Anda di halaman 1dari 5

Suku Batak

a. Sistem Kepercayaan/Religi Suku Batak


Di daerah Batak terdapat beberapa agama, antara lain: agama Islam,
agama Katolik, dan agama Kristen Protestan. Meskipun demikian, konsepkonsep kepercayaan atau religi purba masih hidup terutama di pedesaan.
Sumber utama untuk mengetahui sistem kepercayaan dan religi purba ini
adalah buku pustaka yang terbuat dari kayu dan ditulis dengan huruf Batak.
Buku tersebut memuat konsep-konsep tentang pencipta, jiwa, roh, dan dunia
akhirat.
b. Sistem Kekerabatan Suku Batak
Perkawinan pada masyarakat Batak merupakan suatu pranata yang
tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang perempuan.
Perkawinan juga mengikat kaum kerabat laki-laki (paranak dalam bahasa
Toba, si pempokan dalam bahasa Karo) dengan kaum kerabat si perempuan
(parboru dalam bahasa Toba, sinereh dalam bahasa Karo).
Menurut adat lama pada masyarakat Batak, seorang laki-laki tidak
bebas dalam memilih jodoh. Perkawinan antara orang-orang rimpal
(marpariban dalam bahasa Toba) yakni perkawinan dengan anak perempuan
dari saudara laki-laki ibunya (cross cousin) dianggap perkawinan ideal.
Sistem kekerabatan masyarakat Batak adalah patrilineal, dengan dasar
satu ayah, satu kakek atau satu nenek moyang. Dalam masyarakat Batak
hubungan berdasarkan satu ayah disebut sada bapa (bahasa Karo) atau
saama (bahasa Toba). Adapun kelompok kekerabatan terkecil adalah
keluarga batih (keluarga inti, terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak) yang
disebut jabu, dan ripe dipakai untuk keluarga luas yang virilokal (tinggal di
rumah keluarga pihak laki-laki).
Dalam masyarakat Batak, banyak pasangan yang sudah kawin tetap
tinggal bersama orang tuanya. Adapun perhitungan hubungan berdasarkan
satu kakek atau satu nenek moyang disebut sada nini (pada masyarakat
Karo) dan saompu (pada masyarakat Toba). Keluarga sada nini atau saompu
merupakan klen kecil. Adapun klen besar dalam masyarakat Batak adalah
merga (dalam bahasa Karo) atau marga (dalam bahasa Toba).
c. Sistem Politik Suku Batak
Sistem politik yang dimaksud adalah sistem pemerintahan dan
kepemimpinan. Pada masyarakat Batak sistem kepemimpinan ini terbagi
atas tiga bidang sebagai berikut
.
1) Kepemimpinan di Bidang Adat

Kepemimpinan di bidang adat meliputi: perkawinan dan perceraian,


kematian, warisan, penyelesaian perselisihan, kelahiran, dan sebagainya.
Kepemimpinan pada bidang adat ini tidak berada dalam tangan seorang
tokoh, tetapi berupa musyawarah Dalihan Na Tolu (Toba) dan Sangkep Sitelu
(Karo).
Dalam pelaksanaan musyawarah adat, sidang (ninggem) dipimpin oleh
Suhut. Suhut ialah orang yang mengundang para pihak kerabat dongan
sabutuha, hula-hula, dan boru dalam Dalikan Na Tolu. Keputusannya
merupakan hasil musyawarah dengan kerabat-kerabat tersebut.
2) Kepemimpinan di Bidang Agama
Dalam masyarakat Batak, kepemimpinan dalam bidang agama
berhubungan dengan perdukunan dan roh nenek moyang serta kekuatankekuatan gaib. Pemimpin keagamaan dipegang oleh guru sibaso.
3) Kepemimpinan di Bidang Pemerintahan
Dalam bidang pemerintahan, kepemimpinan dipegang oleh salah satu
keturunan dari merga taneh. Oleh sebab itu, faktor tradisi masih melekat
dalam memilih pemimpin pemerintahan. Adapun tugas pemimpin
pemerintahan, yaitu menjalankan pemerintahan sehari-hari. Pada saat ini,
masyarakat Batak selalu mencari orang yang dianggap mampu dan
memahami segala persoalan yang terdapat dalam masyarakat.
d. Sistem Ekonomi Suku Batak
Sistem ekonomi atau sistem mata pencaharian yang dilakukan
masyarakat Batak adalah bercocok tanam di sawah, ada juga yang di ladang
seperti suku bangsa Karo, Simalungun, dan Pakpak.
Masyarakat Batak mengenal sistem gotong-royong dalam bertani,
dalam bahasa Karo disebut raren, sedangkan dalam bahasa Toba disebut
marsiurupan. Gotong royong dilakukan dengan mengerjakan tanah secara
bersama-sama oleh tetangga atau kerabat dekat. Alat yang digunakan untuk
bercocok tanam, antara lain cangkul, bajak (tenggala dalam bahasa Karo,
luku dalam bahasa Toba), dan tongkat tugal (engkol dalam bahasa Karo).
Bajak biasanya ditarik dengan sapi/kerbau, sabit (sabi-sabi dalam
bahasa Toba) dipakai untuk memotong padi, ada juga yang memakai ani-ani.
Peternakan yang diusahakan oleh masyarakat Batak, seperti kerbau, sapi,
babi, kambing, ayam, dan bebek. Babi biasanya untuk dimakan dan juga
digunakan dalam upacara adat. Di Pulau Samosir tepi Danau Toba,
menangkap ikan dilakukan intensif dengan perahu lesung (Solu) dan hasilnya
dijual ke kota.
e. Sistem Kesenian Suku Batak
1) Seni Bangunan

Rumah adat Batak disebut ruma/jabu (bahasa Toba) merupakan


kombinasi seni pahat ular serta kerajinan. Ruma akronim Ririt di Uhum Adat
yang artinya sumber hukum adat dan sumber pendidikan masyarakat Batak.
Ruma berbentuk panggung yang terdiri atas tiang rumah yang berupa kayu
bulat, tiang yang paling besar disebut tiang persuhi. Tiang-tiang tersebut
berdiri di tiap sudut di atas batu sebagai pondasi yang disebut batu persuhi.
Bagian badan terbuat dari papan tebal, sebagai dinding muka belang,
kanan dan kiri, dinding muka belakang penuh ukiran cicak. Atap sebelah
barat dan timur menjulang ke atas dan dipasang tanduk kerbau sebagai
lambang pengharapan.
2) Seni Tari
Tari yang terkenal dari Batak, yaitu tor-tor. Tari tor-tor terdiri atas
beberapa jenis. Beberapa jenis tari tor-tor sebagai berikut.
a) Pangurdot, anggota badan yang bergerak hanya kaki, tumit, hingga bahu.
b) Pangeal, anggota badan yang bergerak hanya pinggang, tulang
punggung, dan bahu.
c) Pandenggal, anggota badan yang bergerak hanya lengan, telapak tangan
hingga jari tengah.
d) Siangkupna, anggota badan yang bergerak hanya leher.
e) Hapunana, anggota badan yang bergerak hanya wajah.
3) Seni Musik
Seni musik suku bangsa Batak adalah ogung sabangunan. Peralatan
yang digunakan adalah empat gendang dan lima taganing (sejenis gamelan
Batak). Nama-nama gendang ogung, yaitu oloan, ihutan, doal, dan jeret.
f. Sistem Hukum (Hukum Waris Adat Batak Toba)
Dalam pembagian warisan orang tua. Yang mendapatkan warisan
adalah anak laki laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari
orang tua suaminya atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan
warisan dengan cara hibah. Pembagian harta warisan untuk anak laki laki
juga tidak sembarangan, karena pembagian warisan tersebut ada
kekhususan yaitu anak laki laki yang paling kecil atau dalam bahasa batak
nya disebut Siapudan. Dan dia mendapatkan warisan yang khusus. Dalam
sistem kekerabatan Batak Parmalim, pembagian harta warisan tertuju pada
pihak perempuan. Ini terjadi karena berkaitan dengan system kekerabatan
keluarga juga berdasarkan ikatan emosional kekeluargaan. Dan bukan
berdasarkan perhitungan matematis dan proporsional, tetapi biasanya
dikarenakan orang tua bersifat adil kepada anak anak nya dalam
pembagian harta warisan.

Dalam masyarakat Batak non-parmalim (yang sudah bercampur


dengan budaya dari luar), hal itu juga dimungkinkan terjadi. Meskipun
besaran harta warisan yang diberikan kepada anak perempuan sangat
bergantung pada situasi, daerah, pelaku, doktrin agama dianut dalam
keluarga serta kepentingan keluarga. Apalagi ada sebagian orang yang lebih
memilih untuk menggunakan hukum perdata dalam hal pembagian
warisannya.
Hak anak tiri ataupun anak angkat dapat disamakan dengan hak anak
kandung. Karena sebelum seorang anak diadopsi atau diangkat, harus
melewati proses adat tertentu. Yang bertujuan bahwa orang tersebut sudah
sah secara adat menjadi marga dari orang yang mengangkatnya. Tetapi
memang ada beberapa jenis harta yang tidak dapat diwariskan kepada anak
tiri dan anak angkat yaitu Pusaka turun temurun keluarga. Karena yang
berhak memperoleh pusaka turun-temurun keluarga adalah keturunan asli
dari orang yang mewariskan.
Dalam Ruhut-ruhut ni adat Batak (Peraturan Adat batak) jelas di sana
diberikan pembagian warisan bagi perempuan yaitu, dalam hal pembagian
harta warisan bahwa anak perempuan hanya memperoleh: Tanah (Hauma
pauseang), Nasi Siang (Indahan Arian), warisan dari Kakek (Dondon Tua),
tanah sekadar (Hauma Punsu Tali). Dalam adat Batak yang masih terkesan
Kuno, peraturan adat istiadatnya lebih terkesan ketat dan lebih tegas, itu
ditunjukkan dalam pewarisan, anak perempuan tidak mendapatkan apapun.
Dan yang paling banyak dalam mendapat warisan adalah anak Bungsu atau
disebut Siapudan. Yaitu berupa Tanak Pusaka, Rumah Induk atau Rumah
peninggalan Orang tua dan harta yang lain nya dibagi rata oleh semua anak
laki laki nya. Anak siapudan juga tidak boleh untuk pergi meninggalkan
kampong halaman nya, karena anak Siapudan tersebut sudah dianggap
sebagai penerus ayahnya, misalnya jika ayahnya Raja Huta atau Kepala
Kampung, maka itu Turun kepada Anak Bungsunya (Siapudan).
Jika kasusnya orang yang tidak memiliki anak laki-laki maka hartanya
jatuh ke tangan saudara ayahnya. Sementara anak perempuannya tidak
mendapatkan apapun dari harta orang tuanya. Dalam hukum adatnya
mengatur bahwa saudara ayah yang memperoleh warisan tersebut harus
menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si pewaris sampai mereka
berkeluarga.
Dan akibat dari perubahan zaman, peraturan adat tersebut tidak lagi
banyak dilakukan oleh masyarakat batak. Khususnya yang sudah merantau
dan berpendidikan. Selain pengaruh dari hukum perdata nasional yang
dianggap lebih adil bagi semua anak, juga dengan adanya persamaan
gender dan persamaan hak antara laki laki dan perempuan maka
pembagian warisan dalam masyarakat adat Batak Toba saat ini sudah
mengikuti kemauan dari orang yang ingin memberikan warisan. Jadi hanya
tinggal orang-orang yang masih tinggal di kampung atau daerah lah yang
masih menggunakan waris adat seperti di atas. Beberapa hal positif yang

dapat disimpulkan dari hukum waris adat dalam suku Batak Toba yaitu lakilaki bertanggung jawab melindungi keluarganya, hubungan kekerabatan
dalam suku batak tidak akan pernah putus karena adanya marga dan
warisan yang menggambarkan keturunan keluarga tersebut. Dimana pun
orang batak berada adat istiadat (partuturan) tidak akan pernah hilang.

Anda mungkin juga menyukai