1
A. Kasus Posisi
Plaza Aminta Suite 901, Jl. TB Simatupang, Kav. 10, Jakarta 12310,
di Jl. Kramat Raya No. 59, Lantai 4, Jakarta 10450, Indonesia. Pertamina
2
135, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12160, Indonesia. Sebagai
a. Kontrak-kontrak
pembangkit tenaga listrik). Pada tanggal tersebut PLN di satu pihak dan
yaitu Energy Sales Contract (ESC) yang isinya menentukan bahwa PLN
setuju untuk membeli dari Pertamina tenaga listrik yang berasal dari
1995 dan 1997, KBC telah mulai serta menyelesaikan sebagian program
3
eksplorasi dan pemboran. Khususnya pada 12 Agustus 1997, dalam
MW untuk Telaga Bodas pada 1 November 1997. KBC juga diminta untuk
c. Penangguhan proyek
Karaha Bodas tidak akan berlangsung lama, bahkan Pertamina dan PLN
4
Prediksi yang mencerminkan sikap optimis tersebut akhirnya terbukti
yang berisi perintah agar beberapa proyek yang tertunda termasuk proyek
jangka waktu yang tidak pasti, pada tanggal 30 April 1998 menyampaikan
5
pemberitahuan untuk arbitrase (pada 30 April 1998) terdapat beberapa
6
B. Pokok Permasalahan (Issues)
C. Analisa (Analysis)
Tidak, Pihak Pertamina dalam posisi sebagai pihak yang tidak dapat
keputusan tersebut.
7
Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998. Berbagai upaya tersebut sudah
dilakukan oleh Pertamina sejak proyek masih dalam taraf awal pembangunan;
dalam surat yang dikirim kepada Pemerintah pada tanggal 11 Juni 1998.
membatalkan Keputusan Pemerintah No. 39 Tahun 1997, dan hal itu telah
melanggar kontrak. Tindakan ini tidak sejalan dengan prosedur yang telah
melakukan pekerjaannya.
8
Bahkan Pertamina menyatakan pula bahwa tindakannya dan PLN untuk
kepada KBC dan Pertamina yang menyatakan bahwa seluruh pihak harus
tunduk kepada Keputusan Presiden, dan jika tidak, segala tindakan masing-
KBC dapat terus melanjutkan proyek, namun karena penundaan tidak diketahui
akan berlangsung berapa lama, tidak jelas bentuk risiko yang harus
Maret 1998 untuk menuduh PLN melanggar kontrak karena melalui surat
terhadap Rencana Kerja dan Anggaran KBC yang dikeluarkan pada tanggal 11
9
Akhirnya di dalam surat tertanggal 30 April 1998 (yang menurut Bapak
bahwa tidak terdapat konflik antara KBC dan Pertamina "pada tanggal tersebut
ataupun sebelumnya".
hal apapun, bahwa KBC telah gagal membuktikan bahwa pihak tersebut siap,
memiliki dan tidak dapat memenuhi pembiayaan yang diwajibkan dan tidak
listrik berkapasitas 210 MW. Dengan demikian, pihak KBC tidak dapat
menuntut ganti kerugian atas tuduhan pelanggaran kontrak serta tidak memiliki
hukum dapat saja terjadi dalam kasus pelanggaran, akan tetapi mereka
10
Karena menyangkut masalah prinsip, Pertamina harus menolak bahwa
KBC berhak memperoleh ganti rugi atas ongkos yang dikeluarkan untuk
pembangunan proyek. Hal ini didasarkan bahwa KBC sendiri mengakui dengan
Keuangan, bahwa pada saat kontrak JOC dan ESC disepakati bersama, pihak
ini telah mengasuransikan risiko yang mungkin terjadi; risiko tersebut yaitu,
apabila belum ada keuntungan yang cukup dari hasil penjualan listrik kepada
PLN, yang dapat menutupi ongkos pembiayaan, maka mereka tidak dapat
Karena dalam hal ini Pertamina bahwa sebagai pihak yang mengajukan
telah mengeluarkan ongkos yang sia-sia karena tidak tepat dan tidak efisien
Selain itu, KBC selama dua tahun melakukan eksplorasi di utara Karaha,
daerah yang tidak produktif, dan mereka tidak mendapat manfaat apa-apa dari
program penelitian geologi yang mengukur kadar konduktivitas listrik pada batu
KBC pada tahap berikutnya telah juga salah memilih daerah proyek yaitu
daerah kawah di Telaga Bodas, yang disinyalir mengandung zat-zat kimia yang
membuat daerah tersebut tidak aman untuk pengolahan sumber panas bumi,
11
Meskipun biaya untuk eksplorasi dan pembangunan sudah dikeluarkan
oleh KBC pertamina tidak seharusnya mengganti rugi atas biaya yang
KBC termasuk jutaan dolar yang telah dikeluarkan oleh Pertamina dengan
tujuan pembangunan dan infrastruktur serta untuk pelatihan para teknisi tidak
lagi bermanfaat apa-apa sebagaimana diakui oleh KBC sendiri di dalam upaya
pusat” yang jumlahnya sebesar beberapa persen yang telah disetujui dari
adalah dalam bentuk Rupiah Indonesia, dan bukan Dolar Amerika, serta harus
berdasarkan pengeluaran dalam nilai uang Rupiah sesuai dengan nilai tukar
turunnya nilai uang Rupiah terhadap Dolar Amerika secara drastis setelah
melampaui batas dan tidak adil apabila putusan ganti rugi dihitung dalam Dolar
Amerika.
yang ditanam, KBC mohon ganti kerugian jenis kedua, yaitu kehilangan laba
12
sehubungan dengan hilangnya kesempatan pembangunan geo-termal. Dalam
laba (lucrim cessans) merupakan suatu ganti rugi yang dapat dikenakan
bahwa mereka itu siap, bersedia dan sanggup untuk melaksanakan JOC dan
ESC. Secara khusus Pertamina juga menegaskan bahwa KBC tidak dapat
yang diperkirakan oleh KBC sendiri akan melampaui US $ 500 (lima ratus) juta
dolar. Sebagaimana diakui oleh KBC bahwa pada saat itu tidak tersedia
ekonomi dan politik yang terjadi di Indonesia (dan bukan karena Keputusan
telah menyatakan bahwa salah satu pemegang sahamnya, FLP Energy Inc.,
kembali tersedia.
listrik berdasarkan sumber panas bumi yang tersedia. Padahal sebetulnya baru
di dalam NORC yang diperbaharui pada bulan Desember 1997 dan NOID
13
(yang menurut pandangan Pertamina sangat mencurigakan) KBC menyatakan
KBC menyatakan bahwa rencana kerja 1998 yang disiapkan oleh KBC
rekomendasi jauh di bawah 210 MW sebagai angka kapasitas listrik yang akan
cadangan KBC didasarkan pada perkiraan yang tidak realistis dan tidak
terbukti dan bahwa cadangan yang dieksploitasi adalah jauh di bawah angka
210 MW yang dikemukakan oleh KBC. Para ahli tersebut termasuk ahli dari
untuk mengatasinya diperlukan modal tambahan. Oleh sebab itu, KBC telah
ESC tidak memberikan hak kepada KBC atas pengiriman pembayaran tersebut
14
ia tidak pernah mengirim faktur tersebut. Akhirnya ketentuan mengenai
pengiriman pembayaran tidak dapat diterapkan karena tidak ada NOID yang
sah dan tidak ada dasar sama sekali untuk menentukan kapasitas yang dinilai
per unit (sebagaimana didefinisikan oleh ESC) dari non-existent unit (unit yang
tidak ada) dari KBC. Kalkulasi “kehilangan laba” yang dibuat KBC, berdasarkan
laporan yang diberikan oleh KBC mengenai cash flow pengoperasian yang
menjadi nilai sekarang yang tercantum pada tanggal 10 Januari 1998, yaitu
sebagai risk-free-rate (tarif harga bebas risiko) yaitu 5,8% dan risk premium
mengecilkan arti biaya modal yang sesungguhnya di tahun 1998 dan dengan
modal adalah sebesar 22% yaitu angka yang sama dengan hasil obligasi
15
pemerintah Indonesia pada saat itu. Sebagaimana diperlihatkan oleh laporan
salah satu ahli Pertamina, Mr. Norris, proyek tersebut berada pada titik break
even (titik yang menunjukkan pendapatan = biaya) pada potongan tarif sebesar
20% walaupun telah disetujui oleh KBC seluruh asumsi yang mendasari
Bahwa pada kasus ini jika menurut hukum Indonesia kerugian harus
dibuktikan dan jika kehilangan laba di masa akan datang tidak dapat
ditunjukkan maka tidak akan diberikan ganti rugi. Bahwa dalam kasus ini untuk
ex aequo et bono (dan hal ini dilarang dilakukan oleh arbitrator karena tidak
disepakati oleh para pihak), seperti ditentukan didalam Pasal 631 KUHPerdata
diterima oleh KBC, KBC tidak memiliki rujukan untuk dijadikan patokan sebagai
tersebut didahului dengan perkiraan bahwa suatu unit telah dibangun, yaitu
dilakukan apabila terdapat apa yang disebut keadaan memaksa dan selama
tindakan keadaan memaksa berlanjut. Hal demikian ini tidak dapat dijadikan
berlakunya ESC.
disepakati bersama di antara para pihak. JOC dan ESC secara bersama-sama
merupakan jaminan bagi KBC bahwa jika tenaga listrik telah siap untuk dijual,
16
suatu langganan, yaitu PLN telah bersedia, yang akan terikat menurut kontrak
untuk jangka waktu tiga puluh tahun untuk membeli seluruh produksi dengan
harga yang didasarkan atas rumusan yang telah disepakati terlebih dahulu,
dan yang akan dibayar dalam dolar Amerika. Kewajiban PLN seharusnya
kewajibannya. Oleh sebab itu risiko yang paling jelas dihadapi oleh penanam
modal asing terutama yang berkecimpung di dalam proyek seperti ini, misalnya
risiko komersial terhadap persediaan pasar, fluktuasi harga, inflasi nilai tukar
uang, dan risiko campur tangan pemerintah dapat dihilangkan dengan dasar
17
3. Bagaimana Dengan Putusan Arbitrase UNCITRAL Yang Menyatakan
pilihan hukum (choice of law) yang harus dipergunakan. Untuk itu Pertamina
1) Telah disebutkan dalam hal timbul sengketa antara Pertamina dan KBC,
dipilih oleh Pertamina dan KBC adalah hukum Indonesia secara berturut-
turut dalam Perjanjian JOC Pasal 20, dan dalam Perjanjian ESC Pasal
12.
18
Indonesia. Beberapa argumentasi yang digunakan adalah:
1) Pasal 1337 menentukan bahwa suatu causa adalah terlarang apabila hal
timbul sejak tahun 1997 dan demi untuk penghematan di semua bidang
dan ESC.
20
dikeluarkan oleh Pemerintah RI demi kepentingan penyelamatan negara
yang diakibatkan antara lain oleh depresiasi mata uang rupiah terhadap
nilai tukar US dollar yang pada saat itu mencapai lebih dari 30% sehingga
keuangan yang sangat berat bagi negara dan rakyat Indonesia. Oleh
dilaksanakan.
dan Keppres No. 5 Tahun 1998 oleh pemerintah Republik Indonesia yang
21
menjadi milik Pertamina, aset mana berupa rekening-rekening di bank
yang berada dalam wilayah Amerika Serikat; padahal perjanjian JOC dan
sahnya satu perjanjian harus dipenuhi antara lain syarat adanya suatu
dengan kesusilaan yang baik atau dengan ketertiban umum, dan Pasal
(1) huruf B Konvensi New York 1958 dan dengan Pasal V (1) (D). Pertamina
22
ketentuan tentang arbitrase dalam perjanjian-perjanjian tersebut,
2) Sesuai dengan ketentuan Konvensi New York 1958 Pasal V (1) (d),
susunan para arbitrator ini harus menurut prosedur yang telah disetujui
the arbitral authority of the arbitral procedure was not in accordance with
sesuai dengan Pasal II (3) Konvensi New York 1958 Juncto Keputusan
sebagai berikut:
1) Sesuai dengan ketentuan Pasal II (3), Konvensi New York 1958 yang
positif bagi RI, maka perjanjian-perjanjian JOC dan ESC dihentikan oleh
pemerintah RI, dengan Keppres No. 39 Tahun 1997 dan Keppres No. 5
menjadi null and void, inoperative of being performed, sesuai dengan apa
2) Klausul arbitrase yang tercantum dalam perjanjian JOC dan Pasal ESC
23
menjadi inoperative dan incapable of being performed sesuai dengan
Tidak ada jalan lain, karena Keppres No. 39 Tahun 1997 dan No. 5 Tahun
dan ESC termasuk juga Klausula arbitrase yang menjadi inoperative dan
dilaksanakan”).
menurut Pasal V (1) huruf A Konvensi New York 1958 pengakuan dan
mengindahkan hukum Indonesia sebagai hukum yang berlaku bagi JOC dan
24
arbitrase telah diderita oleh KBC. Selanjutnya Pertamina menguraikan
dapat membuktikan dengan bukti-bukti yang sah bahwa KBC telah siap
kontrak JOC dan kontrak ESC baru mencapai tahap eksplorasi sehingga
berdiri dan sama sekali belum menghasilkan produksi tenaga listrik dan
sebagaimana disyaratkan oleh JOC dan ESC belum teruji dan belum
keuntungan dan bunga sebesar kurang lebih US$ 270 juta yang harus
25
dan bersifat spekulatif dan fiktif tanpa disertai bukti-bukti yang nyata
ketentuan Konvensi New York 1958 batal adanya, atau harus dibatalkan.
proyek yang sama. Namun kegagalan ini tidak berarti bahwa Pertamina
tidak sudah berusaha secara maksimal akan tetapi dalam instansi terakhir
3) Dalam keadaan demikian sangat tidak adil jika majelis arbitrase yang kini
26
melampaui batas wewenang dalam menjatuhkan putusan arbitrase. Menurut
hukum Indonesia seperti juga dengan lain-lain sistem hukum, pengadilan tetap
proses arbitrase itu sendiri. Menurut Pertamina, pembatalan dari suatu putusan
disetujui para pihak dalam perjanjian arbitrase, atau jika majelis arbitrase telah
para pihak atau telah terjadi “berat sebelah” dari majelis arbitrase, atau tidak
para pihak secara sama dan tidak boleh berat sebelah seperti ditentukan Pasal
15 UNCITRAL Arbitration.
listrik, tetapi tim arbitrase telah memberikan mereka ganti rugi US$ 111,1 juta
untuk kerugian pembiayaan, US$ 150 juta untuk kerugian keuntungan (lost
profit), bunga 4% setahun mulai 1 Januari 2001 sampai dibayar lunas dan US$
27
(JOC dan ESC) dan menentukan tanggung jawab Pertamina untuk kehilangan
keuntungan (lost profit), secara spekulatif (tidak berdasar). Hal ini melanggar
dua proses arbitrase tersendiri, satu di bawah JOC dan yang kedua menurut
ESC, tetapi tim arbitrase telah menggabungkan kedua proses arbitrase dalam
Secara tegas para pihak telah sepakat dalam ESC, bahwa Pertamina
dan KBC bersama-sama harus memilih satu arbitrator menurut ESC, tetapi
Pertamina dan PLN berbeda sedangkan arbitrator sama telah dipilih oleh
oleh tim arbitrase ini sebagai pihak). Dengan demikian majelis arbitrase telah
melanggar prosedur yang secara tegas telah disepakati oleh para pihak dalam
Dari uraian di atas terlihat dengan jelas bahwa para pihak telah tidak
For The Settlement of Investment Disputes) telah diminta memilih untuk tiga
hukum Indonesia dan para arbitrator dengan demikian melanggar tata cara
28
berperkara yang layak (due process rights).
perjanjian terpisah, yakni (1) JOC antara KBC dan Pertamina serta ESC antara
untuk pembangkit tenaga listrik di area concessie Karaha dan Telaga Bodas.
Kedua kontrak ini, sekalipun ada hubungannya, tetapi jelas mengandung hak-
kontrak ini menunjuk KBC yang harus menanggung risiko dan pembiayaan
ekplorasi dan pembangunan pabrik pembangkit tenaga listrik ini. Dan baru jika
sesuai ketentuan kontrak, risiko biaya pengeluaran akan berpindah dari KBC
antara PLN dan KBC dan terhadap JOC ini dipakai hukum Indonesia.
ketentuan dan syarat dalam ESC ini semua tenaga listrik yang akan dihasilkan
oleh KBC. Juga di sini peranan Pertamina hanya sebagai agen perantara untuk
pembayaran yang akan dilakukan oleh PLN. Jadi jelas Pertamina tidak ada
kewajiban untuk membeli tenaga listrik menurut kontrak ESC dan Pertamina
mulai setelah ada hasil tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik
29
KBC.Dalam hal terjadi sengketa melalui arbitrase, di mana PLN di satu pihak
untuk bertindak sebagai ketua majelis arbitrase. Sebagai akibat dari krisis
ekonomi yang dialami pemerintah Indonesia sejak tahun 1997, maka IMF telah
dollar. Sebagai tindak lanjut saran IMF pemerintah menerbitkan Keppres No.
39 Tahun 1997 yang mengatur proyek mana dapat diteruskan, ditinjau kembali
US$ 500 juta (5 x lebih banyak daripada apa yang sudah dikeluarkannya)
pada 10 Februari 1998 KBC menyatakan telah terjadi force majeure dan
gugatan arbitrase terhadap Pertamina dan PLN dengan Notice of Claim dalam
D. Kesimpulan (Conclusion)
Kesimpulan yang dapat tarik pada permasalahan ini adalah bahwa Pihak
Karaha Bodas Company (KBC), LLC tidak berhak dan tidak memiliki kekuatan
30
Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) di Arbitrase UNCITRAL Jenewa,
3. Dalam kontrak jual beli energi (ESC) antara Pertamina dan KBC, disepakati
31
Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Hormat Saya,
Konsultan Hukum,
32