Anda di halaman 1dari 3

Perbedaan Ajudikator, Arbiter, Konsiliator, Mediator, dan Negosiator dalam

Penyelesaian Sengketa
Oleh Mohamad Sondan Arfando

Dalam film aksi yang sangat terkenal, John Wick


Chapter 4  terdapat karakter antagonis utama yang
cantik dengan sebutan The Adjudicator. Ia bertugas
menindak siapapun yang telah melanggar aturan
yang ditetapkan High Table, organisasi pembunuh
bayaran yang menjadi musuh utama dari John Wick.
Namun tahukah anda bahwa Ajudikator
sesunguhnya adalah profesi di dunia nyata yang
berperan dalam penyelesaian kasus sengketa?
Pada setiap proses hidup manusia yang
membutuhkan adanya perikatan atau perjanjian
selalu tak lepas dari masalah sengketa. Lazimnya sengketa dimulai dari perasaan
tidak puas yang dialami oleh perorangan atau kelompok. Jika perasaan tidak puas ini
disampaikan kepada pihak kedua, kemudian pihak kedua menanggapi dan dapat
memuaskan pihak pertama, maka selesailah konfliknya. Sebaliknya, jika perbedaan
pendapat tersebut terus berlanjut, maka terjadilah yang namanya sengketa.
Sengketa dalam pengertian sehari-hari adalah suatu keadaan di mana pihak-pihak
yang melakukan perjanjian mempunyai masalah dengan pihak lainnya. Dengan
demikian sengketa adalah adanya ketidakserasian, ketidaksepakatan dan perbedaan
kepentingan antara pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok yang mengadakan
hubungan hukum, karena hak satu di antara dua pihak terganggu atau dilanggar.
Berdasar hal tersebut, maka sengketa harus segera diselesaikan. Sebab, jika tidak
terselesaikan akan berakibat hukum yang tentu akan lebih besar juga.
Penyelesaian sengketa di Indonesia dapat diselesaikan melalui mekanisme
pengadilan ataupun di luar pengadilan dengan mekanisme musyawarah atau
kekeluargaan. Banyak masyarakat memilih penyelesaian sengketa dengan jalur
pangadilan dengan alasan lebih kuatnya kepastian hukum, namun banyak pula yang
menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan alasan biaya yang lebih
terjangkau dan bersifat Rahasia, sehingga dapat menjaga nama baik dari pihak yang
bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini di Amerika biasa disebut
dengan Alternative Dispute Resolution (ADR), yang kemudian di Indonesia disebut
dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). APS sendiri diatur dalam Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
Dalam teori hukum mengenai alternatif penyelesaian sengketa ini dikenal lima profesi
yang bertugas dalam menyelesaikan sengketa, yaitu Ajudikator, Arbiter, Konsiliator,
Mediator, dan Negosiator. Kelima profesi ini sering dianggap sama padahal memiliki
perbedaan dan dapat dipilih sesuai kesepakatan dari pihak yang bersengketa. Dalam
artikel ini kita akan mengetahui perbedaannya.
1. Ajudikator
Ajudikator melaksanakan Ajudikasi, yaitu cara penyelesaian sengketa di luar
Pengadilan yang berbeda dengan Arbitrase, Konsiliasi, Mediasi dan Negosiasi.
Ajudikator atau dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
nomor 11 tahun 2021 disebut sebagai Dewan Sengketa, adalah orang atau
sekelompok orang yang ditunjuk oleh pihak yang bersengketa, yang memiliki
keahlian dan diberikan wewenang seperti Hakim untuk memutuskan sengketa antara
pihak-pihak yang terlibat dengan keputusan yang mengikat dan memaksa atau
memiliki kepastian hukum.
Penyelesaian sengketa melalui Ajudikasi ini lebih bebas dan fleksibel dari aturan –
aturan seperti dalam Arbitrase dan Pengadilan, misalnya seperti tidak diperlukannya
penghentian pelaksanaan pekerjaan. Dengan demikian proses ajudikasi ini dinilai
lebih efektif karena tidak menghambat pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Ajudikasi
sebenarnya adalah mekanisme arbitrase yang disederhanakan dan kemudian
disesuaikan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan penyelesaian
sengketa yang nilainya kecil yang akan sangat tidak efisien jika diselesaikan melalui
arbitrase atau pengadilan.

2. Arbiter
Arbiter adalah seseorang atau lebih yang ditunjuk oleh Pengadilan atau lembaga
Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan yang dilaksanakan
dengan bantuan suatu lembaga arbitrase dengan menggunakan aturan dari lembaga
arbitrase tersebut, seperti misalnya International Court of Arbitration dari International
Chamber Of Commerce (ICC), Singapore International Arbitration Centre (SIAC),
Kuala Lumpur Regional Arbitration Centre (KLRAC), dan Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI).
Dalam sistem hukum Indonesia, kekuatan hukum putusan arbitrase lebih jelas dan
kuat dibandingkan kekuatan hukum kesepakatan mediasi. Putusan arbitrase memiliki
kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan. Namun karena itu pula,
lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam
hal pelaksanaan putusan arbitrase, ada keharusan untuk mendaftarkan putusan
arbitrase di pengadilan negeri. Proses arbitrase tidak akan dapat berjalan dengan
sempurna jika tidak didukung atau dibantu oleh Badan Peradilan.

3. Konsiliator
Konsiliator adalah pihak ketiga yang bersifat netral yang ditunjuk pihak – pihak yang
bersengketa untuk menyelesaikan suatu sengketa di luar pengadilan dengan cara
Konsiliasi atau mempertemukan keinginan pihak-pihak yang bersengketa agar
mencapai kesepakatan dengan cara kekeluargaan. Kekeluargaan disini artinya tidak
ada keputusan hukum yang kuat dan harus memenangkan semua pihak. Konsiliator
bersifat lebih aktif dibandingkan dengan mediator. Konsiliator bertugas tidak hanya
sebagai fasilitator, seperti mediator, namun juga bertugas untuk menyampaikan
pendapat tentang duduk persoalan, memberikan saran-saran yang meliputi
keuntungan dan kerugian dan mengupayakan tercapainya suatu kesepakatan
kepada pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa. Sehingga
keputusan penyelesaian sengketa disini hanya berbentuk kesepakatan bersama yang
tercatat dan ditandatangani bersama.

4. Mediator
Hampir sama dengan Konsiliator, Mediator juga adalah pihak ketiga yang bersifat
netral yang ditunjuk pihak – pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan suatu
sengketa melalui proses Mediasi. Bedanya, Mediasi dapat dilakukan baik di dalam
pengadilan maupun di luar pengadilan karena sifatnya hanya memfasilitasi. Peran
mediator lebih condong kepada membantu merumuskan kesepakatan damai antara
para pihak yang bersengketa dengan posisi netral dan tidak mengambil keputusan
tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Peran
mediator lebih seperti penasehat untuk kedua belah pihak. Artinya, seorang mediator
tidak memiliki kekuatan pengambilan keputusan, melainkan membantu para pihak
untuk mencapai penyelesaian, dengan mendengarkan masalah, menyarankan solusi,
berkomunikasi dengan dan membujuk para pihak. Oleh karena itu, solusi apa pun
yang diajukan oleh mediator dalam proses ini tidak mengikat pihak-pihak yang
bersangkutan, semua tergantung pada pihak yang bersengketa mau menerima saran
mediator tersebut ataukah tidak.
Sama dengan Konsiliasi, keputusan penyelesaian sengketa di proses Medasi ini juga
hanya berbentuk kesepakatan bersama yang disebut Kesepakatan Perdamaian,
namun bedanya setelah dikeluarkannya kesepakatan perdamaian, mediator dapat
memfasilitasi untuk mengajukan agar dikuatkan dalam Akta Perdamaian kepada
hakim pemeriksa perkara di Pengadilan.

5. Negosiator
Negosiator adalah seseorang yang memiliki keterampilan dan keahlian dalam
melakukan negosiasi, yaitu proses tawar menawar dalam rangka mencapai
kesepakatan antara dua pihak atau lebih yang memiliki kepentingan yang berbeda.
Bedanya dengan alternatif penyelesaian sengketa yang lain yaitu seorang negosiator
tidak dalam posisi netral atau bertugas untuk mewakili pihaknya dan berupaya
mencapai hasil yang menguntungkan melalui dialog, kompromi, dan penyelesaian
masalah dengan pihak lain.

Demikian penjelasan atas perbedaan dari kelima profesi penyelesai sengketa tersebut,
semoga dapat menambah wawasan kita mengenai alternatif penyelesaian sengketa di
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai