Suatu perjanjian kerjasama bisnis tidak akan jauh dari permasalahan sengketa bisnis. Sengketa bisnis dapat diselesaikan melalui berbagai macam alternatif. Alternatif tersebut dapat ditempuh melalui lembaga penyelesaian sengketa bisnis. Di Indonesia terdapat empat lembaga penyelesaian sengketa bisnis, lembaga tersebut yaitu sebagai berikut: 1. Pengadilan Umum Pegadilan umum merupakan lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 Pasal 50 tentang Peradilan umum menyatakan bahwa “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.” Berdasarkan isi dari pasal tersebut, dapat dikatakan bahwa pengadilan negeri berwenang dalam memeriksa sengketa bisnis. 2. Pengadilan Niaga Pengadilan niaga adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan pengadilan umum yang mempunyai kompetisi untuk memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), serta sengketa hak kekayaan intelektual (HKI) yang meliputi hak cipta, merek, dan paten. 3. Arbitrase Arbitrase berasal dari kata arbiter yang berarti wasit. Menurut Undang-undang nomor 30 Tahun 1999, arbitrase didefinisikan sebagai cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang di dasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 4. Penyelesaian sengketa alternative Pasal 1 angka 10 Undang-undang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa merumuskan bahwa yang dimaksud dengan alternative penyelesaian sengketa adalah “lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.” Didalam kasus yang sudah dijelaskan pada sub bab 2.1 dan 2.2 menyebutkan bahwa Direktur utama rumah sakit anak dan bunda harapan kita telah memutuskan kontrak kerja samanya secara sepihak kepada PT Radinas Ekasaputra perihal perjanjian kerja sama renovasi dan pengelolaan Wisma Harapan Kita. Pemutusan kerja sama satu pihak tersebut merupakan sebuah sengketa bisnis yang harus diselesaikan. Sengketa bisnis tersebut harus diselesaikan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan dengan adanya kerja sama tersebut. Dalam hal ini pihak yang dirugikan yaitu pihak PT Radinas Ekasaputra karena sudah menggelontorkan sejumlah dana untuk merenovasi dan mengelola Wisma Harapan kita, dana tersebut sebesar Rp19,1 milyar. Oleh karena itu, PT Radinas Ekasaputra dapat mengambil beberapa alternatif untuk menyelesaikan sengketa bisnis tersebut agar tidak dirugikan. Menurut Surat perjanjian kerja sama yang bernomor 02.02.120 yang ditandatangani pada 21 juni 2013, pemutusan kerja sama secara sepihak dapat diadukan ke Bareskrim Mabes Polri. PT Radinas Ekasaputra dapat melaporkan Pihak Direktur utama rumah sakit anak dan bunda harapan kita ke Bareskrim Mabes dengan kasus melakukan serangkaian perbuatan melawan hukum berupa tindak pidana penipuan dan perbuatan curang terhadap hasil pelaksanaan perjanjian kerja sama renovasi dan pengelolaan Wisma Harapan Kita. Hal tersebut hanya merupakan salah satu alternatif untuk menyelesaikan sengketa bisnis tersebut. Terdapat dua alternatif lagi yang dapat dilakukan oleh PT Radinas Ekasaputra untuk menyelesaikan sengketa bisnis mereka. Alternatif yang kedua yaitu dengan membawa masalah pemutusan kerja sama tersebut ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Sesuai dengan "Pasal 17 ayat 2 dari perjanjian kerja sama mewajibkan kedua belah pihak menempuh jalur arbitrase jika terjadi perselisihan dalam kerja sama tersebut.” Dengan pasal tersebut sudah jelas bahwa kasus pemutusan kerja sama sepihak tersebut seharusnya menempuh jalur arbitrase yaitu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang di dasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Namun, menurut artikel yang kami baca, proses hukum tersebut berjalan di tempat karena DD selaku direktur utama rumah sakit anak dan bunda harapan kita enggan membayar biaya administrasi, pemeriksaan dam arbiter. Padahal pembayaran biaya-biaya yang dibebankan kepada kedua belah pihak yang berperkara merupakan syarat mutlak pelaksanaan persidangan. Alternatif yang ketiga yaitu dengan mengadukan persoalan pemutusan kerja sama ini kepada Menteri Kesehatan Nila F Moeloek. PT Radinas Ekasaputra dapat mengirim surat kepada menteri kesehatan dengan meminta agar menteri mengambil tindakan tegas untuk menertibkan aparaturnya, serta memberikan arahan penyelesaian permasalahan kerja sama guna menyelesaikan perselisihan terkait dengan pelaksanaan perjanjian kerja sama nomor HK.02.02.120. Jadi, dalam kasus ini terdapat tiga alternatif yang dapat diambil oleh pihak pihak yang bersangkutan untuk menyelesaikan sengketa pemutusan kerja sama secara sepihak tersebut. Setelah membaca berbagai macam artikel mengenai kasus sengketa bisnis pemutusan kerja sama secara sepihak antara Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita dengan PT Radinas Ekasaputra, ternyata pihak PT Radinas Ekasaputra mengambil alternatif yang pertama dan yang ketiga. Mereka tidak mengambil alternatif yang kedua karena DD selaku direktur utama rumah sakit anak dan bunda harapan kita enggan membayar biaya administrasi, pemeriksaan dam arbiter. Jadi, alternatif yang diambil dari sengketa pemutusan kerja sama sepihak yaitu dengan melaporkan pihak Direktur Utama Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan kepada Bareskrim Mabes Polri dan mengadukan kepada menteri kesehatan republik Indonesia.