Anda di halaman 1dari 8

FILSAFAT DALIHAN NATOLU

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Logika Dan Filsafat

Disusun Oleh :
1.Nova A. Simanungkalit
2.Fanny Panggabean
3. Lestari M Situmorang
4.Chita Manurung
5.Wandana Simanjuntak
Grup

14150112
14150104
14150084
14150086
14150107

:N

Program Studi

: Logika Dan Filsafat

Dosen Pengampu

: Drs. Belsasar Sihombing, M.Pd

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
PEMATANGSIANTAR 2016

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kasih dan
karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada kami sebagai penulis sehingga mampu
menyelesaikan makalah kami.
Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Drs. Belsasar Sihombing,M.Pd selaku dosen mata kuliah Logika Dan Filsafat yang
telah memberikan tugas ini dan memberikan pengarahan sebelumnya sehingga
pengetahuan penulis makalah ini makin bertambah.
2. Pihak - pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah turut
membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dalam waktu yang
tepat.
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami
dengan kerendahan hati meminta maaf jika terdapat kesalahan dalam penulisan atau
penguraian makalah kami dengan harapan dapat diterima oleh bapak dan dapat dijadikan
sebagai acuan dalam proses pembelajaran kami.
Pematangsiantar,

Penyusun

Desember 2016

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Orang Batak Toba sebagai salah satu sub suku Batak memiliki perangkat struktur dan
sistem sosial yang merupakan warisan dari nenek moyang. Struktur dan sistem sosial tersebut
mengatur tata hubungan sesama anggota masyarakat, baik yang merupakan kerabat dekat,
kerabat luas, saudara semarga maupun beda marga serta masyarakat umum. Status marga
dalam kehidupan masyarakat Batak Toba memegang peranan yang sangat penting, alasannya
yaitu:
1.

Sebagai identitas, menunjukkan baik satuan-satuan yang lebih kecil (kelompok kecil)
maupun yang lebih besar (marga induk), dan juga kelompok-kelompok yang paling

besar (cabang marga).


2. Sebagai status, dalam hal ini berkaitan dengan sistem Dalihan Na Tolu.
3. Sebagai penerus marga, dalam hal ini lebih diutamakan adalah anak laki-laki, karena
dalam adat Batak Toba masih menganut sistem patriarkhal.
Secara umum masyarakat Batak Toba bersifat patriarkhal. Itu berarti marga yang menjadi
identitas dari orang Batak Toba diturunkan dari pihak laki-laki/Ayah. Sebuah marga tidak
akan terputus apabila sebuah keluarga mendapatkan anak laki-laki, karena anak laki-laki
itulah yang akan meneruskan kembali marga tersebut kepada keturunannya, sehingga marga
itu tetap bertahan. Sadar atau tidak, budaya patriarkhal tersebut telah mejadi bagian dalam
diri seseorang dan ikut mempengaruhi pola pikir dan sikap seseorang.
Pada sebagian orang, nilai-nilai dan sistem tradisional yang merupakan warisan leluhur
mengendalikan sikap mereka. Dan seringkali budaya yang telah tertanam dalam diri
seseorang akan sangat sulit untuk dilepaskan bahkan terus dilakukan dalam kehidupan
manusia sehari-hari karena dianggap sebagai sesuatu yang baik. Tradisionalisme adalah suatu
sikap dan pandangan yang memuja-muja, menjunjung tinggi lembaga-lembaga dan
kepercayaan dan masa lampau. Kepercayaan dan kebiasaan lama dianggap benar, kekal dan
tidak berubah, penduduk melakukan segala sesuatu sama seperti yang dilakukan sebelumnya.
Tata kehidupan orang Batak Toba juga di atur di dalam sistem adat istiadat yang telah
dimiliki sejak ratusan tahun dari nenek moyang. Aturan-aturan yang menjadi adat tersebut
bermuatan sangsi bila dilanggar. Dalam keyakinan kosmologis orang Batak Toba, adat
istiadat bersumber dari yang illahi (merupakan manifestasi tatanan illahi dalam kehidupan di
dunia dan bersifat abadi). Adat dan hukum tidak mungkin diubah. Melawan atau melanggar
adat akan mengakibatkan kekacauan dan kehancuran.3 Adat yang diturunkan, berasal dari
nenek moyang, dimana dalam kehidupan orang Batak Toba nenek moyang dianggap sebagai
Debata Mulajadi Na Bolon (Tuhan yang memulai segala sesuatu), karena di anggap terlebih

dahulu memiliki dan menguasai bumi selayaknya Debata Mulajadi Na Bolon. Sehingga
masyarakat Batak Toba sangat menghormati Adat yang dipercaya langsung diturunkan dari
Debata Mulajadi Na Bolon (nenek moyang mereka). Menghormati nenek moyang
mengandung makna menyembah Debata Mulajadi Na Bolon. Petuah-petuah nenek moyang
terus dijalankan secara berkesinambungan generasi demi generasi. Pelanggaran terhadap
adat, akan menyebabkan kemurkaan roh nenek moyang. Dengan perkataan lain, kesetiaan
dan kecintaan kepada roh-roh nenek moyang orang Batak Toba merupakan perilaku religius.
Itu pula sebabnya, masa kini dan masa depan harus senantiasa mendapat acuan dari masa
lampau yaitu kehidupan nenek moyang.
Dalam kebudayaan Batak Toba ada istilah yang dikenal dengan nama Dalihan Na Tolu
(Tungku Nan Tiga). Dalihan Na Tolu dinilai sebagai suatu sistem dimana ada persyaratan
fungsional yang harus dipenuhi dengan tujuan melakukan adaptasi, memelihara pola
kehidupan masyarakat dan mempertahankan kesatuan orang Batak Toba, disamping itu
dengan adanya Dalihan Na Tolu ini diharapkan adanya keseimbangan. Hal ini terwujud
dalam umpama: Somba Marhula-hula (hormat pada hula-hula), Manat mardongan
sabutuha (berlaku hati-hati kepada saudara semarga), Elek Marboru (berlaku sayang
kepada boru). Hal ini yang selanjutnya dimanifestasikan di dalam pola prilaku untuk
mewujudkan Hamoraon (upaya mencari kekayaan), Hagabeon (banyak keturunan dan
panjang umur), dan Hasangapon (kehormatan dan kemuliaan).
Ada kecenderungan pada orang Batak Toba, sekalipun telah lebih kosmopolitan lebih dari
satu setengah abad dan banyak berpindah ke kota meninggalkan kampung halamannya,
sikap-sikap dasar maupun ideologi terhadap adat ternyata tidak berubah. Di kota tempat
orang Batak Toba merantau, mereka membentuk sebuah asosiasi klan yaitu semacam
perkumpulan orang-orang yang bermarga sama, dalam tradisi suku Batak, memang tidak
identik dengan marga dalam pengertiannya yang asli. Tujuannya untuk mempertahankan dan
melestarikan adat yang sudah mereka miliki. Tentunya dalam kehidupan perantauan kita tidak
hanya bertemu dengan masyarakat yang berasal dari suku yang sama, tetapi kita bertemu
dengan masyarakat lain dari suku dan ras yang berbeda. Jika dikaitkan dengan perkawinan
maka ada hal-hal yang harus diperhatikan. Dalam kehidupan orang Batak Toba,
kecenderungan untuk memilih pasangan suami atau pasangan istri yang berasal dari kalangan
atau suku yang sama, adalah harapan setiap orang Batak Toba yang mau menikah.
Dikarenakan bahwa pernikahan dalam adat Batak Toba bukan hanya menyatukan dua pribadi
dalam satu ikatan tetapi juga menyatukan dua keluarga sekaligus. Sebagai contoh: apabila

seorang pria Batak Toba yang bermarga Marpaung menikah dengan seorang wanita yang
bermarga Silaban, maka bukan hanya pria Marpaung dan wanita Silaban saja yang memiliki
ikatan tetapi seluruh keluarga besar, baik pihak keluarga Marpaung maupun pihak keluarga
Silaban. Tujuannya adalah supaya masing-masing pihak mendapatkan posisi dalam sistem
adat Dalihan Na Tolu (baik itu somba marhula-hula, manat mardongan tubu maupun elek
marboru) sehingga Hamoraon, Hagabeon, dan Hasangapon dalam kehidupan mereka dapat
terwujud. Inilah yang menjadi harapan setiap orang Batak Toba, meskipun ada alasan-alasan
lain yang terlontar tapi hal yang paling utama adalah seperti yang sudah disebutkan di atas.
Akan tetapi timbul permasalahan dimana ketika seorang Batak Toba, mendapatkan pasangan
yang berasal dari luar suku Batak Toba. Yang akan terjadi selanjutnya adalah ketika seorang
Batak Toba hendak menikah dengan pasangannya yang berasal dari luar Batak Toba 6, terlebih
dahulu pasangannya yang non Batak Toba diberikan marga melalui adat, supaya apa yang
diharapkan dapat terwujud. Disamping itu pasangan yang non Batak tersebut akan
mendapatkan pengakuan di dalam keluarga dan adat dan posisi dalam Dalihan Na Tolu. Jika
tidak diberikan marga kepada pasangan yang non Batak tersebut, maka ia tidak akan diakui di
dalam adat (meskipun di dalam keluarga di terima) dan juga tidak mendapatkan posisi.
Pemberian marga dalam adat Batak Toba tentu saja tidak hanya pada saat pernikahan,
melainkan ketika seseorang memiliki hubungan baik dengan teman atau sahabat, maka orang
tersebut dapat dinaturalisasikan menjadi seseorang yang bermarga. Proses pemberian marga
itu sendiri melewati upacara adat khusus dan hukumnya (orang yang diberikan marga) adalah
sama kuat keanggotaannya berdasar pertalian darah. Akan tetapi dalam kenyataannya
peristiwa tersebut diatas menimbulkan dampak yang cukup berpengaruh dalam kehidupan
berelasi antara masyarakat Batak Toba dan orang non Batak Toba.

1.2.

Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Dalihan Natolu?
2. Bagaimana masyarakat Batak Toba menjalankan Dalihan Natolu?

3. Mengapa masyarakat Batak Toba harus menerapkan Dalihan Natolu didalam


kehidupannya?

1.3.

Tujuan Penulisan
1. Mampu menjelaskan pengertian maupun defenisi dari Dalihan Natolu
2. Mampu menjelaskan bagaimana masyarakat Batak Toba menjalankan Dalihan Natolu
3. Mampu menjelaskan mengapa Dalihan Natolu sangat penting didalam kehidupan
orang batak.

Anda mungkin juga menyukai