Anda di halaman 1dari 21

Pentingnya Pembinaan Suara Hati dalam Zaman Sekarang

Makalah

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Seminar

T/A 2017/2018

Oleh

Nathanio Chris Maranatha Bangun

(NIM: 150510041)

1
Bab I Pendahuluan

1. Latar Belakang Pemilihan Tema

Dewasa ini, umat manusia berada dalam periode baru sejarahnya. Masa perubahan-
perubahan yang mendalam dan pesat berangsur-angsur meluas ke seluruh dunia. Manusia
berubah dalam cara menilai, cara berpikir dan bertindak. Terjadi juga perombakan sosial dan
budaya, serta berdampak pula pada hidup keagamaan. Perubahan-perubahan tersebut timbul dari
kecerdasan dan usaha kreatif manusia dan kembali mempengaruhi manusia sendiri.1

Perubahan-perubahan terjadi pula dalam tata masyarakat, psikologis, moral dan


keagamaan. Pola masyarakat industri semakin mengantar berbagai bangsa kepada kekayaan
ekonomi. Hubungan manusia dengan sesamanya menimbulkan relasi baru, tanpa selalu
mendukung pendewasaan pribadi yang serasi dan mempererat hubungan-hubungan pribadi yang
sesungguhnya. Perubahan mentalitas menimbulkan perbedaan pandangan tentang nilai-nilai yang
diwariskan, terutama pada kaum muda, yang gelisah karena menyadari pentingnya jasa mereka
dalam kehidupan masyarakat dan ingin lebih dini berperan serta di dalamnya. Hidup keagamaan
semakin didalami secara kritis dan dijernihkan dari pandangan dunia yang bercorak magis dan
takhyul-takhyul. Kini hidup keagamaan semakin menuntut kepatuhan pribadi dan aktif terhadap
iman. Namun di sisi lain, berkembang pula kelompok yang menjauhkan diri dari pengamalan
agama sebagai tuntutan kemajuan ilmiah atau suatu humanisme baru. Itu semua tidak hanya
diungkapkan dalam kaidah-kaidah para filsuf, melainkan juga dalam dunia sastra, kesenian dan
hukum sipil. Akibatnya, banyak orang mengalami kekacauan batin.2

1
Konsili Vatikan II, “Gaudium et Spes” (GS), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R.
Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1990), no. 4.
2
Konsili Vatikan II, “Gaudium…, no. 5-7.

2
Situasi kekinian yang menjadi serba kompleks, membuat banyak manusia terhalang
untuk mengenali nilai-nilai lestari, pun untuk memadukannya dengan penemuan-penemuan baru
sebagaimana mestinya dengan sintesa-sintesa yang serasi. Muncullah ketidakseimbangan antara
spesialisasi kegiatan manusia dan visi menyeluruh tentang kenyataan. Akibatnya, manusia
terombang-ambing antara harapan dan kecemasan, bertanya-tanya tentang perkembangan dunia
dan tertekan oleh kegelisahan. 3

Dengan demikian, dunia masa kini membuka jalan menuju kebebasan atau perbudakan,
kemajuan atau kemunduran, persaudaraan atau kebencian. Manusia mengalami krisis dalam
menghadapi berbagai pilihan dalam hidup.4 Kaum muda kini pun mengalami disorientasi dalam
memilih jalan hidupnya. Kaum muda cenderung ingin meraih kebebasan dengan menolak
campur tangan orang tua. Kaum muda semakin mudah ikut-ikutan menganut ideologi tertentu
dari teman sebaya.5 Karena itu, perlulah suatu norma moral yang objektif sebagai orientasi
manusia untuk memilih yang terbaik dalam hidupnya.

Suara hati hadir sebagai sebuah norma moral manusia yang memiliki kemampuan
normatif. Artinya, suara hadir memiliki kemampuan untuk menunjuk nilai objektif dan
mengaplikasikannya dalam situasi konkrit seseorang. Suara hati juga memiliki kemampuan
untuk mengharuskan seseorang mengikuti tuntutan tanggung jawabnya.6 Suara hati membuat
manusia mampu membedakan hal yang baik dengan yang buruk dan dengan kemampuan itu
manusia memilih yang baik dan menjauhkan yang buruk, serta mengharuskannya untuk berbuat
baik.7

Agar suara hati berfungsi dengan baik, diperlukan pembentukan dan pembinaan yang
memadai.8 Katekismus Gereja Katolik (KGK), menegaskannya dalam ungkapan berikut:

“Pembinaan hati nurani merupakan tugas manusia seumur hidup. Pendidikan yang
bijaksana mengajarkan keutamaan; terhindar dari ketakutan, akuisme, kesombongan dan
banyak kenikmatan tersembunyi dalam kelemahan dan kesalahan manusiawi” (KGK:
1784)

3
Konsili Vatikan II, “Gaudium…, no. 8.
4
Konsili Vatikan II, “Gaudium…, no. 9.
5
Charles M. Shelton, Moralitas Kaum Muda (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 20.
6
Largus Nadeak, Topik-Topik Teologi Moral Fundamental, (Medan: Bina Media Perintis, 2015), hlm. 98-
99.
7
Largus Nadeak, Topik-Topik…, hlm. 85.
8
Largus Nadeak, Topik-Topik…, hlm. 96.

3
Pembinaan suara hati semakin penting dan mendesak, mengingat bahwa keadaan zaman
semakin mengalami disorientasi moral. Dari titik inilah pembinaan suara hati akan dibahas oleh
penulis.

2. Rumusan Masalah

Pada zaman sekarang, manusia mengalami banyak kemajuan dalam berbagai disiplin
ilmu berkat kecerdasan dan usaha kreatifnya. Kemajuan tersebut mengakibatkan banyak
perubahan dalam kehidupan manusia. Perubahan-perubahan tersebut sedemikian kompleks dan
memberi banyak pilihan sehingga manusia kesulitan untuk mencari nilai-nilai hakiki dalam
hidupnya. Manusia pun jatuh dalam kecemasan dan kegelisahan.

Melihat fakta-fakta tersebut, manusia membutuhkan suatu norma moral objektif yang
memberikan orientasi bagi tindakannya. Suara hati hadir sebagai sebuah nilai normatif yang
menunjuk pada nilai objektif bagi seseorang dan mengharuskannya untuk mengikuti nilai
tersebut tanpa ditawar-tawar.

Agar berfungsi dengan baik, suara hati perlu dibina sekara kontinu. Ada banyak
pandangan mengenai cara membina suara hati. Hal ini akan menjadi acuan untuk melihat arah
pembinaan suara hati di kemudian hari.

3. Tujuan Penulisan

Karya tulis ini dibuat dengan beberapa tujuan. Tujuan pertama adalah untuk
menyelesaikan tugas mata kuliah Seminar yang diampu oleh Lesta Pandia, Lic. S.Th. di
Fakultas Filsafat Universitas Katolik St. Thomas Sumatera Utara. Tujuan kedua adalah untuk
mendalami proses dan aspek-aspek yang berhubungan dengan pembinaan Suara Hati. Tujuan
ketiga adalah untuk menambah wawasan para pembaca tentang pentingnya pembinaan suara hati
di zaman sekarang.

4. Metode Penelitian

Dalam mengolah karya tulis ini, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan
(library research) dengan mengumpulkan berbagai buku yang membahas tentang suara hati,
khususnya pembinaan suara hati. Selanjutnya, dengan mengolah perumusan dan penyusunan
hasil penelitian tersebut, penulis menggunakan metode deskriptif analitis.

4
5. Sistematika Penyajian

Bab I merupakan pendahuluan. Dalam bab ini, penulis memaparkan latar belakang
pemilihan tema, perumusan masalah dan pembatasan tema, tujuan penulisan, metode penelitian
dan penulisan, serta sistematika penyajian.

Bab II dan III merupakan isi. Dalam bab II, penulis menjelaskan pengertian suara hati
dari berbagai sudut pandang. Penulis juga menjelaskan muatan suara hati dalam perjanjian lama
dan perjanjian baru, serta muatannya dalam ensiklik Veritatis Splendor. Dalam bab III, penulis
akan memaparkan sifat-sifat suara hati, aspek-aspek yang berperan dalam perkembangan suara
hati dan keputusan yang berdasarkan suara hati. Bab IV adalah penutup. Pada bagian ini penulis
memberikan rangkuman atas seluruh karya tulis ini. Penulis juga memberikan refleksi
pembinaan suara hati.

5
Bab II Suara Hati

1. Defenisi Suara Hati

Suara hati memiliki beberapa nama lain, yakni “hati nurani”, “hati sanubari” dan “kata
hati”.9 Secara etimologis, suara hati berasal dari bahasa latin, yakni conscience: con (dengan)
dan scire (tahu).10 Kata ini terutama menampilkan kedudukan dan peran “pengetahuan” dalam
pembahasan suara hati.11

Dalam terjemahan bahasa Indonesia, unsur “hati” lebih ditonjolkan daripada


“pengetahuan”, kendati di dalam hati juga terdapat tempat untuk menyimpan pengertian-
pengertian.12 Secara harfiah, suara hati adalah “suara” yang berasal dari kedalaman hati manusia
atau pusat kedirian seseorang dan yang menegaskan benar salahnya suatu tindakan atau baik-
buruknya suatu kelakuan tertentu berdasarkan prinsip atau norma moral. “Suara” itu sering pula
dikaitkan dengan “suara” yang berasal dari luar diri manusia dan sekaligus mengatasi
kewenangan manusia untuk menolak atau mengabaikannya.13

Kant menyebut suara hati sebagai bagian dari imperatif kategoris. Imperatif kategoris
adalah suatu perintah yang mengikat tanpa syarat dan berada dalam diri manusia. Perintah ini
adalah keharusan yang ditentukan secara apriori oleh prinsip-prinsip yang sah secara universal. 14
Jhon Henry Newman berpendapat bahwa kemutlakan suara hati menunjuk pada realitas Tuhan
sebagai Yang Mutlak.15 Dengan demikian, suara hati sekaligus ditemukan dalam unsur dari

9
Yan Van Passen, Suara Hati: Kompas Kebenaran (Jakarta: Obor, 2002), hlm. 1.
10
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 1043.
11
William Chang, Pengantar Teologi Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 130.
12
William Chang, Pengantar Teologi…, hlm. 130.
13
J. Sudarminta, Etika Umum (Yogyakarta: Kanisius, 2018), hlm. 63-65
14
Kamus Filsafat. Hlm. 331-332
15
J. Sudarminta, Etika Umum …, hlm. 65

6
dalam diri seseorang yang amat pribadi dan unsur dari luar yang mengatasi kewenangan manusia
untuk menolak atau mengabaikannya.16

Menurut Ensiklik Gaudium Et Spes (GS), suara hati adalah inti manusia yang paling
rahasia; di situ ia seorang diri bersama Allah yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya17.
Agustinus berpendapat bahwa suara hati dapat dipahami sebagai pusat ilahi dalam diri manusia,
tempat panggilan dan jawaban manusia kepada Allah. Sedangkan menurut rumusan Iman
Katolik, suara hati bukanlah perintah langsung dari Tuhan yang seolah-olah memberitahukan apa
yang harus dibuat sekarang ini. Manusia Harus mencari jalannya sendiri. Franz Magnis Suseno
berpendapat bahwa suara hati adalah kesadaran seseorang akan kewajiban dan tanggung
jawabnya sebagai manusia dalam situasi konkret.18 Rumusan GS dan Agustinus menekankan
bahwa suara hati menunjukkan suara Tuhan. Sedangkan rumusan dari Iman Katolik dan Franz
Magnis lebih menekankan bahwa suara hati adalah hasil otak dan hati manusia yang menilai baik
buruknya keinginan dan tindakan manusia.

Suara hati dibatasi untuk menunjukkan kesadaran akan benar dan salah dalam batin.
Penegasan suara hati mendasarkan diri pada pengetahuan tentang hukum moral yang bukan
ciptaan atau berasal dari manusia sendiri, melainkan suatu hukum yang sudah ditetapkan atau
digoreskan dalam hati setiap insan oleh Sang Pencipta. Manusia sebagai makhluk rasional ambil
bagian dalam pengetahuan atau kebijaksanaan Sang Pencipta. Suara hati mengandaikan adanya
pertimbangan akal budi dan bukannya sekadar perasaan spontan.19

Suara hati tidak selalu sama dengan suara Allah sekalipun suara hati berhubungan dengan
Allah. Hal ini berarti bahwa Allah tidak langsung membisikkan suara-Nya, melainkan manusia
harus mencari kebenaran dengan mempertimbangkan apakah keinginannya cocok dengan norma
moral atau tidak. Sesudah manusia sampai pada kesimpulan bahwa keinginannya baik atau
buruk, maka Allah merestui dan mendukung keputusan suara hati tersebut. Selain itu, suara hati
juga tidak selalu sama dengan suara Allah, karena suara hati bisa sesat sedangkan suara Allah
tidak mungkin sesat.20

16
J. Sudarminta, Etika Umum …, hlm. 63.
17
Konsili Vatikan II, “Gaudium…, no. 16.
18
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius,
1991), hlm. 54.
19
J. Sudarminta, Etika Umum …, hlm. 64.
20
Konsili Vatikan II, “Gaudium…, no. 16.

7
2. Titik Tolak Pembahasan Suara Hati
2.1 Pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama

Suara hati adalah istilah dan konsep Yunani dan kurang dipahami dalam lingkungan
Yahudi. Maka tidak mengherankan, bahwa dalam Perjanjian Lama (PL) hanya sedikit ruang
yang secara terang-terangan dan formal menunjuk pada kenyataan “suara hati”. 21 Satu-satunya
tempat dalam PL yang menggunakan istilah “hati nurani” bisa ditemukan dalam Kitab
Kebijaksanaan 17:10. Kata “hati” dalam PL digunakan untuk melukiskan seluruh kedalaman
pribadi manusia yang diciptakan dan dikenal oleh Tuhan sendiri.22

Ungkapan suara hati dalam PL, memiliki beberapa muatan, yakni23: Pertama, suara hati
sebagai saksi nilai moral dalam tindakan manusia. Suara hati adalah tempat dimana hukum ilahi
ditempatkan. Hukum baru akan dipahat di hati manusia (Yer. 31:33; Ezr. 11:19). Orang
dikatakan baik atau buruk tergantung dari apakah hatinya baik atau buruk, karena orang berjalan
sesuai dengan suara hatinya (Yes. 57:17).

Kedua, suara hati sebagai kebijaksanaan. Banyak ungkapan kebijaksanaan ditemukan


dalam PL. Kebijaksanaan adalah buah dari pengalaman yang mengandung pengetahuan dan
ketekunan. Untuk memiliki kebijaksanaan, orang harus melakukan perbuatan yang baik,
tindakan belas kasih (Ams. 19:11), berjiwa dan membela keadilan (1 Raj 3:11-28), kemurnian
hati (Ams. 7:4), memiliki kesabaran (Ams. 14:29) dan memiliki keteguhan hati (Yes 10:13).

Ketiga, suara hati berperan sebagai roh. Peran roh yang bersatu dengan hati adalah
penting bagi hidup manusia. Pembaharuan hidup moral berjalan dengan pembaharuan roh dan
hati setiap orang (Yez. 18:31; 36:23-26). Bisa dikatakan bahwa keputusan suara hati dalam OL
akhirnya adalah suara Tuhan. Kenyataan ini menjadi jelas terutama dalam contoh tindak kriminal
si Kain.24

21
Bernhard Kieser, Moral Dasar: Kaitan Iman dan Perbuatan (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 123.
22
William Chang, Pengantar Teologi…, hlm. 127.
23
Largus Nadeak, Topik-Topik…, hlm. 86-87.
24
William Chang, Pengantar Teologi…, hlm. 127.

8
2.2 Pandangan Kitab Suci Perjanjian Baru

Dalam Injil, Yesus berbicara tentang “hati” sebagai pusat pribadi moral (Mrk 7:17-23).
Seluruh Perjanjian Baru (PB) menggunakan 31x kata “hati nurani” (syneidesis); 19 di antaranya
dipergunakan oleh Rasul Paulus. Suara hati adalah saksi perbuatan manusia. Suara hati
dipandang sebagai anugerah bagu seluruh umat manusia.25

Ungkapan suara hati dalam PB juga memiliki beberapa muatan, yakni26: Suara hati
sebagai suatu pertimbangan religius (2Kor 4:2; Rm. 2:15); Suara hati sebagai instansi terakhir
dari suatu keputusan. Ketika mengambil keputusan, suara hati harus baik dan tidak bercacat (Kis.
23:1); Suara hati dibentuk dan dididik. Orang Kristen wajib membentuk dan memeriksa sendiri
suara hatinya (1Kor 11:28), mencari kehendak Allah (Rm. 12:2) dan mempertimbangkan hal-hal
yang pantas (Fil 1:10).

2.3 Ensiklik Veritatis Splendor27

Ensiklik Veritatis Splendor (Cahaya Kebenaran) yang dipromulgasikan oleh Paus


Yohannes Paulus II juga membahas tentang suara hati. Ensiklik ini merupakan reaksi kritis atas
situasi aktual, sehubungan dengan penggunaan suara hati dalam kebebasan. Pada waktu itu,
muncullah suatu paham kebebasan absolut, di mana manusia sampai pada suara hati yang
subjektif, yang menjadikan dirinya bisa berbuat segala sesuatu tanpa kesalahan. Pandangan ini
membuat manusia semakin jauh dari tradisi dan magisterium.

Suara hati juga dipahami secara keliru. Suara hati dipahami sebagai “aspirasi dari
kebebasan”. Dengan pertimbangan hati nurani pribadi, seseorang bebas menentukan
kebenarannya. Kebebasan, hukum dan kebenaran dihubungkan dengan hati nurani personal.
Akibatnya, suara hati bersifat subjektif dan relatif. Tidak ada suatu kebenaran objektif. Maka
untuk meluruskan keyakinan tentang yang benar dan yang baik, ensiklik ini berbicara tentang
kebenaran objektif. Suara hati seseorang bukan otomatis menjadi kebenaran objektif.

Ensiklik ini merumuskan suara hati sebagai saksi untuk manusia: saksi atas kepatuhan
dan ketidakpatuhan pada hukum dan kebenaran objektif.28 Suara hati adalah tempat berdialog

25
William Chang, Pengantar Teologi…, hlm. 128.
26
Largus Nadeak, Topik-Topik…, hlm. 87-88.
27
Largus Nadeak, Topik-Topik…, hlm. 89-91.
28
Paus Yohannes Paulus II, Ensiklik Veritatis Splendor…, no. 58.

9
antara manusia dengan Allah. Suara hati memungkinkan manusia untuk mendengar panggilan
dan suara Tuhan. Suara hati sebagai pertimbangan, sebagai hakim moral bagi manusia yang
menimbang apa yang harus dia lakukan dan apa yang harus dia elakkan.29 Suara hati tidak
otomatis menerapkan setiap hukum, tetapi menerapkan hukum natural dan hukum hasil
pemikiran bersih. Suara hati bukan mencipta dan menyatakan apa yang baik dan apa yang buruk,
tetapi mengenalnya. Keputusan salah dari suara hati tidaklah terhukum, melainkan melahirkan
suatu tanggung jawab untuk memperbaiki diri dan untuk memiliki pengharapan akan belas kasih
Allah, sehingga manusia mencoba mencari keutamaan dan mengolah diri dalam rahmat Allah.30

29
Paus Yohannes Paulus II, Ensiklik Veritatis Splendor…, no. 59.
30
Paus Yohannes Paulus II, Ensiklik Veritatis Splendor…, no. 60.

10
Bab III Pembinaan Suara Hati

1. Sifat-Sifat Suara Hati31

Sifat-sifat suara hati penting untuk diketahui terlebih dahulu sebelum membahas
pembinaan suara hati agar pembinaan suara hati memiliki orientasi yang jelas dalam prosesnya.
Ada beberapa sifat suara hati yang perlu diketahui.

Pertama, suara hati yang mengenal dan mengerti persoalan. Keputusan suara hati baik
bila mengenal dan mengerti persoalan. Sebelum seseorang dapat mengenal dan mengerti
persoalan, ia harus mengetahui terlebih dahulu seluk beluk persoalan secara mendetail. Karena
itu seseorang perlu belajar terbuka karena persoalan baru menuntut pandangan baru. Sekalipun
memiliki prinsip, seseorang tidak boleh terikat pada pola pemikiran yang ketat, yang mau
diterapkan pada setiap situasi. Selalu menerapkan pedoman umum pada kasus yang konkret akan
menimbulkan kesulitan. Dewasa ini sangat penting bila seseorang dapat mendekati suatu
persoalan dari berbagai sudut pandang dan berani untuk meninjau berbagai jalan keluar.

Maka untuk mengenal dan mengerti persoalan, seseorang membutuhkan suatu pandangan
yang kreatif dan luas, yang tidak terikat pada berbagai prasangka. Pandangan kreatif dan luas
tanpa prasangka tidak hanya tergantung pada kecerdasan seseorang, melainkan juga dari
sikapnya.

Kedua, suara hati yang berkomitmen. Dalam situasi konkret, seseorang tidak mampu
mengambil keputusan berdasarkan suara hati karena tidak sanggup memilih, tidak rela
meninggalkan sesuatu dan segan mengikat diri. Maka, situasi ini menuntut ketabahan untuk
mengambil keputusan, daya tahan untuk setia pada keputusan, serta kekuatan untuk
melaksanakannya. Untuk dapat melakukan itu semua, suara hati membutuhkan sifat komitmen.

31
Bernhard Kieser, Moral Dasar…, hlm. 142-144.

11
Ketiga, suara hati yang bertanggung jawab. Keputusan suara hati ingin mencapai sesuatu
demi kepentingan pribadi dan kepentingan bersama, karena itu orang dituntut untuk bertanggung
jawab. Tanggung jawab tidak dapat diserahkan kepada atasan sebagai pemberi perintah, atau
teman karena seseorang hanya ikut-ikutan. Keberhasilan atau kegagalan menjadi tanggung jawab
pribadi. Maka, seseorang membutuhkan kesiapan untuk menanggung risiko atas keputusan-
keputusan dan siap menanggung akibat perbuatannya.

2. Aspek-Aspek Pembinaan Suara Hati

Katekismus Gereja Katolik (KGK) memaparkan gagasan mengenai pendidikan suara


hati:

“Hati Nurani harus terdidik dan keputusan moral diterangi. Hati nurani yang terbina
dengan baik adalah jujur dan lurus hati. Hati nurani merumuskan keputusannya dengan
mengikuti akal budi, berpadanan dengan kebaikan yang benar yang dikehendaki oleh
kebijaksanaan Pencipta. Pendidikan hati nurani merupakan keharusan bagi mereka yang
terkena pengaruh-pengaruh negatif dan godaan-godaan dosa untuk lebih mudah
menyukai keputusan mereka sendiri dan menolak ajaran-ajaran tertentu. Pendidikan hati
nurani merupakan tugas manusia seumur hidup” (KGK: 1783)
Suara hati dipengaruhi tiga lembaga normatif, yakni masyarakat, superego dan ideologi.
Ideologi memberikan dasar bagaimana manusia harus bertindak, membuat manusia harus
meyakini apa yang termuat di dalamnya. Superego menuntut kepatuhan akan norma-norma yang
diinternalisasi dalam batin dan menciptakan rasa bersalah bila norma itu dilanggar sekalipun
tidak ada yang melihat. Masyarakat mencakup orang tua, sekolah, dll. Namun suara hati tidak
hanya berdasarkan tiga lembaga normatif itu. Dalam situasi konkret, muncul intansi tersendiri
dalam batin manusia yang menuntut suatu perbuatan yang lepas dari tuntutan tiga lembaga
normatif itu. Dengan kata lain, suara hati melampaui tiga lembaga normatif.32

2.1 Aspek Eksternal


A. Kitab Suci

Menurut G. Griez, pembinaan suara hati memerlukan informasi yang memadai dan
faktual. Hal tersebut terdapat di dalam Kitab Suci. Kitab suci merupakan suatu norma objektif.
Kitab Suci adalah kompas kehidupan bagi manusia yang dapat menolong manusia membedakan

32
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar…, hlm. 73-74.

12
hal yang baik dan hal yang buruk. Manusia perlu belajar dari Kitab Suci supaya dapat menjalani
kehidupan yang baik di dalam dunia yang sedang mengalami kejatuhan.33

G. Griez berpendapat bahwa nasihat-nasihat yang penting dalam pembinaan suara hati
terdapat dalam PB. Di dalamnya, orang Kristen didesak untuk meninggalkan cara hidup lama,
selalu berjaga-jaga dan bertahan menghadapi kejahatan dunia.34

B. Gereja

Gereja harus diberi kedudukan istimewa dalam lingkup pengambilan keputusan moral
berdasarkan suara hati. Gereja sangat penting karena dalam dunia yang kompleks dan terus
berkembang, gereja menjadi pimpinan moral yang sangat dibutuhkan. Gereja juga menghadirkan
suatu kebijaksanaan dengan suara otentik yang mengatasi segala kelompok masyarakat dan
kebudayaan. Roh kudus juga mendampingi gereja untuk memberikan keputusan yang pada
hakikatnya tidak dapat salah lewat Magisterium.35

Magisterium terdapat dalam Gereja Katolik. Magisterium dapat dirumuskan sebagai


tugas mengajar yang tetap, otentik dan bersifat infallibilis yang dipercayakan kepada para Rasul
Kristus. Sekarang tugas ini dimiliki dan dilaksanakan oleh para pengganti rasul-rasul Kristus
dalan kolegialitas antara para uskup dan kesatuan dengan Sri Paus.36

Magisterium berfungsi ganda. Pertama, magisterium berfungsi untuk menjaga warisan


iman yang benar. Pengganti para rasul bertugas menjaga dan melestarikan ajaran iman yang
benar dan bisa dipertanggungjawabkan sebagaimana mestinya. Kedua, pengganti para rasul juga
menafsirkan dan merumuskan warisan iman secara infallibilis dalam dan berkat tuntunan Roh
Kudus. Magisterium tidak boleh menyalurkan ajaran yang bertentangan dengan maksud Roh
Kudus. Sifat infallibilis tersebut berhubungan dengan objek ajaran tentang iman dan moral.37
Lumen Gentium 21 menekankan bahwa dalam menunaikan tugas membimbing kawanan Tuhan,
mewartakan kabar gembira, para Rasul telah dilengkapi Kristus dengan bantuan curahan khusus
Roh Kudus.38

33
William Chang, Pengantar Teologi…, hlm. 137-138.
34
William Chang, Pengantar Teologi…, hlm. 138.
35
Charles M. Shelton, Moralitas…, hlm. 20.
36
William Chang, Pengantar Teologi…, hlm. 120.
37
William Chang, Pengantar Teologi…, hlm. 121.
38
Konsili Vatikan II, “Lumen Gentium” (LG), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R.
Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1990), no. 21.

13
Dokumen Dingitatis Humanae nomor 14 berbunyi:

“Tetapi kaum beriman kristiani dalam membentuk suara hati mereka wajib
mengindahkan dengan seksama ajaran Gereja yang suci dan pasti. Sebab atas kehendak
Kristus, Gereja Katolik adalah guru kebenaran”.
Di samping itu, David Bohr berpendapat bahwa suara hati harus dibina dalam konteks
iman umum yang memandang pewahyuan rencana Tuhan dalam diri Yesus Kristus. Pewahyuan
ini berlaku bagi seluruh dunia. Orang Kristen menerima seluruh hidup, ajaran dan nilai-nilai
Yesus yang diwariskan kepada manusia melalui Tradisi dan Gereja sebagai “jalan” untuk segala
sesuatu yang benar dan baik.39

Pembinaan suara hati orang Kristen merupakan pertumbuhan terus-menerus dalam


kesadaran akan “jalan, kebenaran dan hidup”, yakni Yesus Kristus. Ini berarti, orang Kristen
harus menjadikan hidup, ajaran, pandangan dan nilai-nilai Yesus Kristus sebagai milik pribadi
melalui proses pertobatan yang berkesinambungan.40

Sekalipun ajaran dogma dari magisterium bersifat infallibilis, ajaran tersebut bukanlah
suatu keputusan final yang tidak dapat berubah. Tetap masih terbuka kemungkinan untuk
meninjau kembali dan memperbaiki ajaran yang telah disampaikan sehubungan dengan dunia
moral.41

C. Masyarakat42

Suara hati dipengaruhi oleh pendidikan informal dan formal yang diterima seseorang,
terlebih-lebih pandangan-pandangan moral lingkungannya. Tanpa didari, seseorang dapat
terjebak dalam prasangka-prasangka bila tidak berdistansi dengan banyaknya pandangan dari
lingkungannya.

Namun lingkungan masyarakat juga dapat bernilai positif karena berfungsi sebagai
tempat seseorang meminta nasihat dari orang lain. Seseorang yang ingin membina suara hati
selalu bersikap terbuka dengan mempertimbangkan setiap argumen yang ada dan terbuka
terhadap kritik. Akhirnya lewat semua hal tersebut, seseorang dapat membuat keputusan
berdasarkan suara hatinya.

39
William Chang, Pengantar Teologi…, hlm. 139.
40
William Chang, Pengantar Teologi…, hlm. 139.
41
William Chang, Pengantar Teologi…, hlm. 123.
42
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar…, hlm. 69-70.

14
2.2 Aspek Internal
A. Doa dan Refleksi43

Doa daat dilukiskan sebagai gejala religius universal, yang pada hakikatnya berupa
komunikasi dengan Yang Ilahi. Melalui doa, manusia didekatkan dengan Tuhan, agar manusia
bersatu dengan-Nya. Di dalam doa, manusia memohonkan penyertaan Tuhan dalam rangkaian
sejarah dan gejala-gejala alam.

Yesus Kristus adalah guru dan model doa sejati. Dengan mengikuti teladan dan perintah-
Nya Gereja berdoa. Bahkan dari awal sejarah kebangkitan-Nya, telah muncul komunitas pendoa.
Ciri-ciri doa kristiani dapat dilukiskan sebagai berikut: Doa menjawab pewahyuan Allah dalam
sejarah keselamatan dan hal ini terwujud melalui teladan dan nama Yesus.

Suara hati hendaknya dilindungi dari keributan dan gangguan dari luar supaya manusia
dapat berbicara dengan Tuhan dalam hati nuraninya. Suara hati dapat terfokus bila batin manusia
tenang. Doa, dalam bentuk apapun, menuntut syarat mutlak berupa ketenangan batiniah agar
manusia dapat mendengarkan suara Tuhan.

Menurut G. Griez, pembinaan hati nurani membawa manusia pada kedalaman makna
hidup. Namun, manusia dewasa ini terkadang berpandangan terlalu dangkal. Manusia cenderung
menenangkan diri dengan hal-hal lahiriah dan melekatkan diri pada mode-mode modern. Bagi
orang Kristen, kedalaman makna hidup diwujudkan lewat hidup rohani dan doa. Dalam hal ini,
keterbukaan manusia terhadap kehadiran dan peran Roh Tuhan sama sekali tidak bisa
disingkirkan. G. Griez juga berpendapat bahwa manusia untuk dapat mengambil keputusan
berdasarkan suara hati, manusia perlu bersedia untuk berefleksi moral. 44

B. Latihan Pribadi45

Suara hati dibina dengan latihan untuk mempertimbangkan nilai dalam kasus-kasus
kompleks. Pertimbangan nilai mengandaikan kesanggupan untuk bertindak wajar, melawan
godaan, mengontrol kecenderungan, memantapkan cita-cita, mengorbankan kepuasan langsung
demi hasil jangka panjang dan untuk mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan
bersama.

43
William Chang, Moral Spesial (Yogyakarta: Kanisius, 2018), hlm. 90-91.
44
William Chang, Pengantar Teologi…, hlm. 139.
45
Bernhard Kieser, Moral Dasar…, hlm. 149-150.

15
Karena itu, seseorang memerlukan situasi di mana pedoman-pedoman biasa tidak lagi
diterapkan, di mana model-model moral anak-anak tidak lagi berfungsi. Bernhard Kiesser
berpendapat bahwa salah satu situasi yang cocok adalah ketika seseorang mengambil keputusan
untuk memilih profesi hidup, mencari tempat kerja atu keputusan untuk memilih patner hidup.
Pada momen tersebut, seseorang umumnya diberi kelonggaran untuk mempertimbangkan dan
mengambil keputusan sendiri, serta dituntut pertanggungjawaban atas keputusan.

3. Pandangan J. Sudarminta46
Pembinaan suara hati dimaksudkan untuk memotivasi usaha sadar untuk memperoleh,
memperdalam dan mengembangkan pemahaman, penilaian dan sikap moral. Dengan demikian,
manusia semakin tepat bertindak sesuai dengan kewajiban moralnya dalam situasi konkret.
Pembinaan suara hati melibatkan empat dimensi, yakni dimensi pengetahuan (kognitif), dimensi
rasa atau kepekaan hati (afektif), dimensi kehendak (konatif) dan dimensi pembiasaan berbuat
baik.
Dalam dimensi kognitif, pendidikan suara hati melibatkan usaha untuk terus-menerus
belajar guna meningkatkan pengetahuan dan pengertian moral. Karenanya diperlukan sikap
terbuka terhadap berbagai macam informasi. Informasi tersebut berguna untuk memberi
pertimbangan-pertimbangan rasional. Pertimbangan-pertimbangan itu berguna untuk membuka
berbagai kemungkinan untuk mengubah pandangan atau melanjutkannya.
Manusia memerlukan sikap kerendahan hati untuk rela bertanya kepada mereka yang
lebih pintar atau lebih bijaksana. Manusia, yang tidak mau terus-menerus belajar dari hidup yang
berkembang dan berubah, besar kemungkinan pandangan moralnya menjadi statis, dogmatis dan
tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Berkenaan dengan dimensi afektif, pembinaan suara hati bermaksud menumbuhkan cita
rasa moral atau kepekaan hati terhadap apa yang memang baik dan yang jahat; apa yang bernilai
dan yang tidak bernilai; apa yang perlu dicari dan apa yang perlu dihindarkan. Pengembangan
dimensi ini mengandaikan adanya pengalaman personal dari seseorang yang menyaksikan
sendiri bagaimana nilai-nilai dan sikap-sikap moral ditampilkan oleh figur-figur yang patut
diteladani.
Keteladanan dari figur-figur tertentu mengandaikan adanya suatu hubungan antarpribadi
yang dijiwai semangat kasih. Kepribadian manusia terbina, bukan pertama-tama karena diberi
tahu berbagai hal, melainkan karena ditarik oleh pesona keteladanan figur-figur. Keutamaan

46
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar…, hlm. 72-74.

16
moral menjadi tidak abstrak lagi, melainkan konkret dalam pribadi-pribadi hidup yang dijumpai.
Karena itu, biografi tokoh moral ideal dan kisah-kisah kepahlawanan para pejuang moral dapat
berperan positif. Demikian pula pengalaman hidup bersama orang lain (live in) dapat
menumbuhkan kepekaan hati seseorang untuk berrefleksi.
Dalam dimensi konatif, pendidikan moral bermaksud membangun kehendak atau tekad
moral. Kesadaran moral dalam situasi konkret dapat keliru karena kehendak yang tidak kuat.
Aristoteles menyebutnya akrasia (kelemahan kehendak). Manusia yang kehendaknya tidak kuat
mudah jatuh ke dalam godaan untuk tidak melaksanakan apa yang secara kognitif diyakininya
sebagai kebenaran. Pengetahuan yang tepat tentang yang baik dan yang benar tidak dengan
sendirinya menjamin tindakan yang baik dan yang benar. Suara hati dapat keliru karena
dorongan nafsu yang tidak teratur.
Kehendak moral yang kuat dapat dilatih dengan melakukan askese, mati raga atau
beringkar diri. Orang dapat melatih diri untuk tidak dipengaruhi perasaan-perasaan spontannya
(suka tidak suka, enak tidak enak, dsb.) dengan melakukan apa yang tidak disukai namun
disadari sebagai tindakan moral yang baik.
Dalam dimensi pembiasaan berbuat baik, dimensi kognitif, dimensi afektif dan dimensi
konatif dipadukan. Kepekaan dan ketepatan penilaian suara hati akan berkembang kalau
seseorang membiasakan diri melakukan sesuatu yang dipahami dan diyakini sebagai yang baik.
Keutamaan-keutamaan moral hanya tumbuh berkat pembiasaan bertindak baik dengan sikap
kritis dari dimensi kongnitif. Bila pelatihan dilakukan terus menerus secara paksa, maka akan
tumbuh suara hati yang labil. Karena itu pembiasaan ini membutuhkan motivasi pribadi dari
seseorang.

4. Keputusan dan Suara Hati47

Dalam hidup sehari-hari, setiap orang pasti mengambil keputusan, baik itu keputusan
besar (menikah atau hidup selibat) maupun keputusan yang kecil (makan ini atau itu). Keputusan
berdasarkan suara hati bukan diambil berdasarkan kecondongan perasaan belaka karena suara
hati mengklaim rasionalitas dan objektivitas seturut pengertiannya. Sebelum mengambil
keputusan, manusia perlu memperhatikan beberapa hal seperti, sikap terbuka. Manusia perlu
terbuka dengan mencari informasi sebanyak mungkin dan meminta nasehat dari orang yang ahli
atau bijaksana. Setiap argumen pro dan kontra dipertimbangkan dengan matang. Manusia tidak

47
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar…, hlm. 67-73.

17
boleh bersikap anti kritik dengan alasan bahwa dirinya sudah memiliki keyakinan padahal tidak
memiliki pertanggungjawaban rasional.

Kemudian ketika keputusan akhirnya harus diambil, manusia perlu mengambil hal yang
disadarinya sebagai sebuah kewajiban moral pada saat itu. Keputusan itu tidak harus disesuaikan
dengan norma-norma dari lembaga-lembaga normatif. Keputusan itu bisa bertentangan dengan
tiga lembaga normatif, namun sesuai dengan kesadaran akan kewajiban moral pada saat itu.

Dalam mengambil keputusan dapat muncul keragu-raguan. Keraguan dapat terjadi bukan
hanya karena informasi yang kurang memadai, melainkan juga karena kepribadian seseorang
yang adalah peragu. Dalam keraguan, manusia harus berani mengambil resiko dalam pilihannya.
Suara hati membimbing manusia memilih salah satu dari sekian banyak pilihan. Memang, tidak
ada jaminan bahwa keputusan itu pasti tepat. Tetapi, sekalipun keputusan itu salah, orang yang
mengambil keputusan tidak bersalah secara moral. Hal yang dapat dipersalahkan secara moral
adalah persiapan yang kurang teliti. Sekalipun demikian, akibat yang ditimbulkan oleh keputusan
yang keliru tetap harus dipertanggungjawabkan.

18
Bab IV Penutup

A. Kesimpulan

Pemahaman akan suara hati beragam dan berkembang dari waktu ke waktu. Secara
ringkas dapat dikatakan bahwa suara hati adalah kesadaran moral akan kewajiban dan tanggung
jawab dalam situasi konkret. Kesadaran itu mencakup dimensi kognitif dan afektif. Artinya,
kesadaran moral tersebut berhubungan dengan penggunaan akal budi dan kepekaan
mendengarkan suara Tuhan.

Suara hati tidak stagnan melainkan dinamis. Suara hati dapat melemah bila tidak dibina
dan dapat menguat bila dibina dengan baik. Pembinaan suara hati mencakup aspek eksternal dan
internal. Aspek eksternal dari pembinaan suara hati adalah Kitab Suci dan Gereja. Sedangkan
aspek internal dari suara hati adalah Doa dan latihan pribadi.

Suara hati yang kuat akan memudahkan manusia untuk mengambil keputusan dalam
situasi-situasi yang rumit sekalipun. Memang, dalam pembinaan suara hati manusia dibimbing
oleh norma-norma objektif. Namun, manusia tidak dapat menggantungkan keputusannya dari
norma-norma yang ada, melainkan lewat norma itu mempertimbangkan keputusan yang tepat
sesuai dengan otonomi suara hati. Keputusan berdasarkan suara hati bukanlah kepastian ilmu
alam atau ilmu ukur, melainkan kemampuan yang dilatih oleh pengalaman dan pembiasaan
lama.

B. Refleksi Kritis

Doa adalah salah satu unsur internal terpenting dalam pembinaan suara hati. Dalam hidup
sehari-hari, seseorang harus berusaha mempersatukan hidup rohaninya dengan tugas-tugas
harian agar lebih peka mendengarkan suara hatinya. Tugas harian semakin dibaharui bila
manusia menyatukan hidup dan kegiatannya kepada Tuhan. Karena itu, tepatlah ungkapan klasik

19
ora et labora (berdoalah dan bekerjalah). Untuk bisa menyatukan hidup doa dan rutinitas harian,
setiap orang perlu manajemen waktu yang baik.

Di samping itu, untuk dapat mengambil keputusan yang tepat, manusia memang perlu
mencari informasi tambahan dari orang yang lebih ahli atau yang lebih bijaksana. Namun sesuai
defenisinya, suara hati tidak hanya berupa hubungan antara manusia dengan manusia, melainkan
juga manusia dengan realitas tertinggi, Allah. Karena itu, manusia juga perlu berkomunikasi
dengan Allah. Informasi dari Allah pasti lebih banyak dan lurus karena pengetahuan manusia itu
terbatas, sedangkan pengetahuan Allah tidak terbatas. Namun tentu saja informasi itu bukan
informasi langsung dari pancaindera, melainkan informasi rohaniah. Orang beriman
berkomunikasi dengan Allah lewat doa. Maka, manusia yang memiliki kualitas hidup doa yang
baik akan lebih peka terhadap arah suara hatinya dan lebih mudah mengambil keputusan dalam
hidupnya. Keraguan lebih mudah diatasi.

Kaum remaja perlu membuat distansi antara suara hatinya dengan perintah orang tua atau
dengan pandangan teman-teman sebaya. Perintah orang tua dan ideologi teman-teman sebaya
tidak dapat otomatis dianut sebagai orientasi hidup yang baik. Kaum muda mempunyai hak
untuk mempertimbangkan nilai-nilai moral berdasarkan pilihan personal.

Agar kaum muda memiliki landasan suara hati yang baik, mereka perlu diarahkan pada
kebijaksanaan Gereja agar keputusan personal mereka mengarah kepada kebaikan. Di dalam
Gereja terdapat nilai-nilai kristiani universal, khususnya nilai mencintai. Kaum muda juga perlu
didekatkan dengan persahabatan pribadi dengan Kristus dalam Komunitas Gerejani. Kaum muda
dibina pertama-tama lewat pembabtisan, lalu dikembangkan dalam Ekaristi.

Dalam hal pengambilan keputusan berdasarkan suara hati, lingkungan dapat


mempengaruhi. Keputusan bisa keliru bila terlalu tergantung pada tiga lembaga normatif. Karena
itu untuk mengambil keputusan yang baik, manusia perlu mengkondisikan lingkungannya
dengan sedemikian kondusif setelah memperoleh berbagai informasi. Manusia perlu berdistansi
dari lingkungannya yang sebelumnya dan mengamati otonomi gerak suara hatinya. Bagi umat
kristiani, tempat terbaik adalah gereja. Di dalam gereja, manusia lebih mudah masuk ke dalam
keheningan bersama dirinya dan Tuhan.

20
Daftar Pustaka

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2000.

Chang, William. Moral Spesial. Yogyakarta: Kanisius, 2018.


Chang, William. Pengantar Teologi Moral. Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Go, Piet. Teologi Moral Dasar. Malang: Dioma, 2007.

Kieser, Bernhard. Moral Dasar: Kaitan Iman dan Perbuatan. Yogyakarta: Kanisius, 1987.
Magnis-Suseno, Franz. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta:
Kanisius, 1991.

Passen, Yan Van. Suara Hati: Kompas Kebenaran. Jakarta: Obor, 2002.

Sudarminta, J. Etika Umum. Yogyakarta: Kanisius, 2018.

Nadeak, Largus. Topik-Topik Teologi Moral Fundamental. Medan: Bina Media Perintis, 2015.

Paus Yohanes Paulus II. Ensiklik Veritatis Splendor (Cahaya Kebenaran). Jakarta, Departemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI 1994.
Shelton, Charles M. Moralitas Kaum Muda. Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Tong, Stephen. Roh Kudus: Suara Hati Nurani dan Setan. Jakarta: Lembaga Reformed Injili
Indonesia, 1997.

21

Anda mungkin juga menyukai