Anda di halaman 1dari 7

SEJARAH PERTUMBUHAN HUKUM LAUT

SEBELUM 1930

Dosen pengampuh :

Arfanita, SH., MH.

Disusun oleh :

NI MADE HELFINA DAYANTI

D10120103

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS TADULAKO

2022
A. Pada Jaman Romawi
Phunicia Kuno telah mendirikan suatu kerajaan yang menganggap
laut yang mereka kuasai sebagai milik negara mereka. Anggapan tersebut
dianut pula oleh Bangsa Persia, Yunani, dan Rhodia. Bahkan di zaman
Rhodia, hukum laut telah berkembang dan diatur dalam kekuasaan negara.
Hukum ini kemudian menjadi dasar dari Hukum Romawi mengenai laut.
Setelah Perang Punis III, Romawi berkembang menjadi penguasa tunggal
di Laut Tengah yang kemudian dianggap sebagai ”danau” mereka. Dalam
Hukum Romawi, laut diartikan sebagai public property dan milik Kerajaan
Roma. Di zaman Romawi pula diakuinya hak penduduk pantai untuk
menangkap ikan di perairan dekat pantainya.
Pada masa kejayaanya, Imperium Roma menguasai seluruh Lautan
Tengah (Mediteranian). Persoalan penguasaan laut tidak menimbulkan
persoalan hukum, karena tidak ada yang menentang atau menggugat
kekuasaan mutlak Roma atau Lautan Tengah. Laut Tengah dapat dianggap
sebagai danau. Penguasaan tersebut bertujuan untuk membebaskan Laut
Tengah dari ancaman bajak laut.
Dasar penguasaan bangsa Romawi terhadap laut adalah bahwa laut
merupakan suatu “ res communis omnium ” yang berarti bahwa laut
merupakan hak bersama seluruh ummat. Menurut konsepsi ini penggunaan
laut bebas atau terbuka bagi setiap orang. Azas “ res communis
ommnium” dalam arti hak bersama (seluruh) manusia untuk menggunakan
laut yang berarti hak semua orang untuk melayari laut bebas dari
gangguan perampok (bajak laut).
Di sisi lain, dalam melaksanakan kekuasaannya di laut, banyak
tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dalam pandangan orang Romawi
laut itu dapat dimiliki, di mana dalam zaman itu hak penduduk pantai
untuk menangkap ikan di perairan dekat pantainya telah diakui. Pemilikan
suatu kerajaan dan negara atas laut yang berdekatan dengan pantainya
didasarkan atas konsepsi res nulius. Menurut konsepsi res nulius, laut bisa
dimiliki apabila yang berhasrat memilikinya bisa menguasai dengan
mendudukinya. Pendudukan ini dalam hukum perdata Romawi dikenal
sebagai konsepsi “occupatio” (occupation).
Keadaan yang dilukiskan di atas berakhir dengan runtuhnya
Imperium Roma dan munculnya berbagai kerajaan dan negara di sekitar
Lautan Tengah yang masing-masing merdeka dan berdiri sendiri.
Mengingat kenyataan bahwa pemikiran tentang hukum dikuasai oleh
konsepsi-konsepsi dan azas-azas yang ditinggalkan oleh bangsa Romawi,
maka konsepsi-konsepsi tentang hubungan antara negara di tepi dan laut
dituangkan dalam konsepsi-konsepsi atau azas-azas hukum Romawi hidup
walaupun Imperium Roma sendiri telah hancur lenyap.

B. Masa Abad Pertengahan


Memasuki abad pertengahan, munculah klaim-klaim yang
dilakukan oleh negara- negara yang sebelumnya merupakan bagian dari
kekuasaan Romawi. Negara-negara tersebut menuntut penguasaan atas
laut yang berbatasan dengan pantainya. Negara-negara yang mucul setelah
runtuhnya Imperium Roma disekitar tepi Laut Tengah masing-masing
menuntut sebagian dari laut yang berbatasan dengan pantainya
berdasarkan alasan bermacam-macam. Diawali oleh Venetia yang
menuntut sebagian besar Laut Adriatik untuk dijadikan daerah
kekuasaannya. Suatu tuntutan yang diakui oleh Paus Alexander ke-III
dalam tahun 1177. Berdasarkan kekuasaannya atas laut Adriatik ini,
Venetia memungut bea terhadap setiap kapal yang berlayar di sana.
Genoa mengklaim kekuasaan atas laut Liguria dan sekitarnya dan
melakukan tindakan-tindakan untuk melaksanakannya. Hal yang sama
dilakukan oleh Pisa yang mengklaim dan melakukan tindakan-tindakan
penguasaan atas laut Thyrrhenia.
Tiga Negara kecil yang mucul setelah runtuhnya Imperium
Romawi di atas hanya merupakan sebagian saja dari contoh negara-negara 
di tepi laut tengah yang berusaha melaksanakan kekuasaannya atas Laut
Tengah setelah kekuasaan tunggal Romawi lenyap dengan runtuhnya
Imperium Romawi. Kekuasaan yang dilaksanakan oleh negara-negara
tersebut dengan laut yang berbatasan dengan pantainya dilakukan dengan
tujuan yang bermacam-macam yang dizaman sekarang barangkali dapat
disebut kepentingan:
1) karantina (perlindungan kesehatan), terutama terhadap
bahaya penyakit pes (black plague).
2) Bea cukai (pencegahan penyelundupan).
3) pertahanan dan netralitas. 

Sering terjadinya peperangan antara negara-negara pada masa itu


menyebabkan perlunya negara yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian
antara tentangga-tetangganya untuk menentukan suatu daerah bebas dari
tindakan permusuhan. Daerah netralitas ini biasanya ditentukan besarnya
tergantung dari kemampuan negara pantai untuk menguasainya dengan
senjata dari darat. Penguasaan laut dengan meriam dari benteng-benteng di
darat inilah yang merupakan asal mula dari teori tembakan meriam.

Kebutuhan untuk menyusun suatu teori hukum tentang status antar


negara dari pada laut menyebabkan ahli-ahli hukum Romawi yang lazim
disebut Post-Glossator atau Komentator mencari penyelesaian hukumnya
didasarkan atas asas-asas dan konsepsi-konsepsi hukum Romawi.
Kebutuhan untuk memberikan dasar teoritis bagi klaim kedaulatan atas
laut oleh negara-negara ini antara lain menimbulkan beberapa teori,
diantaranya yang paling terkenal adalah teori yang dikemukakan oleh
Bartolus dan Baldus yaitu dua ahli hukum terkemuka di abad pertengahan.

a) Bartolus
Bartolus meletakan dasar bagi pembagian dua atas laut yakni
bagian laut yang berada di bawah kekuasaan kedaulatan negara
pantai dan di luar itu berupa bagian laut yang bebas dari kekuasaan
dan kedaulatan siapapun. Teori ini kelak merupakan dasar
pembagian dua atas laut yang klasik dalam Laut Teritorial
(Wilayah) dan Laut Lepas.
b) Baldus
Konsepsi Baldus agak berlainan dan sebenarnya lebih maju. Ia
membedakan 3 konsepsi bertalian dengan penguasaan atas laut
yakni:
1. Pemilikan atas laut
2. Pemakaian laut
3. Yurisdiksi atas laut dan wewenang untuk melakukan
perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan di laut.

Hingga saat itu perdagangan antara Timur Jauh (Asia) dan Eropa
dilakukan melalui jalan darat dan laut. Barang-barang yang berasal dari
Tiongkok, Asia Timur dan Kepulauan Hindia seperti kain sutera, batu
permata, permadani dan rempah-rempah diangkut dengan kalifah-
kalifahdan kapal-kapal laut melalui India, Persia dan Timur Tengah ke tepi
Timur Laut Tengah dan dari sana ke Venetia, Genoa dan lain-lain kota di
Italia untuk kemudian disebarkan ke tempat-tempat lain di benua Eropa.
Karena itu dalam abad pertengahan daerah sekitar Laut Tengah merupakan
pusat perdagangan antara benua Asia dan Eropa dan kota-kota di Italia
berkembang dengan pesat sebagai pusat perdagangan yang sangat
menguntungkan di Eropa.

C. Konvensi Den Haag 1930


LBB memprakarsai penyelenggaraan konvensi internasional di
Den Haag pada tanggal 13 Maret – 12 April 1930 untuk
mengkodifikasikan hukum internasional. Adapun bidang-bidang hukum
international yang dikodifikasikan, yaitu :
1. Kewarganegaraan (Nationality).
2. Perairan Territorial (Territorial Waters).
3. Tanggungjawab negara untuk kerugian yang ditimbulkan
dalam wilayahnya terhadap pribadi atau kekayaan orang
asing (Responsibility of State).
Patut disimak bahwa persoalan laut territorial ini dibicarakan dan
dibahas di dalam Konvensi Den Haag tahun 1930 tentang Laut Teritorial.
Konvensi ini didahului dengan pembentukan Panitia Persiapan pada tahun
1929 yang menyusun dasar perbincangan (bases of discussion) dari
konvensi. Sebelum Konvensi Den Haag diadakan, Panitia Persiapan ini
menyusun rancangan pasal-pasal perihal laut teritorial dan jalur tambahan.
Dasar perbincangan konvensi itu antara lain menyebutkan bahwa suatu
negara memiliki kedaulatan atas suatu jalur laut yang dinamakan laut
teritorial.

Konvensi Den Haag 1930 ini tidak menghasilkan suatu konvensi,


kecuali hanya beberapa rancangan pasal-pasal yang disetujui sementara.
Hal ini dikarenakan, pendapat para peserta konvensi berbeda-beda
mengenai batas luar laut teritorial, seperti ada yang menginginkan lebar
laut teritorial 3 mil (20 negara), ada pula yang menghendaki 6 mil laut (12
negara), serta negara-negara Nordic yang menghendaki laut teritorial
selebar 4 mil. Tidak terjadinya kesepakatan tentang lebar laut dalam
Konvensi Kodifikasi Deen Haag 1930 karena konvensi ini tidak secara
spesifik membahas tentang hukum laut, selain itu konvensi ini membahas
tentang kepentingan antar negara, misalnya: kekayaan alam dan
kedaulatan.

Negara pantai tidak dapat menerapkan yurisdiksi pidana atau


perdatanya terhadap kapal asing yang melintasi laut teritorialnya karena
setiap kapal yang melintas memiliki yurisdiksi, dimana yurisdiksi disini
dapat disamakan dengan kedaulatan, jadi kapal yang melintas membawa
kedaulatan dari negara pemilik kapal. Konvensi ini dikatakan sebagai
jembatan penghubung antara hukum laut klasik dengan hukum laut
modern karena konvensi Den Haag telah mencetuskan tentang laut
territorial walaupun tidak menyebutkan lebar laut yang dimaksud. Maka
dari sanalah akirnya mulai berkembang kepentingan-kepentingan negara
pantai yang kemudian bersatu di UNCLOS yang selanjutnya menentukan
lebar laut territorial.

Anda mungkin juga menyukai