia mengenai batas perikanan Norwegia ini timbul
karena Inggris menggugat sah-nya penetapan batas perikanan ekslusif yang ditetapkan oleh
Norwegia dalam Firman Raja (Royal Decree) tahun 1935 menurut hukum internasional.
Yang digugat oleh Inggris bukan lebar jalur laut wilayah Norwegia sebesar 4 mil, akan tetapi
cara pernarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada pantai
Norwegia. Dalam cara penarikan garis pangkal lurus yang dilakukan Norwegia ini deretan
pulau dimuka pantai dianggap sebagai bagian dari pantai Norwegia.
Nelayan Inggris di antara tahun 1661 hingga tahun 1906 tidak menangkap ikan di
perairan pantai Norwegia setelah Raja Norwegia dan Denmark mengajukan keberatan-
keberatannya terhadap kegiatan tersebut kepada Raja Inggris. Sejak tahun 1908 Pemerintah
Norwegia mulai mengambil tindakan tegas dengan menyatakan daerah-daerah tertentu
terlarang bagi nelayan asing dan di tahun 1911 sebuah kapal pukat harimau (trawl) ditahan
dan disita karena melanggar daerah larangan yang telah ditetapkan. Di tahun 1933 Kerajaan
Inggris mengajukan protes dan mengatakan bahwa di dalam menetapkan batas-batas daerah
terlarang untuk nelayan asing itu Norwegia telah menggunakan garis pangkal yang tidak
dapat dibenarkan menurut hukum internasional.
Di bulan Juli tahun 1935 Norwegia dengan menggunakan Firman Raja (Royal Decree)
menetapkan batas-batas perairan perikanan Norwegia yang tertutup bagi nelayan asing.
Firman Raja ini yang menunjuk pada Firman-Firman Raja yang serupa yang dikeluarkan di
tahun 1812, 1869, 1881, dan 1889 di dalam pertimbangannya (preamble) mengemukakan
atau menyebutkan hak-hak nasional yang telah lama dalam sejarah, keadaan geografis khusus
dari pantai Norwegia dan tujuan melindungi dan mengamankan kepentingan-kepentingan
vital dari penduduk bagian Utara dari Norwegia.
Inggris tidak menyangkal hak-hak Norwegia untuk memiliki lebar laut teritorial 4 mil,
namun menyatakan bahwa cara penarikan garis pangkal lurus sebagaimana ditetapkan dalam
Firman Raja tahun 1935 bertentangan dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Dari kutipan di atas jelas bahwa kedua belah pihak dalam sengketa tidak lagi mempersoalkan
lebar laut 4 mil bagi Norwegia, demikian pula bahwa garis pangkal (base-lines) bisa ditarik
dari tanah atau ketinggian yang minimal di permukaan air laut pada waktu pasang surut (low
tide elevations).
c. Kekuasaan Negara atas Laut
Sejarah menunjukan mengenai telah adanya kesepakatan tentang pembagian lautan
menjadi 2 bagian: laut teritorial & laut lepas. Demikian pula, pada akhirnya telah ada
kesepakatan tentang rejim lebar laut teritorial 3 ml dan masalah isi pengertian kedaulatan
yang mencakup segala segi kepentingan negara pantai.
Berbagai kepentingan yang ingin diamankan dan yang mendorong negara untuk
menguasai laut yang berbatasan dengan pantainya, antara lain: perikanan, keamanan &
pertahanan netralitas, kesehatan umum, pencegahan penyelundupan, dsb.
d. Terdapat tahapan-tahapan pelaksanaan konferensi hukum laut
a. Konfrensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930
Konferensi Internasional utama yang membahas masalah laut teritorial ialah
“codificationconference” (13 Maret – 12 April 1930) di Den Haag, di bawah naungan Liga Bangsa
Bangsa, dan dihadiri delegasi dari 47 negara. Konferensi ini tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar
dari laut teritorial dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai pada zona tambahan. Ada yang
menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), 6 mil (12 negara), dan4 mil.
Konferensi ini menetapkan :
1. Wilayah negara yang meliputi jalur laut disebut Laut Teritorial. Wilayah negara pantai meliputi ruang
udara di atas laut territorial, dasar laut dan tanah dibawahnya yang dikenal dengan istilah tiga demensi
laut teritorial. Khusus batasan ruang udara, dikenal teori grafitasi, yaitu benda yang masih jatuh ke
bawah, masih masuk ke dalam wilayah ruang udara/angkasa negara tersebut.
2. Hak Lintas Damai, pada prinsipnya kapal asing boleh masuk, melintas wilayah laut asal tidak
membuang jangkar, mencemarkan lingkungan, menyelundup, dan lain-lain yang dapat
menimbulkan keadaan tidak damai (the right of innoucense)
3. Yurisdiksi criminal dan sipil atas kapal-kapal asing
4. Pengejaran seketika (hot porsuit) bila melanggar Sesudah Perang Dunia Kedua (tahun 1945).
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum laut internasional adalah seperangkat norma hukum yang mengatur hubungan antara Negara pantai
atau yang berhubungan dengan pantai. Yang terkurung oleh daratan dan atau organisasi maupun subjek
hukum internasional lainnya. Yang mengatur tentang kedaulatan Negara di laut. Yuridiksinya Negara dan
hak- hak Negara atas perairan tersebut. Hukum laut internasional menpelajari tentang aspek- apek hukum di
laut dan peristiwa hukum yang terjadi di laut.
DAFTAR PUSTAKA
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Cetakan Keempat, BPHN, CV.
Trimitra Mandiri, Jakarta, 1999, Hlm. xii.
Prijanto Heru. 2007. Hukum Laut Internasional. Bayumedia Publishing.Malang
https://www.academia.edu/12010644/Sejarah_Lahirnya_Hukum_Laut_Internasional