Anda di halaman 1dari 32

LEGAL MEMORANDUM

Pramoedyo Dhiemas Hertanto Law Office Consultant

Jl. MT Haryono 169 Jakarta Pusat

Telp, 021 553 898

Fax. 0341 566 505

Kepada : Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara


(Pertamina)

Dari : Pramoedyo Dhiemas Hertanto, SH., LLM.

Tentang : Gugatan Wanprestasi yang diajukan oleh Pihak Karaha Bodas


Company (KBC), LLC dalam Kontrak Joint Operation Contract (JOC) dan Energy
Sales Contract (ESC)

Tanggal : 30 November 2008

1
A. Kasus Posisi

1. Para Pihak Proyek Karaha Bodas

Dari hasil penelitian, ditemukan adanya 3 pihak yang terkait dengan

proyek Karaha Bodas sebagai berikut:

a. Karaha Bodas Company (KBC)

KBC adalah Perseroan Terbatas yang didirikan dan bergerak

berdasarkan hukum Kepulauan Cayman yang berkedudukan di gedung

Plaza Aminta Suite 901, Jl. TB Simatupang, Kav. 10, Jakarta 12310,

Indonesia. KBC diberi kuasa berdasarkan kontrak pengembangan proyek

geo-termal (sumber panas bumi) Karaha Bodas, 51 dengan kewajiban

untuk mengembangkan energi geo-termal berkapasitas 400 MW (empat

ratus mega watt) dengan membangun serta menjalankan fasilitas

pembangkitan tenaga listrik, yang selanjutnya menjual tenaga listrik

tersebut kepada PLN atas nama Pertamina.

b. Perusahaan Pertambangan Minyak & Gas Bumi Negara (Pertamina)

Pertamina adalah suatu perusahaan minyak dan gas bumi yang

didirikan dan bergerak berdasarkan hukum Indonesia, yang berkedudukan

di Jl. Kramat Raya No. 59, Lantai 4, Jakarta 10450, Indonesia. Pertamina

didirikan berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1971 dan dimiliki oleh

Pemerintah Republik Indonesia. Pertamina dipercaya untuk melakukan

eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber daya panas bumi dan

menghasilkan listrik di Indonesia.

c. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (disingkat PLN)

PLN adalah sebuah perusahaan yang didirikan dan bergerak

berdasarkan hukum Indonesia, yang berkedudukan di Jl. Trunooyo No.

2
135, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12160, Indonesia. Sebagai

perusahaan negara yang tunduk pada Peraturan Pemerintah Nomor 12

Tahun 1998, PLN adalah pemakai tenaga listrik yang mengusahakan

penyediaan listrik kepada umum di Indonesia.

2. Gambaran Umum Kasus Karaha Bodas

Tentang kasus karaha Bodas tersebut, dari hasil penelitian secara

kronologi dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Kontrak-kontrak

Pada 28 November 1994, KBC dan Pertamina menandatangani

sebuah perjanjian, yaitu kontrak operasi bersama atau Joint Operation

Contract (JOC). Di dalam kontrak tersebut ditentukan bahwa Pertamina

bertanggung jawab untuk mengelola pengoperasian geo-termal di dalam

proyek, sedangkan KBC bertindak sebagai kontraktor. Dalam kontrak

dengan tegas disebutkan bahwa KBC diwajibkan untuk mengembangkan

enerji geo-termal di daerah proyek, serta to build, own and operate

generating facilities (untuk membangun, memiliki, dan mengoperasikan

pembangkit tenaga listrik). Pada tanggal tersebut PLN di satu pihak dan

KBC dengan Pertamina di lain pihak juga menandatangani sebuah kontrak

yaitu Energy Sales Contract (ESC) yang isinya menentukan bahwa PLN

setuju untuk membeli dari Pertamina tenaga listrik yang berasal dari

fasilitas pembangkitan tenaga listrik yang dihasilkan oleh KBC (sebagai

kontraktor dari Pertamina berdasar JOC).

b. Pelaksanaan awal proyek

Sejak penanda-tanganan kontrak tersebut, khususnya antara tahun

1995 dan 1997, KBC telah mulai serta menyelesaikan sebagian program

3
eksplorasi dan pemboran. Khususnya pada 12 Agustus 1997, dalam

pertemuan Komite Bersama diputuskan bahwa KBC harus menyerahkan

Notice of Resource Confirmation (NORC) atau pemberitahuan pembenaran

adanya sumber daya alam dengan kapasitas sebesar 55 MW di wilayah

Karaha pada atau sekitar 15 September 1997, dan kapasitas sebesar 55

MW untuk Telaga Bodas pada 1 November 1997. KBC juga diminta untuk

menyerahkan Notice of Intent to Develop (NOID) atau pemberitahuan untuk

melakukan pengembangan kapasitas listrik sebesar 110 MW pada tanggal

20 Desember 1997. Atas kewajiban-kewajiban tersebut, pada tanggal 18

September KBC telah menyerahkan kepada Pertamina NORC yang

pertama untuk kapasitas sebesar 60 MW di Karaha.

c. Penangguhan proyek

Atas saran International Monetary Fund (IMF), pada tanggal 20

September 1997, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan

Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997 tentang Penangguhan Proyek

Pemerintah, yang isinya: “untuk memelihara kelangsungan ekonomi dan

secara umum kemajuan ekonomi nasional, perlu dilakukan langkah

penanggulangan fluktuasi keuangan dan akibat yang ditimbulkan.”

Dalam rangka penanggulangan masalah tersebut, Pasal 5 Keppres

menyatakan bahwa, “perlu diambil langkah penundaan/peninjauan kembali

sejumlah proyek, sebanyak 75 proyek, termasuk proyek Karaha Bodas.”

Namun demikian, para pihak menganggap bahwa penangguhan proyek

Karaha Bodas tidak akan berlangsung lama, bahkan Pertamina dan PLN

dalam pertemuan Komite Bersama 14 Oktober 1997 menyatakan

keyakinannya bahwa status proyek akan dipulihkan kembali.

4
Prediksi yang mencerminkan sikap optimis tersebut akhirnya terbukti

pada 1 November 1997, yaitu pemerintah mengeluarkan Keputusan

Presiden Nomor 47 Tahun 1997 tentang Tata Ruang Wilayah Nasional

yang berisi perintah agar beberapa proyek yang tertunda termasuk proyek

Karaha Bodas dapat diteruskan lagi. Dengan adanya Keppres No. 47

Tahun 1997 tersebut, KBC melanjutkan kembali aktivitas eksplorasi dan

pengembangan proyek Karaha Bodas tersebut.

Pada 16 Desember 1997, KBC menyerahkan NORC kepada

Pertamina yang menunjukkan kemungkinan adanya kapasitas sebesar 210

MW sumber daya alam di wilayah Karaha dan Telaga Bodas. KBC

menyampaikan pemberitahuan tersebut dengan maksud untuk

mengembangkan pembangkit tenaga listrik sebesar jumlah tersebut, yang

hal ini dilanjutkan dengan aktivitas eksplorasi dan pengembangan oleh

KBC. Namun demikian, pada tanggal 10 Januari 1998 proyek Karaha

Bodas kembali ditunda dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor

5 Tahun 1998 tentang Pembatalan Proyek Pemerintah. Keppres tersebut

membatalkan Keppres No. 47 Tahun 1997 dan mengkonfirmasikan

penundaan proyek Karaha Bodas.

Dengan dikeluarkannya Keppres No. 5 Tahun 1998 tersebut, KBC

dengan pertimbangan bahwa proyek Karaha Bodas akan tertunda untuk

jangka waktu yang tidak pasti, pada tanggal 30 April 1998 menyampaikan

gugatan arbitrase (Notice of Arbitration) kepada Pertamina, PLN dan

Pemerintah Indonesia (Departemen Pertambangan dan Energi) untuk

mengadakan proses pemeriksaan arbitrase di Jenewa, Swiss Antara

dikeluarkannya Keppres No. 5 Tahun 1998 (pada 10 Januari 1998) dan

5
pemberitahuan untuk arbitrase (pada 30 April 1998) terdapat beberapa

peristiwa yang perlu mendapat perhatian sebagai berikut:

1) Pada Januari 1998 KBC dan Pertamina memutuskan untuk


secara bersama-sama melakukan usaha untuk meyakinkan
pemerintah Indonesia agar membebaskan proyek Karaha
Bodas dari keputusan Keppres No. 5 Tahun 1998. Atas
permohonan Pertamina, KBC mengirim surat pada tanggal 23
Januari 1998, yang isinya argumentasi untuk mendukung
pembatalan keputusan penangguhan proyek tersebut. Selain
itu, Pertamina menyampaikan kepada Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 11
Februari 1998, yang isinya meminta pemerintah
mempertimbangkan kembali kelanjutan proyek “dalam waktu
dekat.”
2) Sementara itu sebelumnya, 10 Februari 1998, KBC telah
mengirim pemberitahuan kepada Pertamina dan PLN bahwa
pemberlakuan Keppres No. 5 Tahun 1998 dan No. 39 Tahun
1997 merupakan keadaan memaksa (force majeur)
berdasarkan kontrak JOC dan ESC. Untuk itu KBC
menyarankan untuk mengadakan pertemuan segera dengan
pihak Pertamina dan PLN, di mana KBC memiliki hak untuk
menyampaikan klaim.
3) Pada 5 Maret, KBC mengirim kepada Pertamina program
kerja dan anggaran yang telah diperbaiki untuk tahun 1998
yang memperhitungkan penangguhan proyek didasarkan
pada perkiraan bahwa pekerjaan akan dilanjutkan pada
kuartal ke-4 tahun tersebut. Pertamina menyetujui program
kerja dan anggaran yang disampaikan oleh KBC tersebut
pada 11 Maret 1998, sesuai dengan perbaikan yang telah
dilakukan.
4) Pada 6 Maret 1998, PLN menulis kepada Pertamina dan KBC
yang isinya adalah: “Berdasarkan Keputusan Presiden
tersebut di atas (No. 39/1997 dan No. 5/1998) proyek geo-
termal Karaha dikategorisasikan sebagai proyek yang
ditangguhkan. Oleh sebab itu, Pertamina dan Perusahaan
sebagai pihak yang dikontrak di bawah kontrak penjualan
energi (ESC) harus tunduk kepada Keputusan Presiden
tersebut. Akibatnya, seluruh aktivitas yang telah dimulai atau
dilaksanakan oleh anda yang tidak tercantum di dalam
keputusan presiden tersebut sehubungan dengan proyek
geo-termal Karaha harus menjadi tanggungan dan risiko
anda.”
5) Pada 30 April 1998, KBC mengajukan pemberitahuan untuk
penyelesaian melalui Arbitrase.

6
B. Pokok Permasalahan (Issues)

1. Apakah pihak Pertamina telah melanggar kewajiban berdasarkan baik kontrak

ESC maupun kontrak JOC?

2. Apakah kontrak/perjanjian jual beli energi (ESC) dan/atau perjanjian kerja

sama operasional (JOC) harus diakhiri?

3. Bagaimana Dengan Putusan Arbitrase UNCITRAL Yang Menyatakan Bahwa

Pertamina Telah Melanggar Kontrak ESC & JOC?

C. Analisa (Analysis)

1. Apakah pihak Pertamina telah melanggar kewajiban berdasarkan baik

kontrak ESC maupun kontrak JOC?

Tidak, Pihak Pertamina dalam posisi sebagai pihak yang tidak dapat

dipersalahkan dan sebaliknya menyatakan bahwa, pihak KBC dengan cara

yang tidak benar telah mencoba untuk membuat pihak Pertamina

bertanggungjawab atas tindakan yang diambil oleh Pemerintah Republik

Indonesia walaupun majelis arbitrase telah mengeluarkan putusan awalnya

pada 30 September 1999 bahwa tindakan Pemerintah tersebut bukan

merupakan pelanggaran kontrak yang dilakukan oleh PLN atau Pertamina.

Pertamina sudah menjelaskan bahwa secara tidak jujur KBC telah

membedakan antara Keputusan Presiden dan kewajiban Pertamina untuk

mentaati Keputusan Presiden tersebut. Pertamina menekankan bahwa tidak

seorangpun di antara mereka yang bertanggungjawab terhadap keluarnya

keputusan tersebut.

Sebaliknya, pihak Pertamina dengan itikad baik telah berusaha untuk

membujuk Pemerintah agar membebaskan proyek Karaha Bodas dari

7
Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998. Berbagai upaya tersebut sudah

dilakukan oleh Pertamina sejak proyek masih dalam taraf awal pembangunan;

proyek pembangkit tenaga listrik belum dibangun sehingga belum ada

kewajiban membayar. Pertamina menekankan bahwa usaha tersebut tetap

dilanjutkan bahkan setelah pihak KBC menghentikan pelaksanaan

pekerjaannya yang sudah tercantum di dalam kontrak sebagaimana ditulis di

dalam surat yang dikirim kepada Pemerintah pada tanggal 11 Juni 1998.

Di samping itu, sebelumnya Pertamina juga berusaha untuk dapat

membatalkan Keputusan Pemerintah No. 39 Tahun 1997, dan hal itu telah

berhasil dilakukan dengan dikeluarkannya Keppres No. 47 Tahun 1997.

Kenyataan bahwa usaha Pertamina telah terbukti gagal dengan dikeluarkannya

Keputusan No. 5 Tahun 1998 memperlihatkan bahwa tuntutan pihak KBC

tidaklah didasarkan atas perbuatan (upaya) Pertamina namun berdasarkan

keputusan itu sendiri.

Dalam ini menilai bahwa pihak KBC telah mencoba untuk

mempengaruhi majelis arbitrase agar membatalkan putusan awal, dengan

menggunakan Keputusan Presiden sebagai alasan bahwa Pertamina telah

melanggar kontrak. Tindakan ini tidak sejalan dengan prosedur yang telah

ditentukan oleh majelis arbitrase sendiri yang, di dalam putusan awalnya,

membatasi masalah-masalah yang harus diselesaikan dalam waktu ini.

Menurut kami (pertamina), di dalam putusan awal, majelis arbitrase telah

memutuskan dengan benar bahwa keadaan memaksa yang timbul sebagai

akibat tindakan Pemerintah bukanlah tindakan pelanggaran kontrak JOC dan

ESC. Keadaan memaksa tersebut juga mengampuni KBC untuk tidak

melakukan pekerjaannya.

8
Bahkan Pertamina menyatakan pula bahwa tindakannya dan PLN untuk

menolong KBC dengan cara mendorong Pemerintah Indonesia mengambil

tindakan merupakan bukti bahwa ia tidak memiliki kewajiban kontrak akibat

tindakan Pemerintah mengeluarkan keputusan pemberhentian proyek.

Pertamina menolak tuduhan bahwa ia telah melanggar kewajiban

karena telah memberikan jaminan kepada KBC untuk tetap melaksanakan

proyek. Sebaliknya, KBC-lah yang melanggar kewajiban karena secara

sepihak memutuskan untuk tidak meneruskan kontrak dalam waktu sebulan

setelah keputusan presiden tertanggal 10 Januari 1998 keluar.

Berlawanan dari pernyataan KBC, Pertamina tidak melanggar atau

membatalkan kontrak. Secara khusus, surat PLN tertanggal 6 Maret 1998

kepada KBC dan Pertamina yang menyatakan bahwa seluruh pihak harus

tunduk kepada Keputusan Presiden, dan jika tidak, segala tindakan masing-

masing adalah tanggungan sendiri, pada prinsipnya menyampaikan bahwa

KBC dapat terus melanjutkan proyek, namun karena penundaan tidak diketahui

akan berlangsung berapa lama, tidak jelas bentuk risiko yang harus

ditanggung. Hal ini bukanlah penolakan terhadap kontrak.

Tambahan pula, KBC tidak dapat berpatokan pada surat tanggal 6

Maret 1998 untuk menuduh PLN melanggar kontrak karena melalui surat

tanggal 10 Februari 1998, KBC telah mengumumkan bahwa pihaknya tidak

melanjutkan proyek. Sebaliknya, persetujuan yang dikeluarkan Pertamina

terhadap Rencana Kerja dan Anggaran KBC yang dikeluarkan pada tanggal 11

Maret 1998, menunjukkan bahwa Pertamina masih berharap proyek tersebut

dapat dilanjutkan kembali.

9
Akhirnya di dalam surat tertanggal 30 April 1998 (yang menurut Bapak

Sulaiman, salah satu saksi Pertamina, sesungguhnya ditulis pada tanggal 25

Juni 1998)dan pada tanggal 4 Desember 1998, KBC mengkonfirmasikan

bahwa tidak terdapat konflik antara KBC dan Pertamina "pada tanggal tersebut

ataupun sebelumnya".

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Pertamina menekankan dalam

hal apapun, bahwa KBC telah gagal membuktikan bahwa pihak tersebut siap,

bermaksud dan sanggup melaksanakan perjanjian karena pihak tersebut tidak

memiliki dan tidak dapat memenuhi pembiayaan yang diwajibkan dan tidak

menunjukkan bahwa pihak tersebut sanggup membangun pembangkit tenaga

listrik berkapasitas 210 MW. Dengan demikian, pihak KBC tidak dapat

menuntut ganti kerugian atas tuduhan pelanggaran kontrak serta tidak memiliki

dasar untuk menerima pengiriman uang seperti yang diperkirakan.

2. Apakah kontrak/perjanjian jual beli energi (ESC) dan/atau perjanjian kerja

sama operasional (JOC) harus diakhiri?

Pertamina tidak perlu mengakui bahwa mereka telah menolak kontrak

yang sudah disepakati dan menekankan bahwa konsep penolakan kontrak

yang sudah diantisipasi tidak ada di dalam hukum Indonesia. Walaupun

mereka (pihak KBC) mengakui bahwa pemutusan kontrak yang berdasarkan

hukum dapat saja terjadi dalam kasus pelanggaran, akan tetapi mereka

menekankan bahwa satu pihak tidak dapat mempercepat pelaksanaan

kewajiban pihak lainnya. Selanjutnya mereka (pihak KBC) menyatakan bahwa

pemutusan kontrak bukanlah tuntutan atas tindakan yang berhubungan dengan

pemerintah sesuai dengan isi Kontrak.

10
Karena menyangkut masalah prinsip, Pertamina harus menolak bahwa

KBC berhak memperoleh ganti rugi atas ongkos yang dikeluarkan untuk

pembangunan proyek. Hal ini didasarkan bahwa KBC sendiri mengakui dengan

suratnya kepada Pertamina tertanggal 9 September 1997 dan Laporan

Keuangan, bahwa pada saat kontrak JOC dan ESC disepakati bersama, pihak

ini telah mengasuransikan risiko yang mungkin terjadi; risiko tersebut yaitu,

apabila belum ada keuntungan yang cukup dari hasil penjualan listrik kepada

PLN, yang dapat menutupi ongkos pembiayaan, maka mereka tidak dapat

memperoleh ganti rugi atas biaya yang telah dikeluarkan.

KBC harus menanggung sendiri konsekuensi dari tidak adanya

keuntungan yang dihasilkan untuk menutupi biaya yang sudah dikeluarkan.

Karena dalam hal ini Pertamina bahwa sebagai pihak yang mengajukan

permohonan pemberhentian proyek, bahwa mengenai tanggapan KBC yang

telah mengeluarkan ongkos yang sia-sia karena tidak tepat dan tidak efisien

dalam melakukan eksplorasi sehingga dalam kedudukannya Pertamina sendiri

tidak memperoleh keuntungan apapun.

Selain itu, KBC selama dua tahun melakukan eksplorasi di utara Karaha,

daerah yang tidak produktif, dan mereka tidak mendapat manfaat apa-apa dari

program penelitian geologi yang mengukur kadar konduktivitas listrik pada batu

yang apabila tidak dilakukan sesungguhnya dapat menghemat jutaan dolar.

KBC pada tahap berikutnya telah juga salah memilih daerah proyek yaitu

daerah kawah di Telaga Bodas, yang disinyalir mengandung zat-zat kimia yang

membuat daerah tersebut tidak aman untuk pengolahan sumber panas bumi,

akibatnya, dari segi komersialisasi usaha pembangunan tersebut tidak praktis.

11
Meskipun biaya untuk eksplorasi dan pembangunan sudah dikeluarkan

oleh KBC pertamina tidak seharusnya mengganti rugi atas biaya yang

dikeluarkan untuk eksplorasi dan pembangunan, bahwa biaya yang di klaim

KBC termasuk jutaan dolar yang telah dikeluarkan oleh Pertamina dengan

tujuan pembangunan dan infrastruktur serta untuk pelatihan para teknisi tidak

lagi bermanfaat apa-apa sebagaimana diakui oleh KBC sendiri di dalam upaya

pendekatannya dengan pemerintah Indonesia pada September 1997.

Pertamina menyampaikan pula masalah pengeluaran tertentu yang

dikeluarkan oleh pemegang saham KBC yaitu PT Sumarah. Pengeluaran

tersebut dinyatakan sebagai "ongkos pembiayaan" dan "pengeluaran kantor

pusat” yang jumlahnya sebesar beberapa persen yang telah disetujui dari

pengeluaran total KBC. Pertamina seharusnya tidak mengganti pembayaran

kepada PT Sumarah dalam bentuk apapun yang disebutnya sebagai

"pembayaran tidak tercatat dan tidak beralasan."

Akhimya, Pertamina harus menolak dengan menyatakan bahwa putusan

apapun terhadap KBC sehubungan dengan biaya pembangunan tersebut

adalah dalam bentuk Rupiah Indonesia, dan bukan Dolar Amerika, serta harus

berdasarkan pengeluaran dalam nilai uang Rupiah sesuai dengan nilai tukar

uang pada saat biaya tersebut dikeluarkan. Dengan mempertimbangkan

turunnya nilai uang Rupiah terhadap Dolar Amerika secara drastis setelah

hampir seluruh biaya dikeluarkan, Pertamina harus menyatakan bahwa sangat

melampaui batas dan tidak adil apabila putusan ganti rugi dihitung dalam Dolar

Amerika.

Disamping itu, pihak KBC, menyatakan bahwa telah kehilangan modal

yang ditanam, KBC mohon ganti kerugian jenis kedua, yaitu kehilangan laba

12
sehubungan dengan hilangnya kesempatan pembangunan geo-termal. Dalam

hal ini, walaupun Pertamina tidak menyangkal bahwa menurut hukum

Indonesia, sebagaimana menurut semua sistem hukum lainnya, kehilangan

laba (lucrim cessans) merupakan suatu ganti rugi yang dapat dikenakan

terhadap suatu pihak yang melanggar kontrak, ditambah dengan biaya-biaya

yang telah dikeluarkan sebelumnya (damnum emergens). Namun dengan

demikian, harus menolak tanggung jawab untuk pelanggaran kontrak atau

semacamnya, Pertamina harus menegaskan bahwa KBC lalai membuktikan

bahwa mereka itu siap, bersedia dan sanggup untuk melaksanakan JOC dan

ESC. Secara khusus Pertamina juga menegaskan bahwa KBC tidak dapat

memperoleh pembiayaan yang dipersyaratkan untuk menyelesaikan proyek,

yang diperkirakan oleh KBC sendiri akan melampaui US $ 500 (lima ratus) juta

dolar. Sebagaimana diakui oleh KBC bahwa pada saat itu tidak tersedia

pembiayaan tanpa perlindungan untuk pelaksanaan proyek karena guncangan

ekonomi dan politik yang terjadi di Indonesia (dan bukan karena Keputusan

Presiden atau tindakan apapun dari KBC).

Pertamina harus menyatakan bahwa untuk mengatasi masalah ini, KBC

telah menyatakan bahwa salah satu pemegang sahamnya, FLP Energy Inc.,

akan menyediakan pembiayaan yang diperlukan untuk waktu yang tidak

ditentukan sampai kestabilan politik pulih di Indonesia dan pembiayaan proyek

kembali tersedia.

Pertamina menantang pula gagasan yang disampaikan KBC bahwa ia

telah membuktikan kemampuannya untuk membangkitkan 210 MW tenaga

listrik berdasarkan sumber panas bumi yang tersedia. Padahal sebetulnya baru

di dalam NORC yang diperbaharui pada bulan Desember 1997 dan NOID

13
(yang menurut pandangan Pertamina sangat mencurigakan) KBC menyatakan

bahwa ia memperkirakan dapat memproduksi lebih dari 110 MW tenaga listrik.

KBC menyatakan bahwa rencana kerja 1998 yang disiapkan oleh KBC

menunjukkan bahwa aktivitas eksplorasi 1997 membuktikan dapat

menghasilkan 55 MW kapasitas produksi dan bahwa ada rencana yang akan

memusatkan perhatiannya untuk membuktikan adanya cadangan tambahan

yang cukup untuk mengembangkan sampai pada 110 MW.

Konsultan KBC yang independen, GeothermEx, telah memberikan

rekomendasi jauh di bawah 210 MW sebagai angka kapasitas listrik yang akan

dibangun. Seluruh analisis ahli-ahli yang laporannya telah diajukan oleh

Pertamina dalam sidang perkara ini telah menegaskan bahwa perkiraan

cadangan KBC didasarkan pada perkiraan yang tidak realistis dan tidak

terbukti dan bahwa cadangan yang dieksploitasi adalah jauh di bawah angka

210 MW yang dikemukakan oleh KBC. Para ahli tersebut termasuk ahli dari

KBC yaitu GeothermEx, telah menyatakan adanya persoalan dari

kandungan kimia tertentu dari geo-termal yang akan digarap. Persoalan

tersebut di dalam pandangan Pertamina tidak mudah untuk diselesaikan dan

untuk mengatasinya diperlukan modal tambahan. Oleh sebab itu, KBC telah

gagal untuk membuktikan kesanggupannya dalam membangun pembangkit

tenaga listrik berkapasitas 210 MW.

Sehubungan dengan teori “pengiriman pembayaran,” bahwa kontrak

ESC tidak memberikan hak kepada KBC atas pengiriman pembayaran tersebut

sampai perusahaannya membangun unit yaitu telah mencapai tanggal operasi

pertama. Selanjutnya, KBC harus mengirim faktur untuk memperoleh

pengiriman pembayaran yang seyogyanya harus dibayar setiap bulan, namun

14
ia tidak pernah mengirim faktur tersebut. Akhirnya ketentuan mengenai

pengiriman pembayaran tidak dapat diterapkan karena tidak ada NOID yang

sah dan tidak ada dasar sama sekali untuk menentukan kapasitas yang dinilai

per unit (sebagaimana didefinisikan oleh ESC) dari non-existent unit (unit yang

tidak ada) dari KBC. Kalkulasi “kehilangan laba” yang dibuat KBC, berdasarkan

laporan Profesor Ruback, di dalam pandangan Pertamina tidak dapat diterima

karena didasarkan atas berbagai asumsi yang tidak realistis.

Pertama, di dalam laporannya, Profesor Ruback hanya menerima

laporan yang diberikan oleh KBC mengenai cash flow pengoperasian yang

diproyeksikan untuk masa mendatang. Cash flow tersebut memperkirakan

antara lain, bahwa KBC membangun fasilitas pembangkit tenaga listrik

berkapasitas 210 MW pada akhir 2001 dan pembangunan tersebut akan

diteruskan selama 30 tahun dengan kapasitas penuh, tanpa alternatif lainnya.

Selanjutnya, proyeksi pengoperasian cash flow dipotong oleh Profesor Ruback

menjadi nilai sekarang yang tercantum pada tanggal 10 Januari 1998, yaitu

pada saat keluarnya keputusan Presiden yang ditetapkan sebagai “tanggal

pelanggaran kontrak”, dengan potongan harga 8,5%. Angka terakhir dianggap

sebagai risk-free-rate (tarif harga bebas risiko) yaitu 5,8% dan risk premium

sebesar 2,7% berdasarkan harga penjualan menurut saham CalEnergy, yaitu

perusahaan yang dinyatakan sebagai perusahaan yang sejajar tingkatannya

dengan KBC, dan Pertamina menolak pandapat ini.

Penggunaan potongan tariff sebesar 8,5% sama sekali telah

mengecilkan arti biaya modal yang sesungguhnya di tahun 1998 dan dengan

demikian membesar-besarkan pengertian kehilangan laba karena bunga biaya

modal adalah sebesar 22% yaitu angka yang sama dengan hasil obligasi

15
pemerintah Indonesia pada saat itu. Sebagaimana diperlihatkan oleh laporan

salah satu ahli Pertamina, Mr. Norris, proyek tersebut berada pada titik break

even (titik yang menunjukkan pendapatan = biaya) pada potongan tarif sebesar

20% walaupun telah disetujui oleh KBC seluruh asumsi yang mendasari

penerimaan cash flow yang diproyeksikan tersebut.

Bahwa pada kasus ini jika menurut hukum Indonesia kerugian harus

dibuktikan dan jika kehilangan laba di masa akan datang tidak dapat

ditunjukkan maka tidak akan diberikan ganti rugi. Bahwa dalam kasus ini untuk

penentuan ganti rugi tidaklah seharusnya berdasarkan prinsip keadilan, yaitu

ex aequo et bono (dan hal ini dilarang dilakukan oleh arbitrator karena tidak

disepakati oleh para pihak), seperti ditentukan didalam Pasal 631 KUHPerdata

dan Pasal 33 (1) Peraturan UNCITRAL.

Karena Untuk menentukan besarnya jumlah ganti rugi yang berhak

diterima oleh KBC, KBC tidak memiliki rujukan untuk dijadikan patokan sebagai

dasar alternatif untuk menentukan jumlah tersebut. Sebagaimana ditunjuk

secara tepat oleh Pertamina bahwa kewajiban melakukan pembayaran

tersebut didahului dengan perkiraan bahwa suatu unit telah dibangun, yaitu

pada saat tanggal kegiatan pertama dimulai. Selanjutnya pembayaran hanya

dilakukan apabila terdapat apa yang disebut keadaan memaksa dan selama

tindakan keadaan memaksa berlanjut. Hal demikian ini tidak dapat dijadikan

dasar untuk menentukan kehilangan laba selama 30 tahun jangka waktu

berlakunya ESC.

Pertimbangan yang paling penting untuk dicantumkan di dalam kontrak telah

disepakati bersama di antara para pihak. JOC dan ESC secara bersama-sama

merupakan jaminan bagi KBC bahwa jika tenaga listrik telah siap untuk dijual,

16
suatu langganan, yaitu PLN telah bersedia, yang akan terikat menurut kontrak

untuk jangka waktu tiga puluh tahun untuk membeli seluruh produksi dengan

harga yang didasarkan atas rumusan yang telah disepakati terlebih dahulu,

dan yang akan dibayar dalam dolar Amerika. Kewajiban PLN seharusnya

dijamin oleh dukungan surat dari Menteri Keuangan ataupun Menteri

Pertambangan dan Energi Indonesia. Syarat ini sesungguhnya ditentukan oleh

sistem perbankan untuk memperoleh kembali pinjaman atas pembiayaan yang

diperlukan untuk pembangunan proyek. Selanjutnya campur tangan apapun

dari pemerintah untuk mempengaruhi pelaksanaan kontrak adalah termasuk

keadaan memaksa yang membebaskan KBC dan bukan Pertamina dari

kewajibannya. Oleh sebab itu risiko yang paling jelas dihadapi oleh penanam

modal asing terutama yang berkecimpung di dalam proyek seperti ini, misalnya

risiko komersial terhadap persediaan pasar, fluktuasi harga, inflasi nilai tukar

uang, dan risiko campur tangan pemerintah dapat dihilangkan dengan dasar

persetujuan kontrak para pihak. Pertamina secara benar menggarisbawahi

risiko yang mungkin mempengaruhi hasil ekonomi proyek tersebut selama

pembangunan berlangsung seperti kemungkinan penundaan pembangunan

pembangkit tenaga listrik dan pengoperasian besarnya persediaan yang telah

diperkirakan oleh KBC, meskipun pembiayaan yang sesungguhnya tersedia

untuk pembangunan proyek tersebut adalah sebesar jumlah biaya yang

disetujui. Risiko-risiko tersebut, walaupun memang harus dipertimbangkan,

tidak terlalu penting di hadapan majelis arbitrase, dibanding risiko akibat

pengabaian perlindungan terhadap KBC.

17
3. Bagaimana Dengan Putusan Arbitrase UNCITRAL Yang Menyatakan

Bahwa Pertamina Telah Melanggar Kontrak ESC & JOC

Menurut Pertamina, putusan arbitrase UNCITRAL 18 Desember 2000

memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut:

a. Majelis arbitrase telah melampaui wewenangnya karena tidak

mempergunakan hukum Indonesia, padahal hukum Indonesia merupakan

pilihan hukum (choice of law) yang harus dipergunakan. Untuk itu Pertamina

menguraikan lebih jauh, yaitu:

1) Telah disebutkan dalam hal timbul sengketa antara Pertamina dan KBC,

penyelesaiannya akan ditempuh dengan arbitrase berdasarkan ketentuan

Arbitrase UNCITRAL (UNCITRAL Arbitration Rules). Hukum yang telah

dipilih oleh Pertamina dan KBC adalah hukum Indonesia secara berturut-

turut dalam Perjanjian JOC Pasal 20, dan dalam Perjanjian ESC Pasal

12.

2) Majelis arbitrase, berdasarkan UNCITRAL Arbitration Rules, Pasal 33

ayat (1) seharusnya mempergunakan hukum yang telah dipilih oleh

Pertamina dan KBC, yang adalah hukum Indonesia.

3) Namun ternyata majelis arbitrase di Jenewa, dalam pertimbangan

Putusan Arbitrase UNCITRAL tidak menghiraukan dan telah

mengenyampingkan dan telah melanggar ketentuan-ketentuan hukum

Indonesia yang seharusnya diperlukan.

4) Adapun ketentuan-ketentuan hukum Indonesia yang telah dilanggar oleh

majelis arbitras dalam Perjanjian JOC adalah sebagai berikut:

a) Putusan Arbitrase Jenewa tidak mengindahkan dan secara keliru

menafsirkan ketentuan tentang force majeure menurut hukum

18
Indonesia. Beberapa argumentasi yang digunakan adalah:

i. Putusan arbitrase tertanggal 18 Desember 2000 secara keliru


mempertimbangkan bahwa menurut Pasal 15.2 (e) JOC dan
Pasal 9.2 (e) ESC maka suatu peristiwa yang berhubungan
dengan pemerintah (Government Related Event) dianggap
sebagai peristiwa force majeure (keadaan memaksa) yang
hanya berlaku terhadap KBC dan tidak berlaku bagi Pertamina.
ii. Para arbitrator dalam memberikan pertimbangannya
berpendapat bahwa dikeluarkannya Keputusan Presiden RI
No. 5 Tahun 1998 dianggap sebagai suatu keadaan force
majeure hanya bagi KBC sehingga KBC dibenarkan untuk
tidak melakukan dan memenuhi kewajibannya dari JOC dan
ESC sedangkan bagi Pertamina Keputusan Presiden No. 5
Tahun 1998 tidak dapat dijadikan alasan force majeure
sehingga tetap harus melaksanakan segala kewajibannya
dalam JOC dan ESC. Dalam kaitan itu, tidak dipenuhinya
kewajiban-kewajiban oleh Pertamina tersebut, maka Pertamina
dianggap telah melakukan wanprestasi dan karenanya
dihukum untuk membayar kerugian kepada KBC kurang lebih
sebesar US$ 270.000.000,- (dua ratus tujuh puluh juta dollar
Amerika Serikat).
iii. Pertimbangan putusan arbitrase tersebut adalah keliru karena
adanya keharusan untuk menangguhkan proyek PLTP Karaha
(PLN Tahap I) sebagaimana ditentukan dalam Keputusan
Presiden adalah bukan karena kesalahan Pertamina tetapi
adalah suatu tindakan kebijaksanaan pemerintah untuk
mengatasi gejolak krisis moneter yang dihadapi oleh
Indonesia yang berada di luar kemampuan Pertamina untuk
dapat merubahnya.
iv. Perintah penangguhan yang dikeluarkan oleh Keputusan
Presiden tersebut bersifat memaksa dan merupakan suatu
peristiwa force majeure yang berlaku baik bagi Pertamina
maupun KBC.
v. Walaupun ketentuan dalam Perjanjian JOC dan Perjanjian ESC
menyatakan bahwa suatu peristiwa yang berhubungan dengan
pemerintah dianggap sebagai suatu peristiwa force majeure
(keadaan memaksa) berkenaan dengan KBC tetapi pada
kenyataannya Pertamina sebagai BUMN harus tunduk dan
mematuhi Keputusan Presiden sehingga force majeure
berlaku juga bagi Pertamina dan KBC.
vi. Berdasarkan Pasal 1339 KUHPerdata maka suatu persetujuan
tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di
dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifat
persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau
undang-undang. Bahwa menurut rasa keadilan dan kebiasaan
dan undang-undang maka suatu peristiwa force majeure
terutama satu kebijaksanaan pemerintah berlaku terhadap
semua pihak termasuk Pertamina.
b) Adanya peristiwa force majeure menurut hukum Indonesia
19
membebaskan Pertamina dari kewajiban untuk membayar penggantian

biaya, kerugian, dan bunga.

c) Karena Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 tersebut

merupakan suatu peristiwa force majeure maka berdasarkan Pasal

1245 KUHPerdata tidak seharusnya putusan arbitrase menghukum

Pertamina untuk membayar kerugian sebesar kurang lebih US$

270.000.000,- (dua ratus tujuh puluh juta dollar Amerika Serikat).

b. Kelemahan lainnya adalah putusan Arbitrase UNCITRAL pelaksanaannya

harus ditolak karena bertentangan dengan ketertiban umum Republik

Indonesia. Penasihat hukum Pertamina dalam penjelasannya menggunakan

beberapa argumentasi sebagai berikut:

1) Pasal 1337 menentukan bahwa suatu causa adalah terlarang apabila hal

tersebut dilarang oleh Undang-undang atau bertentangan dengan

ketertiban umum. Bahwa sebagaimana telah dikemukakan maka

Perjanjian JOC dan Perjanjian ESC tidak dapat diteruskan

pelaksanaannya karena telah ditangguhkan oleh Keputusan Presiden RI.

2) Sebagaimana dapat dibaca dari pertimbangan yang diberikan dalam

Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 tersebut maka dalam upaya

mengatasi gejolak moneter yang dihadapi oleh negara Indonesia yang

timbul sejak tahun 1997 dan demi untuk penghematan di semua bidang

maka pemerintah Indonesia menganggap perlu untuk menangguhkan

proyek-proyek yang membutuhkan dana yang besar antara lain proyek

PLTP Karaha (Tahap I PLN) yang diadakan berdasarkan perjanjian JOC

dan ESC.

3) Dengan demikian Keputusan Presiden RI No. 5 Tahun 1998 tersebut

20
dikeluarkan oleh Pemerintah RI demi kepentingan penyelamatan negara

dan rakyat Indonesia yang sedang menghadapi krisis ekonomi khususnya

yang diakibatkan antara lain oleh depresiasi mata uang rupiah terhadap

nilai tukar US dollar yang pada saat itu mencapai lebih dari 30% sehingga

apabila proyek PLTP tersebut diteruskan pasti akan menimbulkan beban

keuangan yang sangat berat bagi negara dan rakyat Indonesia. Oleh

karenanya demi untuk menjaga ketertiban umum maka pemerintah

Indonesia memandang perlu untuk menangguhkan proyek PLTP Karaha

(Tahap PLN I) tersebut.

4) Oleh karena itu putusan arbitrase internasional tanggal 18 Desember

2000 tidak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan ketertiban

umum Republik Indonesia. Alasan ketertiban umum juga ditentukan

dalam Pasal 66 UU Arbitrase No. 30 Tahun 1999 sebagai syarat yang

harus dipenuhi oleh suatu putusan arbitrase internasional untuk dapat

dilaksanakan.

c. Perjanjian JOC dan ESC tidak mempunyai kekuatan hukum karena

pelaksanaannya mengandung suatu causa yang terlarang. Sebagai dasar

alasannya, Pertamina menyatakan bahwa:

1) Dalam rangka pelaksanaan Perjanjian JOC dan ESC, yang tetap

dilakukan KBC meskipun telah diterbitkan Keppres No. 39 Tahun 1997

dan Keppres No. 5 Tahun 1998 oleh pemerintah Republik Indonesia yang

secara tegas telah menangguhkan pelaksanaan kontrak perjanjian JOC

dan ESC, KBC ternyata telah berhasil memperoleh putusan arbitrase

internasional terhadap Pertamina. Saat ini KBC sedang berusaha untuk

melakukan sita eksekusi terhadap aset-aset yang menurut perkiraan KBC

21
menjadi milik Pertamina, aset mana berupa rekening-rekening di bank

yang berada dalam wilayah Amerika Serikat; padahal perjanjian JOC dan

ESC, merupakan kontrak-kontrak yang tidak mempunyai kekuatan hukum

karena adanya larangan pemerintah RI untuk meneruskan pelaksanaan

kontrak melalui Keppres No. 39 Tahun 1997 tentang penangguhan proyek

pemerintah dan Keppres No. 5 Tahun 1998.

2) Bahwa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata untuk

sahnya satu perjanjian harus dipenuhi antara lain syarat adanya suatu

sebab yang halal sedangkan menurut Pasal 1337 KUHPerdata suatu

sebab adalah terlarang apabila dilarang undang-undang, bertentangan

dengan kesusilaan yang baik atau dengan ketertiban umum, dan Pasal

1335 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian dengan sebab

yang terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena itu

berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas semua bukti yang

disampaikan oleh KBC tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga dapat

dimintakan pembatalannya. Kontrak Joint Operation dan Energy Sales

Contract juga tidak dapat dilanjutkan.

d. Putusan arbitrase seharusnya ditolak karena bertentangan dengan Pasal V

(1) huruf B Konvensi New York 1958 dan dengan Pasal V (1) (D). Pertamina

memberikan penjelasan lebih lanjut sebagai berikut:

1) Putusan arbitrase asing tidak dapat dijalankan karena Pertamina sebagai

termohon eksekusi, tidak diberi pemberitahuan yang pantas (proper

notice) tentang arbitrase ini. Pertamina sebagai termohon eksekusi, tidak

diberi kesempatan untuk mengangkat arbitrator yang dipilihnya sesuai

dengan perjanjian-perjanjian JOC dan ESC, padahal sesuai dengan

22
ketentuan tentang arbitrase dalam perjanjian-perjanjian tersebut,

Pertamina seharusnya diberi kesempatan mengajukan arbitrator yang

dikehendakinya, hal mana tidak terjadi dalam hal ini.

2) Sesuai dengan ketentuan Konvensi New York 1958 Pasal V (1) (d),

susunan para arbitrator ini harus menurut prosedur yang telah disetujui

oleh para pihak dalam klausula arbitrase mereka, sedangkan dalam

perkara arbitrase a quo para arbitrator telah dipilih tanpa adanya

persetujuan atau pilihan dari Pertamina sebagai pihak dalam prosedur

arbitrase ini sehingga susunan tim arbitrase dalam perkara arbitrase a

quo bertentangan adanya dengan Pasal V (1) (d): …the composition of

the arbitral authority of the arbitral procedure was not in accordance with

the agreement of the parties.

e. Klausula arbitrase dinilai in operating dan incapable of being performed

sesuai dengan Pasal II (3) Konvensi New York 1958 Juncto Keputusan

Presiden No. 34 Tahun 1981. Pertamina memberikan penjelasan lebih lanjut

sebagai berikut:

1) Sesuai dengan ketentuan Pasal II (3), Konvensi New York 1958 yang

melalui Keputusan Presiden No 34 Tahun 1981 telah menjadi hukum

positif bagi RI, maka perjanjian-perjanjian JOC dan ESC dihentikan oleh

pemerintah RI, dengan Keppres No. 39 Tahun 1997 dan Keppres No. 5

Tahun 1998. Dengan demikian perjanjian ini menurut hukum Indonesia

menjadi null and void, inoperative of being performed, sesuai dengan apa

yang dicantumkan dalam Pasal II Konvensi New York 1958 tentang

Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri.

2) Klausul arbitrase yang tercantum dalam perjanjian JOC dan Pasal ESC

23
menjadi inoperative dan incapable of being performed sesuai dengan

ketentuan hukum Indonesia karena perjanjian JOC dalam Pasal 20 dan

ESC dalam Pasal 12 telah menentukan berlakunya hukum Indonesia.

Tidak ada jalan lain, karena Keppres No. 39 Tahun 1997 dan No. 5 Tahun

1998 telah memerintahkan penghentian seluruh proses Perjanjian JOC

dan ESC termasuk juga Klausula arbitrase yang menjadi inoperative dan

incapable of being performed (tidak dapat “dijalankan” dan “tidak dapat

dilaksanakan”).

3) Wewenang para arbitrator yang didasarkan atas klausula arbitrase

sebagaimana diuraikan di atas, menurut hukum Indonesia menjadi

inoperative tidak dapat dijalankan, dan seharusnya tidak dapat dilanjutkan

dengan menghasilkan putusan arbitrase a quo, yang kini ditentang

pelaksanaannya dan dimintakan pembatalan.

f. Menurut Pasal V (1) huruf A pelaksanaan putusan arbitrase Jenewa

seharusnya ditolak apabila para pihak tidak memiliki capacity berdasarkan

hukum yang berlaku bagi mereka (hukum Indonesia). Penjelasannya adalah,

menurut Pasal V (1) huruf A Konvensi New York 1958 pengakuan dan

pelaksanaan terhadap putusan arbitrase luar negeri dapat ditolak atas

permohonan termohon eksekusi hanya apabila yang bersangkutan dapat

menyerahkan kepada pengadilan pelaksana bukti bahwa para pihak dalam

perjanjian JOC dan ESC berada dalam incapacity berdasarkan hukum

Indonesia yang telah dipilih para pihak untuk berlaku.

g. Putusan arbitrase dilakukan berdasar tipu muslihat KBC dengan tidak

mengindahkan hukum Indonesia sebagai hukum yang berlaku bagi JOC dan

ESC, khususnya kerugian dan kehilangan keuntungan yang menurut majelis

24
arbitrase telah diderita oleh KBC. Selanjutnya Pertamina menguraikan

beberapa hal, yaitu:

1) Pasal 114 e JOC menyebutkan bahwa KBC berkewajiban untuk

menyediakan semua dana yang dibutuhkan bagi operasi geo-termal dan

risiko operasi geo-termal, dengan ketentuan kewajiban KBC menyangkut

juga dana yang diperlukan untuk membangun fasilitas lapangan dan

fasilitas pembangkit tenaga listrik dan harus selalu memberikan laporan

kepada Pertamina mengenai pendanaan tersebut.

2) Namun demikian selama persidangan arbitrase berlangsung KBC tidak

dapat membuktikan dengan bukti-bukti yang sah bahwa KBC telah siap

dan sanggup untuk melaksanakan kontrak-kontrak JOC dan ESC dengan

menyediakan dana yang nyata dari sumber-sumber pembiayaan yang

bonafide, sebagaimana disyaratkan untuk pelaksanaan proyek tersebut.

3) Di samping itu, proyek geo-termal yang harus dibangun berdasarkan

kontrak JOC untuk menjual tenaga listrik sebagaimana diatur dalam

kontrak JOC dan kontrak ESC baru mencapai tahap eksplorasi sehingga

fasilitas-fasilitas tenaga pembangkit listrik dalam proyek tersebut belum

berdiri dan sama sekali belum menghasilkan produksi tenaga listrik dan

oleh karenanya KBC belum dapat dikatakan telah memenuhi kewajiban-

kewajibannya dalam JOC dan ESC.

4) Kemampuan KBC untuk menghasilkan kapasitas tenaga listrik

sebagaimana disyaratkan oleh JOC dan ESC belum teruji dan belum

terpenuhi. Oleh karena itu besarnya biaya ganti rugi, kehilangan

keuntungan dan bunga sebesar kurang lebih US$ 270 juta yang harus

dibayar oleh Pertamina berdasarkan putusan arbitrase adalah tidak benar

25
dan bersifat spekulatif dan fiktif tanpa disertai bukti-bukti yang nyata

tentang kecurigaan sebenarnya yang diderita oleh KBC.

5) Menurut hukum Indonesia, suatu pembayaran ganti kerugian, harus

didasarkan atas bukti-bukti kerugian yang nyata. Majelis arbitrase dalam

membuat putusan a quo telah tidak memakai hukum Indonesia sehingga

telah melampaui wewenangnya (exceeds its powers) dan sesuai

ketentuan Konvensi New York 1958 batal adanya, atau harus dibatalkan.

h. Pertamina telah berusaha agar Pemerintah RI mencabut kembali perintah

penangguhan perjanjian JOC dan ESC, meskipun tanpa hasil. Upaya

Pertamina tersebut dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

1) Usaha Pertamina tersebut pada mulanya telah berhasil dengan

dikeluarkannya Keppres No. 47 Tahun 1997 yang menyatakan proyek

PLTP Karaha Bodas dapat diteruskan.

2) Namun usaha ini kemudian gagal lagi dengan dikeluarkannya Keppres

No. 5 Tahun 1998 yang memerintahkan penangguhan ulang terhadap

proyek yang sama. Namun kegagalan ini tidak berarti bahwa Pertamina

tidak sudah berusaha secara maksimal akan tetapi dalam instansi terakhir

semua juga tetap berada di luar kewenangannya.

3) Dalam keadaan demikian sangat tidak adil jika majelis arbitrase yang kini

dimohonkan pembatalan putusannya hanya memberlakukan ketentuan

force majeure terhadap KBC, tanpa memperhatikan segala upaya

Pertamina yang telah maksimal dilakukan. Di sini hukum Indonesia yang

selalu mengedepankan keseimbangan antara para pihak telah diabaikan

untuk diterapkan, dengan demikian putusan tersebut perlu dibatalkan.

Kesimpulan dari argumentasi Pertamina adalah majelis arbitrase telah

26
melampaui batas wewenang dalam menjatuhkan putusan arbitrase. Menurut

hukum Indonesia seperti juga dengan lain-lain sistem hukum, pengadilan tetap

mengawasi putusan arbitrase yang dibuat sesuai dengan hukum Indonesia.

Banding tidak diperbolehkan, tetapi perlu diawasi integritas fundamental dari

proses arbitrase itu sendiri. Menurut Pertamina, pembatalan dari suatu putusan

arbitrase perlu dilakukan jika dilampaui batas-batas wewenang yang telah

disetujui para pihak dalam perjanjian arbitrase, atau jika majelis arbitrase telah

melampaui batas-batas wewenang (excess of power) yang telah diberikan oleh

para pihak atau telah terjadi “berat sebelah” dari majelis arbitrase, atau tidak

dipenuhinya suatu asas berperkara yang prinsipil seperti harus memperlakukan

para pihak secara sama dan tidak boleh berat sebelah seperti ditentukan Pasal

15 UNCITRAL Arbitration.

Lebih jauh Pertamina berargumentasi bahwa putusan arbitrase a quo

didasarkan atas dua perjanjian:

a. Joint Operation Contract (JOC) antara Pertamina dan KBC;

b. Energy Sales Contract (ESC) antara Pertamina, KBC dan PLN.

Dalam kaitan itu, KBC belum memulai konstruksi fasilitas pembangkit

listrik, tetapi tim arbitrase telah memberikan mereka ganti rugi US$ 111,1 juta

untuk kerugian pembiayaan, US$ 150 juta untuk kerugian keuntungan (lost

profit), bunga 4% setahun mulai 1 Januari 2001 sampai dibayar lunas dan US$

687,737,48 untuk biaya arbitrase. Putusan Arbitrase ini melampaui batas

wewenang para arbitrator (exceeded the power) yang diberikan kepada

mereka menurut klausula arbitrase para pihak. Di samping itu sebagaimana

telah dikemukakan di muka, majelis arbitrase tidak memakai hukum Indonesia

dalam menafsirkan force majeure menurut ketentuan dalam kedua kontrak

27
(JOC dan ESC) dan menentukan tanggung jawab Pertamina untuk kehilangan

keuntungan (lost profit), secara spekulatif (tidak berdasar). Hal ini melanggar

baik klausula arbitrase yang ditandatangani para pihak, maupun UNCITRAL

Arbitration Rules, secara merugikan Pertamina. Walaupun telah diperjanjikan

dua proses arbitrase tersendiri, satu di bawah JOC dan yang kedua menurut

ESC, tetapi tim arbitrase telah menggabungkan kedua proses arbitrase dalam

satu proses arbitrase.

Secara tegas para pihak telah sepakat dalam ESC, bahwa Pertamina

dan KBC bersama-sama harus memilih satu arbitrator menurut ESC, tetapi

majelis arbitrase menyampingkannya dan memaksa Pertamina untuk

“memakai” arbitrator bersama dengan PLN dan pemerintah padahal kewajiban

Pertamina dan PLN berbeda sedangkan arbitrator sama telah dipilih oleh

majelis arbitrase untuk pemerintah RI (yang kemudian telah dikesampingkan

oleh tim arbitrase ini sebagai pihak). Dengan demikian majelis arbitrase telah

melanggar prosedur yang secara tegas telah disepakati oleh para pihak dalam

perjanjian arbitrase mereka dengan merugikan Pertamina dan PLN.

Dari uraian di atas terlihat dengan jelas bahwa para pihak telah tidak

diperlakukan secara sama, karena suatu lembaga ICSID (International Centre

For The Settlement of Investment Disputes) telah diminta memilih untuk tiga

pihak, padahal KBC menurut perjanjian arbitrase harus diperbolehkan memilih

sendiri arbitratornya. Hal ini juga melanggar hukum Indonesia.

Kesimpulan lainnya adalah putusan arbitrase ini juga melanggar

ketertiban umum dari Republik Indonesia, karena menghukum Pertamina dan

PLN sebagai yang bertanggung jawab untuk kepatuhan mereka terhadap

hukum Indonesia dan para arbitrator dengan demikian melanggar tata cara

28
berperkara yang layak (due process rights).

Sebagaimana diketahui bahwa sesungguhnya KBC telah membuat dua

perjanjian terpisah, yakni (1) JOC antara KBC dan Pertamina serta ESC antara

KBC, Pertamina dan PLN. Kontrak-kontrak ini mengatur eksplorasi (geo-termal)

untuk pembangkit tenaga listrik di area concessie Karaha dan Telaga Bodas.

Kedua kontrak ini, sekalipun ada hubungannya, tetapi jelas mengandung hak-

hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak yang berbeda. Kedua

kontrak ini menunjuk KBC yang harus menanggung risiko dan pembiayaan

ekplorasi dan pembangunan pabrik pembangkit tenaga listrik ini. Dan baru jika

kemudian ternyata bahwa KBC berhasil membangun sumber-sumber itu dan

telah berhasil dengan membangun fasilitas yang mampu membangkit listrik

sesuai ketentuan kontrak, risiko biaya pengeluaran akan berpindah dari KBC

ke PLN. Hal ini tidak pernah terjadi.

JOC tidak meletakkan kewajiban Pertamina untuk membeli listrik dari

KBC, sebaliknya menyatakan bahwa listrik yang diproduksi oleh operasi

pembangkitan bersangkutan akan dijual kepada pembeli (PLN) sesuai dengan

ESC. Peranan Pertamina hanya sebagai agen penyaluran untuk pembayaran

antara PLN dan KBC dan terhadap JOC ini dipakai hukum Indonesia.

Menurut ESC, PLN menyetujui untuk membeli dari Pertamina sesuai

ketentuan dan syarat dalam ESC ini semua tenaga listrik yang akan dihasilkan

oleh KBC. Juga di sini peranan Pertamina hanya sebagai agen perantara untuk

pembayaran yang akan dilakukan oleh PLN. Jadi jelas Pertamina tidak ada

kewajiban untuk membeli tenaga listrik menurut kontrak ESC dan Pertamina

juga bukan penjamin untuk kewajiban-kewajiban PLN. Kewajiban PLN baru

mulai setelah ada hasil tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik

29
KBC.Dalam hal terjadi sengketa melalui arbitrase, di mana PLN di satu pihak

dan KBC serta Pertamina di pihak lain, masing-masing mengangkat satu

arbitrator, yang kemudian bersama-sama akan mengangkat arbitrator ketiga

untuk bertindak sebagai ketua majelis arbitrase. Sebagai akibat dari krisis

ekonomi yang dialami pemerintah Indonesia sejak tahun 1997, maka IMF telah

memaksa pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali secara menyeluruh

semua proyek-proyek yang didasarkan pada kewajiban membayar dalam US

dollar. Sebagai tindak lanjut saran IMF pemerintah menerbitkan Keppres No.

39 Tahun 1997 yang mengatur proyek mana dapat diteruskan, ditinjau kembali

atau ditangguhkan, dan proyek Karaha Bodas termasuk yang ditangguhkan.

Setelah ditandatanganinya perjanjian-perjanjian di tahun 1994, sampai dengan

ditangguhkannya proyek tersebut, KBC hanya melakukan eksplorasi dan pada

saat ditangguhkannya proyek bersangkutan, KBC masih harus menambahkan

US$ 500 juta (5 x lebih banyak daripada apa yang sudah dikeluarkannya)

sebelum ada kemungkinan menghasilkan tenaga listrik yang diharapkan.Tetapi

pada 10 Februari 1998 KBC menyatakan telah terjadi force majeure dan

menghentikan kontrak-kontrak, serta pada 30 April 1998 KBC mengajukan

gugatan arbitrase terhadap Pertamina dan PLN dengan Notice of Claim dalam

satu arbitrase berdasarkan dua kontrak JOC dan ESC.

D. Kesimpulan (Conclusion)

Kesimpulan yang dapat tarik pada permasalahan ini adalah bahwa Pihak

Karaha Bodas Company (KBC), LLC tidak berhak dan tidak memiliki kekuatan

hukum untuk mengajukan gugatan ganti rugi kepada Perusahaan Pertambangan

30
Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) di Arbitrase UNCITRAL Jenewa,

alasannya antara lain:

1. Putusan arbitrase internasional tersebut telah bertentangan dengan Konvensi

New York 1958 maupun UU No. 30 tahun 1999;

2. Dalam perjanjian kerjasama (JOC) antara Pertamina dan KBC disepakati

dalam hal timbul sengketa diselesaikan dengan arbitrase berdasarkan

ketentuan UNCITRAL dan terhadap kontrak tersebut berlaku hukum Indonesia;

3. Dalam kontrak jual beli energi (ESC) antara Pertamina dan KBC, disepakati

dalam hal timbul sengketa diselesaikan dengan arbitrase berdasarkan

ketentuan UNCITRAL dan dalam kontrak tersebut berlaku hukum Indonesia;

4. Majelis Hakim Arbitrase telah melampaui wewenangnya karena tidak

mempergunakan hukum Indonesia, dalam pertimbangan majelis arbitrase

Jenewa telah mengenyampingkan dan telah melanggar ketentuan hukum

Indonesia yang seharusnya diberlakukan;

5. Putusan arbitrase tanggal 18 Desember 2000 secara keliru menafsirkan

ketentuan tentang force majeure. Menurut hukum Indonesia peristiwa force

majeure membebaskan Pertamina dari kewajiban membayar penggantian

biaya, kerugian atau bunga;

6. Putusan arbitrase tersebut bertentangan dengan ketertiban umum Republik

Indonesia dan dibuat berdasarkan tipu muslihat KBC, putusan tersebut

bertentangan dengan Konvensi New York 1958 dan pengangkatan arbitrator

tidak diberitahukan Pertamina selaku termohon eksekusi, sehingga putusan

arbitrase tersebut tidak dapat dilaksanakan.

Demikian legal memorandum ini dibuat, untuk dipergunakan sebagaimana

mestinya, apabila ada pertanyaan lebih lanjut, silahkan menghubungi kami.

31
Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Jakarta, 30 November 2008

Hormat Saya,

Konsultan Hukum,

(Pramoedyo Dhiemas Hertanto, SH., LLM)

32

Anda mungkin juga menyukai