Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Permasalahan atau sengketa sering terjadi di kehidupan bermasyarakat.
Permasalahan atau sengketa biasanya banyak terjadi pada berbagai lini kegiatan
ekonomi dan bisnis. Perbedaan pendapat, benturan kepentingan, hingga rasa takut
dirugikan kerap menjadi sebab permasalahan atau sengketa tersebut terjadi.
Penyelesaian sengketa bisnis kebanyakan dilaksanakan menggunakan cara litigasi
atau penyelesaian sengketa melalui proses persidangan. Penyelesaian sengketa
tersebut diawali dengan pengajuan gugatan kepada pengadilan negeri dan diakhiri
dengan putusan hakim. Namun disamping penyelesaian sengketa melalui proses
litigasi, terdapat pula penyelesaian sengketa melalui non litigasi.
Penyelesaian melalui non litigasi ialah penyelesaian sengketa yang
dilakukan menggunakan cara-cara yang ada di luar pengadilan atau menggunakan
lembaga alternatif penyelesaian sengketa. Di Indonesia, penyelesaian non litigasi
ada dua macam, yakni Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (UU AAPS).
Secara bahasa, Arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin) yang berarti
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara berdasarkan kebijaksanaan.
Arbitrase merupakan penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga
yang netral, yaitu individu atau arbitrase sementara (ad hoc). Menurut Abdul
Kadir, arbitrase adalah penyerahan sukarela suatu sengketa kepada seorang yang
berkualitas untuk menyelesaikannya dengan suatu perjanjian bahwa suatu
keputusan arbiter akan final dan mengikat. Sedangkan menurut Undang-Undang
nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
pada pasal 1, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

1
Dari pengertian tersebut, dapat diartikan bahwa arbitrase adalah perjanjian
perdata yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan
sengketa mereka yang diputuskan oleh pihak ketiga yang disebut arbiter yang
ditunjuk secara bersama-sama oleh para pihak yang bersengketa dan para pihak
menyatakan akan menaati putusan yang diambil oleh arbiter.
Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase harus terlebih didahului
dengan kesepakatan para pihak secara tertulis untuk melakukan penyelesaian
menggunakan lembaga arbitrase. Para pihak menyepakati dan mengikat diri untuk
menyelesaikan perselisihan yang akan terjadi oleh arbitrase sebelum terjadi
perselisihan yang nyata dengan menambahkan klausul pada perjanjian pokok.
Namun apabila para pihak belum memasukkannya pada kkalusul
perjanjian pokok, para pihak dapat melakukan kesepakatan apabila sengketa telah
terjadi dengan menggunakan akta kompromis yang ditandatangani kedua belah
pihak dan disaksikan oleh Notaris. Penyelesaian sengketa dengan menggunkan
lembaga arbitrase akan menghasilkan Putusan Arbitrase. Menurut undang-undang
nomor 30 tahun 1999, arbiter atau majelis arbitrase untuk segera menjatuhkan
putusan arbitrase selambat-lambatnya 30 hari terhitung sejak selesainya
pemeriksaan sengketa oleh arbiter.
Jika didalam putusan yang dijatuhkan tersebut terdapat kesalahan
administratif, para pihak dalam waktu 14 hari terhitung sejak putusan dijatuhkan
diberikan hak untuk meminta dilakukannya koreksi atas putusan tersebut. Putusan
arbitrase merupakan putusan pada tingkat akhir (final) dan langsung mengikat
para pihak. Putusan arbitrase dapat dilaksanakan setelah putusan tersebut
didaftarkan arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri. Setelah
didaftarkan, ketua pengadilan negeri diberikan waktu 30 hari untuk memberikan
perintah pelaksanaan putusan arbitrase.
Selain melalui proses arbitrasi, penyelesaian sengketa non litigasi dapat
juga dilakukan dengan cara alternatif penyelesaian sengketa atau alternative
dispute resolution (ADR). Alternatif penyelesaian sengketa adalah suatu bentuk
penyelesaian sengketa diluar pengadilan berdasarkan kata sepakat (konsensus)
yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa baik tanpa ataupun dengan

2
bantuan para pihak ketuga yang netral. Menurut Undang-Undang nomor 30 tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada pasal 1 angka
10, alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau
beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian
diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli.
Penyelesaian sengketa melalui ADR mempunyai keungulan-keunggulan
dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui litigasi, diantaranya
ialah adanya sifat kesukarelaan dalam proses karena tidak adanya unsur
pemaksaan, prosedur yang cepat, keputusannya bersifat non judicial, prosedur
rahasia, fleksibilitas dalam menentukan syarat-syarat penyelesaian masalah, hemat
waktu dan hemat biaya, tingginya kemungkinan untuk melaksanakan
kesepakatan dan pemeliharaan hubungan kerja.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut diatas, maka rumusan
masalahnya adalah :
a. Apa pengertian dari sengketa?
b. Bagaimana penyelesaian sengketa?
c. Bagaimana kedudukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan?
d. Apa saja pembagian dari arbitrase?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, maka
tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah :
a. Untuk mengetahui pengertian dari sengketa.
b. Untuk mengetahui cara penyelesaian sengketa.
c. Untuk mengetahui kedudukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
d. Untuk mengetahui pembagian dari arbitrase.

3
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Tinjauan tentang Penyelesaian Sengketa


1. Pengertian Sengketa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut
KBBI), pengertian sengketa adalah 1) sesuatu yang menyebabkan
perbedaan pendapat; pertengkaran; perbantahan. 2) pertikaian;
perselisihan. 3) perkara (dalam pengadilan).
Menurut Nurnaningsih Amriani, sengketa merupakan perselisihan
yang terjadi antara para pihak dalam perjanjian karena adanya
wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian
tersebut. Sedangkan menurut Takdir Rahmadi, sengketa adalah situasi
dan kondisi dimana orang-orang saling mengalami perselisihan yang
bersifat faktual maupun perselisihan menurut persepsi mereka saja.
Sengketa adalah kondisi dimana ada pihak yang merasa dirugikan
oleh pihak lain, yang kemudian pihak tersebut menyampaikan
ketidakpuasan tersebut kepada pihak kedua. Apabila suatu kondisi
menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadilah apa yang
dinamankan sengketa tersebut. Dalam konteks hukum khususnya
hukum kontrak, yang dimaksud dengan sengketa adalah perselisihan
yang terjadi antara para pihak karena adanya pelanggaran terhadap
kesepakatan yang telah dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian
maupun keseluruhan. Sehingga dengan kata lain telah terjadi
wanprestasi oleh pihak-pihak atau salah satu pihak, karena tidak
dipenuhinya kewajiban yang harus dilakukan atau dipenuhi namun
kurang atau berlebihan yang akhirnya mengakibatkan pihak satunya
dirugikan.
Sengketa yang timbul antara para pihak harus diselesaikan agar
tidak menimbulkan perselisihan yang berkepanjangan dan agar
memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi para pihak. Secara

4
garis besar untuk penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua
cara yaitu jalur litigasi maupun jalur non litigasi.

2. Penyelesaian Sengketa
Pada dasarnya penyelesaian sengketa dapat dan biasanya
dilakukan menggunakan dengan dua cara yaitu penyelesaian sengketa
melalui Lembaga litigasi (melalui pengadilan) dan penyelesaian
sengketa melalui non litigasi (di luar pengadilan).
2.1 Penyelesaian Sengketa Secara Litigasi
Dalam peraturan perundang-undangan tidak ada yang
memberikan definisi mengenai litigasi, namun dapat dilihat di
dalam Pasal 6 ayat 1 UU 30/1999 tentang Arbitrase yang pada
intinya mengatakan bahwa sengketa dalam bidang perdata dapat
diselesaikan para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa
yang dilandasi itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian
secara litigasi di Pengadilan Negeri. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa litigasi merupakan proses menyelesaikan perselisihan
hukum di pengadilan yang mana setiap pihak bersengketa memiliki
hak dan kewajiban yang sama baik untuk mengajukan gugatan
maupun membantah gugatan melalui jawaban.
Penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan upaya
penyelesaian sengketa melalui Lembaga pengadilan. Menurut Dr.
Frans Hendra Winarta, S.H., M.H. dalam bukunya yang berjudul
Hukum Penyelesaian Sengketa mengatakan bahwa litigasi
merupakan penyelesaian sengketa secara konvensional dalam dunia
bisnis seperti dalam bidang perdagangan, perbankan, proyek
pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan
sebagainya. Proses litigasi menempatkan para pihak saling
berlawanan satu sama lain. Selain itu, penyelesaian sengketa secara
litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah upaya-
upaya alternatif penyelesaian sengketa tidak membuahkan hasil.

5
Penyelesaian sengketa melalui litigasi memiliki kelebihan
dan kekurangan. Proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan
menghasilkan suatu keputusan yang bersifat adversarial yang
belum mampu merangkul kepentingan bersama karena
menghasilkan suatu putusan win-lose solution. Sehingga pasti akan
ada pihak yang menang pihak satunya akan kalah, akibatnya ada
yang merasa puas dan ada yang tidak sehingga dapat menimbulkan
suatu persoalan baru di antara para pihak yang bersengketa. Belum
lagi proses penyelesaian sengketa yang lambat, waktu yang lama
dan biaya yang tidak tentu sehingga dapat relative lebih mahal.
Proses yang lama tersebut selain karena banyaknya perkara
yang harus diselesaikan tidak sebanding dengan jumlah pegawai
dalam pengadilan, juga karena terdapat tingkatan upaya hukum
yang bisa ditempuh para pihak sebagaimana dijamin oleh
peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia yaitu mulai
tingkat pertama di Pengadilan Negeri, Banding di Pengadilan
Tinggi, Kasasi di Mahkamah Agung dan yang terakhir Peninjauan
Kembali sebagai upaya hukum terakhir. Sehingga tidak tercapai
asas pengadilan cepat, sederhana dan biaya ringan.
2.2 Penyelesaian Sengketa Secara Non-Litigasi
Rachmadi Usman, S.H., M.H. mengatakan bahwa selain
melalui litigasi (pengadilan), penyelesaian sengketa juga dapat
diselesaikan melalui jalur non-litigasi (di luar pengadilan), yang
biasanya disebut dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) di
Amerika, di Indonesia biasanya disebut dengan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut APS).
Terhadap penyelesaian sengketa di luar pengadilan (di
Indonesia dikenal dengan nama APS) telah memiliki landasan
hukum yang diatur dalam UU 30/1999 tentang Arbitrase. Meskipun
pada prakteknya penyelesaian sengketa di luar pengadilan
merupakan nilai-nilai budaya, kebiasaan atau adat masyarakat

6
Indonesia dan hal ini sejalan dengan cita-cita masyarakat Indonesia
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Cara penyelesaian tersebut adalah dengan musyawarah dan
mufakat untuk mengambil keputusan. Misalnya dalam forum
runggun adat yang menyelesaikan sengketa secara musyawarah dan
kekeluargaan, dalam menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi
oleh masyarakat setempat dikenal adanya Lembaga hakim
perdamaian yang secara umum berperan sebagai mediator dan
konsiliator tepatnya di Batak Minangkabau.
Oleh sebab itu, masuknya konsep ADR di Indonesia tentu
saja dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat Indonesia.
Pembahasan mengenai APS semakin ramai dibicarakan dan perlu
dikembangkan sehingga dapat mengatasi kemacetan dan
penumpukan perkara di Pengadilan. Istilah APS merupakan
penyebutan yang diberikan untuk pengelompokan penyelesaian
sengketa melalui proses negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase.
Ada yang mengartikan APS sebagai Alternative to Litigation
yang mana seluruh mekanisme penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, termasuk arbitrase merupakan bagian dari APS. Pasal 1
Angka (10) UU 30/1999 tentang Arbitrase merumuskan bahwa
APS sendiri merupakan Lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni
penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Sedangkan APS
sebagai Alternative to Adjudication meliputi penyelesaian sengketa
yang bersifat konsensus atau kooperatif.
Namun dalam perkembangan dan pemberlakuan khususnya
di Indonesia terdapat 6 (enam) APS diuraikan sebagai berikut :
a. Konsultasi
Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan yang
diberikan dalam UU 30/1999 tentang Pasar Modal mengenai

7
makna maupun pengertian konsultasi. Namun apabila melihat
dalam Black’s Law Dictionary dapat kita ketahui bahwa yang
dimaksud dengan konsultasi adalah :
“act of consulting or conferring; e.g. patient with doctor,
client with lawyer. Deliberation of persons on some
subject”.
Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa pada
prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat
personal antara satu pihak tertentu yang disebut dengan klien
dengan satu pihak lain yang merupakan pihak konsultan yang
memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk
memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. Klien
dapat menggunakan pendapat yang telah diberikan ataupun
memilih untuk tidak menggunakan adalah bebas, karena tidak
terdapat rumusan yang menyatakan sifat “keterikatan” atau
“kewajiban” dalam melakukan konsultasi.
Hal ini berarti konsultasi sebagai bentuk pranata APS,
peran dari konsultasn dakam menyelesaikan sengketa atau
perselisihan hanyalah sebatas memberikan pendapat (hukum)
saja sebagaimana permintaan klien. Selanjutnya mengenai
keputusan penyelesaian sengketa akan diambil sendiri oleh
para ihak yang bersengketa, meskipun adakalanya pihak
konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan
bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh
para pihak yang bersengketa tersebut.
b. Negosiasi
Istilah negosiasi tercantum dalam Pasal 1 Angka (1) UU
30/1999 tentang Arbitrase yaitu sebagai salah satu APS.
Pengertian negosiasi tidak diatur secara eksplisit dalam
Undang-Undang, namun dapat dilihat dalam Pasal 6 ayat (2)
UU 30/1999 tentang Arbitrase bahwa pada dasarnya para pihak

8
dapat dan berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang
timbul dalam pertemuan langsung dan hasil kesepakatan
tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui para
pihak. Selain dari ketentuan tersebut tidak diatur lebih lanjut
mengenai “negosiasi” sebagai salah satu alternatif penyelesaian
sengketa oleh para pihak.
Menurut Ficher dan Ury sebagaimana dikutip oleh
Nurnaningsih Amriani, negosiasi merupakan komunikasi dua
arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat
kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama
meupun yang berbeda. Hal ini selaras dengan apa yang
diungkapkan oleh Susanti Adi Nugroho bahwa negosiasi
adalah proses tawar menawar untuk mencapai kesepakatan
dengan pihak lain melalui proses interaksi, komunikasi yang
dinamis dengan tujuan untuk mendapatkan penyelesian atau
jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi oleh
kedua belah pihak.
c. Mediasi
Menurut Pasal 1 angka (1) Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
(selanjutnya disebut PERMA 1/2016) bahwa mediasi
merupakan cara penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak
dengan dibantu oleh Mediator.
Pengaturan mediasi dapat ditemukan dalam ketentuan
Pasal 6 ayat (3), (4), dan (5) UU 30/1999 tentang Arbitrase
bahwa terhadap sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui
negosiasi, maka penyelesaian sengketa diselesaikan melalui
bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui
seorang mediator. Mediasi pada dasarnya adalah negosiasi
yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian

9
mengenai prosedur mediasi yang efektif, sehingga dapat
membantu dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan
aktivitas mereka sehingga dapat lebih efektif dalam proses
tawar menawar.
Mediasi juga dapat diartikan sebagai upaya penyelesaian
sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui
mediator yang bersikap netral dan tidak membuat keputusan
atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang sebagai
fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan
suasana keterbukaan, kejujuran dan tukar pendapat untuk
tercapainya mufakat.
d. Konsiliasi
Pengertian mengenai konsiliasi tidak diatur secara
eksplisit dalam UU 30/1999 tentang Arbitrase. Namun
penyebutan konsiliasi sebagai salah satu Lembaga alternatif
penyelesaian sengketa dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1
angka (10) dan Alinea ke-9 (Sembilan) dalam penjelasan umum.
Black’s Law Dictionary memberikan pengertian konsiliasi
yaitu :
“Conciliation is the adjustment and settlement of a
dispute in a friendly, unantagonistic manner used in
courts before trial with a view towards avoiding trial and
in a labor disputes before arbitration”.
“Court of Conciliation is a court which proposes terms
of adjustment, so as to avoid litigation”.
Konsiliasi merupakan lanjutan dari mediasi. Mediator
berubah fungsi menjadi konsiliator, dalam hal ini konsiliator
menjalankan fungsi yang lebih aktif dalam mencari bentuk-
bentuk penyelesaian sengketa dan menawarkannya kepada para
pihak apabila para pihak dapat menyetujui, solusi yang dibuat
konsiliator akan menjadi resolution. Kesepakatan yang terjadi

10
akan bersifat final dan mengikat para pihak. Apabila pihak
yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan
dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa.
Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi, kedua cara ini
melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa secara
damai.
e. Penilaian Ahli
Sebagaimana dapat diambil kesimpulan atas pengertian
Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Pasal 1 Angka (10)
bahwa Penilaian Ahli merupakan salah satu cara
menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Penilaian ahli
merupakan cara penyelesian sengketa oleh para pihak dengan
meminta pendapat atau penilaian ahli terhadap perselisihan
yang sedang terjadi.
Bahwa ternyata arbitrase dalam suatu bentuk
kelembagaan tidak hanya bertugas untuk menyelesaikan
perbedaan atau perselisihan pendapat maupun sengketa yang
terjadi di antara parapihak dalam suatu perjanjian pokok,
melainkan juga dapar memberikan konsultasi dalam bentuk
opini atau pendapat hukum atas permintaan dari setiap pihak
yang meemrlukannya tidak terbatas pada para pihak dalam
perjanjian. Pemberian opini atau pendapat (hukum) tersebut
dapat merupakan suatu masukan bagi para pihak dalam
menyusun atau membuat perjanjian yang akan mengatur hak-
hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian, maupun dalam
memberikan penafsiran ataupun pendapat terhadap salah satu
atau lebih ketentuan dalam perjanjian yang telah dibuat oeh
para pihak untuk memerjelas pelaksanaannya.
f. Arbitrase
Landasan hukum mengenai arbitrase dapat dilihat dalam
beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia.

11
Arbitrase diatur dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(selanjutnya disebut UU 48/2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman) bahwa arbitrase merupakan cara penyelesaian
sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa.
Pasal 1 ayat (1) UU 30/1999 tentang Arbitrase
menjelaskan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa
perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa. Arbitrase digunakan untuk mengantisipasi
perselisihan yang mungkin terjadi maupun yang sedang
mengalami perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara
negosiasi atau konsultasi maupun melalui pihak ketiga serta
untuk menghindari penyelesaian sengketa melalui Lembaga
peradilan yang selama ini dirasakan memerlukan waktu yang
lama.
Dalam Peraturan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia
Nomor : 04/BAPMI/12.2014 tentang Peraturan dan Acara
Arbitrase yang selanjutnya disingkat Peraturan BAPMI,
tepatnya diatur pada Pasal 1 Huruf (a) bahwa arbitrase
merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar
pegadilan umum yang diselenggarakan di BAPMI dengan
menggunakan Peraturan dan Acara ini yang didasarkan pada
Perjanjian Arbitrase.
Terdapat dua aliran ADR, yang pertama adalah pendapat
bahwa arbitrase terpisah dari alternatif penyelesaian sengketa
dan aliran yang kedua berpendapat bahwa arbitrase merupakan
pula alternatif penyelesaian sengketa. Sedangkan di dalam UU
30/1999 tentang Arbitrase menganut aliran kombinasi dari

12
kedua aliran tersebut diatas (combination of processes).
Arbitrase dapat berdiri sendiri, di samping dapat merupakan
bagian dari alternatif penyelesaian sengketa.
Pada umumnya Lembaga arbitrase mempunyai kelebihan
dibandingkan dengan Lembaga peradilan. Kelebihan tersebut
antara lain :
1) Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak sehingga citra
yang sudah dibangun tidak terpengaruh karena sifat privat
penyelesaian sengketa;
2) Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal
procedural dan administrative, karena sidang dapat langsung
dilaksanakan ketika persyaratan sudah dipenuhi para pihak;
3) Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut
keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta
latar belakang yang cukup mengenai masalah yang
disengketakan, jujur, dan adil;
4) Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk
menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat
penyelenggaraan arbitrase; dan
5) Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para
pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana
saja ataupun langsung dapat dilaksanakan, karena putusan
arbitrase memiliki sifat final dan binding.
Meskipun demikian kebenaran tersebut relative, sebab di
negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat dari
pada proses arbitrase. Karena satu-satunya kelebihan arbitrase
terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiannya karena
keputusannya tidak dipublikasikan.

13
3. Kedudukan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Kehadiran upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan diakui
di Indonesia, sebagaimana dapat kita lihat dalam UU 48/2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman bahwa terdapat badan-badan lain yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, selain Mahkamah
Agung dan badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi,
diantaranya adalah :
a) penyelidikan dan penyidikan,
b) penuntutan,
c) pelaksanaan putusan,
d) pemberian jasa hukum, dan
e) penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar
pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian
sengketa. Juga dalam Pasal 58 sampai dengan Pasal 61 BAB XII UU
48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur “Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan” bahwa upaya penyelesaian sengketa
perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau
alternatif penyelesaian sengketa.

B. Tinjauan tentang Arbitrase


1. Ketentuan tentang Arbitrase
1.1 Pengertian Arbitrase
Kata arbitrase berasal dari kata arbitrate (Latin), arbitrage
(Belanda), arbritation (Inggris), arbitrage (Perancis) dan
schiedpruch (Jerman), yang memiliki arti kekuasaan untuk
menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh
arbiter.
Arbitrase adalah suatu tata cara untuk menyelesaikan suatu
perselisihan selain melalui pemeriksaan oleh pengadilan dan terjadi
ketika satu atau lebih orang diangkat untuk mendengarkan

14
argumentasi yang diajukan para pihak yang bersengketa dan untuk
memberikan putusan atas perselisihan tersebut Arbitrase umumnya
timbul karena kesepakatan antara para pihak untuk menyelesaikan
suatu perselisihan melali arbitrase, baik atas kesepakatan yang
dicapai sebelum atau sesudah perselisihan timbul. Penyelesaian
tersebut umumnya lebih disukai karena lebih murah, cepat,
informal dan tidak melibatkan publisitas sehingga citra perusahaan
tetap terjaga karena sifatnya yang privat dan tertutup untuk umum.
Apabila secara teknis fungsi peradilan atau tugas yang
mengadili dirumuskan sebagai “memeriksa dan memutus perkara”
yang tidak selalu sama dengan “menyelesaikan” atau
“memecahkan” atau “solusi” untuk suatu perkara atau sengketa
atau beda pendapat. Selanjutnya dikatakan tentang perlu sekali
adanya perubahan orientasi “memutus perkara” menjadi
menyelesaikan perkara”, maka Arbitrase dapat menjadi jawaban
atas kebutuhan perubahan orientasi tersebut, sebagaimana menurut
pendapat Bagir Manan. Priyatna Abdurrasyid mengatakan bahwa
arbitrase merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjabarkan
suatu bentuk tata cara damai yang sesuai atau sebagai
penyediaan dengan cara bagaimana menyelesaikan sengketa yang
timbul sehingga mencapai suatu hasil tertenti yang secara hukum
bersifat final dan mengikat.
Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa, dimana putusannya bersifat final dan memiliki
kekuatan hukum tetap dan binding (mengikat) bagi para pihak dan
pelaksanaan putusan arbitrase dilakukan secara sukarela.
Dari serangkaian pilihan penyelesaian sengketa di luar
pengadilan apabila tahap negoisasi dan mediasi tidak tercapai para
pihak lebih tertarik menggunakan arbitrase. Arbitrase adalah cara

15
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa.
Khususnya di Indonesia, minat untuk menyelesaikan
sengketa melalui jalur arbitrase meningkat semenjak
diundangkannya UU 30/1999 tentang AAPS tersebut. Adapun
kelebihan menyelesaikan sengketa menggunakan Arbitrase
dibandingkan jalur litigasi adalah sebagai berikut :
1) Sidang tertutup untuk umum
2) Prosesnya cepat (maksimal enam bulan);
3) Putusannya final dan tidak dapat dilakukan banding atau kasasi;
4) Arbiternya dipilih oleh para pihak, ahli dalam bidang yang
disengketakan dan memiliki integritas atau moral yang tinggi;
5) Walaupun biaya formalnya lebih mahal daripada biaya kasusnya
dihadapan Majelis Arbitrase dan Majelis Arbitrase dapat
langsung meminta klarifikasi oleh para pihak.
1.2 Macam Arbitrase
Klausula arbitrase harus memuat pernyataan apakah arbitrase
akan dilakukan secara Lembaga atau ad hoc. Mengenai macam
arbitrase diatur dalam Pasal 6 ayat (9) bahwa apabila usaha
perdamaian mulai dari negosiasi, mediasi, konsiliasi, pendapat
mediasi, pendapat ahli tidak dapat dicapai, maka para pihak
berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha
penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.
Macam Lembaga arbitrase yang ada saat ini dikelompokkan
menjadi Lembaga arbitrase institusional dan arbitrase ad hoc, yang
diuraikan sebagai berikut :
1.2.1 Arbitrase Institusional
Pengaturan terkait arbitrase institusional atau
Lembaga arbitrase dapat dilihat dalam Pasal 1 Angka (8)
UU 30/1999 tentang Arbitrase bahwa lembaga arbitrase

16
merupakan badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa
tertentu.
Arbitrase institusional merupakan arbitrase yang
didirikan dan melekat pada suatu Lembaga tertentu.
Sifatnya permanen dan pada umumnya memiliki prosedur
dan tata cara pemeriksaan sengketa tersendiri. Arbiternya
ditentukan dan diangkat oleh Lembaga arbitrase
institusional sendiri. Arbitrase institusional juga
menyediakan jasa administrasi arbitrase, yang meliputi
pengawasan proses arbitrase, aturan-aturan procedural
sebagai pedoman para pihak dan pengankatan arbiter.
1.2.1. Arbitrase Ad hoc
Selain arbitrase institusional juga ada arbitrase lain
yaitu arbitrase ad-hoc yang dilakukan oleh tim buatan yang
ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa. UU 30/1999
tentang Arbitrase tidak memberikan definisi atas arbitrase ad-
hoc, namun dalam Pasal 13 Ayat (2) UU 30/1999 tentang
Arbitrase mengatur bahwa terhadap suatu arbitrase ad-hoc
bagi setiap ketidaksepakatan dalam penunjukan seorang atau
beberapa arbiter, para pihak dapat mengajukan permohonan
kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk seorang
arbiter atau lebih dalam rangka penyelesaian sengketa para
pihak.
Proses arbitrase jenis ini biasanya dipilih setelah ada
sengketa yang muncul dan begitu masalah atau sengketa
tersebut selesai diproses dan telah menghasilkan putusan
arbitrase maka tim ad-hoc pun dibubarkan. Jadi keberadaan
arbitrase ad-hoc hanya dibentuk ketika diperlukan dan akan
berakhir langsung setelah keluarnya putusan, sifatnya
sementara atau tidak permanen. Sehingga yang membedakan

17
dengan arbitrase institusional adalah sifat permanennya.

2. Ketentuan tentang Perjanjian Arbitrase


2.1 Perjanjian Arbitrase
Perihal perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPdt (Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata), bahwa terdapat 4 (empat) syarat
yang harus dipenuhi agar perjanjian yang dibuat para pihak sah,
yaitu sebagai berikut :
a. Kesepakatan para pihak
b. Kecakapan para pihak
c. Klausula yang halal
d. Sebab tertentu

Pasal 1339 KUHPdt tentang asas kebebasan berkontrak.


Berdasarkan asas kebebasan berkontrak tersebut para pihak yang
terikat dalam perjanjian bebas untuk menentukan apa yang para
pihak kehendaki dalam perjanjian sepanjang memenuhi syarat-
syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
KUHPer. Pada dasarnya dalam membuat perjanjian harus
memenuhi unsur kesepakatan. Karena dengan adanya kesepakatan
maka perjanjian dianggap sah dan berlaku sebagai Undang-undang
bagi para pihak yang membuatnya (asas pacta sunt servanda atau
agreement must be kept).
Pengertian perjanjian arbitrase diatur dalam Pasal 1 Angka
(3) UU 30/1999 tentang Arbitrase jo. Pasal 1 Huruf (k) Peraturan
BAPMI yang menyatakan bahwa perjanjian arbitrase merupakan
kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu
perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa
atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak
setelah timbul sengketa.
Perjanjian arbitrase timbul karena adanya kesepakatan

18
tertulis dari para pihak untuk menyerahkan penyelesaian sengketa
perdata yang terjadi kepada Lembaga arbitrase, dimana dalam
kesepakatan tersebut dimuat pilihan hukum yang akan digunakan
untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara para pihak.
Perjanjian ini dapat dicantumkan dalam perjanjian pokok atau
pendahuluannya atau dalam perjanjian tersendiri setelah
timbulnya sengketa atau perselisihan. Pilihan penyelesaian
sengketa di luar peradilan umum harus secara tegas dicantumkan
dalam perjanjian dan harus dibuat secara tertulis. Dalam
prakteknya pencantuman arbitrase dalam perjanjian disebut
dengan pencantuman klausula arbitrase. Suatu perjanjian arbitrase
tidak menjadi batal oleh keadaan sebagaimana diatur dalam Pasal
10 UU 30/1999 tentang Arbitrase, tersebut dibawah ini :
a. Meninggalnya salah satu pihak;
b. Bangkrutnya salah satu pihak;
c. Novasi;
d. Insolvesi salah satu pihak;
e. Pewarisan;
f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;

2.2 Ketentuan tentang Putusan Arbitrase


2.2.1 Pengertian Putusan Arbitrase
Definisi putusan arbitrase tidak diatur dalam UU 30/1999
tentang Arbitrase, namun dalam peraturan yang lebih spesifik, yaitu
Pasal 1 Huruf (w) Peraturan BAPMI memberikan pengaturan
terhadap Putusan Arbitrase yaitu putusan yang dijatuhkan atas
suatu sengketa oleh Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase menurut
Peraturan BAPMI.
Putusan arbitrase merupakan suatu putusan yang diberikan
oleh arbitrase baik Lembaga arbitrase maupun arbitrase ad-hoc atas
suatu perbedaan pendapat, perselisihan paham maupun

19
persengketaan mengenai suatu pokok persoalan yang lahir dari
suatu perjanjian dasar yang memuat klausula arbitrase yang
diajukan penyelesaiannya kepada Lembaga arbitrase maupun
arbitrase ad-hoc agar diperiksa dan diputus oleh Lembaga arbitrase
atau arbitrase ad-hoc yang ditunjuk. Sebagai suatu pranata hukum
arbitrase dapat mengambil berbagai macam bentuk yang
disesuaikan dengan kondisi dan keadaan yang dikehendaki oleh
para pihak dalam perjanjian. Hukum arbitrase baik termasuk
arbitrase nasional maupun internasional, secara umum berlaku
beberapa asas yang diakui dan dipatuhi dalam proses arbitrase,
dimana asas-asas ini merupakan landasan atau dasar bagi
berlakunya sebuah regulasi sehingga tidak keluar dari prinsip-
prinsip hukum yang telah ditetapkan.

2.2.2 Pelaksanaan Putusan Arbitrase


Terhadap pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur
dalam Pasal 59 sampai dengan 64 UU 30/1999 tentang Arbitrase
bahwa dalam an didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada
Panitera Pengadilan Negeri. Apabila tidak dipenuhi maka akan
berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakn. Penyerahan
dan pendaftaran tersebut dilakukan dengan pencatatan dan
penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh
Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang
menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran.
Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar
asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada
Panitera Pengadilan Negeri dan semua biaya yang berhubungan
dengan pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada para
pihak.
Peran pengadilan adalah sangat penting dalam memberikan
keadilan di dalam masyarakat, John Rawls menekankan

20
pentingnya melihat keadilan sebagai kebajikan utama yang harus
dipegang teguh dan sekaligus menjadi semangat dasar berbagai
lembaga sosial dasar suatu masyarakat, Dalam melaksanakan
fungsinya memberikan keadilan dalam masyarakat yang
mengalami persengketaan atau perbedaan pendapat. Pengadilan
diberikan wewenang oleh negara untuk memeriksa perkara dan
mengengkesekusi putusannya, agar keadilan dapat dirasakan oleh
para pihak. Salah satu wewenang tersebut adalah kewenagan
untuk melakukan eksekusi terhadap putusan arbitrase baik
Nasional maupun Internasional seperti yang diatur dalam UU
30/1999 tentang Arbitrase.
Agar suatu putusan arbitrase dapat dieksekusi oleh
pengadilan tentu saja dibutuhkan syarat- syarat tertentu sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan
eksekusi atau pelaksanaan putusan arbitrase adalah suatu tindakan
hukum yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah
dalam penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase. Biasanya
tindakan eksekusi ini terjadi apabila dalam sengketa pihak
Tergugat atau Termohon yang menjadi pihak yang kalah tidak
bersedia melaksanakan putusan, sehingga kedudukannya menjadi
pihak tereksekusi. Apabila pihak Penggugat atau Pemohon
menjadi pihak yang kalah dalam sengketa tersebut, maka tidak
akan ada tindakan eksekusi karena keadaan tetap seperti sediakala
sebelum ada gugatan, kecuali kalau Tergugat atau Termohon
mengajukan gugatan balik rekonvensi). Pihak Pemohon yang
menuntut melalui arbitrase agar Termohon dihukum membayar
ganti rugi atau melakukan sesuatu atau menyerahkan sejumlah
uang. Putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap, karena di dalam putusan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap telah terkandung wujud
hubungan hukum yang tetap dan pasti di antara pihak-pihak yang

21
berperkara.

2.2.3 Pembatalan Putusan Arbitrase


Terhadap pembatalan putusan arbitrase dapat diajukan di
Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam UU 30/1999 tentang
Arbitrase. Permohonan pembatalan putusan arbitrase dapat
diajukan apabila memenuhi ketentuan Pasal 70 UU 30/1999
tentang Arbitrase yaitu Terhadap putusan arbitrase para pihak
dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan
tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh
salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan


secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase
kepada Panitera Pengadilan Negeri. Permohonan pembatalan
putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Apabila permohonan dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri
menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau
sebagian putusan arbitrase. Putusan atas permohonan pembatalan
ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan pembatalan putusan
arbitrase diterima.

22
Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan
permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam
tingkat pertama dan terakhir. Dimana Mahkamah Agung
mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding atas
putusan pembatalan putusan arbitrase dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterima
oleh Mahkamah Agung, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal
72 Ayat (4) UU 30/1999 tentang Arbitrase. Sedangkan dalam
penjelasan Pasal 72 ayat (4) UU 30/1999 tentang Arbitrase, yang
dimaksud “banding” adalah hanya terhadap pembatalan putusan
arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 UU 30/1999
tentang Arbitrase.

2.3 Ketentuan tentang Putusan Pengadilan


Sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU 48/2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman bahwa dalam putusan pengadilan harus
memuat alasan, dasar putusan dan pasal tertentu dari peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak
tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili dan setiap putusan
harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memeutus dan
panitera yag ikut serta bersidang.
Dalam Pasal 53 UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
bahwa dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung
jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya. Penetapan dan
putusan tersebut harus memuat pertimbangan hukum hakim yang
didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.

23
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyelesaian sengketa secara mediasi di luar pengadilan di Indonesia telah
dikenal sejak dulu kala, karena sistem adat istiadat di Indonesia dalam
menyelesaikan suatu permasalahan selalu menjunjung tinggi musyawarah dan
mufakat melalui lembaga forum adat masing-masing daerah di Indonesia. Secara
yuridis keberadaan penyelesaian sengketa melalui mediasi diatur dalam Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa Melalui Mediasi, dimana ditegaskan bahwa penyelesaian sengketa di
luar pengadilan dengan menempuh cara arbitrase atau alternatif penyelesaian
sengketa yang di dalamnya meliputi konsultasi, negosiasi, fasilitasi, mediasi atau
penilai ahli. Akan tetapi secara terperinci memang tidak dijelaskan bagaimana
prosedur dan proses penyelesaian sengketa secara mediasi, hal tersebut
dikembalikan kepada kesepakatan para pihak untuk menentukan hukum acara
yang digunakan, pemilihan arbiter karena pada dasarnya itulah salah satu sifat dari
penyelesaian sengketa secara mediasi yaitu bersifat suka rela.
Penyelesaian sengketa secara mediasi di pengadilan (Court Connected
Mediation) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, di dalamnya dijelaskan
mengenai jenis-jenis mediasi, tugas-tugas mediator, sertifikasi mediator, biaya
pemanggilan para pihak, sifat proses mediasi, tahap-tahap proses mediasi, dan
kesepakatan dan ketidaksepakatan dan dalam pelaksanaan mediasi. Prosedur
mediasi di pengadilan harus dilaksanakan oleh hakim, mediator dan para pihak,
jika prosedur mediasi sebagaimana diatur dalam Perma Nomor 1 tahun 2008 tidak
dilaksanakan maka mengakibatkan putusan batal demi hukum. Di samping itu jika
hasil mediasi di pengadilan menghasilkan kesepakatan maka dapat dikukuhkan
dalam bentuk akta perdamian. Akta perdamaian tersebut memiliki kekuatan
hukum tetap dan tetap dan terhadapnya tidak dapat dimohonkan upaya hukum
biasa maupun upaya hukum luar biasa.

24
B. Saran
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan di Indonesia perlu terus
dikembangkan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa perdata mengingat jenis
transaksi perdagangan dan perbankan yang terus berkembang dan menghindari
penumpukan perkara di pengadilan, sehingga sengketa-sengketa di bidang perdata
atau bisnis dapat diselesaikan dengan cepat dan dapat memberikan keputusan win-
win solution.
Penyelesaian sengketa secara mediasi di pengadilan harus segera
dilaksanakan secara konsisten sehingga dapat mengurangi penumpukan perkara di
pengadilan. Di samping itu setiap pengadilan hendaknya memiliki hakim- hakim
yang bersertifikat mediator sehingga memudahkan para pihak untuk
melaksanakan mediasi di pengadilan.

25
DAFTAR PUSTAKA

Flysh Geost, Macam-Macam Lembaga Arbitrase,


https://www.geologinesia.com/2016/02/macam-macam-lembaga-arbitrase.html,
diakses tanggal 1 Maret 2019.

Frans Hendra Winarta. 2012. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase


Nasional Indonesia dan Internasional. Jakarta. Penerbit : Sinar Grafika. Hal. 1
dan 2.

Galuh Eva Purnama. 2005. Klausula Arbitrase dalam Kontrak


Perusahaan Patungan. Surabaya.Thesis. Fakultas Hukum. Universitas Airlangga.
Hal. 34.

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. 2000. Seri Hukum Bisnis : Hukum
Arbitrase. Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 93.

Indonesia Arbitration : Selintas tentang BANI. BANI Quarterly Newslettr.


ISSN No. 1978- 8398 Vol. I. Oktober – Desember 2007. Hal.2 dan 3.

Junaedy Ganie. Penyelesaian Sengketa Klaim Asuransi Melalui BANI.


BANI Quarterly Newsletter. Vol. II. Januari – Maret 2008. Hal. 5.

Mogan Situmorang. 2017. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional di


Indonesia. Jurnal Penelitian Hukum De Jure. ISSN 1410-5632. Vol. 17 No. 4.
Hal. 316.

Munir Fuady. 2000. Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa


Bisnis). Bandung. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Hal. 117 dan 118.

Nurnaningsih Amriani. 2012. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa


Perdata di Pengadilan. Jakarta. Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 13.

O.C. Kaligis. 2009. Asas Kepatutan dalam Arbitrase. Bandung. Penerbit


PT. Alumni. Hal.2.

Pasal 1 Angka (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang


Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Pasal 1 angka (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016


tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Rachmadi Usmani. 2012. Mediasi di Pengadilan : Dalam Teori dan


Praktik. Jakarta. Penerbit : Sinar Grafika. Hal. 8.

Rika Lestari. Perbandingan Hukum Penyelesaian Sengketa Secara


Mediasi di Pengadilan dan di Luar Pengadilan di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum.
Vol. 3 No. 2. Hal. 219.

26
Riski Abdriana Yuriani. 2013. Upaya Pengadilan Negeri Yogyakarta
dalam Menyelesaikan Sengketa Melalui Mediasi. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial.
Universitas Negeri Yogyakarta. Hal. 21- 24.

Sri Hajati, Sri Winarsi, dkk. Buku Ajar Politik Hukum Pertanahan.
Surabaya. Penerbit : Airlangga University Press. Hal. 429.

Sudargo Gautama. 2001. Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di


Indonesia : Penyelesaian Sengketa Secara Alternatif (ADR). Bandung. Penerbit
PT. Citra Aditya Bakti. Hal. 122.

Susanti Adi Nugroho. 2009. Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian


Sengketa. Jakarta. Penerbit : Telaga Ilmu Indonesia. Hal. 21.

Takdir Rahmadi. 2017. Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui


Pendekatan Mufakat. Jakarta. Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 1.

Yessi Nadia, Penyelesaian Sengketa Litigasi dan Non-Litigasi (Tinjauan


Terhadap Mediasi dalam Pengadilan sebagai Alternatif
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan,
https://www.academia.edu/29831296/Penyelesaian_Sengketa_Litigasi_dan_Non-
Litigasi_Tinjauan_terhadap_Mediasi_dalam_Pengadilan_sebagai_Alternatif,
diakses tanggal 26 Februari 2019.

27

Anda mungkin juga menyukai