Anda di halaman 1dari 16

(KASUS 1)

Fakta-fakta
1. Pemohon Kasasi dahulu sebagai pemohon adalah Mr. Ju Young Ki, warga Negara Korea
Selatan pemegang Paspor CK No.2262215, bertempat tinggal di Apartemen CBD Pluit
Akasia Tower 21 C, Jalan Pluit Selatan Raya, Jakarta Utara
2. Termohon Kasasi dahulu sebagai termohon adalah HENDRA GUNAWAN, Direktur PT.
Mari Maju Bersama, berkedudukan di Gedung CBD Pluit Blok C Nomor 9, Jalan Pluit
Selatan Raya, Jakarta Utara
3. Pemohon dan Termohon secara sukarela mengikatkan diri pada perjanjian Joint Operation
pengelolaan pertambangan batu bara milik PT. Mari Maju Bersama qq. CV Talenta Utama
yang ber lokasi di Desa Pendingin, Kecamatan Sanga-sanga, Kabupaten Kutai Kartanegara
dengan total eksplorasi tambang batubara tahap 1 seluas 56,58 Ha dengan cadangan ter
tambang (mined coal reserve) sebanyak 604.835 MT dar i Area seluas 20 Ha (vide Pasal 2
Joint Operation) dengan nomor surat Nomor 001/MOU/MBM.TU- JYK/ IX/2008 tanggal
02 September 2008
4. Termohon tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan kontrak, dan telah diupayakan usaha
musyawarah tetapi tidak ada kesepakatan para pihak. Sehingga sesuai klausa arbitrase para
pihak membawa masalah ke arbitrase.
5. Bahwa Pasal 10 ayat (1) dan (2) dari Joint Operation menentukan:
1) Setiap perbedaan pendapat atau sengketa yang mungkin muncul berkaitan dengan
substansi ataupun pasal-pasal yang terkandung dalam joint operation ini akan diselesaikan
secara musyawarah;
2) Jika kedua belah pihak tidak dapat menyelesaikan sengketa yang timbul maka akan
diselesaikan melalui jalur Arbitrase yang tunduk pada aturan Arbitrase Internasional
6. Pemohon telah mengajak termohon untuk berunding mengenai masalah penunjukkan
lembaga arbitrase mana yang berwenang dan bagaimana cara penunjukkan arbitrase.
Namun setelah tiga kali mengirimkan surat panggilan, tidak ada jawaban dari termohon
terkait masalah ini.
7. Kemudian demi terselesaikannya masalah antara pemohon dan termohon, maka pemohon
memohon hal-hal sebagai berikut ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara:
Pemohon mohon agar yang terhormat Bapak Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara
menetapkan Badan Arbitrase Indonesia (BANI ) untuk menyelesaikan semua sengketa
antara Pemohon dengan Termohon sehubungan Joint Operation Nomor
001/MoU/MBM.TU- JYK/ IX/2008 tanggal 02 September 2008 dan menunjuk
Prof.Dr.H. Priyatna Abdurrasyid. S.H., PHD sebagai Arbiter dalam rangka penyelesaian
sengketa antara permohonan dan Termohon;
Apabila Termohon tidak menyetujui usulan Permohonan tersebut di atas maka Pemohon
mohon kepada yang terhormat Bapak Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar
menunjuk 3 (tiga) orang Arbiter dari Badan Arbitrase Nasional Indonesia sebagai Majelis
Arbitrase,yaitu:
1. Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid , S.H., PHD;
2. Humphrey R. Djemat ;
3. Mariam Darus;
8. Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah mengambil putusan, yaitu putusan Nomor 639/Pdt
.P/2010 /PN.Jkt .Ut . tanggal 07 Februari 2011 yang amarnya sebagai berikut :
Menyatakan permohonan Pemohon di tolak seluruhnya ;
Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp 391.000,00 (tiga
ratus Sembilan puluh satu ribu Rupiah);
9. Kemudian, pemohon mengajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 10 Februari
2011 sebagaimana ternyata dari akte permohonan kasasi Nomor 639/Pdt.P/2010/PN.Jkt.Ut.
yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara, permohonan tersebut disertai
dengan/diikuti oleh memori kasasi yang di terima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
tersebut pada tanggal 18 Februari 2011

Pendapat Para Pihak


Adapun sebagai dalil - dalil keberatan pertama Pemohon kasasi adalah didasarkan pada fakta-
fakta sebagai berikut :
1. Bahwa dasar hukum Pemohon Kasasi dalam mengajukan Permohonan Penetapan dan
Penghunjukan Arbiter dan/atau Majelis Arbiter dari Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakar ta Utara adalah didasarkan
pada Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (Arbitrase dan APS) yang menegaskan: dalam hal para pihak
tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan
yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, ketua Pengadilan Negeri menunjuk
Arbiter atau Majelis Arbiter ;
2. Bahwa dari fakta - fakta hukum yang terbukti dan terungkap di persidangan, maka
Pemohon Kasasi sangat keberatan tentang pertimbangan hukum Judex Facti halaman
12 alinea ke- 3 dan 4 yang pada pokoknya menyatakan dikutip :
"Menimbang bahwa sebagaimana diuraikan dalam fakta-fakta tersebut di atas bahwa perjanjian
yang disepakati oleh Pemohon dan Termohon dalam Joint Operation Nomor
001/MOU/MBM/TU.JYK/ IX/2008 tanggal 02 September 2008 telah sepakat memilih jalur
penyelesaian sengketa mereka melalui arbitrase yang tunduk pada aturan arbitrase
internasional atau bukan badan arbitrase nasional Indonesia yang dipilih oleh Pemohon dengan
Termohon untuk menyelesaikan sengketa mereka"
"Menimbang bahwa oleh karena Pemohon dengan Termohon telah memilih arbitrase
internasional untuk menyelesaikan sengketa mereka maka dalam hal ini hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Utara tidak berwenang menunjuk Badan Arbitrase Nasional Indonesia untuk
menyelesaikan sengketa antara Pemohon dan Termohon" ;
3. Bahwa tidak ada fakta hukum yang terungkap di persidangan antara Pemohon Kasasi
dan Termohon Kasasi telah sepakat memilih arbitrase internasional atau bukan Badan
Arbitrase Nasional Indonesia untuk menyelesaikan sengketa antara Pemohon Kasasi
dengan Termohon Kasasi berkaitan Joint Operation :
001/MoU/MBM.TUJYK/IX/2008 tanggal 02- 09- 2008;
4. Bahwa dalam Pasal 10 ayat 2 Joint Operation Nomor 001/MoU/MBM. TU-JYK/
IX/2008 tanggal 02-09- 2008 (diajukan sebagai bukti oleh Pemohon Kasasi dan
Termohon Kasasi) tidak ada klausula tegas yang menyatakan Pemohon Kasasi dan
Termohon Kasasi memilih arbitrase internasional dan/atau Arbitrase Internasional
tertentu misalnya American Arbitration Association (AAA) dalam menyelesaikan
sengketa berkaitan joint operation ;
5. Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi secara tegas, cermat dan komprehensif terutama
tentang siapa yang diangkat menjadi Arbiter atau Majelis Arbiter dari Badan Arbitrase
Nasional Indonesia dan atau dari Lembaga Arbitrase Internasional tertentu , oleh
karenanya sesuai Pasal 13 jo .Penjelasan Pasal 13 Undang- Undang Nomor 30 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pemohon Kasasi memohon kepada
ketua Pengadilan Negeri menunjuk dan menetapkan Arbiter dan/atau Majelis Arbiter
dari Badan Arbitrase Nasional Indones ia sebagaimana di rumuskan dalam surat
permohonan;
6. Bahwa andaikata diikuti pendapat dan pertimbangan hukum Judex Facti yang dikutip
diatas yang menyatakan antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi telah sepakat
memilih arbitrase internasional untuk menyelesaikan sengketa berkaitan Joint
Operation maka pertimbangan hukum Judex Facti ini sangat membingungkan dan
ambiguity sebab Arbitrase Internasional banyak dan arbitrase internasional mana yang
dimaksud Judex Facti maupun Termohon Kasasi semakin tidak jelas dan
pertanyaannya apakah Badan Arbitrase Nasional Indonesia bukan bersifat arbitrase
internasional bagi Pemohon Kasasi ;
7. Bahwa pertimbangan hukum Judex Facti yang tidak jelas, tidak tegas ambiguity
tersebut terkesan melindungi Termohon Kasasi yang berlindung dibalik ketidak-
tegasan rumusan klausu la arbitrase yang dibuat tidak secara cermat dan komprehensif
dalam perjanjian Joint Operaton (musuh paling buruk dari klausula arbitrase adalah
susunan kata-kata dan kalimatnya tidak dibuat secara cermat dan komprehensif) dan
perlu ditegaskan pada saat pembuatan joint operation tanggal 02- 09- 2008
8. Pemohon Kasasi tidak tahu berbahasa Indonesia dan kuat dugaan Pemohon Kasasi
korban janji-janji ;
9. Bahwa sebenarnya tidak ada alasan bagi Judex Facti dalam memeriksa, mengadili dan
memutus permohonan Pemohon Kasasi ini selain menerapkan Pasal 13 jo .Penjelasan
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa sebab dari fakta-fakta dan hubungan hukum yang terjadi antara
Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat
dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yakni para pihak (Pemohon
Kasasi dan Termohon Kasasi) tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan
arbiter, dan dalam Joint Operation tidak ada ketentuan yang dibuat Pemohon Kasasi
dan Termohon Kasasi mengenai pengangkatan arbiter;
10. Bahwa akan tetapi Judex Facti dengan pertimbangan hukum yang tidak didasari bukti-
bukti akurat dengan lain perkataan Judex Facti tidak menerapkan hukum pembuktian
sebagaimana mestinya yakni produk bukti P.1, 2,3 dan P.4 tidak mendapat
pertimbangan hukum yang cukup secara langsung dan serta-merta Judex Facti
menyatakan Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi telah sepakat memilih arbitrase
internasional dalam menyelesaikan sengketa berkaitan joint operation oleh karenanya
pertimbangan hukum dalam membuat penetapan terhadap permohonan Pemohon
Kasasi wajar dan beralasan hukum untuk dibatalkan dalam tingkat Mahkamah Agung
ini;
11. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas jelas pertimbangan hukum Judex Facti telah salah
dalam menerapkan dan melanggar ketentuan hukum yang berlaku yakni tidak
menerapkan dan melanggar Pasal 13 jo .Penjelasan Pasal 13 Undang- Undang Nomor
30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan tidak
menerapkan hukum pembuktian sebagaimana mestinya yakni bukti P.1, 2, 3 dan P.4
tidak mendapat pertimbangan hukum yang cukup;
12. Pertimbangan Judex Facti lalai dalam menerapkan syarat-syarat yang diwajibkan
peraturan perundang-undangan dan pertimbangan hukumnya sangat dangkal karenanya
dalam tingkat kasasi ini beralasan hukum penetapan Judex Facti untuk dibatalkan
Hal yang diajukan dalam persidangan ini adalah penetapan lembaga arbitrase dan caranya,
sedangkan pihak Termohon tidak memberikan jawaban dan sanggahan terhadap masalah ini.
Hal ini terbukti dari tidak ada jawaban atas surat yang dilayangkan oleh Pemohon. Sehingga,
tidak ada argument dari pihak termohon.

Putusan Pengadilan
Bahwa alasan Kasasi tidak dapat dibenarkan, Judex Facti tidak salah menerapkan
hukum;
Bahwa Judex Facti sudah tepat dan benar, lagi pula hal ini mengenai penilaian hasil
pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal tersebut tidak dapat
dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam
tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya
pelanggaran hukum yang berlaku , adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat
yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu
dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila Pengadilan tidak berwenang atau
melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang-
Undang No.14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang
No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009;
Bahwa dalam Pasal 10 ayat (2) Joint Operation (Bukti P1) para pihak sepakat
menyelesaikan sengketa yang timbul melalui jalan Arbitrase yang tunduk pada aturan
Arbitrase Internasional ;
Bahwa berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata para Pihak Pemohon dan Termohon
terikat pada isi perjanjian tersebut, dimana seharusnya Pemohon menunjuk Arbiter
Internasional untuk penyelesaian sengketa antara Pemohon dan Termohon;
Bahwa walaupun dalam Pasal 10 ayat (2) tidak dengan tegas ditentukan Arbiter
Internasional tertentu tetapi Pemohon dengan mengacu pada Pasal 10 ayat (2)
perjanjian tersebut dapat menunjuk Arbiter Internasional tertentu dalam perkaranya
Analisis
Kontrak Internasional yang dilakukan pemohon dan termohon adalah kontrak yang
cacat dalam segi bahasa. Hal ini terbukti pada permasalahan klausula arbitrase dalam kontrak.
Klausula arbitrase yang dicantumkan pada pasal 10 tidak menjelaskan secara tegas tentang
arbitrase itu sendiri. Untuk membuat klasula ini jelas dan bermakna diperlukan perundingan
dan perbuatan perjanjian antara pemohon dan termohon secara lebih lanjut.
Putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung yang menyetujui putusan dari
Pengadilan Negeri Jakarta Utara adalah tepat. Alasan utama adalah tidak jelasnya klausula
arbitrase yang dicantumkan para pihak dalam perjanjian. Pasal 13 memang mengatur tentang
kekosongan pada pemilihan arbitrer bila arbitrase telah disetujui oleh para pihak. Jelas
tercantum bahwa pemohon telah menunjuk BANI sebagai lembaga arbitrase yang berwenang.
Namun, syarat penunjukan lembaga arbitrase adalah kesepakatan para pihak. Dalam hal ini,
tidak ada kesepakatan tentang definisi arbitrase internasional dalam kontrak. Pemohon yang
berkewarganegaraan Korea Selatan dapat dengan tegas menyatakan BANI sebagai arbitrase
internasional. Namun, hal ini tidak berlaku bagi termohon yang berwarganegaraan Indonesia.
Kemudian yang harus ditinjau dari kontrak ini adalah hukum yang berlaku dalam kontrak.
Pengertian arbitrase internasional dapat merujuk pada aturan hukum tersebut. Sebagai contoh,
bila hukum yang mendasari adalah hukum Indonesia, maka lembaga arbitrase diluar Indonesia
adalah arbitrase internasional sehingga jelas salah pemilihan BANI dalam kasus ini.
(KASUS 2)
Contoh kasus Hukum Kontrak Internasional.
Kasus Gianni Versace S.p.A melawan Sutardjo Jono.
1. Para Pihak
Para pihak yang bersengketa dalam kasus ini adalah Gianni Versace S.p.A, selaku
penggugat yang merupakan badan hukum yang didirikan menurut Undang-Undang Italia dan
berkedudukan di Italia. Perusahaan Gianni Versace S.p.A didirikan pada tahun 1978 oleh
seornag desainer terkemuka bernama Gianni Versace. Gianni Versace S.p.A adalah salah satu
perusahaan fesyen ternama di dunia. Perusahaan ini mendesain, memproduksi dan
mendistribusikan produknya yang berupa busana, perhiasana, kosmetik, parfum dan produk
fesyen sejenis.
Pada bulan September 2000, Gianni Versace S.p.A bekerjasama dengan Sunland Group
Ltd, sebuah perusahaan terkemuka Australia membuka Pallazo Versace, yaitu sebuah hotel
berbintang enam yang terletak di Gold Coast Australia. Saat ini kepemilikan Versace Group
dipegang oleh keluarga Versace yang terdiri dari Allegra Beck Versace yang memiliki saham
50%, Donatella Versace yang memiliki saham 20% dan Santo Versace yang memiliki saham
sebanyak 30%.
Saat ini Santo Versace menjabat sebagai Presiden perusahaan dan Donatella Versace
merangkap sebgaai Wakil presiden dan direksi Kreasi. Giannni Versace S.p.A selaku
penggugat ini menjual produksinya ke Indonesia dan merek yang melekat pada produk-produk
milik penggugat telah dilindungi oleh hukum Indonesia. Kemudian, pihak tergugat adalah
Sutardjo Jono, seorang Warga Negara Indonesia yang berkedudukan di Medan.
2. Kasus Posisi
Uraian posisi kasus Gianni Versace S.p.A melawan Sutardjo Jono adalah sebagai berikut:
a) Penggugat adalah pemilik yang berhak atas Merek VERSUS, VERSACE,
VERSACE CLASSIS V2 dan VERSUS VERSACE, yang mana Merek-Merek
tersebut telah dipakai, dipromosikan serta terdaftar di negara asalnya Italia sejak tahun
1989 dna terdaftar pula di 30 negara lebih, sehingga Merek penggugat berdasarkan
Pasal 6 ayat 1 Butir b Undang-undnag No.15 Tahun 2001 tentang Merek
dikualifikasikan sebagai Merek Terkenal, di mana Merek yang disengketakan adalah
Merek penggugat yang telah terdaftar pada kelas 9,18 dan 25.
b) Tergugat tanpa seizin penggugat telah mendaftar Merek V2 VERSI VERSUS yang
mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek-merek penggugat dan Merek
milik tergugat tersebut terdaftar dalam kelas yang sama dengan Merek-Merek milik
penggugat.
c) Bahwa tindakan tergugat tersebut merupakan itikad buruk yang hendak membonceng
keterkenalan Merek-Merek milik penggugat sehingga tergugat dapat menikmati
keuntungan ekonomi dengan mudah atas penjualan produksinya yang membonceng
Merek milik penggugat, atas hal ini seharusnya permohonan pendaftaran Merek milik
tergugat ditolak berdasarkan Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang No.15 Tahun 2001
tentang Merek.
Uraian posisi kasus di atas menunjukkan bahwa kasus ini merupakan pemboncengan atas
Merek Terkenal yang dilakukan oleh warga negara nasional.
3. Putusan
Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada kasus Gianni Versace S.p.A melawan Sutardjo
Jono mengambil penafsiran persaingan curang berdasarkan ketentuan Penjelasan Pasal 4
Undang-Undang No.15 Tahun 2001 tentang Merek tanpa merujuk pada Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI No.426 pk/pdt/1994. Pernyataan Majelis Hakim Pengadilan Niaga
mengenai persaingan curang adalah :
Menimbang bahwa dari Penjelasan Pasal 4 tersebut berdasarkan penafsiran a contario ,
terdapat 2 elemen penting untuk menentukan adanya itikad baik yaitu :
- Adanya niat untuk menguntungkan usaha pendaftar sekaligus merugikan pihak lain;
- Melalui cara penyesatan konsumen atau perbuatan persaingan curang, atau menjiplak atau
menumpang ketenaran merek orang lain
Selain pernyataan mengenai permasalahan persaingan curang, lebih jauhnya Majelis
Hakim memberikan pertimbangan mengenai tindakan penyesatan konsumen sebagai berikut:
a) Penyesatan tentang asal-usul suatu produk. Hal ini dapat terjadi karena Merek dari suatu
produk menggunaka Merek luar negeri atau ciri khas suatu daerah yang sebenarnya Merek
tersebut bukan berasal dari daerah luar negeri atau dari suatu daerah yang mempunyai ciri
khusus tersebut;
b) Penyesatan karena produsen. Penyesatan dalam bentuk ini dapat terjadi karena masyarakat
konsumen yang telah mengetahui dengan baik mutu suatu produk, kemudian di pasaran
ditemukan suatu produk dengan Merek yang mirip atau menyerupai yang ia sudah kenal
sebelumnya;
c) Penyesatan melalui penglihatan. Penyesatan ini dapat terjadi karena kesamaan atau
kemiripan dari Merek yang bersangkutan.
d) Penyesatan melalui pendengaran. Hal ini sering terjadi bagi konsumen yang hanya
mendengar atau mengetahui suatu produk dari pemberitahuan orang lain
Pertimbangan mengenai tindakan penyesatan yang cukup rinci tersebut memang tidak
terdapat dalam Undang-Undang No.15 tahun 2001 tentang Merek maupun dalam
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.426/PK/PDT/1994. Interpretasi mengenai tindakan
penyesatan ini merupakan interpretasi ekstensif dari istilah menyesatkan konsumen yang
terdapat dalam Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang No.15 tahun 2001 tentang Merek.
Interpretasi terhadap istilah dalam undang-undang ini bukanlah menjadi tugas Hakim semata,
para ilmuwan sarjana hukum pun dapat melakukan interpretasi, terutama bagi para pengacara
yang mewakili kepentingan para pihak di pengadilan. Boleh dikatakan bahwa setiap undang-
undang perlu dijelaskan atau ditafsirkan terlebih dahulu sebelum dapat diterapkan pada
peristiwanya.
4. Analisis singkat Putusan
Berdasarkan kompetensi para pihak yang bersengketa di pengadilan, hal-hal yang dapat
dianalisis antara lain :
a) Pihak penggugat yang berkewarganegaraan Italia merupakan unsur asing dalam
sengketa ini, dengan adanya unsur asing inilah permasalahan Hukum Kontrak
Internasional timbul. Titik pertalian primernya adalah kewarganegaraan, yang mana
kewarganegaraan penggugat dan tergugat berbeda. Selanjutnya, titik taut sekundernya
adalah lex loci, yaitu hukum yang berlaku adalah hukum Indonesia sesuai dengan
tempat di mana kegiatan dagang atau industri tersebut berjalan.
b) Penggugat yang merupakan warga negara dari negara lain peserta Konvensi Paris
tentunya harus mendapat perlakuan yang sama seperti warga negara nasional terhadap
perlindungan atas persaingan curang, hal ini sesuai dengan klausul timbal balik.
c) Penggugat yang merupakan badan hukum berkewarganegaraan Italia ini dapat
menuntut halnya di depan pengadilan.
(KASUS 3)
KASUS POSISI
Perselisihan terjadi antara Pemerintah RI dengan Newmont terkait divestasi saham
perusahaan. PT. NNT mengoperasikan daerah tambang emas terbesar kedua di Indonesia.
Setiap tahunnya Newmont membayar pajak dan royalti tambang kepada pemerintah RI yang
nilainya triliunan rupiah. Akuisisi 7% saham Newmont oleh pemerintah RI yang baru saja
dilakukan beberapa minggu lalu menghabiskan biaya 2,7 triliun rupiah sehingga nilai
perusahaan diperkirakan hampir 40 triliun rupiah. Dengan nilai aset dan pendapatan yang
demikian tinggi, wajar bila saham Newmont menjadi incaran para pebisnis di bidang tambang.
Salah satu grup bisnis Tambang yang sangat menginginkan dan telah memiliki saham
Newmont adalah PT. Bumi Resources,Tbk milik Grup Bakrie yang dikenal dengan tambang
batu bara besarnya di Kalimantan.
Sesuai Kontrak Karya tahun 1986 yang ditandatangani Pemerintah RI dan PT. NNT,
ada kesepakatan untuk mendivestasikan mayoritas saham Newmont kepada bangsa Indonesia
(dalam kontrak disebut sebagai Indonesian Participant) setelah 5 tahun masa operasi tambang.
Divestasi direncanakan bertahap dan dilakukan selama 5 tahun, yang semestinya jatuh pada
tahun 2006-2010. Singkat kata divestasi Newmont gagal dilakukan pada masa awal periode
tersebut dan baru dilakukan setelah Pemerintah RI menang dalam kasus divestasi saham
tersebut di pengadilan arbitrase tahun 2009. Saham sebesar 31% mesti didivestasikan oleh
kepemilikan asing Newmont (yang 20% telah dimiliki PT. Pukuafu Indah, perusahaan swasta
nasional) sehingga Indonesian Participant bisa memiliki 51% saham perusahaan tambang ini.
Perselisihan terjadi setelah Pemerintah RI menjatuhkan status
default (lalai) kepada Newmont, 11 Februari 2008, karena tidak kunjung menjual 3%
sahamnya untuk periode 2006 dan 7% saham periode 2007. Pemerintah menggugat
Newmont ke arbitrase internasional pada 3 Maret 2008. Di hari yang sama, Newmont juga
mengajukan gugatan atas pemerintah. Pada 11 Juli 2008, Newmont mengajukan arbitrase
tambahan terkait divestasi 7% saham yang diwajibkan kontrak karya. Proses arbitrase
berjalan sejak 15 Juli 2008 melalui korespondensi sampai digelarnya sidang tertutup 3-8
Desember 2008 di Jakarta. Panel terdiri atas tiga anggota. Dua orang adalah ahli hukum yang
masing-masing ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia, yaitu M Sonnarajah, dan pihak Newmont
(Stephen Schwebel) dan satu ahli independen yang sekaligus menjadi ketua panel (Robert
Briner).
Pemerintah Indonesia mengajukan dua tuntutan, yaitu meminta panel arbitrase agar
memutuskan bahwa pemerintah bisa melakukan terminasi kontrak karya Newmont dengan
alasan karena perusahaan melakukan kelalaian alias default. Apabila terminasi tidak bisa
dilakukan, pemerintah meminta arbitrase memerintahkan Newmont untuk menjual saham
sesuai isi surat Dirjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi terkait default. Isi surat Dirjen
Minerba Pabum itu diacu oleh arbitrase dalam menetapkan putusan mereka soal pelaksanaan
divestasi. Sebaliknya, Newmont meminta pihak arbitrase untuk menyatakan pihaknya tidak
melakukan kelalaian yang bisa berakibat pada terminasi kontrak. Meminta arbitrase
menentukan apakah first right of refusal pemerintah sudah tidak berlaku lagi. Dengan alasan
itu, Newmont bisa menjual sahamnya kepada pihak yang diinginkan.
Jaksa Pengacara Negara (JPN) Joseph Suwardi Sabda mengatakan, panel arbitrase
menilai, kesalahan NNT yang lalai dalam melakukan divestasi 17 persen sahamnya, belumlah
fatal sehingga tidak sebanding jika harus diganjar terminasi kontrak. Kondisinya akan berbeda
apabila porsi saham yang lalai didivestasi itu 50 persen lebih. Namun, JPN mengatakan, masih
ada kemungkinan kontrak NNT diakhiri jika tidak sanggup mematuhi putusan arbitrase. Sebab
sesuai bunyi kontrak karya, terminasi dapat dilakukan jika perusahaan tidak sanggup
memperbaiki kesalahan sampai batas waktu yang diberikan.
Pemerintah RI sebelumnya menolak karena
menilai pengajuan arbitrase itu belum memenuhi syarat, karena status lalai belum
dijatuhkan, akhirnya menerima penyatuan arbitrase dan dimulai pada 15 Juli 2008. Melalui
proses panjang, akhirnya Majelis Arbitrase Internasional mengeluarkan lima keputusan final
pada 31 Maret 2009 yang memenangkan Pemerintah RI.
Pada 31 Maret 2009, Pemerintah Indonesia akhirnya memenangkan gugatan atas kasus
divestasi PT NNT di arbitrase internasional. United Nation Commission on International Trade
Law (UNCITRAL) dan Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal) yang terdiri dari panel yang
dikenal secara internasional, memerintahkan PT NNT untuk melaksanakan ketentuan pasal
24.3 Kontrak Karya. Mereka juga menyatakan bahwa PT NNT telah melakukan default
(pelanggaran perjanjian), memerintahkan kepada PT NNT untuk melakukan divestasi 17
persen saham, yang terdiri dari divestasi tahun 2006 sebesar 3% dan 7% tahun 2007 kepada
pemerintah daerah sedangkan untuk tahun 2008 sebesar 7% kepada Pemerintah Republik
Indonesia. Semua kewajiban tersebut harus dilaksanakan dalam waktu 180 hari sesudah
tanggal putusan arbitrase. Selain itu, saham yang didivestasikan harus bebas dari gadai (clean
and clear) dan sumber dana untuk pembelian saham tersebut bukan menjadi urusan PT NNT.
Newmont juga harus mengganti biaya-biaya yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah untuk
kepentingan arbitrase dan harus dibayar dalam tempo 30 hari sesudah tanggal putusan arbitrase.
Perusahaan tambang yang berkantor pusat di Denver, Colorado itu wajib membayar biaya yang
telah dikeluarkan pemerintah untuk proses arbitrase sebesar AS$ 1,8 juta.
Divestasi saham pada usaha pertambangan asing yang diartikan sebagai sejumlah
saham asing yang harus ditawarkan untuk dijual kepada peserta Indonesia dalam Pasal 24 KK
disepakati bahwa PT NNT berkewajiban mendivestasikan sahamnya pada akhir tahun ke-5
sekurang-sekurangnya 15%, pada akhir tahun ke-6 sekurang-kurangnya 23%, pada akhir tahun
ke-7 sekurang-kurangnya 30%, pada akhir tahun ke-8 sekurang-kurangnya 37%, pada akhir
tahun ke-9 sekurang-kurangnya 44%, dan pada tahun ke-10 sekurang-kurangnya 51%. Semua
kewajiban dari perusahaan menurut Pasal 24 ayat (4) KK akan dianggap dilaksanakan segera
sesudah tidak kurang dari 51% yang diterbitkan dan yang ada pada waktu ditawarkan kepada
dan dibeli oleh peserta Indonesia.
PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
Keputusan Arbitrase Internasional tertanggal 31 Maret 2009 memenangkan Pemerintah
RI dan memerintahkan PT NNT untuk:
1. Melaksanakan ketentuan pasal 24 (3) Kontrak Karya tentang kewajiban
mendivestasikan sahamnya.
2. PT NNT dinyatakan telah melakukan default (pelanggaran perjanjian) .
3. Memerintahkan PT. NNT melakukan divestasi 17% saham dari tahun 2006 2008
kepada pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
4. Saham yang didivestasikan harus bebas dari gadai (clean and clear) dan sumber dana
untuk pembelian saham itu bukan menjadi urusan PT NNT.
5. Memerintahkan PT NNT mengganti biaya yang sudah dikeluarkan pemerintah
bagi kepentingan arbitrase perkara ini dalam tempo 30 hari sesudah tanggal
putusan arbitrase
ANALISIS
Di zaman sekarang ini, dalam menyelesaikan sengketa, para pihak dihadap banyak
sekali pilihan. Tidak hanya melalui pengadilan, mereka juga bisa menyelesaikan sengketanya
di luar pengadilan atau sering disebut dengan model Alternative Dispute Resolution
(Alternatif Penyelesaian Sengketa), yang salah satunya termasuk Arbitrase. Masing-
masing media penyelesaian sengketa mempunyai kelebihan dan kekurangan. Hal tersebut
tergantung pada pada beberapa faktor misalnya jenis dan sifat transaksi; strategi masing-
masing pihak yang bertransaksi dan pelaksanaannya.
Seperti halnya dalam kasus di atas yaitu perselisihan sengketa antara Pemerintah RI
Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara. Kedua belah pihak dalam menyelesaikan
memilih Arbitrase sebagai tempat mencari penyelesaian sengketa. Pemerintah Indonesia
mempermasalahkan kelalaian PT Newmont yang gagal melaksanakan kewajiban divestasi dan
menyatakan bahwa dapat diakhirinya kontrak karya. Pada Pasal 24 ayat 3 Kontrak karya antara
Pemerintah RI dan PT NNT menyatakan bahwa pemegang saham asing PT NNT diwajibkan
menawarkan saham asing PT NNT sehingga pada tahun 2010 minimal 51% saham PT NNT
akan beralih ke Pemerintah RI atau peserta Indonesia lainnya. Saat ini 80% saham PT NNT
yang mengeksplitasi tambang tembaga dan emas di Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat,
Nusa Tenggara Barat (NTB) dikuasai Nusa Tenggara Partnership (Newmont 45% dan
Sumitono 35%). Sisa 20% dimiliki PT Pukuafu Indah.
Kasus sengketa antara Pemerintah RI versus PT Newmont NNT terkait dengan tuduhan
wan prestasi (cidera janji) yang dilakukan oleh perusahaan tambang berbasis Amerika Serikat
tersebut telah melewati sebuah pergulatan hebat di forum arbitrase internasional, akhirnya
putusan arbitrase international memutus PT Newmont NNT bersalah dan dibebani kewajiban
untuk mendivestasikan saham sesuai dengan prosentase yang tertera dalam perjanjian kontrak
karya yang telah disepakati.
Dalam sidang arbitrase antara Pemerintah RI dengan PT NNT, 31 Maret 2009,
diputuskan perusahaan emas asing ini harus mendivestasi 17% sahamnya pada pihak
Indonesia dalam keadaan bersih dari gadai. Perusahaan asal Nevada AS itu diberi waktu 180
hari menuntaskan divestasi tersebut, terhitung sejak putusan.
Arbitrase dilangsungkan dengan komposisi majelis arbitrase yaitu, panel terdiri atas
tiga anggota. Dua orang adalah ahli hukum yang masing-masing ditunjuk oleh Pemerintah
Indonesia, yaitu M Sonnarajah warga negara Indonesia dan pihak Newmont (Stephen
Schwebel) dan satu ahli independen yang sekaligus menjadi ketua panel (Robert Briner).
Proses arbitrase antara Pemerintah RI dan PT Newmont Nusa Tenggara berjalan sejak 15 Juli
2008 melalui korespondensi sampai digelarnya sidang tertutup 3-8 Desember 2008 di Jakarta.
Pengertian putusan arbitrase asing, dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi New
York 1958. Dalam Pasal ini dijelaskan, yang dimaksud dengan putusan arbitrase asing
(menurut Konvensi ini) ialah putusan-putusan arbitrase yang dibuat di wilayah negara lain dari
negara tempat dimana diminta pengakuan dan pelaksanaan eksekusi atas putusan arbitrase yang
bersangkutan (made in the territory of a states other than the states where the recognition and
enforcement of such awards are sought).
UU 30/1999 tentang Arbitrase tidak memberikan pengertian apakah yang dimaksud
dengan Arbitrase Internasional. Namun dalam Pasal 1 angka 9 UU tersebut diberikan
pengertian mengenai Putusan Arbitrase Internasional, yaitu:
Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga
arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan
suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik
Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.
Didasarkan atas pengertian tersebut maka putusan arbitrase antara Pemerintah RI dan
PT Newmont Nusa Tenggara adalah Putusan Arbitrase Internasional karena di bawah
prosedur arbitrase United Nation Commission on International Trade Law (UNCITRAL),
Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal) yang terdiri dari panel yang dikenal secara internasional
sehingga dapat dikatakan pula bahwa arbitrase tersebut adalah arbitrase internasional. Apabila
dilihat dari rules yang dipakai, yaitu rules dari United Nation Commission on International
Trade Law (UNCITRAL), adanya arbitrator asing, maka menunjukkan adanya unsur asing
(foreign elements) dari arbitrase ini yang menyebabkan arbitrase ini dapat dikatakan sebagai
arbitrase internasional.
Perlu diingat, faktor perbedaan kewarganegaraan tidak mutlak. Tidak mesti
persengketaan terjadi antara dua pihak yang saling berbeda kewarganegaraan. Bisa juga
persengketaan terjadi antara orang-orang atau badan hukum yang memiliki kewarganegaraan
yang sama, asal mereka sepakat persengketaan diselesaikan oleh badan arbitrase luar negeri.
Dalam kasus yang demikian, putusan arbitrase yang bersangkutan adalah arbitrase asing.
Dilihat dari kronologis, putusan arbitrase internasional yang memenangkan pihak penggugat
(Pemerintah RI) itu sudah benar adanya, karena berdasarkan ketentuan perjanjian yang
disepakati oleh para pihak, tercantum klausula perjanjian yang menegaskan adanya kewajiban
yang harus dilaksanakan oleh PT Newmont untuk mendivestasikan sahamnya kepada
pemerintah daerah. Tetapi kewajiban tersebut tidak dilaksanakan oleh Newmont sehingga
pemerintah merasa dirugikan haknya. Mengacu kepada perjanjian yang ada, bahwa setiap
sengketa yang timbul akibat adanya perjanjian itu, maka para pihak sepakat untuk
menyelesaikan melalui lembaga arbitrase internasional.
Langkah hukum yang ditempuh pemerintah RI dengan menggugat Newmont NNT ke
arbitrase internasional sudah tepat dan sesuai dengan kesepakatan yang tertuang didalam
perjanjian kontrak karya. Meskipun Newmont berkelit dan membantah tudingan melakukan
pelanggaran dengan menunjukan beberapa bukti, bahwa saham-saham Newmont sedang
berada pada posisi tergadaikan sehingga hal itu menjadi kendala dan menyebabkan tidak
terlaksanakanya kewajiban divestasi tersebut tetapi arbiter yang memimpin persidangan
arbitrase dalam sengketa Pemerintah RI versus PT Newmont tersebut tidak mau terjebak dalam
skenario hukum yang didalilkan oleh Newmont sehingga mampu menghasilkan pustusan yang
obyektif dan sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh arbitrase.
Berdasarkan peta kasus terlihat bahwa:
1. Ada kontrak karya pertambangan antara Pemerintah RI dengan PT Newmont NNT;
2. Mereka menyepakati klausula kontrak yang ada, hal itu dibuktikan dengan
penandatanganan persetujuan pelaksanaan kontrak oleh para pihak;
3. Newmont telah melakukan eksplorasi di lokasi yang menjadi salah satu obyek
perjanjian;
4. Newmont tidak melaksanakan kewajiban yang telah disepakati bersama untuk
mendivestasikan sahamnya sesuai besaran yang telah diperjanjikan;
5. Dalam jangka waktu tertentu Newmont tidak ada iktikad baik untuk melaksanakan
kewajibannya.
Berdasarkan hal tersebut, secara terang menunjukan bahwa kesalahan berada pada
pihak Newmont NNT, sebab terdapat point dalam klausula perjanjian yang menyebutkan
bahwa Newmont berkewajiban mendivestasikan saham pertambangan dan itu tidak
dilaksanakan oleh Newmont. Sehingga secara hukum Newmont dianggap telah melakukan
breanch of contract (pelanggaran terhadap kontrak). Hal tersebut berarti bahwa kemenangan
yang diperoleh oleh pemerintah RI melalui putusan arbitrase itu sesuai dengan kaidah hukum
dan asas keadilan.
Obyektifitas para arbiter yang memimpin persidangan dan memutus perkara ini patut
diapresiasi positif oleh dunia internasional, khususnya oleh para pelaku bisnis. Hal tersebut
menunjukan bahwa arbitrase merupakan alternative penyelesaian sengketa yang efektif dan
creadible. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut dalam undang-Undang nomor 30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa. Pesimisme memang
seringkali muncul ketika menghadapi persoalan hukum di lembaga internasional. Hal tersebut
disebabkan oleh lemahnya kemampuan para ahli hukum kita dalam penguasaan aspek-aspek
hukum internasional dan argumentasi hukum. Dengan adanya putusan arbitrase ini berarti
secara hukum posisi pemerintah sangat kuat untuk menuntut hak-haknya dari PT Newmont
NNT. Dasarnya adalah, bahwa berdasarkan asas yang dianut dalam hukum arbitrase, putusan
arbitrase itu sifatnya final and binding sehingga tidak ada upaya hukum lain yang bisa
ditempuh apabila suatu kasus telah diputus oleh persidangan arbitrase.
(KASUS 4)

Anda mungkin juga menyukai