Anda di halaman 1dari 4

Soal:

 Contoh Kasus:

Pada tahun 2015-2016 terjadi perseteruan dalam bidang pengadaan barang dan jasa
yang cukup menyita perhatian publik ibukota. Adapun kasus tersebut adalah bermula
dari tidak dibayarkannya sebagian hak PT. Ifana Jaya terhadap pembelian sejumlah
161 Unit kendaraan Transjakarta oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebagaimana
diketahui, bahwa PT. Ifana Jaya merupakan pemenang tender pengadaan atas
kendaraan Transjakarta senilai Rp 200 Milyar. Dalam hal ini, Pemprov DKI Jakarta baru
membayarkan sejumlah Rp 30 Milyar dan masih tersisa Rp 160 Milyar.

Peristiwa hukum inipun akhirnya bergulir dan masuk dalam proses gugatan di
Pengadilan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Jakarta pada awal 2015 dan
diputuskan pada tanggal 28 April 2015 dengan menyatakan bahwa Pemprov DKI
melakukan wanprestasi dan harus membayar kepada PT. Ifani Dewi. Tetapi Pemprov
DKI tidak berkenan untuk membayarkannya dan melanjutkan upaya hukum dengan
mengajukan perlawanan atas putusan BANI di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hanya
saja Pemprov DKI Jakarta kembali kalah dimana PN Jakarta Pusat menguatkan
putusan BANI yang memenangkan PT. Ifani Jaya.

Sumber: https://regional.kontan.co.id/news/dki-harus-bayar-rp-130-miliar-ke-pt-ifani 

Pertanyaan:

1. Terdapat dua model penyelesaian sengketa. Sebutkan keduanya dan jelaskan


pemahaman saudara, pada kasus di atas penyelesaiannya dilaksanakan dengan
model yang mana. Jelaskan dasar hukum pengaturannya.
2. Dalam upaya penyelesaian sengketa melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa
diperlukan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak yang
bertikai. Jelaskan apa saja persyaratan utama yang harus dipenuhi para pihak
sehingga sengketanya dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase dan
bagaimana konsekuensinya jika hal tersebut dipenuhi oleh para pihak.
3. Kemukakan yang saudara ketahui tentang sifat dari putusan Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI). Sertakan dengan pasal yang mengaturnya dan
jelaskan makna dari sifat putusan tersebut.
4. Dalam UU No. 30 Tahun 1999 diatur jenis sengketa yang dapat diselesaikan
melalui mekanisme Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Sebutkan pasal
yang mengaturnya dan apa saja jenis sengketa tersebut. Menurut saudara,
bolehkah jika sengketa perjanjian jual beli diselesaikan melalui BANI.
JAWABAN

1. Menurut saya pribadi berdasarkan bahan ajar yang saya baca penyelesaian sengketa ada 2
yaitu :
a. Litigasi
Merupakan suatu proses gugatan atas suatu konflik dalam format menggantikan
konflik sesungguhnya, diman para pihak dengan memberikan kepada seorang
pengambil keputusan pada dua pilihan yang bertentangan. Litigasi merupakan
proses yang sangat dikenal bagi para lawyer, dengan adanya karakterisrik adanya
pihak ketiga yang mempunyai kekuatan untuk memustuskan solusi diantara para
pihak yang bersengketa. Litigasi diartikan sebagai proses admnistrasi dan
peradilan. Litigasi juga tidak cocok untuk sengketa yang bersifat polisentris yaitu
sengketa yang melibatkan banyak pihak, banyak persoalan dan beberapa
kemungkinan aternatif penyelesaian. Pihak yang berperkara seringkali dapat
membuat litigasi berjalan semata-mata untuk merugikan pihak lain dan membuat
proses perkara menjadi lebih mahal. Tujuan utama dari upaya tersebut adalah
memaksa pihak yang tidak memiliki sumber daya yang sama apalagi yang kurang
juat, untuk menyerah dan menyelesaikan menurut syarat-syarat yang
menguntungkan pihak lain.
b. Arbitrase
Dikenal dengan nama ADR yang meliputi negosiasi, mediasi, dan arbitrase.
Penggunaan model ADR dalam penyelesaian sengketa secara non-litigasi tidak
menutup peluang penyelesaian perkara tersebut secara litigasi penyelesaian
litigasi tetap di pergunakan manakala penyelesaian secara nonlitigasi tersebut
tidak membuahkan hasil. Jadi penggunaan ADR adalah sebagai salah satu
mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan mempertimbangkan
segala bentuk efisiensinya dan untuk tujuan masa yang akan datang sekaligus
menguntungkan bagi para pihak yang bersengketa. Arbitrase melibatkan litigasi
sengketa privat yang membedakannya dengan litigasi melalui pengadilan. Sifat
privat dari arbitrase memberikan keuntungan-keuntungan melebihi adjudikasi
yang secara konvensional diselesaikan melalui kompetensi pengadilan. Arbitrase
pada umumnya menghindari pengadilan, dalam kaitan ini dibandingkan dengan
adjudikasi public, arbitrase lebih memberikan kebebasan, pilihan, otonomi,
kerahasiaan kepada para pihak yang bersengketa.
Berdasarkan kasus diatas menurut saya menggunakan metode litigasi, dikarenakan ada
kemungkinan dimana pemprov DKI Jakarta melakukan Tindakan korupsi dimana tidak
berjalan sesuai dengan kesepakatan.

2. Menurut saya Agar dapat diselesaikan melalui arbitrase, para pihak yang bersengketa
harus memiliki persetujuan terlebih dahulu untuk menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase. Menurut Pasal 4 Ayat (2) UU Arbitrase, persetujuan ini dituangkan dalam suatu
dokumen yang ditandatangani oleh para pihak, sehingga bisa saja sebelum terjadi
sengketa para pihak di dalam perjanjiannya memasukkan klausul mengenai arbitrase atau
setelah terjadi sengketa para pihak membuat perjanjian bahwa sengketa akan diselesaikan
melalui arbitrase. Khusus untuk perjanjian arbitrase yang dibuat setelah sengketa terjadi,
undang-undang menentukan bahwa perjanjian paling sedikit harus memuat:
 masalah yang dipersengketakan;
 nama lengkap dan tempat tnggal para pihak;
 nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
 tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
 nama lengkap sekretaris;
 jangka waktu penyelesaian sengketa;
 pemyataan kesediaan dari arbiter; dan
 pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala
biaya yang diperlukan untuk penyelesalan sengketa melalui arbitrase.
ika perjanjian arbitrase yang dibuat setelah timbulnya sengketa tidak memuat hal-hal
tersebut di atas, maka menurut Pasal 9 Ayat (3) UU Arbitrase perjanjian tersebut batal
demi hukum. Kemudian ditentukan juga bahwa perjanjian tersebut harus ditandangani
oleh para pihak. Jika para pihak tidak dapat menandatanganinya, maka perjanjian dibuat
dalam bentuk akta notaris.
Selain itu, Pasal 4 Ayat (3) UU Arbitrase juga memperbolehkan bahwa kesepakatan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase dilakukan dalam bentuk pertukaran surat atau
dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, namun jika kesepakatan dilakukan melalui
sarana ini, maka para pihak wajib menyertakan suatu catatan penerimaan oleh para
pihak. Dengan adanya perjanjian atau persetujuan para pihak untuk menyelesaikan
sengketa melalui arbitrase ini, maka pengadilan negeri tidak lagi memiliki kewenangan
untuk menyelesaikan sengketa yang bersangkutan.

3. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI Arbitration Center) adalah lembaga


independen yang memberikan jasa beragam yang berhubungan dengan arbitrase, mediasi
dan bentuk-bentuk lain dari penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
BANI didirikan pada tahun 1977 oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN)
melalui SK No. SKEP/152/DPH/1977 tanggal 30 November 1977 yang berisi tugas dan
tanggung jawab BANI dan dikelola oleh Dewan Pengurus dan diawasi oleh Dewan
Pengawas dan Dewan Penasehat yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dan sektor
bisnis. SK No. SKEP/154/DPH/1977 tanggal 03 Desember 1977 Tentang Struktur
organisasi BANI.

4. Dalam UU No. 30 Tahun 1999 Pasal 5 diatur jenis sengketa yang dapat diselesaikan yaitu
hanya sengketa yang dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
perturan perundang-undangan dikuasai oleh pihak yang bersengketa. Menurut saya
sengketa jual-beli tidak bisa diselesaikan melalui BANI, yang bisa hanya yang dapat
diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan saja dan sengketa
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

SUMBER :
 BUKU BAHAN AJAR HKUM4409 ARBITRASE, MEDIASI, DAN NEGOSIASI
 https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_1999_30.pdf

Anda mungkin juga menyukai