Anda di halaman 1dari 24

INKULTURASI TRADISI MANGOKKAL HOLI DARI KEBUDAYAAN

BATAK DALAM UPACARA PENGGALIAN DAN PEMINDAHAN


JENAZAH

PAPER

Dibuat Dalam Rangka Tugas Akhir Matakuliah


Misiologi, Evangelisasi, dan Pencarian Nilai

Oleh:

Roberto Reno Sitepu


8121801008

Dosen Matakuliah:
Christoforus Harimanto Suryanugraha, Drs., SLL.

PROGRAM MAGISTER ILMU TEOLOGI


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN
BANDUNG
DESEMBER 2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 1

BAB I PENDAHULUAN 2

BAB II PERBANDINGAN EDITIO TYPICA DENGAN KULTUR 3

2.1 Perbandingan Secara Umum 3

2.2 Perbandingan Secara Khusus Mengenai Makna Tugu 6

2.3 Makna Gondang dalam Budaya Batak dan Penggunaanya dalam Liturgi 8

2.4 Pengungkapan Kembali Titik Temu antara Editio Typica dengan Kultur 11

BAB IIIPENERAPAN INKULTURASI MANGOKKAL HOLI DALAM IBADAT


PENGGALIAN DAN PEMINDAHAN JENAZAH 13

BAB IV SOSIALISASI DAN EVALUASI 16

4.1 Usulan untuk Sosialisasi 16

4.2 Evaluasi 19

BAB V PENUTUP 20

DAFTAR PUSTAKA 21

LAMPIRAN 22

1
BAB I
PENDAHULUAN

Kematian merupakan bagian yang tak terpishakan dan momen yang tak terhindarkan
dari kehidupan manusia. Berbagai macam kebudayaan memberi makna terhadap kematian
dengan caranya masing-masing dan dengan demikian membentuk adat istiadat untuk
memakamkan seseorang yang meninggal atau melakukan penghormatan terhadap jenasah
atau makamnya. Salah satu dari kebudayaan tersebut ialah adat mangokkal holi dalam
kebudayaan batak. Istilah “mangokkal holi” secara harafiah berarti “memandikan tulang”
merupakan salah satu upacara adat suku batak yang didalamnya suatu keluarga menggali
makam leluhur mereka, memindahkan tulang belulang di dalamnya, lalu memasukkannya ke
dalam tugu yang telah disiapkan diiringi dengan upacara adat yang meriah.

Dalam tradisi Katolik tidak terdapat budaya pemindahan makam. Editio typica dari
ritus pemakaman yang berjudul Ordo Exseguiarum tidak memuat rumusan mengenai upacara
pemindahan makam. Meski demikian, dalam buku terjemahannya yang berjudul Upacara
Pemakaman, Konferensi Waligereja Indonesia membuat suatu rumusan untuk pemindahan
makam. Bagian itu diberi judul “Bab X: Upacara Penggalian dan Pemindahan Jenazah”. Oleh
sebab itu, melalui tulisan ini diupayakan inkulturasi budaya mangokkal holi ke dalam upacara
penggalian dan pemindahan jenasah menurut Gereja Katolik.

Terdapat berbagai macam unsur dari tradisi mangokkal holi yang dapat
diinkulturasikan ke dalam upcara penggalian dan pemindahan jenazah dalam liturgi Katolik.
Unsur-unsur tersebut misalnya pemimpin upacara, proses memandikan jenazah, kain ulos,
peti kayu, dan tugu. Untuk mempersempit pembahasan, kelompok memilih untuk membahas
unsur tugu dalam mangokkal holi yang akan diinkulturasikan dalam upacara penggalian dan
pemindahan jenazah. Meski demi mudahnya upacara tersebut dapat dilakukan dalam ibadat
tersendiri, namun itu tidak menutup kemungkinan bahwa ritus tersebut dapat dimasukkan
dalam perayaan ekaristi misalnya untuk menggantikan ritus perarakan masuk.

2
BAB II

PERBANDINGAN EDITIO TYPICA DENGAN KULTUR

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai perbandingan antara kultur yang mendasari
editio typica Ibadat Penghormatan dan Pemindahan Jenasah dalam buku Upacara
Pemakaman dengan kultur mangokkal holi dalam kebudayaan batak. Pada bagian awal akan
dijelaskan perbandingan umum di antara dua kebudayaan terebut. Bagian tersebut dilanjutkan
dengan penjelasan mengenai dua unsur yang ada baik dalam kebudayaan edtio typica maupun
kultur mangokkal holi, yaitu tugu tempat pemakaman dan musik yang mengiringi upacara
tersebut. Bab ini ditutup dengan penjelasan mengenai pengungkapan kembali titik temu
antara editio typica dengan kultur mangokkal holi.

2.1 Perbandingan Secara Umum

Perbandingan perlu dilakukan untuk melihat kesepadanan antara kultur


yang mendasari editio typica dan kultur setempat, yaitu mangokkal holi, untuk
melihat persamaan dan perbedaan di antara keduanya. Terdapat tiga unsur yang
diperbandingkan yaitu nilai (value), pranata (institutions), dan pola budaya
(cultural pattern). Perbandingan antara upacara penghormatan dan pemindahan
jenasah dalam editio typica dan kebudayaan mangokkal holi adalah sebagai
berikut.

Editio Typica Kebudayaan


Nilai  kepercayaan akan kebangkitan  kepercayaan bahwa kematian
badan menjadi proses di mana manusia
 menghormati Orang Kudus akan mencapai kesempurnaan
 dilakukan untuk penghormatan
kepada arwah leluhur atau arwah
nenek moyang

Pranata pemakaman, biasanya ditujukan pesta adat


kepada para martir yang mayatnya
ditinggalkan begitu saja setelah

3
dibunuh atau dimakamkan secara
tidak layak
Pola Budaya umat mencari atau menggali proses mangokkal holi ini adalah
“bagian yang paling tangguh” dari proses pemindahan tulang belulang
tubuh para martir untuk ditaruh di orang yang sudah meninggal
tempat yang terhormat (i. e. dimasukan ke dalam tugu. Dalam
katakombe) praktiknya, tulang belulang keluarga
atau kerabat yang meninggal akan
diambil, dicuci bersih, kemudian
dikumpulkan dalam sebuah peti.
Tulang yang sudah bersih nantinya
akan dikubur kembali ke dalam tugu
yang lebih besar.

Upacara Penggalian dan Pemindahan Jenazah

1. Values

Dalam tradisi Katolik tidak terdapat upacara penggalian dan pemindahan jenazah.
Meski demikian, tradisi tersebut sebenarnya dapat dirunut kembali pada masa Gereja Perdana
dan Bapa-Bapa Apostolik (i.e. sebelum 313 M). Pada masa itu kerap terjadi pengejaran,
penganiayaan, dan pembunuhan terhadap orang Kristen. Apabila ada seorang Kristen
dibunuh, bisa jadi mayatnya begitu saja dipindahkan ke makam (katakombe) karena takut
apabila mayat tersebut diambil maka orang yang bersangkutan akan diketahui identitasnya
sebagai orang Kristen dan mengalami nasib yang serupa. Oleh sebab itu, yang dilakukan
ialah menunggu saat yang aman sebelum kemudian mengangkut dan memakamkan jenazah
martir tersebut pada tempat yang layak. Upacara semacam itu didasari oleh iman akan
kebangkitan badan. Di samping itu, upacara itu juga dilakukan untuk menghormati arwah
orang kudus yang telah meninggal sebagai martir tersebut.

2. Institiutions

Pranata dari upacara penggalian dan pemindahan jenazah dalam tradisi Katolik ialah
pemakaman. Biasanya pemakaman tersebut ditujukan bagi seorang martir yang mayatnya
ditinggalkan begitu saja setelah dibunuh atau dimakamkan secara tidak layak.

4
3. Cultural Patterns

Tradisi penggalian dan pemindahan makam dalam Gereja Katolik dilakukan dengan
mencari, menggali, dan mengangkat jenazah atau bagian tubuh yang tersisa dari penyiksaan
dari martir tersebut sebelum kemudian mengaraknya dalam keheningan dan memasukkannya
ke dalam makam yang baru di katakombe.

Mangokkal Holi

1. Values

Mangokkal Holi dianggap sebagai bentuk adat istiadat tertinggi Suku Batak.
Mangokkal Holi dilakukan untuk penghormatan kepada arwah leluhur atau arwah nenek
moyang. Masyarakat Batak Meyakini bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya.
Kematian menjadi proses di mana manusia akan mencapai kesempurnaan. Maka dari itu ada
tradisi tersendiri yang dilakukan agar membantu arwah leluhur mencapai pada kesempurnaan
yaitu mangokkal holi.

Selain itu dengan melakukan mangokkal holi yang adalah penghormatan kepada
arwah leluhur diharapkan nantinya keluarga yang melakukannya mendapatkan kesejahteraan,
keturunan yang baik dan berkat yang melimpah dan juga akan dapat mengangkat martabat
suatu marga yang melaksanakannya.

2. Institutions

Biasanya tradisi ini diadakan jika sekelompok keluarga besar batak telah mampu
memiliki dana yang cukup untuk membuat suatu tugu dan juga dana untuk biaya pesta. Oleh
sebab itu, kelompok keluarga itu akan menabung dan iyuran untuk melakukannya.

Proses mangokkal holi ini adalah proses pemindahan tulang belulang orang yang
sudah meninggal dimasukan ke dalam tugu. Dalam praktiknya, tulang belulang keluarga atau
kerabat yang meninggal akan diambil, dicuci bersih, kemudian dikumpulkan dalam sebuah
peti. Tulang yang sudah bersih nantinya akan dikubur kembali ke dalam tugu yang lebih
besar. Proses ini memakan waktu berhari-hari. Pada malam harinya, acara Mangokal Holi
akan disemarakkan dengan kebaktian. Kebaktian di sini adalah dendangan musik-musik
gondang (musik khas Batak) dengan harapan Tuhan merestui pelaksanaan Mangokal Holi
keesokan harinya.

5
3. Cultural Patterns

Mangokkal holi menjadi pola dari tradisi batak untuk menghormati roh nenek
moyang. Tradisi Batak juga sangat menjunjung tinggi kebersamaan. Oleh sebab itu, orang
yang sudah meninggal juga dianggap masih dalam kebersamaan di dalam keluarga. Tugu
yang sudah siap dibangun, atau dikenTugu yang sudah siap dibangun, atau dikenal dengan
istilah Tambak, siap dipestakan. Pimpinan keluarga yang melakukan ongkal holi harus
mengenakan sortali, yaitu hiasan kepala yang terbuat dari emas sebagai perlambang
keperkasaan dan perlindungan terhadap seisi rumah.

Seluruh keluarga dari berbagai daerah pun telah berkumpul. Mereka bersiap
melakukan pesta mangukal holi atau eksumasi. Dari pihak hula hula atau dari pihak
keturunan perempuan datang dengan membawa beras. Keluarga pun menyambut dengan
tarian tor-tor. Setelah sesepuh dari garis keturunan ibu yang disebut hula-hula memberi restu,
makam pun dibongkar.

Biasanya kerangka yang telah dikeluarkan dibersihkan oleh adik perempuan


mendiang dengan menggunakan jeruk purut. Diyakini ketika kerangka disentuh cahaya
matahari, itulah saat terakhir mendiang berhubungan dengan dunia sebelum dikuburkan
kembali di tempat termulia bagi jiwanya yang disebut dengan tondi.

Dari pihak hula hula atau dari pihak keturunan perempuan datang dengan membawa
beras. Keluarga pun menyambut dengan tarian tor-tor. Setelah sesepuh dari garis keturunan
ibu yang disebut hula-hula memberi restu, makam pun dibongkar

2.2 Perbandingan Secara Khusus Mengenai Makna Tugu

Dalam tradisi barat terdapat suatu struktur bangunan yang digunakan untuk
menempatkan jenasah yang disebut sebagai mausoleum. Mausoleum merupakan suatu
bangunan eksternal yang berdiri sendiri (terlepas dari gedung lain) yang dibangun sebagai
suatu monumen yang menutupi ruang atau kamar pemakaman bagi satu atau beberapa orang
yang meninggal. Kebiasaan membangun mausoleum sudah ada dalam sejarah umat manusia
seperti dibangunnya piramid, nekropolis, atau Taj Mahal yang terkenal. Tetapi ketika
Kristianitas menjadi dominan, mausoleums tidak lagi digunakan. Mausoleum menjadi
populer kembali di Eropa dan jajahannya pada era modern awal. Mausoleum memuat jenasah
yang dimasukkan dalam suatu sarcophagus atau dapat berfungsi sebagai columbaria, yaitu
yang memuat abu jenasah yang sudah dikremasi. Mausoleum dapat terletak di situs

6
pemakaman, halaman gereja, atau suatu lahan pribadi. Di USA, istilah mausoleum digunakan
sebagai tempat pemakaman di bawah gedung yang lebih besar, misalnya suatu gereja. Salah
satu contoh yang terkenal ialah Katedral Our Lady Of the Angels di Los Angeles, California,
USA, yang memuat enam ribu makam di lantai bawah tanahnya. Di Eropa, tempat
penyimpanan bawah tanah ini biasa disebut sebagai crypts atau catacombs. Mausoleum
didirikan sebagai bentuk monumen kenangan, atau simbol cinta kasih, bagi orang yang
dimakamkan di dalamnya.

Dalam tradisi mangokkal holi, tugu adalah salah satu simbol dalam sistem
kepercayaan adat istiadat batak. Dipercaya bahwa arwah yang sudah meninggal mendapat
tempat khusus, dan hal ini disimbolkan dalam tugu. Dan dipercaya bahwa roh nenek moyang
yang telah mendapat tempat khusus itu akan meberikan berkat dan kesejahteraan kepada
keluarga yang masih hidup.

Oleh sebab itu, tugu diharapkan dapat dibangun oleh setiap keluarga agar dapat
memberikan perlakuan yang baik kepada para leluhur. Semua nenek moyang dihormati oleh
keturunanya. Khususnya pada waktu masih hidup, tondi mereka sangat diperhatikan dan
setelah mati pun tetap dipuja. di antara nenek moyang orang Batak ada yang dipuja secara
lebih khusus, yaitu roh leluhur yang telah menjadi sumanggot. Orang Batak sangat
menghargai kehidupan manusia pada waktu hidup dan juga setelah mati.

Melalui ritus pendirian tugu dan penggalian tulang-belulang dan berbagai macam
pemberian sesajian, kedudukan roh nenek moyang orang Batak akan naik terus, bisa
mencapai setinggi dewa. Melalui upacara-upacara pemuja itu komunikasi timbal balik antara
keturunan dan roh nenek moyang itu akan berlangsung dengan baik. lsi hati dan permohonan
keturunan akan disampaikan kepada leluhur itu. dan pengaruh dari fungsi penyembahan roh
leluhur disampaikan kepada keturunannya.

Dengan demikian dapat disimpulkan persamaan dan perbedaan antara tradisi


mausoleum di barat dengan tugu dalam tradisi mangokkal holi dalam kebudayaan batak.
Adapun persamaanya antara lain sebagai berikut. Pertama, dibangun suatu struktur untuk
menempatkan jenasah orang yang sudah meninggal di dalamnya. Kedua, bangunan tersebut
dibuat megah sebagai bentuk penghormatan, pengenangan, dan kasih sayang terhadap orang
yang meninggal. Perbedaanya ialah, bahwa mausoleum tidak digunakan sebagai tempat
‘penyembahan’ arwah leluhur sebagaimana bisa didapati dalam sikap masyarakat terhadap
tugu dalam tradisi mangokkal holi. Tugu dalam tradisi mangokkal holi dianggap sebagai

7
suatu alam tempat bernaungnya para roh nenek moyang yang bisa dipuja sehingga tetap
memberikan berkat kepada keturunannya.

2.3 Makna Gondang dalam Budaya Batak dan Penggunaanya dalam Liturgi

Selain Tugu hal yang perlu diperhatikan dalam tradisi batak adalah Gondang. Bagi
masyarakat Batak Toba, Gondang memiliki peranan yang sangat penting. Dapat dikatakan
bahwa tidak ada sebuah bentuk upacara pun yang tidak melibatkan Gondang, baik itu upacara
adat maupun ritual keagamaan. Hal ini dapat dilihat dalam sebuah falsafi tradisional
masyarakat Batak Toba yang menyatakan bahwa Gondang merupakan “alat utama” untuk
mencapai hubungan antara manusia dan sang pencipta segalanya (Tuhan pada suku Batak
Toba) yang disebut “Debata Mulajadi Na Bolon”. Konteks ini merupakan sebuah ritual
keagamaan dimana Gondang digunakan sebagai sarana komunikasi antara manusia terhadap
sang pencipta, sehingga setiap musik yang dihadirkan atau dimainkan memiliki makna
sebagai persembahan, pujian dan doa. Melalui Gondang seluruh permohonan dapat
disampaikan kepada Dewa pencipta (Dewa Mulajadi na Bolon), Dewa Bantara guru,roh para
leluhur dan berbagai kekuatan lainnya. Dengan demikian dalam konteks agama kesukuan
Gondang dipandang sebagai musik sakral.

Gondang yang biasanya digunakan dalam acara adat adalah Gondang Sebangunan
meskipun ada juga Gondang Hasapi. Namun biasanya Gondang Hasapi diartikan sebagai
uning-uningan dalam acara hiburan berbeda dengan Gondang Sebangunan yang dianggap
Gondang yang Bolon (Agung). Banyak istilah yang diberikan para ahli kebudayaan ataupun
istilah dari masyarakat Batak itu sendiri terhadap gondang Sabangunan, antara lain: agung,
agung sabangunan, gordang parhohas na ualu (perkakas nan delapan) dan sebagainya. Tetapi
semua ini merupakan istilah saja, karena masing-masing pada umumnya mempunyai
pengertian yang sama.
Diantara istilah-istilah tersebut, istilah yang paling menarik perhatian adalah
parhohas na ualu yang mempunyai pengertian perkakas nan delapan. Istilah ini umumnya
dipakai oleh tokoh-tokoh tua saja, dan biasanya disambung lagi dengan kalimat
“simaningguak di langit natondol di tano” (artinya berpijak di atas tanah sampai juga ke
langit). Menurut keyakinan suku bangsa Batak Toba dahulu, apabila gondang sabangunan
tersebut dimainkan, maka suaranya akan kedengaran sampai ke langit dan semua penari
mengikuti gondang itu akan melompat-lompat seperti kesurupan di atas tanah (na tondol di
tano). Biasanya semua pendengar mengakui adanya sesuatu kekuatan di dalam “gondang” itu

8
yang dapat membuat orang bersuka cita, sedih, dan merasa bersatu di dalam suasana
kekeluargaan.
Gondang sabangunan disebut “parhohas na ualu, karena terdiri dari delapan jenis
instrumen tradisional Batak Toba, yaitu taganing, sarune, gordang, ogling ihutan, ogling
oloan, ogling panggora, ogung doal dan hesek tanpa odap. Kedelapan intrumen itu
merupakan lambang dari kedelapan mata angin, yang disebut “desa na ualu” dan merupakan
dasar yang dipakai untuk sebutan Raja Na Ualu (Raja Nan Delapan) bagi komunitas musik
gondang sabangunan. Pada masa awal perkembangan musik gondang Batak, instrumen-
instrumen ini masing-masing dimainkan oleh satu orang saja.
Menurut falasafah hidup orang Batak Toba, “bilangan” mempunyai makna dan
pengaruh dalam kehidupan sehari-hari dan aktivitas adat. “Bilangan genap” dianggap
bilangan sial, karena membawa kematian atau berakhir pada kematian. Ini terlihat dari
anggota tubuh dan binatang yang selalu genap. menurut Sutan Muda Pakpahan, hal itu
semuanya berakhir pada kematian, dukacita dan penderitaan.
Maka di dalam segala aspek kehidupan diusahakan selalu “bilangan ganjil” yang
disebut bilangan na pisik yang dianggap membawa berkat dan kehidupan.
Dengan kata lain “bilangan genap” adalah lambang segala ciptaan didunia ini yang
dapat dilihat dan hakekatnya akan berlalu, sedang “bilangan ganjil” adalah lambang
kehidupan dan Pencipta yang tiada terlihat yang hakekatnya kekal. Itulah sebabnya susunan
acara gondang sabangunan selalu dalam bilangan ganjil. Nama tiap acara, disebut “gondang”
yang dapat diartikan jenis lagu untuk nomor sesuatu acara. Susunan nomor acara juga harus
menunjukkan pada bilangan ganjil seperti Satu, tiga, atau lima dan sebanyak-banyaknya tujuh
nomor acara. Sedangkan jumlah acara juga boleh menggunakan acara bilangan genap,
misalnya : dua nomor acara, empat atau enam.
Selanjutnya susunan acara itu hendaknya memenuhi tiga bagian, yang merupakan
bentuk upacara secara umum, yaitu pendahuluan yang disebut gondang mula-mula,
pemberkatan yang disebut gondang pasu-pasu, dan penutup yang disebut gondang hasatan.
Ketiga bagian gondang inilah yang disebut si pitu Gondang (Si Tujuh Gondang). Walaupun
dapat dilakukan satu, tiga, lima, dan sebanyak-banyaknya tujuh nomor acara atau jenis
gondang yang diminta. “Gondang mulamula i ma tardok patujulona na marpardomuan tu
par Tuhanon, tu sabala ni angka Raja dohot situan na torop”. Artinya Gondang mula-mula
merupakan pendahuluan atau pembukaan yang berhubungan dengan Ketuhanan, kuasa roh
raja-raja dan khalayak ramai. Bentuk upacara yang termasuk gondang mula-mula antara lain:

9
1. Gondang alu-alu, untuk mengadukan segala keluhan kepada yang tiada terlihat yaitu
Tuhan Yang Maha Pencipta, biasanya dilakukan tanpa tarian.
2. Gondang Samba-Samba, sebagai persembahan kepada Yang Maha Pencipta. Semua
penari berputar di tempat masing-masing dengan kedua tanganbersikap menyembah.

Lalu setelah itu pada acara meminta berkat masuk pada Gondang Pasu-pasu. Gondang
Pasu-pasu ada beberapa yang dimainkan dan dapat dipilih sesuai kebutuhan dalam acara adat
yaitu:
1. Gondang Sampur Marmere, menggambarkan permohonan agar dianugrahi dengan
keturunan banyak.
2. Gondang Marorot, menggambarkan permohonan kelahiran anak yang dapat diasuh.

3. Gondang Saudara, menggambarkan permohonan tegaknya keadilan dan kemakmuran.

4. Gondang Sibane-bane, menggambarkan permohonan adanya kedamaian dan


kesejahteraan.

5. Gondang Simonang-monang, menggambarkan permohonan agar selalu memperoleh


kemenangan.

6. Gondang Didang-didang, menggambarkan permohonan datangnya sukacita yang


selalu didambakan manusia.

7. Gondang Malim, menggambarkan kesalehan dan kemuliaan seorang imam yang tidak
mau ternoda.

8. Gondang Mulajadi, menggambarkan penyampaian segala permohonan kepada Yang


Maha pencipta sumber segala anugerah.

Makna dari gondang pasu-pasu ini dapat diketahui melalui ungkapan bahasa batak
yaitu: Angerah pasu-pasuan i ma tardok gondang sinta-sinta pangidoan hombar tusintuhu ni
na ginondangkan dohot barita ngolu. Artinya gondang pasu-pasuan merupakan
penggambaran cita-cita dan permohonan sesuai dengan acara pokok dan kisah hidup.
Lalu setelah itu masuk pada bagian penutup yaitu gondang Hasahatan. Gondang yang
hendak mengungkapkan suatu harapan untuk kedepannya dan apa yang hendak dilakukan
semacam suatu perutusan yang hendak dilakukan. Gondang Hasahatan antara lain sebagai
berikut.

10
1. Gondang Sitio-tio, gondang ini ingin mengungkapkan suatu masa depan yang cerah
dan tindak lanjut dari upacara adat yang dilaksanakan
2. Gondang Hasatan, menggambarkan pengharapan yang pasti tentang segala yang
dipinta akan diperoleh dalam waktu yang tidak lama. Gondang hasatan i ma pas ni
roha na ingkon sabat saut sude na pinarsinta. Artinya : Gondang hasatan ialah : suatu
keyakinan yang pasti bahwa semua cita-cita akan tercapai. Lagu-lagu untuk ini
biasanya pendek-pendek saja.

Dari ketiga bagian gondang tersebut di atas, maka para peminta gondang menentukan
beberapa nomor urutan acara gondang dan nama gondang yang akan ditarikan. Masing-
masing gondang dimainkan dalam keperluannya satu kali saja. Urutan Acara gondan seperti
yang diungkapkan sesuai dengan bilangan ganjil yaitu dapat dibawakan tujuh kali, Lima kali
atau tiga kali tergantung acara yang dilakukan.

Berdasarkan dokumen Musicam Sacram penggunaan gondang dapat dimasukkan


dalam kategori “musik ibadat rakyat” yang termasuk dalam kagetgori musik ibadat di
samping lagu Gregorian dan polifoni suci (bdk. MS no. 4b). Penggunaan music gondang
dapat dibenarkan asalkan memperhitungkan kemampuan umat dan selaras dengan “jiwa
perayaan liturgis itu sendiri dan selaras dengan hakekat masing-masing bagian, dan tidak
menghalangi partisipasi aktif dari umat” (MS no. 9).

Jika dalam acara ibadat pemberkatan Tugu dalam upacara pemindahan kerangka yang
dibawakan dengan cara Katolik dapat dilakukan dengan urutan yang tiga kali dan masing-
masing urutan dibawakan satu kali dan menggunakan nilai gondang yang sesuai. Misalnya
Gondang Mula-Mula untuk pembukaan ibadat dapat menggunakan Gondang Samba-samba
untuk mengiringi perarakan dan dapat dibawakan dengan tari-tarian. Lalu pada acara
pemberkatan tugu dapat menggunakan Gondang Pasu-Pasu dan menggunakan tipe iringan
Gondang Didang-didang sesuai pemahaman mengenai tugu sebagai tempat simbol yang
dapat menunjukan kemuliaan seseorang bersatu dengan Yang Maha Kuasa. Dan untuk
penutupan dengan Gondan Hasahatan yaitu dapat menggunakan dua type Gondang antara
Gondang Sitio-tio atau Gondang Hasahatan yang sama-sama mengenai pengharapan
kelanjuatan dari suatu acara dalam kehidupan

2.4 Pengungkapan Kembali Titik Temu antara Editio Typica dengan Kultur

11
Berdasarkan penjabaran terhadap berbagai temuan di atas dapat disimpulkan bahwa
kepada kultur batak perlu diberlakukan suatu liturgi yang memiliki aspek katekese yang
hendak mengajarkan bahwa arwah nenek moyang tidak untuk disembah, melainkan
menyembah kepada Allah saja. Arwah nenek moyang bisa sudah berada di surga, sehingga
bisa saja memohon doa dari mereka bagi keluarga mereka yang masih berjuang di dunia ini.

Dalam Kitab Suci (Mrk. 16:1-8; Mat. 28:1-10’ Luk. 24:1-12; Yoh. 20:1-10)
dikisahkan bahwa beberapa wanita datang mengunjungi makam Yesus untuk memberikan
rempah-rempah sebagai bentuk penghormatan dan belasungkawa. Dapat dilihat di sini bahwa
Yesus dimakamkan dalam sebuah ruangan, yaitu suatu kuburan yang digali di bukit batu
(Mrk. 15:46). Artinya bahwa pemakaman dalam suatu struktur bangunan dan bentuk
penghormatan terhadap jenasah merupakan praktik yang lumrah dalam tradisi Yahudi
maupun Kristianitas sesudahnya.

Oleh sebab itu, yang perlu dilakukan adalah membuat upacara besarta rumus doanya,
baik itu pada saat pemberkatan tugu maupun pemasukan jenasah, yang sesuai dengan ajaran
iman Katolik dan cita rasa budaya setempat.

12
BAB III

PENERAPAN INKULTURASI MANGOKKAL HOLI DALAM IBADAT


PENGGALIAN DAN PEMINDAHAN JENAZAH

Berikut merupakan upaya yang diusulkan untuk menerapkan inkulturasi kultur


mangokkal holi ke dalam ibadat penghormatan dan pemindahan jenazah dalam tradisi
Katolik. Adapun perubahan yang diberikan adalah penggunaan musik gondang selama
peribadatan dan penempatan jenasah tersebut dalam sebuah tugu yang didesain sesuai dengan
citarasa kebudayaan batak.

Contoh Ibadat untuk Upacara Penggalian dan Pemindahan Jenazah (Bdk. Upacara
Pemakaman hlm. 51-54)
Kadang-kadang perlu jenazah seorang beriman digali kembali dan dipindahkan ke tempat
lain. Pada kesemptan itu dapat diadakan upacara sebagai berikut:
PENGGALIAN JENAZAH DAN PERARAKAN KE TEMPAT YANG BARU
Penggalian kubur dilakukan sesuai dengan kebiasaan setempat. Selama penggalian
berlangsung hendaknya dijaga suasana yang khidmat. Sebelum jenazah diberangkatkan ke
tempatnya yang baru, dapat diadakan sambutan-sambutan menurut adat yang berlaku.
Jika pemindahan jenazah dilakukan dengan mobil, biasanya tidak mungkin diiringi dengan
doa dan nyanyian. Jika jenazah dipindahkan dengan kereta atau diusung, dengan iringan
umat, hendaknya diadakan prarakan yang tertib dan khidmat, sesuai dengan kebiasaan
setempat.
Perarakan dapat diatur sebagai berikut: Pembawa lilin Paskah dan salib berjalan di depan
(diusul pembawa air suci dan dupa). Kemudian pemimpin upacara, yang mendahului peti
jenazah dan rombongan para pengikut.
Selama perarakan berlangsung dan bila keadaan mengizinkan, dapat dilagukan nyayian yang
sesuai, dapat diiringi dengan “Gondang Mula-Mula” (dengan tipe Samba-Samba). Dapat juga
diucapkan doa (misalnya litani atau doa rosario) sebagai selingan menurut kebiasaan
setempat.
Kadang-kadang jenazah yang dipindahkan itu disemayamkan dahulu di gereja atau di tempat
lain. Kalau begitu dapat diadakan ibadat sabda atau Misa dengan menggunakan bahan-bahan
yang tersedia dalam buku ini Ibadat Pemakaman ihat Bab XII, No. 99-239.
PEMAKAMAN DI TEMPAT YANG BARU

13
Setiba di tempat yang dituju, upacara dapat dibuka dengan tanda salib. Kemudian pemimpin
upacara mengucapkan kata pengantar, misalnya sebagai berikut:

P Saudara-saudari,
jenazah saudara … telah digali kembali
supaya dapat dipindahkan ke tempat
yang lebih layak (terhormat, cocok).
Pada kesempatan ini kita berkumpul
untuk berastu dengan saudara kita dalam doa
dan dalam iman akan Yesus Kristus,
Tuhan kita yang mulia
Marilah kita mengheningkan cipta sejenak
dan mengarahkan hati kepada Tuhan,
sambil mengenang kembali saudara kita ini.
(saat hening)
Sesudah itu dapat dibacakan kutipan Kitab Suci, misalnya Luk. 23:44-49; 24:1-6a (lihat No.
153) atau bacaan lain yang sesuai (lihat No. 99-123 dan 145-161). Bacaan dapat disusul
dengan homili singkat. Kemudian dapat dilagukan nyanyian atau dibawakan mazmur,
misalnya Mzm. 122 dengan iringan “Gondang Pasu-Pasu” (dengan tipe Didang-Didang).
Sesudah itu pemimpin upacara memberkati makam baru dengan doa berikut:
P Marilah berdoa
Tuhan Yesus Kristus,
Engkau sendiri berbaring dalam makam
selama tiga hari.
Kami mohon, sucikanlah makam ini
agar hamba-Mu yang kami istirahatkan di sini
akhirnya bangkit bersama Engkau
dan hidup mulia sepanjang segala masa.
U Amin.
Sesudah itu pemimpin upacara dapat memerciki makam dengan air suci dan mendupainya.
Lalu peti dimasukkan ke dalam tugu.

14
Kemudian menyusul doa umat spontan atau dibuat sendiri oleh umat. Doa umat itu dapat
ditutup dengan doa berikut:
P Bapa kami di Surga,
Engkau ingin agar seluruh umat manusia
menjadi keluarga-Mu yang rukun dan bahagia.
Saudara kami … telah mendahului kami,
dan kami berharap ia sudah bahagia
bersama Engkau.
Tolonglah, agar kami bersatu dengan Yesus Kristus
dan hidup sesuai dengan ajaran-Nya.
Semoga dengan demikian kami semua
mencapai kebangkitan yang mulia
serta bersatu kembali
dalam persaudaraan sempurna di Surga.
Dengan pengantaraan Kristus, Tuhan kami.
U Amin.
Kemudian diucapkan atau dinyanyikan doa Bapa Kami dan Salam Maria. Sesudah doa Bapa
Kami, dapat disediakan kesempatan untuk sambutan-sambutan sesuai dengan kebiasan
setempat. Kemudian selama makam ditutup, dapat dilagukan nyanyian-nyanyian yang sesuai
Gondang Hasahatan. Akhirnya, upacara pemindahan jenazah ditutup sebagai berikut:
P Tuhan, berilah dia istirahat kekal.
U Dan sinarilah dia dengan cahaya abadi.
P Semoga semua orang yang sudah meninggal beristirahat dalam damai.
U Amin.

15
BAB IV

SOSIALISASI DAN EVALUASI

Pengalaman membuktikan bahwa belum pernah tercipta upaya ‘inkulturasi’ yang


kesesuaiannya memadai dengan hakekat asalinya. Oleh sebab itu, upaya untuk terus-menerus
melakukan sosialisasi sebelum pelaksanaan maupun evaluasi setelah pelaksanaanya perlu
terus diupayakan. Pada bab ini akan dibahas arahan untuk melakukan evaluasi terhadap
penerapan kultur mangokkal holi ke dalam ibadat penghormatan dan pemindahan jenazah
dalam tatacara liturgi Katolik.

4.1 Usulan untuk Sosialisasi

Berdasarkan observasi dan modifiksi terhadap ibadat pemindahan jenazah, beberapa


poin yang perlu ditekankan dalam katekese umat adalah sebagai berikut.

1. Pemahaman bahwa ibadat pemindahan jenazah inkulturasi mangokkal holi bukan bertujuan
untuk ‘menyembah’ roh leluhur melainakan untuk mendoakan dan menghormatinya sebab
kita meyakini bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya dan bahwa roh nenek moyang
yang didoakan telah mencapai kesatuan dengan Allah di surga.

2. Pemahaman bahwa tugu bukan sebagai tempat untuk menyembah nenek moyang atau
sekadar monumen untuk ‘memamerkan’ kekayaan keluarga, melainkan wujud penghormatan
terhadap arwah leluhur, kesaksian akan kehidupan kekal, serta gambaran akan rumah abadi di
surga.

3. Pemahaman bahwa ibadat ini tidak dipipimpin oleh dukun melainkan bisa dilakukan oleh
vorhanger (prodiakon) atau imam sebagai pemimpin agama Katolik.

Adapun katekese ini dapat disampaikan melalui kesempatan sosialiasi umum di tingkat
paroki, stasi, atau lingkungan, maupun konsultasi pribadi, misalnya apabila ada umat yang
meminta masukan terkait dengan perayaan mangokkal holi yang akan diadakan oleh
keluarganya. Sebelum mengadakan sosialisasi, diperlukan pula izin dari uskup setempat
untuk menerapkan inkulturasi ini di tingkat keuskupan, yaitu Kesukupan Agung Medan.
Rancangan sesi untuk sosialisasi adalah sebagai berikut.

16
No Materi Durasi Keterangan
1 Liturgi Pemakaman Katolik 90 Menit Menjelaskan tentang, teologi,
sejarah, dan liturgi pemakaman
dalam Gereja Katolik.
2 Kultur Mangokkal Holi 90 Menit Menjelaskan tentang sejarah,
adat, dan makna di balik kultur
mangokkal holi.
3 Arsitektur Makam 90 Menit Menjelaskan mengenai sejarah,
makna, dan arsitektur makam
dalam berbagai kebudayaan
4 Musik Liturgi Inkulturasi 90 Menit Menjelaskan mengenai musik
Batak Liturgi Roma dan kemungkinan
inkulturasi dengan kebudayaan
batak
5 Merencanakan Ibadat 120 Menit Membicarakan bersama terkait
Pemindahan Jenasah dengan biaya, susunan acara, serta
Kultur Mangokkal Holi teknis pelaksanaan Ibadat
Pemindahan Jenasah dengan
Kultur Mangokkal Holi

Adapun detail materi dari masing-masing sesi sosialisasi adalah sebagai berikut:

No Ajarkan Jelaskan Latihkan


1 Sejarah Liturgi Perbedaan Makna -
Pemakaman Katolik Pemakaman antara
Katolik dengan
kepercayaan lain
2 Sejarah Adat Pemakaman Makna di Balik Setiap -
Batak Unsur dalam Upacara
Mangokkal Holi
3 Bentuk dan Makna Perbedaan Makna Tugu -
Pemakaman dalam dalam Kebudayaan
Berbagai Budaya Batak dengan Bentuk

17
Makam/Monumen
Lainnya
4 Kekayaan Musik Gereja Inkulturasi Musik + Musik Gregorian dan Polifoni
Liturgi dalam Suci
Kebudayaan Batak
+ Musik Gereja dengan
Menggunakan Iringan Gondang
5 Inkulturasi Liturgi dalam Tujuan Pelaksanaan + Merencanakan Kegiatan
Mangokkal Holi Ibadat Pemindahan Mangokkal Holi
Jenasah Kultur
+ Tata Gerak Umat Secara
Mangokkal Holi dengan
Umum selama Ibadat
Tatacara Katolik
Pemindahan dam Penghormatan
Jenazah dengan Kultur
Mangokkal Holi

Apabila keluarga hendak menyelanggarakan mangokkal holi bisa langsung pada tahap
ke lima (Merencanakan Ibadat Pemindahan Jenasah dengan Kultur Mangokkal Holi), yaitu
dalam suatu acara adat yang disebut “Martonggo Raja”. Martonggo Raja adalah semacam
musyawarah adat batak ketika akan melakukan sesuatu acara besar, yang diundang dalam
acara ini adalah mereka yang berkepentingan dalam suatau acara adat seperti Keluarga Besar
yang terdiri dari Hula-hula, Boru dan Dongan sabituha, juga diundang pula pihak pemerintah
setempat dan juga pihak Gereja.

Dalam acara Martonggo Raja ini yang dibicarakan tata upacara adat, siapa yang
masuk dalam acara adat, siapa pemimpin acara adat, posisi pihak pemerintah dan juga posisi
peran Gereja dalam acara adat yang akan dilakukuan. Martonggo raja dilakukan dengan sikap
saling menghargai atau menghomati satu sama lain dan semua pihak diajak untuk berbicara
mengungkapkan pendapat masing-masing.

Dalam bagian ini Pihak Gereja pun diajak untuk memberikan terkait dengan ibadat
yang hendak ingin dilakukan. Oleh sebab itu, dalam martonggo raja ini dapat menjadi sarana
yang tepat untuk proses sosialisasi tata cara ibadat untuk dalam upacara adat dan menentukan
letak ibadat dalam keseluruhan upacara adat. Penyampaianpun hendaknya dilakukan dengan
menggunakan Bahasa Batak agar memberikan kesan bahwa Gereja juga menghormati tata

18
upacara adat dan pihak yang hadir dalam martonggo raja itu. Selain itu penggunaan Bahasa
Batak juga menunjukan keseriusan Gereja dalam memberikan pendapat.

4.2 Evaluasi

Setelah pelaksanaan ibadat penggalian dan pemindahan jenasah dengan kultur


mangokkal holi dapat dilaksanakan evaluasi untuk melihat kembali pelaksanaan beserta
dampaknya terhadap perkembangan iman umat. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan
dalam proses evaluasi tersebut antara lain.

1. Bagaimana umat kebanyakan memahami pelaksanaan ibadat penggalian dan pemindahan


jenasah mangokkal holi dengan tatacara Katolik?

2. Apakah ibadat serupa perlu diadakan kembali, ataukah tidak perlu diadakan kembali?
Apakah alasan yang mendasarinya?

3. Apakah yang perlu dikembangkan dari pelaksanaan ibadat penggalian dan pemindahan
jenasah mangokkal holi kali ini dari segi teknis maupun liturgis?

BAB V

19
PENUTUP

Kematian merupakan fenomena yang tak terhindarkan dari kehidupan manusia.


Kesedihan dan perasaan kehilangan dari keluarga orang beriman yang terpisah oleh kematian
merupakan hal yang tak terhindarkan. Gereja Katolik melalui upacara pemakaman hendak
memberikan penghiburan rohani kepada keluarga yang ditinggalkan sekaligus mendoakan
arwah orang yang meninggal akan mencapai kehidupan abadi bersama Allah di surga.
Teologi yang serupa juga diberlakukan pada upacara penghormatan dan pemindahan jenasah
yang dilakukan oleh beberapa kebudayaan, salah satunya ialah suku batak melalui kultur
mangokkal holi. Melalui upaya inkulturasi terhadap kultur mangokkal holi tersebut Gereja
hendak mengajarkan bahwa arwah nenek moyang, yang sudah bersemayan dalam rumah
abadi di surga, bukan untuk disembah melainkan untuk dihormati agar keteladanan hidup
mereka sanggup memberi inspirasi kepada generasi penerusnya yang masih berjuang dalam
kehidupan di dunia.

DAFTAR PUSTAKA

20
Buku

Komisi Liturgi MAWI. 1986. Bina Liturgia 2A Kumpulan Dokumen Liturgi. Jakarta: Penerbit
OBOR.

Komisi Liturgi KWI. 2011. Upacara Pemakaman. Jakarta: Penerbit OBOR.

Jurnal

Putri, Fransiska Dessy. “Makna Simbolik Upacara Mangongkal Holi Bagi Masyarakat Batak
Toba Di Desa Simanindo Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir Provinsi Sumatera
Utara” dalam Jom FISIP Volume 2 No. 2 – Oktober 2015.

Internet

Wortley, John. “The origins of Christian veneration of body-parts” dalam


http://journals.openedition.org/rhr/4620 diakses pada 4 Desember 2019 pukul 09.26.

LAMPIRAN

21
22
23

Anda mungkin juga menyukai