Anda di halaman 1dari 2

ASAS REBUS SIC STATIBUS

Rebus Sic Stantibus adalah Prinsip perubahan dari keadaan diterapkan jika ketentuan dan
persyaratan dari perubahan kontrak bukan karena ketidakmungkinan pelaksanaan kontrak,
namun karena kesulitan ekstrim untuk salah satu pihak untuk memenuhi kontrak.
Asas ini lengkapnya adalah “omnis convention intellegitur rebus sic stantibus”. Secara
harfiah, maknanya adalah bahwa suatu perjanjian sah berlaku jika kondisinya masih sama
seperti saat perjanjian itu dibuat. Artinya, jika memang kondisinya berubah, perjanjian itu
menjadi tidak lagi sah. Asas ini menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak lagi berlaku akibat
perubahaan keadaan yang mendasar. Dalam hukum internasional, asas ini pada dasarnya
menjadi pengecualian bagi aturan pacta sunt servanda (perjanjian itu mengikat secara
hukum).
Atas suatu perjanjian yang telah berlaku akan terganggu berlakunya bila terjadi perubahan
keadaan yang fundamental (rebus sic stantibus), keadaan yang menjadi dasar dibuatnya
perjanjian telah berubah dan perubahan tersebut mempngaruhi kemampuan pihak-pihak yang
berjanji. Dengan kata lain berlakunya perjanjian internasional dapat ditangguhkan, bahkan
dapat dibatalkan karena adanya perubahan yang sangat fundamental. Jadi dengan berlakunya
asas rebus sic stantibus maka para pihak dapat melepaskan atau mengingkari janji-janji yang
telah mereka berikan.
Diterimanya asas rebus sic stantibus pada awalnya untuk melunakkan sifat ketat hukum
privat Roma. Bahkan sejak abad XII dan XIII alhi hukum kanonik telah mengenal asas ini
yang dalam bahasa latinnya yaitu contractus qui habent tractun succesivum et depentiam de
future rebus sic stantibus intelliguntur yang artinya bahwa “perjanjian menentukan perbuatan
selanjutnya untuk melaksanakanna pada masa yang akan datang harus diartukan tunduk
kepada persyaratan bahwa lingkungan dan keadaan di masa yang akan datang tetap sama”.
Asas ini pertama kali di terapkan oleh peradilan keagamaan karena situasi yang terjadi pada
waktu itu adany pemisahan antara urusan gereja dengan urusan negara, dan ini merupakan
salah satu karakteristik penting dari Kode Napoleon. Untuk selanjutnya asas rebus sic
stantibus diadopsi oleh pengadilan lain dan para ahli hukum. Alberico Gentili menyatakan
bahwa “ yang paling penting atas hukum taraktat ialah dalil bahwa perjanjian (perdamaian)
selalu mengandung syarat teersimpul, yaitu bahwa taraktat hanya mengikat selama kondisi-
kondisinya tidak berubah”. Jelaslah yang di maksud denga syarat tersimpul oleh Alberico
Gentili adalah asas rebus sic stantibus.
Asas ini disebutkan dalam Pasal 62 Konvensi Wina 1969. Menurut pasal ini, negara dapat
menggunakan asas ini untuk mengakhiri perjanjian apabila keadaan yang mengalami
perubahan memang melandasi iktikad negara untuk terikat dengan perjanjian. Contohnya
adalah Dewan Menteri Komunitas Eropa tahun 1991 yang mengakhiri perjanjian kerja sama
dengan Yugoslavia dari tahun 1980 akibat Perpecahan Yugoslavia yang dianggap sebagai
perubahan keadaan yang mendasar.
Makna yang terkandung dalam asas rebus sic stantibus oleh Konvensi Wina dirumuskan
dengan menggunakan istilah “fundamental change of circumstances” (perubahan
fundamental atas suatu keadaan). Bahkan oleh Makamah Internasional, dalam kasus
Fisheries Jurisdiction, dikatakan bahwa keberadaan asas rebus sic stantibus dalam Pasal 62
tersebut hanyalah bersifat merumuskan hukum kebiasaan.
Dalam peraturan perundangan Indonesia, keberadaan asas rebus sic stantibus mendapat
pengakuan dalam Pasal 18 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Dikatakan bahwa “perjanjian internasional berakhir apabila terdapat perubahan mendasar
yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian”. Namun, dalam UU tersebut tidak memberikan
batasan tentang apa itu asas rebus sic stantibus. Melalui asas ini pemerintah Indonesia dapat
menyatakan berakhirnya suatu perjanjian Internasional yanng dibuat dengan negara lain,
sekalipun pelaksanaan asas tersebut masih perlu penjabaran lebih lanjut.
Prinsip hukum rebus sic stantibus nampaknya tetap menjadi bahan telaah dan sering
digunakan oleh negara-negara di dunia untuk melakukan penundaan terhadap sebuah
perjanjian internasional. Bentuk yang cukup terkenal yang dianggap oleh beberapa ahli
hukum dan praktek internasional sebagai salah satu bentuk dari rebus sic stantibus adalah
pertikaian bersenjata atau perang.
Keberadaan dan penerimaan asas pacta sunt servanda dijadikan sebagai dasar berlakunya
suatu perjanjian. Tanpa adanya kesanggupan untuk melaksanakan apa yang telah dijanjikan,
maka perjanjian tidak akan dapat berlaku sebagaimana mestinya. Lain halnya dengan asas
rebus sic stantibus, dimana dengan berlandaskan pada asas ini pihak-pihak perjanjian dapat
menyatakan menunda atau menyatakan mengundurkan diri dari perjanjian yang telah
disepakati, sepanjang dipenuhi syaratnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 62 Konvensi
Wina 1969.

Anda mungkin juga menyukai