Anda di halaman 1dari 6

Nasionalisme dan Oikumene

oleh Dr. T. B. Simatupang

*) Karangan ini untuk pertama kali dimuat dalam Harian Sinar Harapan pada tanggal 30 Maret 1977
(hari Pemakaman Dr. J. leimena) dan pada tanggal 31 maret 1977.-

Tadi malam, setelah kami kembali di rumah dari tempat kediaman keluarga Leimena, telpon
berdering. Sineas dan fotograf kita yang muda D.A. Peransi bertanya : “Apakah besok Pak Sim akan
menulis tentang Oom Yo?”. Saya mengelak dengan kata-kata : “Masih saya pikir-pikir”. Peransi
melanjutkan : “Ada sebuah foto yang mungkin dapat dipakai untuk tulisan itu, yaitu foto dari Oom Jo
dengan tokoh sintese nasional, Bung Karno, dan tokoh gerakan Oikumene, Dr. Visser’t Hooft”. Hari
ini, hari pemakaman Dr. Leimena. Saya bangun lebih pagi dari pada yang biasa, untuk mengetik
renungan dan kenangan yang singkat ini mengenai hidup dan perjuangan Oom Yo dengan judul
“Nasionalisme dan Oikumene”.

Dua Gerakan Besar Abad ke-20

Saya kira pengamatan Peransi adalah tepat. Keterlibatannya dengan dua gerakan besar dalam abad
ke-20 ini telah memberikan dinamika dan arah dalam hidup dan perjuangan Dr. J. Leimena, yaitu
pada satu pihak gerakan kebangkitan bangsa-bangsa yang dahulu terjajah, khususnya nasionalisme
Indonesia, dan pada pihak lain gerakan oikumene.

Dr. Leimena lahir 72 tahun yang lalu dalam tahun 1905, yaitu tiga tahun sebelum Budi Utomo
didirikan dalam tahun 1908, yang kita anggap permulaan gerakan kebangsaan Indonesia modern dan
5 tahun sebelum Konperensi Edinburgh dalam tahun 1910, yang dianggap sebagai permulaan dari
abad ke-20, yang sering disebut abad kebangkitan bangsa-bangsa terjajah dan abad berkembangnya
kesadaran oikumene. Dia termasuk tokoh-tokoh pelopor di Indonesia yang melibatkan diri dalam
kedua gerakan itu. Dalam dirinya kedua gerakan itu telah bertemu.

Pertemuan itu pada satu pihak bersifat saling memperkaya dan pada pihak lain juga bersifat saling
menguji dan saling mengoreksi. Itulah yang telah memberikan corak yang khas kepada peranan Dr.
Leimena dalam sejarah bangsa kita dan dalam sejarah Gereja-gereja di Indonesia.

Kemarin saya bercakap-cakap dengan Dr. Ruslan Abdulgani di rumah keluarga Leimena. Saya percaya
bahwa Sdr. Ruslan Abdulgani tidak berkeberatan apabila saya singgung beberapa hal yang dia
katakan waktu itu. Menurut Dr. Ruslan Abdulgani dalam salah satu percakapannya dengan Dr.
Leimena dikemukakannya bahwa alangkah baiknya apabila Oom Yo dapat menulis mengenai
penghayatannya mengenai Nasionalisme Indonesia dengan latar belakang Ambon dan latar belakang
Kristennya. Jawab Dr. Leimena kepada Dr. Ruslan Abdulgani mencerminkan sikap hidupnya. Dia
berkata bahwa dia sebetulnya tidak melihat lagi dirinya sebagai orang Ambon tetapi sebagai orang
Indonesia.

Dr. Leimena dilahirkan di Ambon. Di hari-hari yang lalu sebuah rangkaian film-film televisi yang
pernah dipertunjukan di negeri Belanda dapat diikuti di Jakarta dengan judul “Ambon sepanjang
abad” Di situ ditonjolkan dengan jelas satu segi dalam sejarah Ambon yang sering kurang disadari,
yaitu adanya perlawanan terhadap Belanda yang berinspirasikan iman Kristen.

Waktu pasukan-pasukan Belanda memasuki Saparua setelah Pattimura dan pejuang-pejuangnya


meninggalkan kota kecil itu, maka Belanda menemukan Kitab Injil di atas mimbar Gereja terbuka
pada Mazmur 17 yang memuat kata-kata “langkahku tetap mengikuti jejakMu” dan “Peliharalah aku
terhadap orang-orang fasik yang menggagahi aku”. Dalam salah satu karangan maka peristiwa itu
pernah saya sebut permulaan dari pemikiran teologia di Indonesia yang menghubungkan pesan
Alkitab dengan perjuangan untuk keadilan dalam hidup kemasyarakatan.

Saya tidak tahu sampai di mana tradisi seperti itu secara tidak sadar ikut menempa pertumbuhan
kesadaran nasionalisme pemuda Leimena dengan tetap menghubungkannya dengan iman
Kristennya, waktu dia meninggalkan pulau Ambon untuk melanjutkan pelajarannya di Jakarta.
Sebelum generasi Leimena maka di kalangan orang-orang Kristen di Indonesia memag sering
dihadapi pertanyaan apakah seorang Kristen yang baik dapat sekaligus menjadi seorang nasionalis.
Leimena termasuk generasi pertama yang secara sadar berpartisipasi dalam cita-cita nasionalis
dengan menyinarinya dengan terang iman dan yang secara sadar pula berpartisipasi dalam gerakan
oikumene dengan memberikan sumbangan berdasarkan keterlibatannya dalam hidup dan
perjuangan bangsanya.

Titik bersejarah dalam proses ini ialah pembentukan “Christen Studenten Vereninging” dalam tahun
1932 di Kaliurang. Dr. Leimena terpilih sebagai Ketua. Dengan demikian mahasiswa-mahasiswa se-
dunia, yang di mana-mana menjadi pelopor-pelopor dalam gerakan pembaharuan dan keesaan
Gereja dan sekaligus dalam keterlibatan secara bertanggungjawab dalam hidup dan perjuangan
bangsa demi kemerdekaan, keadilan dan kemanusiaan.

Dalam tahun 1933 berlangsunglah di Citeureup dekat Bogor konperensi Mahasiswa-mahasiswa se


Asia. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia yang baru berusia satu tahun itu menjadi tuan rumah
bagi sebuah konperensi internasional yang mempunyai arti yang sangat penting dalam sejarah
gerakan oikumene di Asia.

Hadir peserta-peserta dari India, Cina, Jepang, dan lain-lain. Hadir juga Sekretaris Jenderal Gerakan
Mahasiswa Kristen Sedunia yang kemudian menjadi Sekretaris Jenderal pertama Dewan Gereja-
gereja Sedunia waktu itu didirikan tahun 1948, yaitu Dr. Visser’t Hooft. Dengan konperensi itu Dr.
Leimena telah menjadi tokoh oikumenis yang dikenal secara internasional.

Dalam sebuah konperensi Kristen dalam tahun 1941 di Karangpandan Dr. Leimena telah
mengemukakan pandangan-pandangan yang apabila kita membacanya sekarang ini dalam tahun-
tahun 1977 masih tetap sangat segar dan sangat tepat, seolah-olah kita membaca surat
penggembalaan kepada anggota-anggota Gereja berhubung dengan pemilu 1977. Dia menyebut
Gereja sebagai tanda yang menunjuk kepada Kristus sebagai Juruselamat dan hakim manusia dan
masyarakat. Menurut dia Gereja harus membela hukum dan keadilan, menentang kesalahan-
kesalahan sosial, ekonomi dan kemasyarakatan dan mengambil bagian dalam usaha-usaha
pembaruan, tidak dengan suatu program politik sendiri, melainkan dengan memberikan arah dan
bimbingan kepada anggota-anggotanya.

Satu hal lagi barangkali dapat kita catat untuk melengkapi gambaran mengenai latar belakang
perkembangan pandangan dan keyakinan Dr. Leimena sebelum dia terjun ke dalam kancah politik
aktif setelah Proklamasi Kemerdekaan kita. Yaitu disertasinya untuk memperoleh gelar doktor dalam
ilmu kedokteran itu dengan imannya sebagai orang Kristen dan dengan cita-cita perbaikan dan
kemajuan masyarakat. Dalam kata pengantarnya disertasi itu diungkapkan rasa terimakasihnya
kepada persekutuan karyawan di Rumah Sakit “Immanuel” Bandung di mana dia bekerja waktu
mempersiapkan diri bagi promosinya. Dalam dalil-dalil yang menyertai disertasi itu dikatakan antara
lain bahwa untuk melayani penduduk pedesaan tidak cukup hanya mendidik bidan-bidan, tetapi
dukun-dukun beranak yang ada di desa-desa harus diikut sertakan juga.
Pengalaman dalam Perundingan-perundingan Militer

Pengalaman saya dengan Oom Yo adalah terutama selama perundingan-perundingan militer. Selama
bertahun-tahun Dr. Leimena menjadi ketua dari Komisi Militer yang mengadakan perundingan –
perundingan dengan Belanda dan saya menjadi anggota dan wakil ketua. Anggota-anggota yang lain
adalah wakil-wakil dari angkatan-angkatan. Waktu perundingan terakhir di negeri Belanda selama
Konperensi Meja Bundar umpamanya anggota-anggota yang lain ialah Komodor Suryadarma
(kemudian Laksamana Udara), Kolonel Subyakto (kemudian Laksamana Laut), Letkol Daan Yahya
(pernah kemudian menjadi Gubernur Militer Jakarta Raya) dan Sekretaris ialah Mayor Haryono (yang
kemudian dibunuh dalam peristiwa G-30-S/PKI).

Menurut dugaan saya kabinet mengangkat Dr. Leimena sebagai Ketua dari Komisi Militer itu agar dia
membawa suasana yang menenangkan pemikiran dan sikap komisi dalam pertemuan-pertemuan
dengan delegasi Belanda. Maklumlah, anggota-anggota militer dari Komisi itu masih muda-muda dan
benar juga pandangan kabinet bahwa tanpa adanya seorang ketua yang bersikap lebih”rustig”
(istilah yang kemudian selalu diasosiasikan dengan Dr. Leimena) maka besar kemungkinan bahwa
pertemuan-pertemuan dengan pihak Belanda dapat menjadi terlalu hangat.

Setelah serangan Belanda pertama tanggal 21 Juli 1947 terhadap Republik, maka sebuah Resolusi
Dewan Keamanan PBB menyerukan agar diadakan perundingan antara RI dan Belanda dengan
perantaraan Komisi Tiga Negara. Tetapi sebelum perundingan politik dimulai maka terlebih dahulu
harus ada gencatan senjata. Untuk itu Komisi Militer tiba di Jakarta dari Yogyakarta. Dalam rapat-
rapat pertama itulah Dr. Leimena membuktikan bakat diplomasinya, khusus apabila antara anggota-
anggota militer di kedua pihak telah timbul jalan buntu dan suasana yang hangat serta tajam.

Kadang-kadang dia menuntun seorang Jenderal Belanda ke suatu sudut dalam ruang Konperensi dan
dengan cara-cara kependetaan dan kebapakan memberikan anjuran-anjuran dan nasehat-
nasehatnya. Dia juga sering berbuat hal yang sama terhadap saya dan rekan-rekan saya dari pihak
Indonesia. Saya kira dimensi oikumenis dalam latar belakang pengalaman Dr. Leimena, yang mampu
menempatkan masalah-masalah kemerdekaan, keadilan dan kemanusiaan dengan melampaui
batas-batas kebangsaan, sangat bermanfaat dalam peranan-peranan seperti itu.

Tetapi itu tidak berarti bahwa Dr. Leimena bersedia untuk melepaskan sesuatu yang vital bagi
perjuangan kebangsaan. Itu terbukti dalam taraf-taraf terakhir perundingan-perundingan mengenai
soal militer sebelum Belanda melancarkan serangan kedua.

Waktu itu telah menjadi jelas bagi Komisi Militer RI bahwa Belanda sebetulnya menghendaki
pembubaran TNI dalam apa yang disebutnya masa transisi ke arah pembentukan Negera Indonesia
Serikat. Sedangkan Komisi RI berpendapat bahwa apapun yang akan terjadi namun modal pokok RI
yaitu TNI-nya, tidak boleh dilepaskan. Menurut pandangan Komisi Militer RI maka dengan segala
kekurangannya TNI adalah angkatan perang nasional yang harus dijadikan intisari angkatan perang
bagi Negara Indonesia Serikat yang akan dibentuk itu; yang harus dibubarkan menurut pandangan
Komisi Militer RI bukan TNI, tetapi KNIL (Koninklijk Nederlands Indishe Leger).

Dalam perundingan-perundingan di Kaliurang pada suatu saat salah seorang anggota delegasi
Belanda berkata: “Haruskah timbul kekacauan di negeri yang indah ini oleh karena kita tidak mampu
mencapai kata sepakat?” Kami semuanya memandang dengan diam termenung ke daerah
pegunungan yang tenang dan disinari oleh cahaya matahari yang cemerlang sekitar tempat
konperensi.
Kami semuanya membayangkan keadaan yang akan timbul apabila perang pecah lagi. pembunuhan,
pengungsian, pembakaran, penderitaan.

Namun jelas bahwa kedua pihak tidak dapat melepaskan pendiriannya. Sesudah rapat, Dr. Leimena
lama berbicara dengan saya. Dia berkata, bahwa walaupun kita harus berusaha sampai batas-batas
kemampuan kita untuk menghindarkan peperangan namun jelas bahwa kita tidak dapat membeli
perdamaian dengan mengorbankan modal kita yang paling berharga. Oleh sebab itu waktu
kemudian Belanda menyerang Republik Indonesia pada tanggal 19 Desember 1948 hati kami adalah
tenang. Kami telah berbuat segala-galanya untuk menghindarkan “kekacauan” tetapi Belanda
menuntut yang tidak dapat diberikan oleh TNI tanpa membubarkan dirinya sendiri.

Setelah serangan militer Belanda kedua gagal untuk menghentikan perjuangan rakyat dan angkatan
perang bagi Republik Indonesia Serikat. Dengan adanya dukungan itu dalam perundingan-
perundingan di Den Haag.

Sebelum berangkat ke Den Haag dalam Konperensi Antar Indonesia yang diadakan di Yogyakarta dan
kemudian di Jakarta, Republik Indonesia berhasil memperoleh dukungan negara-negara bagian di
luar Republik terhadap gagasan bahwa TNI akan menjadi inti-sari dalam pembentukan angkatan
perang Republik Indonesia Serikat. Dengan adanya dukungan itu dalam perundingan-perundingan di
Den Haag, pihak Belanda tidak dapat lagi menolak pembubaran sendiri tidak secara terang-terangan
disebut dalam dokumen hasil KMB. Yang dipakai ialah perkataan “reorganisasi”.

Dr. Leimena, pejuang nasional berasal dari daerah Maluku yang banyak menghasilkan prajurit-
prajurit KNIL menyadari bahwa banyak anggota-anggota KNIL yang telah begitu lama dicekoki
propaganda anti R.I., akan menghadapi kesulitan-kesulitan psikologis dalam proses pembubaran
KNIL . Beliaulah yang selalu mengingatkan anggota-anggota Komisi Militer di Den Haag agar dengan
tidak melepaskan sedikitpun kepentingan dan keamanan nasional diberikan perhatian yang sebesar-
besarnya kepada kesulitan-kesulitan psikologis dari ex-anggota-anggota KNIL itu.

Pertimbangan itulah yang antara lain telah membawa kepada gagasan agar anggota-anggota ex KNIL
dapat diterima dalam peleton-peleton atau kompi-kompi pada saat-saat mereka mau memasuki
angkatan perang RIS.

Kecewa

Dapat dibayangkan betapa besar kekecewaan Dr. Leimena, yang pada waktu itu menjadi Menteri
Kesehatan tatkala dalam bulan April 1950 sebuah pasukan komando KNIL yang telah diangkut oleh
pomponan KNIL ke Ambon lengkap dengan senjata mereka, memaksakan proklamasi “RMS”. Dalam
rangka daya-upaya pemerintah untuk menghindarkan pertumpahan darah dalam penyelesaian
masalah RMS itu, maka berangkatlah sebuag misi RI di bawah pimpinan Dr. Leimena ke teluk Ambon
dengan kapal perang fregat Hangtuah.

Waktu itu saya memegang jabatan Staf Angkatan Perang dan sekembalinya dari teluk Ambon saya
mendengar dari Dr. Leimena betapa dalamnya kegagalan misi damainya itu tergores dalam hatinya.
Untuk pertama kali setelah berpuluh tahun dia sempat melihat kembali kampung halamannya.
Tetapi tidak dapat menginjakkan kakinya di tanah Ambon yang waktu itu masih dikuasai oleh kaum
pemberontak.

Mereka menolak tujuan misi Dr. Leimena dan dengan itu mereka menutup pintu bagi penyelesaian
secara damai. Sekarang senjata akan berbicara, darah dan air mata akan mengalir. Demikianlah
kurang lebih jeritan hati Dr. Leimena pada saat-saat itu dalam percakapan dengan saya.
Berita yang beberapa waktu kemudian tiba bahwa Ambon telah direbut, kami terima di Jakarta
dengan perasaan prihatin bahwa segala jerih payah kami sejak perundingan di Den Haag tidak
berhasil menghindarkan tragedi nasional itu. Saya merasa segan pergi ke Ambon pada waktu itu.
Saya ingin menunggu sampai ada kesempatan yang lebih baik. Tidak saya duga waktu itu bahwa
kesemptan yang lebih baik itu baru tiba hampir dua puluh tahun kemudian, tatkala saya berkunjung
ke Ambon tidak lagi sebagai Kepala Staf Angkatan Perang, tetapi sebagai Ketua Dewan Gereja-gereja
di Indonesia. Seperti halnya dengan Oom Yo, juga dalam jalan hidup saya, nasionalisme dan
oikumene bertemu.

Perjalanan terakhir ke L.N

Dalam tahun 1976 Dr. Leimena mengadakan perjalanan yang terakhir ke luar negeri. Tidak lagi
sebagai menteri atau wakil perdana menteri seperti dahulu sering dijalankannya. Sekali ini dia
mengunjungi Eropa dalam rangka gerakan oikumene. Dr. J. Leimena yang telah menjadi Ketua
Kehormatan DGI mengunjungi sahabat lamanya, Dr. Visser’t Hooft di Jenewa yang telah pensiun dari
Jabatan Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Sedunia dan telah menjadi Ketua Kehormatan Dewan
tersebut.

Sebelum kembali ke Indonesia, dari apa yang terbukti menjadi “last sentimental ecumenical journey”
bagi Dr. Leimena yang waktu itu disertai Ibu Leimena, diperlukannya untuk mengadakan kontak-
kontak dengan pemimpin-pemimpin “RMS” di negeri Belanda. Tetapi hati mereka rupanya masih
terlalu keras untuk dicairkan sekalipun oleh kata-kata yang penuh persuasi dan kasih dari Oom Yo.

Mendorong ke mobil

Kemarin tanggal 30 Maret (bagian terakhir renungan ini saya tulis tanggal 31 pagi-pagi) Pak Kasimo
berbicara sebagai teman seperjuangan sebelum pemberangkatan jenazah Oom Yo dari tempat
kediaman keluarga di Jalan Cik Ditiro. Pak Kasimo mengemukakan secara jujur bahwa antara beliau
dan Dr. Leimena pernah terdapat perbedaan sikap dan pandangan, yaitu waktu marhum Bung Karno
mengemukakan konsepsinya. Pak Kasimo menambah bahwa kendatipun ada perbedaan pandangan,
namun beliau tetap menghormati pendapat Dr. Leimena dan tidak pernah menyangsikan bahwa
dalam menentukan sikapnya, Oom Yo tetap berpedoman kepada itikad baiknya terhadap
kepentingan negara dan bangsa.

Dalam hubungan ini Pak Kasimo menyinggung pula arti historis dari tindakan Oom Yo dalam tahun
1965 untuk meyakinkan Bung Karno, tidak hanya dengan kata-kata tetapi juga dengan
mendorongnya secara fisik memasuki mobil, agar Bung Karno jangan pergi ke Yogyakarta dari
lapangan udara Halim Perdanakusuma tetapi berangkat ke Istana Bogor.

Dengan kata-kata tadi pak Kasimo mungkin telah menyinggung salah satu sumbangan Oom Yo dalam
bidang politik di Tanah Air kita. Yaitu bahwa dengan sikap kemanusiaanya beliau telah ikut berusaha
mengembangkan iklim dalam negara Pancasila kita di mana kita sama kita dapat berbeda-beda
dalam penilaian dan pandangan politik, namun tetap saling harga-menghargai dan saling hormat-
menghormati sebagai manusia-manusia dan warga negara-warga negara yang dengan jujur
mengabdikan diri kepada kepentingan negara dan bangsa serta kesejahteraan umum menurut bakat
dan kesempatan yang diberikan kepada kita masing-masing.

Seperti halnya dengan Bung Karno, Bung Syahrir, Ki Hadjar Dewantoro, Pak Dirman dan seterusnya,
maka Oom Yo telah menjadi suatu “pengertian” atau suatu begrip dalam pemikiran dan pengalaman
bangsa kita. Nama-nama tadi mengandung kwalitas, corak, gaya dan suasana tertentu, yang tidak
akan pernah sepenuhnya dapat diungkapkan dengan kata-kata, namun dapat dirasakan dan dihayati
oleh mereka yang telah diperkaya oleh hidup dan perjuangan mereka itu.

Anda mungkin juga menyukai