Anda di halaman 1dari 4

UJIAN AKHIR SEMESTER

FAKULTAS HUKUM UNINUS

Nama : Riska Amalia Sakinah


NIM : 41033300.191178
Semester/Kelas : 6/A-1
Mata Kuliah : Arbitrase & Maps
Dosen Pengampu : DR. Yuyut Prayuti, S.H., M.H.

1. Uraikan dengan jelas apa yg dimaksud dengan penyelesaian sengketa melalui jalur
LITIGASI dan NON LITIGASI. Apa perbedaannya? Sebutkan jenis jenis penyelesaian
sengketa non litigasi.
Jawaban :
Litigasi adalah persiapan dan presentasi dari setiap kasus, termasuk juga memberikan informasi
secara menyeluruh sebagaimana proses dan kerjasama untuk mengidentifikasi permasalahan dan
menghindari permasalahan yang tak terduga. Sedangkan Jalur litigasi adalah penyelesaian
masalah hukum melalui jalur pengadilan. Umumnya, pelaksanaan gugatan disebut litigasi.
Gugatan adalah suatu tindakan sipil yang dibawa di pengadilan hukum di mana penggugat, pihak
yang mengklaim telah mengalami kerugian sebagai akibat dari tindakan terdakwa, menuntut
upaya hukum atau adil. Terdakwa diperlukan untuk menanggapi keluhan penggugat. Jika
penggugat berhasil, penilaian akan diberikan dalam mendukung penggugat, dan berbagai perintah
pengadilan mungkin dikeluarkan untuk menegakkan hak, kerusakan penghargaan, atau
memberlakukan perintah sementara atau permanen untuk mencegah atau memaksa tindakan.
Orang yang memiliki kecenderungan untuk litigasi daripada mencari solusi non-yudisial yang
disebut sadar hukum.
Jalur non litigasi berarti menyelesaikan masalah hukum di luar pengadilan. Jalur non-litigasi ini
dikenal dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif. Penyelesaian perkara diluar pengadilan ini
diakui di dalam peraturan perundangan di Indonesia. Pertama, dalam penjelasan Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman disebutkan
bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan, atas dasar perdamaian atau melalui wasit
(arbitase) tetap diperbolehkan. Kedua, dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam Pasal 1 angka 10 dinyatakan bahwa
Alternatif Penyelesaian Perkara (Alternatif Dispute Resolution) adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di
luar pengadilan dengan cara negosiasi, mediasai, konsiliasi dan arbitrase.
Jenis jenis penyelesaian sengketa non litigasi :
Konsultasi, yakni merupakan suatu tindakan yang bersifat pribadi (personal) antara para pihak
yang bersengketa dengan pihak lain yang melibatkan seorang konsultan guna mendapatkan saran
atau pendapat hukum terkait permasalahan yang dialami oleh para pihak yang bersengketa;
Negosiasi, yakni merupakan suatu tindakan musyawarah atau perundingan langsung antara para
pihak yang bersengketa guna mendapatkan penyelesaian dari masalah atau sengketa yang terjadi
antara para pihak;
Mediasi, yakni merupakan suatu tindakan penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga atau
pihak luar yang bersifat netral dan tidak memihak dalam merumuskan penyelesaian permasalahan
tersebut. Adapun dalam hal ini pihak ketiga atau pihak luar yang dilibatkan dalam proses
penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi sering disebut sebagai "Mediator";
Penilaian Ahli, yakni penyelesaian sengketa dengan cara mendengarkan pendapat dari para ahli
yang bersifat teknis dalam penyelesaian sengketa para pihak.

2. Uraikan dengan jelas apa perbedaan antara Arbitrase, Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, dan
Konsiliasi.
Jawaban :
Konsultasi
Konsultasi adalah suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu (klien)
dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak konsultan memberikan
pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya
Negosiasi
Negosiasi sebagai sarana bagi para pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya
tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah, sehingga tidak ada prosedur baku, akan tetapi
prosedur dan mekanismenya diserahkan kepada kesepakatan para pihak yang bersengketa
tersebut. Penyelesaian sengketa sepenuhnya dikontrol oleh para pihak, sifatnya informal, yang
dibahas adalah berbagai aspek, tidak hanya persoalan hukum saja
Konsiliasi
Konsiliasi adalah penyelesaian sengketa dengan intervensi pihak ketiga (konsiliator), dimana
konsiliator lebih bersifat aktif, dengan mengambil inisiatif menyusun dan merumuskan langkah-
langkah penyelesaian, yang selanjutnya ditawarkan kepada para pihak yang bersengketa. Jika
pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan, maka pihak ketiga
mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa. Meskipun demikian konsiliator tidak berwenang
membuat putusan, tetapi hanya berwenang membuat rekomendasi, yang pelaksanaanya sangat
bergantung pada itikad baik para pihak yang bersengketa sendiri.
Mediasi
Pengertian mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan dibantu oleh pihak ketiga (mediator)
yang netral/tidak memihak. Peranan mediator adalah sebagai penengah (yang pasif) yang
memberikan bantuan berupa alternatif-alternatif penyelesaian sengketa untuk selanjutnya
ditetapkan sendiri oleh pihak yang bersengketa
Arbitrase
Berbeda dengan bentuk ADR/APS lainnya, arbitrase memiliki karakteristik yang hampir serupa
dengan penyelesaian sengketa adjudikatif. Sengketa dalam arbitrase diputus oleh arbiter atau
majelis arbiter yang mana putusan arbitrase tersebut bersifat final and binding. Namun demikian,
suatu putusan arbitrase baru dapat dilaksanakan apabila putusan tersebut telah didaftarkan ke
Pengadilan Negeri (lihat Pasal 59 ayat (1) dan (4) UU No.30/1999). Dalam hal para pihak sepakat
untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase, maka sengketa tidak dapat diselesaikan melalui
pengadilan.

3. Jelaskan siapa saja yang bisa danbtidak bisa menjadi Abitrator.


Jawaban :
Arbiter itu sendiri adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau
yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan
mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase, demikian yang
disebut dalam Pasal 1 angka 7 UU 30/1999.

Secara umum, mengenai penunjukan atau pengangkatan arbiter dapat kita jumpai pengaturannya
dalam Pasal 12 UU 30/1999 yang berbunyi:

(1) Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat:
a. cakap melakukan tindakan hukum;
b. berumur paling rendah 35 tahun;
c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua
dengan salah satu pihak bersengketa;
d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan
e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
(2) Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat
sebagai arbiter.

Dari bunyi pasal di atas dapat kita ketahui bahwa sepanjang seseorang memenuhi syarat-syarat di
atas, maka ia dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter. Ketentuan ini juga tidak mensyaratkan
bahwa ia harus menempuh pendidikan khusus untuk menjadi arbiter.

4. Jelaskan mengapa putusan arbitrase bersifat final dan mengikat? bagaimana kekuatan
hukum ekseskusi dari putusan Arbitrase? Sebutkan dasar hukumnya.
Jawaban :
- Saat arus perdagangan barang/jasa semakin meningkat pesat, melibatkan banyak pelaku
usaha serta melintasi batas-batas negara, adanya sengketa atas pelaksanaan perjanjian
merupakan sesuatu yang tidak bisa terhindarkan. Terhadap kondisi tersebut, mau tidak mau
pihak yang menderita kerugian jelas akan berusaha untuk mencari jalan untuk
menyelesaikannya. Namun, penyelesaian sengketa melalui pengadilan setempat seringkali
tidak dapat memberikan solusi atas permasalahan yang ada, terutama ketika para pihaknya
menginginkan sifat penyelesaian yang tertutup, cepat, serta putusan yang bersifat final dan
mengikat. Jawaban permasalahan tersebut salah satunya adalah melalui arbitrase.
- Arbitrase merupakan forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan negeri yang dapat
dipilih oleh para pihak yang berselisih paham atas pelaksanaan suatu kontrak komersial.
Arbitrase seringkali dipilih karena memberikan solusi atas penyelesaian sengketa ketika para
pihaknya menginginkan forum peradilan yang tertutup, cepat, diadili oleh ahli dan
profesional di bidangnya serta putusannya bersifat final dan mengikat dan dapat segera
dieksekusi. Di Indonesia sendiri payung hukum yang mengatur mengenai lembaga arbitrase
serta tata cara penyelesaian perkara dijumpai dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UUAAPS”).

- Mengenai lembaga arbitrase itu sendiri, sekalipun UUAAPS telah mengatur tata cara
/prosedur bagaimana penyelesaian perkara melalui arbitrase, namun UUAAPS juga
memberikan wewenang bagi lembaga arbitrase untuk membuat suatu aturan tersendiri
mengenai tata cara penyelesaian sengketa apabila para pihak memilih lembaga arbitrase
tersebut. Contonya, Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang mempunyai Peraturan Prosedur
BANI yang berlaku dari waktu ke waktu. Ketentuan tersebut dapat dijumpai pada Pasal 31
ayat (2) UUAAPS.
Para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan acara
arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Undang-undang ini.
Dengan demikian, merujuk pada ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa UUAAPS
memberikan opsi bagi para untuk memilih peraturan prosedur arbitrase, apakah menggunakan
ketentuan dalam UUAAPS ataukah peraturan prosedur lembaga arbitrase, Dalam hal para
pihak memilih agar suatu sengketa diadili berdasarkan prosedur yang diatur dalam peraturan
lembaga arbitrase, maka demi hukum ketentuan-ketentuan yang diatur dalam lembaga
arbitrase tersebut mengikat para pihak dan demi hukum ketentuan-ketentuan dalam
UUAAPS, sepanjang mengatur hal yang sama, dapat dikesampingkan.

Contoh konkret mengenai kekuatan mengikat peraturan prosedur arbitrase tersebut dapat
ditemui dalam upaya tuntutan ingkar. UUAAPS dalam Pasal 22 – 26 memang telah mengatur
tata cara untuk mengajukan tuntutan ingkar apabila salah satu pihak merasa penunjukan
arbiter mengandung suatu conflict of interest. Namun, apabila telah ada klausula perjanjian
yang memilih agar sengketa diselesaikan melalui peraturan prosedur lembaga arbitrase, maka
ketentuan dalam peraturan prosedur lembaga arbitrase yang mengatur mengenai tuntutan
ingkarlah yang berlaku, Pasal 22 – 26 UUAAPS haruslah dikesampingkan. Dalam
praktiknya, dalil di atas telah dipakai oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
pada perkara No. 751/Pdt.Arb/2016/PN.Jkt.Sel yang menyatakan tuntutan ingkar dari PT
Timas Suplindo terhadap arbiter BANI dan Leighton Offshore, Ltd. tidak dapat diterima dan
menerima permohonan eksepsi kompetensi absolut dari pihak Termohon.

5. Jelaskan apakah putusan Arbitrase dapat dibatalkan? Bagaimana upaya hukum yang
dapat dilakukan oleh para pihak untuk membatalkan suatu putusan arbitrase nasional?
Jawaban :
Pasal 70 undang-undang nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, menyatakan bahwa puutusan arbitrase hanya dappat dibatalkan jika diduga
mengandung unsur-unsur surat/dokumen palsu, atau ditemukan dokumen yang disembunyikan
oleh pihak lawan, atau putusan yang diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah
satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Untuk membuktikan ada atau tidaknya salah satu dari tiga unsur diatas harus dibuktikan dengan
putusan pengadilan. Apabila Pengadilan Negeri menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut
terbukti, maka putusan arbitrase dapat dibatalkan, apabila tidak terbukti, maka Pengadilan Negeri
harus menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase. Akan tetapi dalam pelaksanaannya,
Pengadilan Negeri masih ada yang menerima permohonan pembatalan arbitrase di luar konteks
pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sebagaimana tertuang dalam putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan

Anda mungkin juga menyukai