Anda di halaman 1dari 3

Perkawinan Adat Lombok

Pulau Lombok sejatinya adalah kampung halaman dari Suku Sasak. Ini karena
penduduk Sasak sudah menghuni pulau ini selama berabad-abad, yaitu sejak 4.000 sebelum
Masehi. Secara etimologi, banyak anggapan bahwa nama Sasak berasal dari kata "sak-sak"
yang artinya satu atau utama. Suku Sasak adalah penduduk asli Pulau Lombok yang sekarang
sudah mencapai 15 generasi. Mereka tersebar di sembilan dusun di Pulau Lombok dengan
dusun utama di Sade, Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, Nusa Tenggara
Barat. Di Desa Sade berdiri 150 rumah dari 150 kepala keluarga dengan jumlah penduduk
lebih dari 700 jiwa.
Masyarakat Sasak yang didominasi agama Islam, memandang perkawinan sebagai
menjalankan suruhan agama, sebagai wujud ketaqwaan hamba kepada Penciptanya, karena
Islam sebagai agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat Sasak menyuruh pemeluknya
untuk segera melangsungkan perkawinan bila mempunyai kemampuan untuk
melaksanakannya. Islam memandang perkawinan sebagai perbuatan yang mulia yakni untuk
mencegah pemeluknya dari perbuatan zina atau perbuatan terlarang dengan orang yang tidak
sah, hal ini dimaksudkan agar keturunan yang dihasilkan dari perkawinan mempunyai garis
keturunan yang jelas dan juga untuk menjaga ketertiban masyarakat atau umum. Dalam
perkawinan yang diajarkan oleh Islam juga terkandung tujuan-tujuan yakni untuk membina
keluarga dunia dan akhirat.

SISTEM KEKELUARGAAN
Masyarakat adat suku sasak menganut sistem kekeluargaan Patrilineal yakni menarik
garis keturunan laki-laki/bapak, oleh karenanya yang dianggap sebagai ahli waris hanyalah
anak laki-laki saja sedangkan anak perempuan tidak diakui sebagai ahli waris. Anak
perempuan hanya mempunyai hak untuk memperoleh ‘dowe pesangu’ dari orang tuanya yang
akan dibawa setelah ia menikah, tetapi sifatnya tidak lebih dari pada suatu pemberian semata-
mata. Perkembangan zaman dan kemajuan yang terjadi di berbagai aspek kehidupan sosial
ternyata telah banyak berpengaruh terhadap pola dan cara berfikir anggota masyarakat ini
sekaligus diikuti pula dengan perkembangan akan kebutuhan hukum. Bahwa di dalam
masyarakat sasak, telah terjadi pergeseran nilai-nilai sebagaimana tercermin di dalam
ketentuan hukum adat lama yang telah usang, ketinggalan zaman, yang sudah tidak sesuai
lagi dengan kebutuhan dan perkembangan masa dan/atau tidak pula sesuai dengan rasa
keadilan hukum dari masyarakat ini. Adanya pergeseran nilai dalam hukum pewarisan adat
khususnya tentang kedudukan dan status anak perempuan. Berdasarkan ketentuan hukum
waris adat lama bahwa anak perempuan bukan sebagai ahli waris, maka kini dalam
perkembangannya sudah diakui kedudukannya sebagai ahli waris dan berhak pula
memperoleh harta warisan peninggalan orang tuanya bersama-sama dengan saudara
lelakinya.

SISTEM PERKAWINAN
Di masyarakat Suku Sasak, laki-laki Sasak boleh mengambil perempuan dari luar
untuk dijadikan istri. Namun hal ini tak berlaku sebaliknya karena begitu perempuan Sasak
menikah dengan orang luar Sasak dianggap keluar, atau bahkan dibuang, dari masyarakat
Sasak.
Di Lombok, sistem perkawinan yang dianggap ideal adalah perkawinan antara anak
laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki ibunya atau cross cousin assimetris.
Menurut adat, hubungan seperti ini harus dipelihara terus. Para orang tua senantiasa
menganjurkan putra-putrinya supaya kawin dengan saudara sepupunya atau keluarga yang
masih satu keturunan atau buyut atau seke dan paput. Hal ini dimaksudkan, disamping karena
alasan mempertahankan keturunan, mempertahankan harta pusaka agar tidak jatuh ketangan
orang lain yang tidak sedarah, juga untuk mempererat hubungan kekerabatan yang sudah
dirasa semakin jauh. Adat perkawinan dengan sepupu atau cross cousin secara idogami atau
antarkerabat sedarah di Lombok, hingga kini masih relatif bertahan terutama di kalangan
bangsawan Sasak di wilayah-wilayah tertentu. Hal ini terjadi, karena perkawinan dengan
sepupu dianggap sebagai pola yang ideal. Skema kekerabatan (Cross Cousin) dari Satu
Keturunan dari Laki-laki/ Perempuan yang melakukan Perkawinan Sesama Pisa’ (sepupu).

SIFAT PERKAWINAN

BENTUK PERKAWINAN
Bentuknya ialah Perkawinan Jujur dengan memberikan barang jujur. Berikut
penjelasannya :
Setelah terjadinya merariq, berdasarkan informasi dari pembayun (pemimpin
rombongan yang membawa karte brane yang akan diserahkan kepada pihak perempuan),
keliang menyampaikan secepatnya kepada pihak orangtua atau keluarga perempuan,
kemudian pihak keluarga mengadakan musyawarah tentang berbagai masalah tata krama
perkawinan setempat, termasuk berbagai pembayaran yang dibebankan kepada pihak laki-
laki. Semuanya menjadi catatan untuk kemudian disampaikan kepada utusan selabar.
Selabar merupakan proses meminta kesediaan orangtua atau keluarga calon mempelai
perempuan untuk memberikan persetujuan dan perwalian terhadap kedua calon mempelai.
Dalam proses selabar banyak yang harus dimusyawarahkan atau dinegosiasikan untuk
mencapai kesepakatan, sehingga kepentingan kedua belah pihak keluarga atau kerabat
terakomodir dengan baik. Dalam proses negosiasi, beberapa yang menjadi pembicaraan
penting yakni masalah pembayaran adat yang disebut ajikrame dan pisuke. Ajikrame
merupakan sejumlah pembayaran yang telah ditetapkan oleh adat sebagai lambang dan status
sosial dari pasangan mempelai dan setiap keturunan yang akan dilahirkan. Pembayaran
ajikrame bersifat wajib dan menjadi upaya agar akad nikah dapat segera dilaksanakan.
Sedangkan pisuke yakni permintaan pembayaran lain, seperti sejumlah uang atau barang-
barang berharga, diperuntukkan untuk ‘pengobat atau penyenang’ sehingga pihak keluarga
perempuan menjadi suke atau saling merelakan atau mengikhlaskan. Pisuke juga bertujuan
sebagai penghibur rasa sedih orangtua yang akan ditinggal oleh anak gadisnya. Dengan
demikian, pisuke semata-mata permintaan orangtua untuk dirinya. Namun ada sebagian
pendapat masyarakat Sasak bahwa uang pisuke tersebut digunakan untuk penyambutan pada
acara nyongkolan dan untuk mengadakan acara syukuran atau resepsi di rumah pihak
perempuan. Dalam penentuan jumlah pisuke ini menjadi rentan terjadinya konflik antara
kedua belah pihak keluarga mempelai yang membutuhkan waktu serta tenaga dan pikiran.

Anda mungkin juga menyukai