Anda di halaman 1dari 7

I.

HUKUM LAUT

1.1. Sejarah Hukum Laut Internasional

Dalam sejarah, laut terbukti telah mempunyai berbagai fungsi, antara lain sebagai
Sumber makanan bagi umat manusia, Jalan raya perdagangan, Sarana untuk
penaklukan,Tempat pertempuran –pertempuran, Tempat bersenang-senang/ wisata, dan
Alat pemisah atau pemersatu bangsa. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
(Iptek), maka fungsi laut telah bertambah lagi dengan ditemukannya bahan-bahan tambang
dan galian yang berharga di dasar laut dan usaha -usaha mengambil sumber daya alam.
Fungsi-fungsi laut tersebut telah dirasakan oleh umat manusia, dan telah memberikan
dorongan terhadap penguasaan dan pemanfaatan laut oleh masing-masing negara atau
kerajaan yang didasarkan atas suatu konsepsi hukum.

Lahirnya konsepsi hukum laut internasional tersebut tidak dapat dilepaskan dari
sejarah pertumbuhan hukum laut internasional yang mengenal pertarungan antara dua
konsepsi, yaitu :

a) Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik bersama masyarakat
dunia, dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara;
b) Res Nelius, yang menyatakan bahwa laut tidak yang memiliki, dan karena itu dapat
diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.

Pertumbuhan dan perkembangan kedua doktrin tersebut diawali dengan sejarah


panjang mengenai penguasaan laut oleh Imperium Roma. Kenyataan bahwa Imperium Roma
menguasai tepi Lautan Tengah dan karenanya menguasai seluruh lautan tengah secara
mutlak. Dengan demikian menimbulkan suatu keadaan di mana lautan tengah menjadi
lautan yang bebas dari gangguan bajak-bajak laut, sehingga semua orang dapat
mempergunakan lautan tengah dengan aman dan sejahtera yang dijamin oleh pihak
Imperium Roma. Pemikiran umum bangsa Romawi terhadap laut didasarkan atas doktrin res
communis omnium ( hak bersama seluruh umat manusia), yang memandang penggunaan
laut bebas atau terbuka bagi setiap orang. Asas res communis omnium di samping untuk
kepentingan pelayaran, menjadi dasar pula untuk kebebasan menangkap ikan. Bertitik tolak
dari perkembangan doktrin res communius omnium tersebut , tampak bahwa embrio
kebebasan laut lepas sebagai prinsip kebebasan di laut lepas telah diletakkan jauh sejak
lahirnya masyarakat bangsa-bangsa. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa doktrin ini dalam
sejarah hukum laut internasional pada masa-masa berikutnya.
Di sisi lain, dalam melaksanakan kekuasaannya di laut, banyak tanda-tanda yang
menunjukkan bahwa dalam pandangan orang Romawi laut itu dapat dimiliki, di mana dalam
zaman itu hak penduduk pantai untuk menangkap ikan di perairan dekat pantainya telah
diakui. Pemilikan suatu kerajaan dan negara atas laut yang berdekatan dengan pantainya
didasrkan atas konsepsi res nelius

Menurut konsepsi res nelius , laut bisa dimiliki apabila yang berhasrat memilikinya bisa
menguasai dan mendudukinya. Pendudukan ini dalam hukum perdata romawi dikenal
sebagai konsepsi okupasi (occupation). Keadaan yang dilakukiskan di atas berakhir dengan
runtuhnya Imperium Romawi dan munculnya pelbagai kerajaan dan negara di sekitar lautan
Tengah yang masing-masing merdeka dan berdiri sendiri yang satu lepas dari yang lain.
Walaupun penguasaan mutlak Lautan Tengah oleh Imperium Romawi sendiri telah berakhir,
akan tetapi pemilikan lautan oleh negara-negara dan kerajaan tetap menggunakan asas-asas
hukum Romawi.

Berdasarkan uraian diatas, jelas kiranya bahwa bagi siapa pun yang mengikuti
perkembangan teori perkembangan hukum internasional, asas-asas hukum Romawi yang
disebutkan diatas memang mengilhami lahirnya pemikiran hukum laut internasional yang
berkembang dikemudian hari.Dapatlah dikatakan bahwa kedua konsepsi hukum laut Romawi
itu merupakan hukum laut internasional tradisional yang menjadi embrio bagi dua
pembagian laut yang klasik, laut teritorial dan laut lepas.

Dalam konteks kedaulatan negara atas laut, pertumbuhan dan perkembangan hukum
laut internasional setelah runtuhnya Imperium Romawi diawali degan munculnya tuntutan
sejumlah negara atau kerajaan atas sebagian laut yang berbatasan dengan pantainya
berdasarkan alasan yang bermacam-macam. Misalnya, Venetia mengklaim sebagian besar
dari laut Adriatik, suatu tuntutan yang diakui oleh Paus Alexander III pada tahun 1177.
Berdasarkan kekuasaanya atas laut Adriatik ini, Venetia memungut bea terhadap setiap kapal
yang berlayar di sana. Genoa juga mengklaim kekuasaan atas Laut Liguria dan sekitarnya
serta melakukan tindakan-tindakan untuk melaksanakannya. Hal yang sama dilakukan oleh
Pisa yang mengklaim dan melakukan tindakan-tindakan atas Laut Thyrrhenia. Kekuasaan
yang dilaksanakan oleh negara-negara atau kerajaan-kerajaan tersebut dengan laut yang
berbatasan dengan pantainya dilakukan dengan tujuan yang di zaman sekarang barangkali
dapat disebut kepentingan: (karantina); (2) bea cukai; (3) pertahanan dan netralitas

Dalam pertumbuhan hukum laut internasional berikutnya, sejarah perkembangan


hukum laut internasional telah mencatat sutu peristiwa penting, yaitu pengakuan Paus
Alexander VI pada tahun 1493 atas tuntutan Spanyol dan Portugal, yang membagi samudera
di dunia untuk kedua negara itu dengan batasnya garis meridian 100 leagues (kira-kira 400
mil laut) sebelah barat Azores. Sebelah barat dari meridian tersebut (yang mencakup
Samudera Atlantik barat, Teluk Mexico dan Samudera Pasifik) menjadi milik Spanyol,
sedangkan sebelah timurnya (yang mencakup Samudra Atlantik sebelah selatan Marokko
dan Samudera India) menjadi milik Potugal .

Pembagian Paus Alexander VI tersebut diatas kemudian diperkuat oleh Perjanjian


Todesillas antara Spanyol dan Portugal pada tahun 1494, tetapi dengan memindahkan garis
perbatasannya menjadi 370 leagues sebelah barat pulau-pulau Cape Verde di pantai barat
Afrika. Sedangkan negara-negara lain, seperti Denmark telah pula menuntut Laut Baltik dan
Laut Utara antar Norwegia dan Iceland, dan Inggris telah menuntut pula laut di sekitar
kepulauan Inggris (Mare Anglicanum) sebagai milik masing-masing. Pembagian dua laut dan
Samedera di dunia untuk Spanyol dan Portugal dengan menuntup laut-laut tertentu bagi
pelayaran internasional, merupakan awal dari era penjajahan kedua kerajaan tersebut di
Amerika Selatan.

Perkembangan selanjutnya memperlihatkan bahwa ternyata pembagian dua laut


dan samudera, serta klaim keempat kerajaan di Eropa Barat mengenai konsepsi laut tertutup
(mare clausum) mendapat tantangan dari belanda yang memperjuangkan asas kebebasan
berlayar (freedom of navigation) yang didasarkan atas pendirian bahwa lautan itu bebas
untuk dilayari oleh siapapun. Belanda yang diwakili oleh Hugo Grotius (selanjutnya disebut
Grotius), yaitu bapak Hukum Laut Internasional yang memperjuangkan asas kebebasan laut
dengan cara yang paling gigih walaupun bangsa Inggris dengan Ratu Elisabeth- nya lebih
dikenal sebagai perintis asas kebebasan laut ini. Perjuangan armada-armada Belanda dan
Inggris melawan armada-armada Spanyol dan Portugal di lautan akhirnya manjadi asas
kebebasan pelayaran ini menjadi suatu kenyataan. Perkembangan penting dalam hukum laut
internasional yang perlu dicatat adalah pertarungan antara penganut doktrin laut bebas
(mare liberium) dan laut tertutup (mare clausum)

Doktrin laut bebas (lepas) yang diwakili oleh Grotius, didasarkan pada teori mengenai
lautan bahwa pemilikan, termasuk atas laut hanya bisa terjadi melalui pessession ini hanya
bisa terjadi melalui okupasi, dan okupasi hanya bisa terjadi atas barang-barang yang dapat
dipegang teguh. Untuk dapat dipegang teguh maka barang-barang tersebut harus ada
batasnya.Laut adalah sesuatu yang mempunyai batas, sehingga laut tidak dapat di okupasi
sebab ia cair dan tidak terbatas. Barang cair hanya bisa dimiliki dengan memasukkanya ke
dalam sesuatu yang lebih padat. Dengan demikian, maka tuntutan atas laut yang didasarkan
pada penemuan, penguasaan tidaklah dapat diterima karena semua itu bukanlah alasan utuk
memperoleh pemilikan atas laut. Meskipun demikian Grotius mengakui bahwa anak-anak
laut dan sungai-sungai, sekalipun cair, dapat dimiliki karena ada batas -batas nya di mana
tepinya dapat dianggap sebagai sesuatu yang lebih padat.
Prinsip kebebasan laut yang dikemukakan oleh Grotius dalam bukunya Mare Liberium,
di bidang pelayaran telah digunakan oleh Belanda untuk menerobos masuk ke Samudra India
dalam usahanya memperluas perdagangan ke Nusantara. Peristiwa ini membuka jalan bagi
Belanda untuk menguasai dan menjajah Indonesia selama tiga ratus lima puluh tahun. Oleh
karena itu, sama hal nya dengan penguasaan negara atas laut yang dilakukan oleh Spanyol
dan Portugal, Belanda juga mempunyai agenda dan tujuan politik untuk menguasai negara-
negara lainnya, khususnya Indonesia.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut ( United Nations


Convention on the Law of the Sea/UNCLOS), juga disebut Konvensi Hukum Laut atau Hukum
perjanjian Laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi PBB tentang
Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III ) yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan
tahun 1982.

Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam
penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan
pengelolaan sumber daya alam laut. UNCLOS ditandatangani tanggal 10 Desember 1982 dan
berlaku mulai tanggal 16 November 1994, setahun setelah Guyana menjadi negara ke 60
untuk menandatangani perjanjian . Untuk saat ini telah 158 negara dan Masyarakat Eropa
telah bergabung dalam Konvensi.

Zona Ekonomi Eksklusif adalah zona yang luasnya 200 mil laut dari garis dasar pantai,
yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam
di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi,
terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa. Konsep dari ZEE muncul
dari kebutuhan yang mendesak. Sementara akar sejarahnya berdasarkan pada kebutuhan
yang berkembang semenjak tahun 1945 untuk memperluas batas jurisdiksi negara pantai
atas lautnya, sumbernya mengacu pada persiapan untuk UNCLOS III.

Konsep dari ZEE telah jauh diletakkan di depan untuk pertama kalinya oleh Kenya
pada Asian-African Legal Constitutive Committee pada Januari 1971, dan pada Sea Bed
Committee PBB pada tahun berikutnya. Proposal Kenya menerima dukungan aktif dari
banyak Negara Asia dan Afrika. Dan sekitar waktu yang sama banyak Negara Amerika Latin
mulai membangun sebuah konsep serupa atas laut patrimonial. Dua hal tersebut telah
muncul secara efektif pada saat UNCLOS dimulai, dan sebuah konsep baru yang disebut ZEE
telah dimulai.

Ketentuan utama dalam Konvensi Hukum Laut yang berkaitan dengan ZEE terdapat
dalam bagian ke-5 konvensi tersebut. Sekitar tahun 1976 ide dari ZEE diterima dengan
antusias oleh sebagian besar anggota UNCLOS, mereka telah secara universal mengakui
adanya ZEE tanpa perlu menunggu UNCLOS untuk mengakhiri atau memaksakan konvensi.
Penetapan universal wilayah ZEE seluas 200 mil laut akan memberikan setidaknya 36% dari
seluruh total area laut. Walaupun ini porsi yang relatif kecil, di dalam area 200 mil laut yang
diberikan menampilkan sekitar 90% dari seluruh simpanan ikan komersial, 87% dari
simpanan minyak dunia, dan 10% simpanan mangan. Lebih jauhnya, sebuah porsi besar dari
penelitian scientific kelautan mengambil tempat di jarak 200 mil laut dari pantai, dan hampir
seluruh dari rute utama perkapalan di dunia melalui ZEE negara pantai lain untuk mencapai
tujuannya. Melihat begitu banyaknya aktivitas di zona ZEE, keberadaan rezim legal dari ZEE
dalam Konvensi Hukum Laut sangat penting adanya.

Batas dalam ZEE adalah batas luar dari laut teritorial. Zona batas luas tidak boleh
melebihi kelautan 200 mil laut dari garis dasar dimana luas pantai teritorial telah ditentukan.
Kata-kata dalam ketentuan ini menyarankan bahwa 200 mil laut adalah batas maksimum dari
ZEE, sehingga jika ada suatu negara pantai yang menginginkan wilayahnya ZEE-nya kurang
dari itu, negara itu dapat mengajukannya. Di banyak daerah tentu saja negara-negara pantai
tidak akan memilih mengurangi wilayahnya ZEE kurang dari 200 mil laut, karena kehadiran
wilayah ZEE negara tetangga. Kemudian timbul pertanyaan mengapa luas 200 mil laut
menjadi pilihan maksimum untuk ZEE. Alasannya adalah berdasarkan sejarah dan politik: 200
mil laut tidak memiliki geografis umum, ekologis, dan biologis nyata. Pada awal UNCLOS zona
yang paling banyak diklaim oleh negara pantai adalah 200 mil laut, diklaim negara-negara
Amerika Latin dan Afrika. Lalu untuk mempermudah persetujuan penentuan batas luar ZEE
maka dipilihlah figur yang paling banyak mewakili klaim yang telah ada. Tetapi tetap
mengapa batas 200 mil laut dipilih sebagai batas luar jadi pertanyaan. Menurut Prof. Hollick,
figur 200 mil laut dipilih karena suatu ketidaksengajaan, dimulai oleh negara Chili. Awalnya
negara Chili mengaku termotivasi pada keinginan untuk melindungi operasi paus lepas
pantainya. Industri paus hanya menginginkan zona seluas 50 mil laut, tapi disarankan bahwa
sebuah contoh diperlukan. Dan contoh yang paling menjanjikan muncul dalam perlindungan
zona diadopsi dari Deklarasi Panama 1939. Zona ini telah disalahpahami secara luas bahwa
luasnya adalah 200 mil laut, padahal faktanya luasnya beraneka ragam dan tidak lebih dari
300 mil laut.

Dalam banyak wilayah negara banyak yang tidak bisa mengklaim 200 mil laut penuh,
karena kehadiran negara tetangga, dan itu menjadikan perlu menetapkan batasan ZEE dari
negara-negara tetangga, pembatasan ini diatur dalam hukum laut internasional. Pada
dasarnya semua teritori pulau bisa menjadi ZEE. Namun, ada 3 kualifikasi yang harus dibuat
untuk pernyataan ini. Pertama, walau pulau-pulau normalnya bisa menjadi ZEE, artikel 121(3)
dari Konvensi Hukum Laut mengatakan bahwa, " batu-batu yang tidak dapat membawa
keuntungan dalam kehidupan manusia atau kehidupan ekonomi mereka, tidak boleh
menjadi ZEE."
Kualifikasi kedua berkaitan dengan wilayah yang tidak meraih baik kemerdekaan
sendiri atau pemerintahan mandiri lain yang statusnya dikenal PBB, dan pada wilayah yang
berada dalam dominasi kolonial. Resolusi III, diadopsi oleh UNCLOS III pada saat yang sama
pada teks Konvensi, menyatakan bahwa dalam kasus tersebut ketentuan yang berkaitan
dengan hak dan kewajiban berdasarkan Konvensi harus diimplementasikan untuk
keuntungan masyarakat wilayah tersebut, dengan pandangan untuk mempromosikan
keamanan dan perkembangan mereka.

1.2 Hukum Laut Nasional

Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana
Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan
kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam
kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.

Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada


Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie
1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah
Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di
sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari
laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.

Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara


kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari
beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia
dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU
No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia
berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian
Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tetapi waktu itu belum diakui secara internasional.
Berdasarkan perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar (
kecuali Irian Jaya ), terciptalah garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut.

Setelah melalui perjuangan yang penjang, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya
dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United
Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya delarasi ini
dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982
bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid mencanangkan tanggal 13 Desember
sebagai Hari Nusantara.[2] Penetapan hari ini dipertegas oleh Presiden Megawati dengan
menerbitkan Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara,
sehingga tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional tidak libur.

Isi dari Deklarasi Juanda yang ditulis pada 13 Desember 1957, menyatakan:

1) Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak


tersendiri
2) Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan

Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan


wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan:

a) Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan
bulat
b) Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan asas negara
Kepulauan
c) Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan
keselamatan NKRI.

Sumber:

Wayan I.Parthiana . 2005 Landas kontinen dalam hukum laut internasional. Penerbit
mandar Maju. Bandung

https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16337/2/T1_312014185_BAB%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai