Di Pengadilan Negeri
1. Program Studi Teknik Sipil, Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas
Indonesia, Depok, 1624, Indonesia.
2. Program Studi Teknik Sipil, Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas
Indonesia, Depok, 1624, Indonesia.
E-mail : naufal_bisa90@yahoo.com
Abstrak
Abstract
The progress of the project in Indonesia is growing more rapidly. In the operation of the
project, all the activity that takes place in it can not be separated from the contract, therefore,
we must thoroughly understand and comprehend the contents of the contract in order to avoid
misunderstandings. Things that do not fulfill one of the obligations and rights of the parties as
specified in the contract may lead to a claim. Based on the 10 District Court obtained, the
main cause of the claim is in default as well and force major and administration. Claims can
be settled by the District Court and Arbitration. Many companies prefer to resolve claims
through the Indonesian National Arbitration Board (BANI) due to the closed trial than using
District Court because it is open trial. But the costs to be incurred through BANI ranges
between Rp 200.000.000,00 - Rp 850.000.000,00, far with the District Court that ranges from
Rp 350.000,00 - Rp. 600.000,00. Claims are decided through arbitration can be canceled by
the District Court based to Article 70 of Law No. 30/1999, which is the existence of false
documents or false otherwise, the decisive document is hidden, and the ruse. Apart from the
three above, then any reason can not be used to overturn the decision of BANI.
Klaim bukanlah hal yang tabu ataupun sebuah hal tuntutan. Klaim merupakan sebuah
permintaan, dimana kita meminta hak kita yang telah hilang berdasarkan kesepakatan antara
dua atau lebih pihak yang menyetujui perjanjian tersebut. Oleh karena itu, perlu kita
mengetahui apa saja penyebab terjadinya klaim, dan bagaimana cara menyelesaikan klaim
tersebut.
Berdasarkan hal diatas, penulis ingin mengangkat masalah seputar penyelesaian klaim di
Pengadilan Negeri, baik dari hal apa saja penyebab klaim, proses penyelesaian klaim yang
ditempuh, maupun dasar pengajuan ke Pengadilan Negeri untuk kasus di bidang proyek
konstruksi.
Tinjauan Pustaka
Penyebab utama klaim dapat dikategorikan dalam 3 hal, yaitu (Yasin, 2004) :
a. Dari pengguna jasa terhadap penyedia jasa, seperti pengurangan nilai kontrak,
percepatan waktu penyelesaian pekerjaan, dan kompensasi atas kelalaian penyedia jasa.
b. Dari penyedia jasa terhadap pengguna jasa, seperti tambahan waktu pelaksanaan
pekerjaan, tambahan kompensasi, dan tambahan konsesi atas pengurangan spesifikasi
teknis atau bahan.
c. Dari sub penyedia jasa atau pemasok bahan terhadap penyedia jasa utama.
Metode Penellitian
Data yang digunakan merupakan data sekunder, yaitu ptuusan Pengadilan Negeri sebanyak
10 kasus proyek konstruksi. Metode penelitian yang digunakan pada skripsi ini adalah
metode yuridis normatif, yaitu penelitian hukum dalam pengertian meneliti kaidah-kaidah
dan norma-norma, dimana penelitian yuridis normatif biasanya hanya merupakan studi
dokumentasi dengan mempergunakan sumber-sumber data sekunder seperti peraturan
perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, teori hukum, dan pendapat para ahli
(Mertokusumo, 2002). Berikut langkah penulis dalam mengolah dan menganalisis data :
1. Wanprestasi
Kasus wanprestrasi dalam skripsi ini terdapat pada kasus 1, 5, 6, 7, 8, dan 9. Pada
kasus 1 wanprestasi terjadi karena PT Manunggal Engineering tidak mampu
melaksanakan tugas sesuai kontrak Pekerjaan Pemancangan No.
046/Lampungext/Pilling Works/CLD/07-08-YY tertanggal 17 Juli 2008, sehingga
dialihkan ke PT Truba Alam Manunggal Engineering. Oleh karena itu, PT Terapan
Osiliasi Indonesia menuntut mereka ke BANI. Dilain pihak berbeda dengan kasus 5,
yaitu kasus Pembangunan Pusat Perbelanjaan PTC dimana Kohar ditunjuk oleh PT
Asia Pacific Coating (PT APC) untuk mencari kontraktor pemborong utntuk
melaksanakan pembangunan tersebut, lalu ditunjuklah PT Nusantara Jasya Konstruksi
(PT NJK) melalui Direkturnya Herianto Tan untuk melakukan pemborongan yang
meliputi pekerjaan pendahuluan, struktur, finishing, mekanikal, dan elektrikal dengan
borongan senilai Rp 34.850.000.000,00 berdasarkan SPK No. 0101-PTC/SPK/XII-
2003. Pekerjaan mampu dilakukan oleh pemborong, yaitu PT NJK dengan bukti
berita acara prestasi fisik yang telah mencapai 100%, namun banyak terjadi defect
kerja yang dilakukan oleh pemborong sehingga menimbulkan kerugian diantaranya
banyak kios yang batal dibeli maupun disewa.
Pada kasus 6 yaitu Proyek Pembangunan Cirebon Superblock Mall yang berlokasi di
Jl. Cipto Mangunkusumo senilai Rp 77.850.000.000,00 lump sum termasuk PPn
terhitung dari 14 Februari 2011 sampai dengan 11 Desember 2011 antara PT Karya
Bersama Takarob sebangai pengguna jasa dengan PT Adhi Kartya sebagai penyedia
jasa. Bahwa terjadi ketidakcakapan kerja yang dilakukan oleh PT Adhi Karya (PT
AK) yang ditandai dengan kualitas pekerjaan yang tidak baik, ditambah lagi dengan
pengunduran PT AK dalam proyek tersebut. Dilain pihak, PT AK menuntut PT Karya
Bersama Takarob (PT KBT) kepada BANI karena menurut PT AK, PT KBT lah yang
melakukan cidera janji yaitu keterlambatan pembayaran termin. Pada kasus 7 yaitu
Proyek Jalan Tol Semarang – Solo tahap I ruas Semarang Bawen Seksi III Penggaron
– Beji antara Direktur Utama CV Jaya Wahana Lestari dengan PT Waskita Karya-
DIY II. Dimana Direktur CV Jaya Wahan Lestari (CV JWL) merasa keberatan atas
putusan BANI No. 498/XXI/ARB-BANI/2012 tanggal 3 September 2013 karena CV
JWL dinyatakan cidera janji terhadap PT Waskita Karya-DIY II (PT WK) dan
dituntut untuk mengembalikan uang yang merupakan hak dari PT WK sebesar Rp
742.544.300,00. Awalnya PT WK sebagai kontraktor menerima pekerjaan dari PT
Trans Marga Jateng sebagai owner, kemudian PT WK memberikan tanggun jawab
pekerjaan yang telah diterima dari PT Trans Marga Jateng kepada CV JWL
berdasarkan Surat Perjanjian Pemborongan Pekerjaan No. 14/SPP/WK.D-II/2012
tanggal 14 Maret 2012. Namun, karena CV JWL tidak mampu melaksanakannya
dengan baik, maka PT WK menuntutnya di BANI.
Kasus force major yang terjadi terdapat pada kasus 2, 4, dan 10. Pada kasus 2, yaitu
kasus Proyek Pembuatan Runway dan Fasilitas Penunjang di Bandar Udara
Internasional Lombok, faktor alam yang mempengaruhi terjadinya klaim adalah
terdapat hujan yang menggenangi lokasi, lalu untuk pengamanan pekerjaan utama
dilakukan Cross Drain dan Dewatering. Meskipun hal ini tidak terdapat dalam
hitungan BQ seusai dengan kesepakatan, namun hal ini mutlak harus dilakukan oleh
PT Hutama Karya. PT Angkasa Pura I tetap bersikukuh bahwa PT Hutama Karya
telah melakukan Cross drain dan Dewatering tanpa ijin dari PT Angkasa Pura I. Di
lain pihak, PT Hutama Karya mengkaim bahwa tanggapan dari PT Angkasa Pura I
sangat lambat, dan apabila PT Hutama Karya menunggu ijin dari PT Angkasa Pura I
untuk melaksanakannya tentu itu akan memakan waktu ekstra dan list pekerjaan
masih banyak yang harus dilakukan.
Pada kasus 4 yaitu Tender Pemabangungan dermaga antara PT Hutama Karya sebagai
penyedia jasa dengan PT Krakatau Bandar Samudra sebagai pengguna jasa berupa
pekerjaan pengerukan karang keras dan kompak dalam lapisan tanah yang berlokasi
di Dermaga Pelabuhan Cigading, Banter dengan sistem kontrak Lump sum fixed price.
Permasalahan berawal dari timbulnya lapisan tanah keras kurang dari 17 meter,
padahal berdasarkan hasil uji sebelumnya menyatakan bahwa tanah keras hanya
berada pada kedalaman diatas 17 meter. PT Hutama Karya merasa sangat tidak adil
kepada pihak Arbitrase karena berpendapat sistem pembayaran Fixed Lump Sum
Price, maka pekerjaan tanah dengan SPT > 50 menjadi resiko dan tanggung jawab
sepenuhnya PT Hutama Karya. PT Hutama Karya berpendapat bahwa Fixed Lump
Sum Price berarti nilai kontrak bersifat tetap sepanjang gambar dan spesifikasi tidak
berubah.
Yang terakhir adalah kasus 10, yaitu Kasus Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Jalan
BTS, Jabar, Tegal, Slawi antara Ir. Krido Lucky Widyantoro, M.M., Ir. Eddy Soetano,
M.T., Ir. Herman Suroyo, M.T., Sumarjono, S.T., M.T., dan Ir. Noertjahjo Widodo,
M.T., yang kemudian disebut sebagai Para Pemohon sebagai pengguna jasa dengan
PT Bumirejo dan PT Brantas Abipraya, Joint Operation yang kemudian disebut
dengan BBJO sebagai penyedia jasa untuk pekerjaan Brebes-Tegal By Pass dengan
nilai kontrak Rp. Rp. 190.360.238.851,22 termasuk PPn. Awal mulanya timbul klaim
adalah tidak adanya kesepakatan antara 2 belah pihak, yaitu adanya justifikasi teknik
yang diajukan BBJO mengenai perubahan nilai kontrak menjadi Rp
205.920.819.000,00 dan mengubah lama pekerjaan dari 720 hari kalender menjadi
920 hari kalender. Namun proyek telah berjalan sebagian dan masalah justifikasi tidak
juga selesai, sehingga BBJO menuntut Para Pemohon dalam BANI yang putusannya
menghukum Para Pemohon untuk membayar kerugian sebesar Rp 26.871.672.000,00
kepada pemohon untuk klaim akibat idle alat, idle tenaga kerja, sewa lahan base
camp, alat pendukung yang sudah tersedia, uang jaminan, dan bunga pinjaman.
4.2.1 500.000
4.2.2 581.000
4.2.3 416.000
4.2.4 514.000
4.2.5 562.000
4.2.6 516.000
4.2.7 500.000
4.2.8 341.000
4.2.9 500.000
4.2.10 342.000
Berdasarkan tabel di atas, didapatkan range biaya yang harus dikeluarkan melalui Pengadilan
Negeri adalah sebesar Rp 342.000,00 – Rp 581.000,00. Sedangkan untuk biaya menggunakan
jasa BANI ditunjukkan pada Tabel 5.2.
4.2.1 296.861.000
4.2.3 198.188.750
4.2.6 330.163.500
4.2.8 298.331.000
4.2.9 251.607.850
4.2.10 839.687.000
Berdasarkan tabel di atas, didapatkan range untuk biaya jasa BANI sebesar Rp
198.861.000,00 – Rp 839.687.000,00. Biaya menggunakan BANI relatif mahal, hal ini
tergantung dari berapa banyak arbiter yang ditunjuk untuk menyelesaikan kasus tersebut,
serta gelar atau pengalaman dari arbiter terssebut. Semakin banyak arbiter yang ditunjuk
maka semakin besar pula biaya yang harus dikeluaran, begitu pula semakin tingginya
pendidikan dan pengalaman arbiter tersebut maka biaya pun semakin mahal. Seperti halnya
pada kasus 4.2.10 dimana ditunjuk 3 majelis arbiter sehingga biaya yang harus dikeluarkan
sebesar Rp. 839.687.000.
Pengajuan Penyelesaian Di Pengadilan Negeri
Pengajuan ini pada dasarnya dikarenakan tidak puas dengan putusan BANI sebelumnya.
Ketidakpuasan yang dimaksud adalah putusan dianggap mengandung salah satu unsur
maupun seluruh unsur dari pasal 70 No. 30/199, berikut bunyi Pasal 70 No. 30/1999 :
“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan
apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
- Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu
- Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,
disembunyikan oleh pihak lawan, atau
- Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa”
Pada kasus 3, yaitu kasus PLTU Jawa Barat antara PT Truba Jaya Engineering sebagai
pengguna jasa dengan PT Adhi Karya sebagai penyedia jasa. Dasar pembatalan yang
digunakan oleh PT Truba Jaya Engineering adalah adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh
PT Adhi Karya, dimana PT Adhi Karya menuntut atas biaya keterlambatan sebesar Rp
21.715.905.090,00. Namun, tidak ada satu pasal perjanjian yang mengatur ganti rugi atas
keterlambatan, meskipun keterlambatan tersebut diakibatkan oleh PT Adhi Karya. Di lain
pihak, BANI menyatakan bahwa pengajuan tuntutan merupakan hak dari PT Adhi Karya
yang dijamin oleh hukum untuk mendapatkan kembali apa yang dilanggar oleh PT Truba
Jaya Engineering. Selain itu, alasan pembatalan putusan BANI yang diajukan oleh PT Truba
Jaya Engineering telah diperiksa sebelumnya pada proses pemeriksaan BANI. Oleh karena
itu, Pengadilan Negeri tidak berhak untuk menanggapii maupun mempertanyakan putusan
BANI, hal ini sesuai dengan Pasal 62 ayat (4) No. 30/1999 yang berbunyi sebagai berikut :
“Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan
Arbitrase”. Berdasarkan pasal ini, maka alasan BANI tidak dapat diperiksa dan alasan
pembatalan putusan BANI oleh PT Truba Jaya Engineering tidak dapat diterima.
Selanjutnya, pada kasus 6, yaitu Proyek Cirebon Superblock Mall antara PT Karya Bersama
Takarob sebagai pengguna jasa dengan PT Adhi Karya sebagai penyedia jasa yang mana
lokasi proyek ini berada di Jl Cipto Mangunkusumo. Pembatalan putusan BANI berawal dari
adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh PT Adhi Karya, yaitu dengan menunjukkan adanya
tagihan pada termin ke VII sebesar Rp 7.458.434.820,00 mengandung cacat administrasi
karena tidak ditandatangani dan disetujui oleh PT Karya Bersama Takarob. Tidak
ditandatanganinya administrasi perihal tagihan termin tersebut karena adanya perbedaan
penilaian volume pekerjaan, dimana penilaian antara PT Karya Bersama Takarob dengan PT
Adhi Karya tidak sama. Berdasarkan hal tersebut sudah jelas adanya tipu muslihat dan
penggunaan dokumen yang tidak sah yang dilakukan oleh PT Adhi Karya yang memengaruhi
BANI dalam menjatuhkan putusan. Namun di lain pihak, PT Karya Bersama Takarob hanya
karena tidak puas atas putusan BANI yang diterima dan disebabkan karena PT Karya
Bersama Takarob tidak mampu mempertimbangkan termasuk dalam golongan tipu muslihat
atau penggunaan dokumen yang tidak sah sehingga menjadi tidak jelas. Oleh karena itu,
Pengadilan Negeri memutuskan alasan yang digunakan oleh PT Karya Bersama Takarob
menjadi kabur dan tidak dapat diterima.
Selain dari tiga unsur di atas, maka apapun alasan yang digunakan tidak dapat dijadikan
sebagai dasar pembatalan BANI. Apa pun pertimbangannya, tentu pengajuan pembatalan
selain tiga unsur di atas merupakan hal yang sia-sia karena tidak mungkin dapat
dimenangkan. Terlebih lagi putusan BANI tidak dapat dibatalkan, tidak dapat diubah isinya
berupa tuntutan balik, baik menuntut dari pihak perseorangan maupun dari sebuah badan.
Sebagai contoh pada kasus 4, yaitu Tender Pembangunan Dermaga antara PT Hutama Karya
sebagai penyedia jasa dengan PT Krakatau Bandar Samudra sebagai pengguna jasa, dimana
proyek ini berlokasi di Dermaga Pelabuhan Cigading, Banter. PT Hutama Karya menolak
putusan BANI, yang mana BANI menjatuhkan putusan menghukum PT Hutama Karya
membayar seluruh biaya administrasi.
Pada intinya PT Hutama Karya tidak puas karena BANI menganggap sistem pembayaran
Fixed Lump Sum Price menjadi seluruh tanggung jawab dari PT Hutama Karya serta tidak
mempertimbangkan notulen rapat dimana terdapat kesepekatan pada tanggal 28 Juli 2009
yang menyetujui bahwa tanah dengan SPT > 50 bukan tanggung jawab kontraktor (PT
Hutama Karya). Kondisi tersebut menghilangkan kewajiban PT Krakatu Bandar Samudra
untuk bertanggung jawab terhadap pekerjaan tanah (karang) keras yang telah dilakukan oleh
PT Hutama Karya karena sebelumnya pada tanggal 27 Agustus 2010 PT Krakatau Bandar
Samudra berkeinginan untuk volume pekerjaan karang keras hanya diperhituungkan sebesar
denda 5% dari nilai kontrak. Pada kasus ini, jelas terlihat bahwa alasan yang digunakan oleh
PT Hutama Karya tidak ada satupun yang mewakili unsur dari Pasal 70 No. 30.1999. Hal
yang dilakukan oleh PT Hutama Karya merupakan hal sia-sia karena pihak lawan langsung
membalas pernyataan dari PT Hutama Karya dengan alasan tidak ada satupun alasan yang
dikemukakan mengandung unsur dari Pasal 70 No. 30/1999, dan itupun sudah cukup untuk
Pengadilan Negeri membatalkan permohonan dari PT Hutama Karya walaupun pihak dari PT
Hutama Karya menggunakan alasan dengan berbagai pasal.
Selain itu, pembatalan putusan BANI atas Pasal 70 No. 30/1999, tidak mungkin ada bukti
yang diajukan adalah hal yang sama, namun melanggar dua unsur sekaligus, yang mana
terjadi pada kasus 9 yaitu Proyek Pembangunan Komplek Griya Kemayoran antara PT Tunas
Diptapersada sebaga pengguna jasa dengan PT Hutama Karya dan PT Hutama Binamaint
Join Operation sebagai penyedia jasa. Perjanjian atar pihak terkait terikat dalam SPK No.
004/TDP/SPK/PMBG/1/96 yang mnegatur tentang pemborongan. Dalam pelaksanaannya PT
Hutama Karya dan PT Hutama Binamaint Join Operation mengalami keterlambatan dan
membuat SPK baru No. HK-BM/1040/SP.B-GK/34 tanpa sepengetahuan dan ditandatangani
PT Tunas Diptapersada dan SPK tersebut diajadikan sebagai dasar klaim pada persidangan
BANI. PT Tunas Diptapersada menyatakan bahwa SPK tersebut cacat hukum. Oleh karena
itu dokumen yang diajukan dalam persidangan merupakan dokumen palsu. Di lain sisi, PT
Tunas Diptapersada mengatakan bahwa dokumen tersebut disembunyikan oleh PT Hutama
Karya dan PT Hutama Binamaint Join Operation. Berdasarkan pernyataan PT Tunas
Diptapersada, sungguh jelas tidak masuk akal karena bangaimana mungkin dokumen yang
diajukan palsu dan kemudian dokumen tersebut disembunyikan selama proses pemeriksaan.
Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar.
Penutup
Daftar Referensi
Barrie, D.S., and Paulson, B. C. (1992). Professional Construction Management. New York :
Mc. Graw-Hill.
Chaterine Tay, Swee Kian and Tang, See Chim. (2004). Contract Law : Marshall Cavendish
International.
Chow Kok Fong. (2006). Construction Contract Dictionary : Sweet and Maxwell Asia.
Edward R., Fisk, P.E. (1997). Construction Project Administration. New Jersey : Fifth
Edition, Prentice Hall.
Ervianto, wolfram. (2009). Manajemen Proyek Konstruksi.