Anda di halaman 1dari 12

Ringkasan Artikel Jurnal Hukum Konstruksi

dan Keselamatan Konstruksi

Disusun dalam rangka tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah


Hukum Konstruksi dan Keselamatan Konstruksi
Oleh:
Mohamad Sondan Arfando (2220119001)

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2023
Daftar Isi

1. Analisis Penyelesaian Sengketa Konstruksi Di Indonesia__________________2


2. Analisis Penyelesaian Sengketa Jasa Konstruksi pada Proyek Pembangunan Pasar
Rakyat Pontolo Kabupaten Gorontalo_________________________________ 3
3. Pembatalan Putusan Arbitrase oleh Pengadilan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014_________________________________4
4. Studi Kasus Keterlambatan Proyek Konstruksi Di Provinsi Jawa Timur
Berdasarkan Kontrak Kerja________________________________________5
5. Pertanggungjawaban Pidana Pejabat Pembuat Komitmen Sebagai Upaya
Pencegahan Korupsi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah_________________6
6. Perlindungan Hukum Terhadap Pejabat Pembuat Komitmen ( PPK ) Dalam
Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah_________________________ _7
7. Studi Keterlambatan Pelaksanaan Pekerjaan konstruksi Di Kabupaten Minahasa
Selatan________________________________________________________8
8. Klaim Konstruksi Studi Kasus Proyek Di Papua_______________________ 9
9. Quo Vadis Pembatalan Surat Perintah Kerja (Spk) Secara Sepihak (Studi Di Cv.
Bintang Bersinar)_______________________________________________10
10. Penerapan Aspek Hukum Terhadap Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (Studi
Kasus: Proyek The Lagoon Tamansari Bahu
Mall)_________________________________________________________11

1
1. Analisis Penyelesaian Sengketa Konstruksi Di Indonesia
Penulis: Karolus E. Lature
Program Studi Magister Ilmu Hukum Bisnis
Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR)

UU Jasa Konstruksi 2017 hanya menetapkan satu mekanisme, yaitu penyelesaian


sengketa di luar pengadilan (nonLitigasi). Bahkan di Kontrak Kerja Konstruksi tidak
diberi ruang untuk melakukan upaya penyelesaian sengketa melalui lembaga pengadilan.
Dengan demikian, filosofi (semangat) yang diusung adalah konsep “win-win solution”.
Keberadaan Dewan Sengketa (pihak ketiga) ikut mempertegas semangat itu melalui peran
“mengawal” sejak pengikatan Jasa Konstruksi, bukan setelah sengketa timbul di antara
para pihak.
Dari kesimpulan tersebut, penulis merekomendasikan agar peraturan pelaksanaan
UU Jasa Konstruksi 2017 tetap konsisten mengusung filosofi dan mekanisme
penyelesaian sengketa nonLitigasi. Pembentuk peraturan tidak boleh terkecoh dengan kata
“pengadilan” yang dimuat di bagian Penjelasan UU Jasa Konstruksi 2017. Penjelasan
berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma
tertentu dalam batang tubuh. Dengan demikian, Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai
dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan
rumusan yang berisi norma. Akhir kata, penulis mengapresiasi filosofi dan mekanisme
penyelesaian sengketa yang diamanatkan oleh UU Jasa Konstruksi 2017. Bagaimanapun,
penyelesaian sengketa bisnis pada era globalisasi dengan ciri “moving quickly”, menuntut
cara-cara yang “informal procedure and be put in motion quickly”. Selain itu, terhadap
perkara di Lembaga Pengadilan, perlu diperhatikan perkataan Abraham Lincoln yang
kurang lebih mengandung makna: “dalam setiap perkara sesungguhnya tidak ada yang
menang”. Semua kalah. Hanya satu yang menang, yaitu penasehat hukum yang menerima
bayaran dari pihak-pihak yang berperkara. Dalam cara pandang Indonesia, ungkapan
tersebut sejajar dengan ungkapan atau pepatah “kalah jadi abu, menang jadi arang”.

2
2. Analisis Penyelesaian Sengketa Jasa Konstruksi pada Proyek Pembangunan Pasar
Rakyat Pontolo Kabupaten Gorontalo
Penulis: Helmi Latada, Hanafi Ashad dan Ratna Musa
Magister Teknik Sipil, Universitas Muslim Indonesia, Makasar

Penyebab terjadinya sengketa konstruksi pada Revitalisasi pembangunan pasar


rakyat Pontolo Kabupaten Gorontalo Utara tahap II, karena :
a) banyak dipengaruhi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab terhadap
proses pengadaan dimulai dari proses tender sampai pelaksanaan pekerjaan
dilapangan, yang tidak sesuai kualitas pekerjaan.
b) Ketidakpahaman KPA/PPK terhadap Kontrak kerja Konstruksi dan perhitungan
volume pekerjaan sehingga menyebabkan adanya kerugian negara.
c) Adanya pemalsuan penandatanganan pencairan

Solusi yang tepat untuk dalam penyelesaian sengketa dapat ditempuh lembaga
diluar pengadilan (non-Litigasi) dengan azas praduga tidak bersalah dengan
mengutamakan ultimum remedium dan berdasarkan UU Jasa Konstruksi Nomor 2 Tahun
2017 Pasal 8 UU Jasa Konstruksi. Proses pengadilan (Litigasi) pada umumnya
membutuhkan waktu yang cukup lama dalam penyelesaiannya, sedangkan Arbitrase,
mediasi, konsiliasi maupun Dewan Sengketa dapat mempersingkat waktu penyelesaian
sengketa. Hal ini juga berhubungan dengan kelangsungan proses pekerjaan selanjutnya
dan hubungan baik antara dua belah pihak.
Saran dari peneliti kepada berbagai pihak yang berkepentingan dalam masalah ini
adalah:
1) Untuk menghindari terjadinya sengketa Konstruksi makan kepada Pengguna
Angaran/Kuasa Pengguna Anggaran/pejabat Pembuat Komitmen agar memahami
proses pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
2) Dalam penyelesaian sengketa konstruksi diharapkan agar diawali dengan prinsip
dasar musyawarah untuk mencapai mufakat, karena hal ini berhubungan dengan
kelangsungan proses pekerjaan selanjutnya dan hubungan baik antara dua belah
pihak, dan menghindari adanya kerugian negara.

3
3. Pembatalan Putusan Arbitrase oleh Pengadilan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014
Penulis: Tri Ariprabowo dan R. Nazriyah
Universitas Muhammadiyah Gresik

Peran pengadilan dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak hanya
terjadi pada saat eksekusi putusan arbitrase hendak dilaksanakan, peran pengadilan telah
ada bahkan sebelum proses arbitrase berlangsung, dan secara berkesinambungan tetap
diperlakukan selama proses arbitrase berlangsung hingga putusan arbitrase dijatuhkan.
Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase menambah norma baru dan menimbulkan
ketidakpastian hukum. Menurut Mahkamah, Pasal 70 UU Arbitrase tersebut sudah cukup
jelas (expressis verbis), yang justru menimbulkan multi tafsir adalah penjelasan pasal
tersebut. Sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil. Mahkamah menyatakan
bahwa, Penjelasan Pasal 70 UU AAPS bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Penjelasan Pasal
70 UU Arbitrase yang dianggap memberatkan dan merugikan banyak pihak, kini
implikasinya bagi para pihak yang tidak puas terhadap putusan arbitrase mempunyai
peluang yang lebar untuk dapat pengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase
melalui pengadilan dengan catatan terdapat syarat yang limitatif yang harus terpenuhi
yaitu adanya unsur dugaan Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 tanpa harus dibuktikan
terlebih dahulu di Pengadilan.
Hak para pihak untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase
sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU AAPS dapat dikesampingkan berdasarkan
kesepakatan bersama para pihak. Dengan demikian putusan arbitrase yang merupakan
mahkota seorang Arbiter tidak mudah “tercabik” oleh suatu kepentingan. Putusan MK
Nomor 15/PUU-XII/2014 harus diapresiasi dan secepatnya direspon oleh pembentuk
undang-undang untuk merevisi UU No. 30 Tahun 1999, terkait dengan mekanisme
pembatalan putusan arbitrase setelah adanya putusan MK tersebut.

4
4. Studi Kasus Keterlambatan Proyek Konstruksi Di Provinsi Jawa Timur
Berdasarkan Kontrak Kerja
Penulis: Fredy Kurniawan, Diah Ayu Restuti Wulandari, dan Lilian Arlista Ayu
Prodi Teknik Sipil, Universitas Narotama,Fredy@narotama.ac.id

Pada lingkup proyek Pemerintah, 3 faktor dominan yang mempengaruhi


keterlambatan proyek konstruksi adalah cuaca, tenaga kerja, dan desain. Pada lingkup
proyek Swasta, 3 faktor dominan yang mempengaruhi keterlambatan proyek konstruksi
adalah cuaca, material, dan keuangan. Peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang keterlambatan proyek konstruksi sudah diatur dalam Undang-undang No.2 Tahun
2017 yaitu membahas tentang penyedia jasa harus menyerahkan pekerjaan secara tepat
biaya, waktu, dan mutu, atau dikenai ganti rugi sesuai dalam kontrak. Dalam Perpres
No.54 Tahun 2010 Jo perpres No.35 Tahun 2011 Jo perpres no. 70 Tahun 2012 yang
membahas tentang jika penyedia jasa terlambat menyelesaikan pekerjaan maka dikenakan
denda sebesar 1/1000 dari nilai kontrak / bagian kontrak untuk setiap hari keterlambatan.
Kemudian Dalam LKPP (Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang / Jasa
Pemerintah) No. 14/2012 juga membahas tentang denda keterlambatan yaitu 1/1000 dari
nilai kontrak atau bagian kontrak.
Kontrak Kerja Pemerintah maupun Swasta sudah mengatur mengenai keterlambatan
penyelesain pekerjaan proyek Konstruksi. Pada kontrak kerja Pemerintah terdapat SSUK
(Syarat-Syarat Umum Kontrak) yang membahas tentang keterlambatan hingga jika terjadi
kontrak kritis dan beserta penanganan kontrak kritis tersebut. Penanganan kontrak ktitis
ini melalui rapat pembuktian /SCM (Show Cause Meeting) Tahap I,II, dan III. Kemudain
SSKK (Syarat-Syarat Khusus Kontrak) yang membahas tentang termin pembayaran yaitu
termin I, II, III, dan IV. Masing- masing termin adalah pembayaran sebesar 25%. Besar
Persentase termin realisasi fisik ditentukan oleh PPK Dinas Setempat. Selain SSUK dan
SSKK juga terdapat Garansi Bank sebagai surat jaminan.
Pada kontrak kerja Swasta, terdapat pasal yang mengatur tentang keterlambatan
yaitu pasal Wanprestasi yang membahas tentang jika penyedia jasa ingkar janji maka
dikenai sanksi berupa denda 1/1000 dari nilai pekerjaan setiap hari. Dengan alternatif
diberi kesempatan 14 hari dengan membayar denda sebesar 5% dari pembayaran yang
telah di terima dari pihak pertama. Kemudian dalam kontrak swasta ini juga terdapat
jaminan pelaksanaan yang berupa garansi bank dan jaminan pribadi.

5
5. Pertanggungjawaban Pidana Pejabat Pembuat Komitmen Sebagai Upaya
Pencegahan Korupsi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Penulis: Vita Mahardhika
Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya

PPK merupakan pihak yang sangat penting dalam menentukan sukses tidaknya
pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Tanggungjawab PPK dalam proses pengadaan
barang/jasa pemerintah sangat krusial, karena hampir seluruh tahapan pengadaan
barang/jasa terdapat peran PPK. Oleh karena itu pejabat PPK harus mempunyai
kompetensi di bidang pengadaan barang/jasa dan mempunyai syarat manajerial.
Tanggungjawab PPK dalam melaksanakan proses pengadaan barang/jasa sering
berhadapan dengan masalah kewenangan dan kepatuhan terhadap ketentuan
perundangundangan.
Pejabat PPK yang kurang memahami peraturan di bidang pengadaan barang/jasa
maka akan cenderung lalai atau teledor dalam melaksanakan proses pengadaan barang/jasa
yang pada akhirnya berakhir dalam jeruji besi penjara. Pertanggungjawaban hukum
seorang PPK meliputi pertanggungjawaban jabatan dan pertanggungjawaban pribadi.
Dalam hal PPK melaksanakan tindakan penyimpangan berupa kesalahan administrasi
(maladministasi) dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah, maka
pertanggungjawaban jabatan akan dijatuhkan kepadanya. Sedangkan apabila
maladministrasi tersebut berimplikasi kepada pemenuhan unsur-unsur tindak pidana
korupsi, maka pertanggungjawaban pribadi akan dikenakan kepada PPK, yaitu dengan
bentuk pertanggungjawaban pidana yang tentunya ancaman pidananya sangat berat yaitu
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Dalam upaya menjaga agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah tetap
pada koridor peraturan perundang-undangan, maka kompetensi manajerial tetap harus
dipersyaratkan untuk jabatan seorang PPK. Karena jabatan PPK merupakan tugas
tambahan dan bukan merupakan tugas utama bagi seorang Pegawai Negeri Sipil, maka
tidak diragukan lagi bahwa dengan kesibukannya seorang PPK tidak akan optimal dalam
mengawal jalannya proses pengadaan barang/jasa, untuk itu pembentukan tim pendukung
dan tim ahli sangat diperlukan dalam rangka membantu tugas PPK.

6
6. Perlindungan Hukum Terhadap Pejabat Pembuat Komitmen ( PPK ) Dalam
Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Penulis: Heni Marlina
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang

Bentuk – bentuk perlindungan hukum terhadap PPK dalam Kontrak Pengadaan


Barang/Jasa pemerintah terdiri atas perlindungan hukum Preventif, dilakukan dengan cara
mengoptimalkan pengawasan terhadap pelaksanaan pengadaan barang dan jasa
pemerintah. Pengawasan yang dimaksud dilakukan secara internal oleh Inspektorat /
Satuan Pemeriksaan Internal bagi instansi pemerintah dengan pengelolaan keuangan
Badan Layanan Umum dan juga dilakukan pengawasan oleh lembaga independen seperti
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ( BPKP ) berupa probity Audit yang
dilakukan sejak perencanaan sampai serah terima pekerjaan. Selain itu bentuk
perlindungan Refresif dilakukan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk
penanganannya di lembaga peradilan berupa pelayanan hukum sejak proses penyelidikan
hingga tahap putusan pengadilan. Terkait perkara perdata, pelayanan hukum kepada PPK
dapat diberikan oleh jaksa. Selain itu Biro Hukum Pemerintah Daerah dan konsultan
hukum/advocat dapat menjadi kuasa hukum dalam setiap tahapan perkara perdata dan tata
usaha negara.
Faktor- Faktor yang mengakibatkan ASN tidak bersedia menjadi PPK antara lain :
Adanya intervensi dari pihak internal yaitu atasan langsung PPK maupun pihak ekternal
yaitu aparat penegak hukum, Pejabat Pemerintahan, Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM
dan lain- lain sehingga PPK tidak mandiri dalam melaksanakan tugas pokok dan
fungsinya, selain itu adanya faktor ketakutan terkena risiko pidana dan faktor beban kerja
yang berat karena PPK bertanggung jawab terhadap pengeluaran keuangannegara.
Hendaknya Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dapat mengusulkan kembali Rancangan Undang
– Undang Pengadaan Barang/Jasa masuk ke dalam Program Legislasi Nasional kepada
Dewan Perwakilan Rakyat agar dapat mendorong peran serta masyarakat dan transparansi
dalam pengadaan barang / jasa pemerintah. Selain itu agar dapat memberikan
perlindungan hukum secara preventif dan represif bagi pengelola pengadaan barang dan
jasa pemerintah secara maksimal.

7
7. Studi Keterlambatan Pelaksanaan Pekerjaan konstruksi Di Kabupaten Minahasa
Selatan
Penulis: Stevie Stephanie Margriet Lengkong. Fabian J. Manoppo, Ariestides K. T. Dundu
Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi Manado

Mitigasi Risiko yang perlu dilakukan pada keterlambatan pelaksanaan pekerjaan


konstruksi Di Kabupaten Minahasa Selatan adalah:
a. Faktor Gambar dan Desain Berubah: Review desain, Perbaikan perencanaan oleh
konsultan perencana dan manajemen konstruksi, dan kelengkapan data Mutual Cek
Awal (MCA), reschedule dan review BQ (Bill of Quantity).
b. Faktor Pengadaan Material Terhambat: Perbanyak armada pengiriman, aktif
berkordinasi dengan supplier, mencari update terbaru untuk alternatif ekspedisi
pengiriman yang bisa lebih cepat.
c. Faktor Peralatan Terbatas: Berkordinasi dengan PLN untuk penjadwalan
pemadaman listrik. Penyediaan genset untuk ketersediaan tenaga listrik di lokasi
pekerjaan.
d. Keterbatasan Pekerja: Memperketat pengawasan, pengendalian K3 untuk Zero
Accident, Manajemen konstruksi koordinasi tentang K3, Evaluasi pelaksanaan K3,
Melengkapi legalitas K3, Menyusun dan melaksanakan sesuai SOP K3.
e. Manajemen Buruk: Berkordinasi dengan pemilik lahan jauh sebelum pekerjaan
dimulai, melakukan pendekatan persuasive dengan masyarakat dan pemerintah
setempat, dan update terbaru tentang perarturan perijinan.
f. Faktor Finansial: Pengelolaan dan pengendalian keuangan yang baik. Pembuatan
Skala Prioritas dalam pembelanjaan material.
g. Faktor Eksternal: Rapat koordinasi, Review schedule, dan Review BQ (Bill of
Quantity).

Saran dari penulis dalam penelitian ini adalah diperlukan keterlibatan konsultan
baikkonsultan pengawas maupun konsultanperencana dalam proyek konstruksi di
Kab.Minahasa Selatan. Dengan adanya konsultanmaka pengurusan dan persetujuan
mengenaispesifikasi dan desain jika terjadi perubahansesuai dengan pengajuan kontraktor
akansegera diterbitkan BA dan disetujui oleh owner.

8
8. Klaim Konstruksi Studi Kasus Proyek Di Papua
Penulis: Eri Setia Romadhon, MT. & Ir.Darmadi

Klaim akibat dari kemunduran waktu pelaksanaan karena beberapa masalah seperti:
keterlambatan pengadaan dari pihak Pemilik, perubahan gambar desain di lapangan,
penundaan keberangkatan tenaga kerja, penambahan tenaga kerja lokal yang diluar
rencana, perubahan cuaca, kondisi tanah di lapangan yang berbeda, kebijakan HSE yang
menyebabkan produktifitas menurun, produktivitas menurun karena kondisi dari kantin,
penambahan ongkos kirim untuk material karena perubahan tempat keberangkatan,
demobilisasi dari peralatan, kelebihan material dan fasilitas konstruksi dilapangan,
penurunan produktivitas akibat keterbatasan kapasitas kamp, tambahan biaya untuk
mempercepat proses penyelesaian proyek Buiding-2, penggantian biaya atas kehilangan
kesempatan untuk mendapatkan proyek baru dikarenakan keterlambatan penyelesaian
proyek building-2.
Penyelesaian klaim dapat diselesaikan dengan baik melalui negosiasi antara senior
management dari pihak owner dan pihak kontraktor. Tidak ada upaya hukum yang harus
ambil dalam penyelesaian klaim ini. Dengan jalan negosiasi didapat kesepakatan harga
antara pihak owner dan pihak kontraktor tanpa menempuh jalur hukum.
Saran penulis untuk mengajukan klaim, sebaiknya kontraktor mempunyai data-data
pendukung yang kuat. Sehingga dapat diterima oleh Pemilik. Pasal-pasal dalam kontrak
harus dapat dipahami dengan baik, sehingga tidak akan menimbulakan perbedaan
pandangan terhadap pekerjaan yang dilaksanakan. Terlebih jika kontrak pekerjaan
dilaksanakan antara kontraktor lokal dengan pemilik asing.

9
9. Quo Vadis Pembatalan Surat Perintah Kerja (Spk) Secara Sepihak (Studi Di Cv.
Bintang Bersinar)
Penulis: Muhammad Nur Romi AS, Jazim Hamidi dan Bambang Sugiri
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Tidak adanya kepastian hukum terhadap para pihak, jika dalam pemberian SPK
hanya dijadikan formalitas. Dikarenakan pihak-pihak yang bersangkutanlebih menganut
kepercayaan yang pada intinya tidak dasar dalam dalammenuntut hak pada pihak-pihak
yang cidera janji, Surat Perintah Kerja (SPK) yang dibuat tidak dapat dibatalkan secara
sepihak walaupun bentuknyadibawah tangan dan tidak memuat klausula-klausula karena
perjanjian ini terjadi berdasarkan kepercayaan para pihak dan para pihak menyetujui
untukmenandatangin SPK tersebut menjadi bukti bahwa para pihak wajib mneghormati
dan melaksanakan apa yang sudah diperjanjikan dalam SPK tersebut, yang menjadi
kekurangan di dalam SPK ini sendiri adalah belummemuat secara terperinci klausula-
klausula yang memuat tentang apa yangdilakukan para pihak apabila terjadi keadaan yang
memaksa, sehingga rentanterjadi pembatalan secara sepihak oleh pemberi pekerjaan
kepada CV Bintang Bersinar.
Perlindungan hukum preventif bagi CV. Bintang Bersinar hendaknya
untukkedepannya dalam melakukan suatu pekerjaan hendaknya dibuat dalam
suatuperjanjian yang bentuknya adalah akta otentik yang memuat klausula-klausulayang
berisi hak-hak dan kewajiban para pihak sehingga mencegah pemberi kerja tidak
seenaknya membatalkan suatu pemesanan yang sudah dikerjakan.Perlindungan Hukum
represif apabila mengalami pembatalan pemesanansecara sepihak oleh pemesan, selain
bisa dengan cara menggugat kepengadilan atau secara Litigasi bisa juga masalah tersebut
diselesaikan dengancara non-Litigasi misalnya musyawarah secara kekeluargaan terlebih
dahuluantara para pihak untuk menyelesaikan secara damai tanpa melalui pengadilan.

10
10. Penerapan Aspek Hukum Terhadap Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (Studi
Kasus: Proyek The Lagoon Tamansari Bahu Mall)
Penulis: Christie Pricilia Pelealu Jermias Tjakra, B. F. Sompie
Universitas Sam Ratulangi Fakultas Teknik Jurusan Sipil Manado

Proyek The Lagoon Tamansari Bahu Mall oleh PT. Wika Gedung sudah
menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Proyek The
Lagoon Tamansari dengan sangat baik. Hal ini dapat dilihat dengan adanya prosedur
manajemen K3 serta peraturan perundang undangan K3 yang dikeluarkan oleh pemerintah
dan juga oleh perusahaan.
Penerapan Aspek Hukum terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja berpengaruh
baik kepada perusahaan maupun tenaga kerja karena apabila perusahaan ataupun tenaga
kerja yang mengabaikan K3 dalam menjalankan pekerjaan akan diberikan sangsi hukum
karena baik perusahaan dan tenaga kerja telah terikat secara hukum. Sebagai contoh
apabila para pekerja pada saat melakukan pekerjaan diketinggian dan tidak menggunakan
Sabuk Pengaman maka safety officer dapat memberikan sangsi kepada pekerja tersebut
sesuai dengan aturan yang dibuat oleh perusahaan.
Menerapkan K3 sesuai dengan peraturan perundang-undangan secara tidak langsung
perusahaan dapat mencegah terjadinya kecelakaan dan penyakit kerja serta pelanggaran
kerja. Dan juga pekerjaan dapat terlaksana dengan aman dan efisien. Saran penulis agar
Mempertahankan dan meningkatkan Penerapan sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja yang telah berjalan dilokasi proyek. Serta memberikan Penghargaan
kepada pekerja dalam hal pemakaian APD dan Ketaatan dalam mematuhi peraturan K3
serta dikenakannya sangki untuk segala macam pelanggaran peraturan perundang
undangan. Dan dibutuhkannya juga campur tangan pemerintah sebagai pengontrol dan
memberi sangsi bagi perusahaan yang mengabaikan masalah K3 sehingga menimbulkan
perhatian dan kesadaran pihak perusahaan untuk menerapkan manajemen K3 bagi
kepentingan bersama.

11

Anda mungkin juga menyukai