Anda di halaman 1dari 31

BAB I IDENTIFIKASI Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa. Salah satunya adalah suku Tionghoa.

Kebanyakan orang Indonesia asli telah banyak bergaul dengan orang Tionghoa Indonesia, tetapi sebagian besar belum mengenal golongan penduduk ini sebenarnya.Orang Tionghoa yang ada di Indonesia,sebenarnya bukan merupakan satu kelompok yang asal dari satu daerah saja di negara Cina, tetapi terdiri dari beberapa suku bangsa yang berasal dari dua propinsi, yaitu Fukien dan Kwngtung. Ada empat bahasa Cina di Indonesia ialah bahasa Hokkien, Teo-Chiu, Hakka dan Kanton. Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu. Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinastidinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun orang dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya. Para imigran Tionghoa tersebar di Indonesia mulai dari abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-19. Hokkien adalah yang pertama ke Indonesia yang berasal dari propinsi Fukien bagian selatan. Di antara pedagang-pedagang Tionghoa di Indonesia, merekalah yang paling berhasil, karena sebagian besar dari mereka sangat ulet, tahan uji dan rajin. Mereka dan keturunannya telah berasimilasi sebagai keseluruhan paling banyak terdapat di Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur dan pantai Barat Sumatra. Imigran yang lain adalah orang Teo-Chiu yang berasal dari pantai selatan negeri Cina di bagian timur propinsi Kwantung. Orang Teo-Chiu dan Hakka (Khek) disukai sebagai kuli perkebunan dan pertambangan di Sumatra Timur, Bangka dan Biliton. Di sebelah barat dan selatan daerah asal orang Hakka di propinsi Kwantung, tinggallah orang-orang Kanton (Kwong Fu). Di Indonesia, mereka terkenal sebagai ahli dalam pertukangan, pemilik toko-toko besi dan industri kecil. Mereka lebih tersebar merata dibandingkan dengan yang lain. Walaupun orang Tionghoa perantau itu terdiri dari paling sedikit enpat suku bangsa, namun dalam pandangan orang Indonesia pada umumnya mereka terbagi ke dalam dua golongan, yaitu
1

Peranakan dan Totok. Pada masa sekarang, terdapat dua penggolongan suku bangsa Tionghoa yang bermukim di wilayah Indonesia. Golongan pertama adalah golongan Tionghoa peranakan yang merupakan keturunan Tionghoa asli yang bersatu dengan penduduk Indonesia melalui ikatan pernikahan atau orang Tionghoa yang dilahirkan di Indonesia. Tionghoa peranakan ini mulai tumbuh ketika pada awal masa perantauan penduduk Cina ke Indonesia masih sedikit golongan wanita yang ikut sehingga para pria memilih untuk menikahi para wanita pribumi. Masyarakat Tionghoa peranakan itu kini ciri-ciri fisiknya sudah menyerupai dengan ciri-ciri fisik masyarakat Indonesia asli. Populasinya tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Golongan kedua dari suku bangsa Tionghoa di Indonesia adalah golongan Tionghoa totok atau Tionghoa asli, tidak menjalin ikatan pernikahan dengan bangsa pribumi, bahkan ada di antara mereka yang sampai saat ini masih belum bisa berbahasa Indonesia dan ciri-ciri fisiknya masih menyerupai ciri-ciri fisik orang Cina. Selain itu golongan masyarakat Tionghoa ini agak susah dalam melakukan akulturasi terhadap budaya setempat karena pengaruh adat istiadat mereka sendiri. Biasanya mereka hidup dalam desa-desa orang Tionghoa yang mereka bangun sendiri. Populasi Tionghoa totok terdapat di wilayah Jawa Barat, Kalimantan Barat, Bagan Siapiapi. Orang Peranakan bukan hanya orang Tionghoa yang lahir di Indonesia, melainkan juga hasil perkawinan campuran antara orang Tionghoa dan orang Indonesia. Sedangkan orang Totok bukan hanya orang Tionghoa yang lahir di negara Cina, melainkan juga orang yang lahir di negara lain. Penggolongan tersebut juga menyangkut soal derajat penyesuaian dan akulturasi dari para perantau Tionghoa terhadap kebudayaan Indonesia yang ada di sekitarnya. Demikianlah terdapat orang Tionghoa Peranakan di Jawa Timur dan Tengah sekarang ini, yang dalam banyak unsur kehidupannya telah menyerupai orang Jawa, yang telah lupa akan bahasa asalnya dan bahkan dalam ciri-ciri fisiknya sudah menyerupai orang Indonesia asli. Adapun proses akulturasi itu kurang sifatnya di Jawa Barat dan lebih kurang lagi di Kalimantan Barat. Walaupun banyak di antara oang Tionghoa di Kalimantan Barat dan daerah-daerah lain itu sudah banyak juga yang lahir di Indonesia, tetapi toh mereka masih akan disebut orang Tionghoa Totok oleh orang Indonesia asli. Orang Tionghoa Totok banyak bertambah dengan gelombang imigrasi yang terjadi di antara tahun 1920-1930 di Jawa. Hal itu terjadi karena keadaan tekanan di negara Cina yang waktu itu mengalami zaman pergolakan dan revolusi.

Proses Masuknya Bangsa Tionghoa Ke Indonesia Suku bangsa tionghoa merupakan suku bangsa yang telah mendiami tanah air sejak zaman prasejarah. Proses masuknya suku bangsa tionghoa ke nusantara telah terjadi sejak migrasi besar-besaran manusia prasejarah yang masuk ke wilayah Nusantara (yang kini dikenal sebagai melayu tua dan juga melayu muda ). Kemudian hal ini berlanjut pada masa kerajaan-kerajaan mulai berdiri di wilayah Nusantara yang bukti peninggalan yang dapat merekam kedatangan bangsa tionghoa tersebut terdapat pada beberapa prasasti yang menuliskan mengenai berita kedatangan bangsa tionghoa tersebut. Suku bangsa tionghoa tersebut kebanyakan datang dan masuk ke wilayah Nusantara karena alasan perdagangan dan kemudian bangsa tionghoa atau bangsa Cina tersebut melakukan akulturasi dengan penduduk sekitar, bahkan ada yang sampai menikahi penduduk sekitar tersebut sehingga mereka memiliki keturunan yang bertahan hingga sekarang. Orang-orang Tionghoa yang berada di Indonesia berasal dari beberapa suku bangsa yang berasal dari dua propinsi di Cina, yaitu Fukien dan Kwangtung. Perbedaan asal masyarakat Tionghoa di Indonesia ini kemudian menyebabkan perbedaan kebudayaan tiap suku bangsa beserta dengan bahasanya sehingga di Indonesia terdapat bermacam bahasa Cina yang digunakan oleh masyarakat Tionghoa Indonesia. Bahasa tersebut antara lain bahasa Hokkien, Teo Chiu, Hakka, dan Kanton. Terdapat perbedaan yang besar antara masing-masing bahasa tersebut sehingga pembicara yang menggunakan satu bahasa akan tidak dapat dimengerti oleh pengguna jenis bahasa yang lain. Suku bangsa Hokkien, salah satu suku bangsa Tionghoa yang berasal dari wilayah propinsi Fukien bagian selatan dan masuk ke wilayah Nusantara dari abad ke-16 sampai kirakira pertengahan abad ke-19, membawa keahlian berdagang yang telah diwariskan secara turun temurun ketika bermigrasi ke Indonesia. Kepandaian berdagang ini yang terus bertahan hingga sekarang sehingga suku bangsa Hokkian merupakan suku bangsa yang paling sukses dan berhasil. Hal ini juga disebabkan karena sebagian besar dari mereka sangat ulet, tahan ujian, dan rajin. Sementara itu, keturunan orang Hokkien di Indonesia mendiami daerah Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan pantai Barat Sumatera. Suku bangsa Tionghoa lainnya yang mendiami wilayah Indonesia adalah suku bangsa Teo Chiu yang berasal dari pedalaman Swatow, bagian timur propinsi Kwantung. Orangorang ini banyak berperan sebagai kuli perkebunan dan pertambangan bersama dengan orang
3

Hakka di daerah Sumatera Timur, Bangka dan Belitung. Kebiasaan merantau orang-orang Hakka terjadi karena desakan kebutuhan hidup sehingga orang Hakka merupakan yang termiskin diantara para perantau dari Tionghoa. Kini populasi orang Hakka banyak terdapat di daerah Jakarta dan Jawa Barat. Suku bangsa Tionghoa terakhir yang akan dijelaskan yang merantau ke Indonesia adalah suku bangsa Kanton yang berasal dari propinsi Kwantung sebelah barat dan selatan. Orang Kanton ini pun terkenal sebagai kuli pertambangan dengan modal yang besar dan keterampilan teknis serta pertukangan yang tinggi sehingga mereka terkenal ahli dalam pertukangan, pemilik toko besi dan industri kecil. Penyebaran orang Kanton di Indonesia terjadi lebih merata namun populasi terbesar terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Bangka, dan Sumatera Tengah. Sistem Religi Masyarakat Tionghoa Masyarakat bangsa Tionghoa khususnya di Indonesia, sangat menarik untuk dibahas lebih mendalam dalam sisi religinya. Orang Tionghoa di Cina mayoritas memeluk agama Buddha. Walaupun begitu orang Tionghoa di Indonesia memeluk agama Buddha, Kung Futse, Tao, Kristen, Katolik, dan Islam.Untuk agama Buddha, Kung Fu-tse, dan Tao dipuja bersama-sama oleh perkumpulan Sam Kuw Hwee (Perkumpulan Tiga Agama). Pada awalnya, bangsa Tionghoa menjadikan aliran Kong Hu Chu sebagai aliran kepercayaan. Aliran ini mengajarkan bahwa manusia untuk hidup dengan baik dan untuk mengetahui hakikat kehidupannya di dunia, selain itu manusia juga harus bersikap adil terhadap sesama dan sesuai dengan peranannya di masyarakat. Kepercayaan lain yang dianut oleh penduduk Tionghoa adalah ajaran Sidharta Gauthama atau ajaran Budha dan juga aliran Taoisme yang diajarkan oleh Tao. Ketiga aliran ini tidak bisa dipisahkan dari perjalanan religi bangsa Tionghoa sehingga aliran-aliran ini disebut Tridharma. Namun banyak juga orang Tionghoa yang tetap melakukan suatu ritual peribadatan berupa pemujaan terhadap leluhur dengan cara memelihara abu dari seseorang yang telah meninggal kemudian dikremasi. Dalam sebuah keluarga, ayah menjadi pemuka upacara, kemudian kewajiban ini diteruskan secara turun temurun kepada anak-anaknya. Hal yang menarik adalah ketika anak perempuan tidak disebutkan dalam pemujaan terhadap leluhur karena anak perempuan setelah menikah akan langsung ikut dengan suaminya sehingga ia

akan turut mengurus pemujaan leluhur pihak suaminya. Dapat dikatakan bahwa dalam budaya masyarakat Tionghoa berbakti, terutama kepada orang-orang yang telah mendahului, merupakan hal yang sangat keramat dan wajib untuk dilaksanakan. Oleh karena itu masyarakat Tionghoa menilai bahwa sangat penting suatu keluarga untuk memiliki anak lelaki karena kelak anak lelaki ini yang akan melanjutkan nama keluarga dan suatu saat nanti akan melanjutkan ayahnya untuk memelihara abu leluhur. Sementara itu mengenai tata cara pemujaan terhadap abu leluhur dilakukan oleh anggota keluarga, khususnya laki-laki, dengan cara melakukan upacara pemujaan di tempat abu leluhur yang sengaja dibuat khusus untuk keperluan itu. Tempat itu berupa sebuah meja panjang dan tinggi dan di bawahnya terdapat meja lain yang lebih pendek. Meja tersebut selalu diletakkan di bagian depan ruangan rumah dan pada umunya berwarna merah tua dihiasi oleh ukiran beraneka ragam. Di meja panjang ada satu atau lebih hio lau ( tempat menancapkan batang dupa ). Hio lau ini diapit oleh lilin/pelita di bagian kiri dan kanannya dan tiap tanggal satu dan lima selalu dinyalakan dan digunakan untuk membakar dupa. Sementara di bagian meja pendek yang berada di paling depan terdapat pula sepasang lilin merah di kedua sudut meja dan digunakan untuk upacara sembahyang tertentu. Orang Tionghoa biasanya tidak mengenal pemeluk agama yang melakukan upacara keagamaan, kecuali bagi pemeluk agama Buddha. Pendeta Buddha biasanya diminta pertolongannya pada waktu ada kematian. Kebanyakan pendeta Buddha yang melakukan upacara tersebut adalah wanita dan mereka membacakan kitab suci sepanjang malam sebelum jenazah dimakamkan. Gambar Buddha yang cukup besar digantungkan pada dinding tetarap yang didirikan di muka rumah. Sejumlah lima sampai enam orang pendeta berkali-kali mengelilingi peti jenazah sambil membacakan doa dan membakar dupa serta diiringi oleh genderang. Hal ini diikuti oleh anak-anak dan anggota keluarga dari orang yang wafat. Sebagaimana suku-suku bangsa lainnya, masyarakat Tionghoa pun memiliki pandangan hidupnya sendiri. Pada masyarakat Tionghoa, pandangan hidup tersebut terbagi dalam beberapa hal, seperti Konfusianisme dan Taoisme. Ajaran Konfusianisme atau Kong Hu Cu (juga : Kong Fu Tze atau Konfusius) dalam bahasa Tionghoa, istilah aslinya adalah Rujiao yang berarti agama dari orang-orang lembut hati, terpelajar dan berbudi luhur. Konghucu merupakan suatu pengajaran filsafat untuk meningkatkan moral dan menjaga etika manusia. Agama Konghucu juga mengajarkan tentang
5

bagaimana hubungan antar sesama manusia atau disebut Ren Dao dan bagaimana kita melakukan hubungan dengan sang khalikpencipta alam semesta (Tian Dao) yang disebut dengan istilah Tian Di atau Shang Di. Suku bangsa Tionghoa identik sekali dengan Hari Raya Imlek yang merupakan sebuah pesta musim semi dan juga sebagai tahun baru tradisional orang Cina yang dihitung berdasarkan sistem penanggalan bulan. Imlek biasanya diperingati dengan meriah karena dunia serasa hidup lagi setelah berada dalam keadaan mati saat musim dingin yang gelap dan suram. Oleh karena itu Imlek diperingati setiap awal musim semi sebagai tanda terima kasih manusia terhadap alam. Orang-orang Tionghoa merayakan Tahun Baru Imlek dengan melakukan sembahyang di kuil atau di muka meja abu mereka. Sembahyang ini dilakukan dalam keadaan lahir dan batin yang sebersih-bersihnya. Dalam ajaran Taoisme ada mitologi delapan dewa. Delapan Dewa (Ba Xian) berasal dari mitologi Taoisme dan termasuk dewa-dewi terkenal dalam kisah klasik Tionghoa. Mereka adalah simbol keberuntungan masyarakat Tionghoa. Masing-masing dewa mewakili 8 kondisi kehidupan : anak muda, lansia, kemiskinan, kekayaan, rakyat jelata, ningrat, pria, dan wanita Kedelapan dewa tersebut adalah :Zhong Li Quan, Li Tie Guai, Lu Dong Bin, Zhang Guo Lao, He Xian Gu, Lan Cai He, Han Xiang Zi, Cao Guo Jiu. Sistem Ilmu Pengetahuan Feng Shui Kebudayaan bangsa Tionghoa mengenal pula aliran mengenai peruntungan dan hal ini dalam kebudayaan Tionghoa disebut ilmu Feng Shui atau ilmu yang menganalisis mengenai aliran energi dan pengaruhnya bagi kehidupan manusia baik dari segi peruntungan, karir, atau kesehatan. Ilmu Feng Shui ini diterapkan dalam semua aspek kehidupan masyarakat Tionghoa. Bidang Pengobatan Pengobatan Tradisional Tionghoa adalah praktek pengobatan tradisional yang dilakukan di Tiongkok dan dan telah bertahan selama ribuan tahun. Praktek pengobatan termasuk pengobatan herbal, akupuntur, dan pijat Tui Na. Pengobatan ini digolongkan sebagai kedokteran timur, yang termasuk didalamnya pengobatan tradisional Jepang dan

Korea. Pengobatan tradisional Tiongkok percaya bahwa segala proses dalam tubuh manusia berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan. Oleh karena itu, penyakit yang diderita oleh seseorang dalam pandangan masyarakat Tionghoa disebabkan oleh ketidakharmonisan antara lingkungan di dalam dan di luar tubuh seseorang. Gejala ketidakseimbangan ini digunakan dalam pemahaman, pengobatan dan pencegahan penyakit. Teori yang digunakan dalam pengobatan didasarkan pada beberapa acuan filsafat termasuk teori Yin Yang, lima unsur (wu xing), sistem meridian tubuh manusia (jing-luo), teori organ Zang Fu, dan lainnya. Diagnosis dan perawatan dirujuk pada konsep tersebut. Pengobatan tradisional Tiongkok tidak jarang berselisih dengan kedokteran barat, namun beberapa praktisi mengombinasikannya dengan prinsip kedokteran berdasarkan pembuktian. Pengobatan tradisional merupakan bentuk intervensi terapi yang tidak invasive, berakar dari kepercayaan kuno termasuk didalamnya konsep kepercayaan kuno.Tidak seperti beberapa bentuk pengobatan tradisional yang telah punah, pengobatan tradisional Tionghoa kini menjadi bagian dari pengobatan modern dan bagian sistem kesehatan di Tiongkok. Mereka menggunakan teori yang telah berumur ribuan tahun yang didasarkan pengalaman dan pengamatan serta sebuah sistem prosedur yang menjadi dasar pengobatan dan diagnosis. Pengobatan tradisional Tiongkok sering diterapkan dalam membantu penanganan efek samping kemoterapi., membantu perawatan ketergantungan obat terlarang, dan merawat berbagai kondisi kronis yang oleh pengobatan konvensional dianggap mustahil disembihkan. Banyak ahli kedokteran barat yang juga meneliti kebenaran pengobatan tradisional Tionghoa ini. Bidang Astronomi Macan Putih (Rasi Bintang) Macan Putih (Bai Hu) adalah salah satu dari empat symbol pada rasi bintang Tionghoa. Bai Hu dipercaya dapat melindungi daerah barat dari bumi, maka itu Bai Hu disebut juga Macan Putih Penjaga Barat. Shio Shio adalah zodiac Tionghoa yang memakai hewan-hewan untuk melambangkan tahun, bulan, dan waktu dalam astrologi Tionghoa. Setiap individu diasosiasikan dengan satu shio sesuai dengan tanggal kelahirannya. Dua belas shio digabung dengan lima elemen
7

membentuk periode 60 tahun. Keduabelas shio tersebut, yaitu : Tikus, Kerbau, Macan, Kelinci, Naga, Ular, Kuda, Kambing, Monyet, Ayam , Anjing , Babi. Orang Tionghoa dalam pilihan hidupnya baik masalah karir dan percintaan mempercayai semua hal dalam hidupnya tidak terlepas dari pengaruh shio dan elemen shio yang melekat pada dirinya. Bahkan orang tionghoa percaya bahwa orang yang memiliki shio naga emas(yang lahir dalam kurun waktu 60 tahun sekali), orang itu akan sukses dalam semua hal yang digelutinya. Bahasa Perkembangan bahasa Tionghoa lisan sejak masa-masa awal sejarah hingga sekarang merupakan perkembangan yang sangat kompleks. Klasifikasi di bawah menunjukkan bagaimana kelompok-kelompok utama bahasa Tionghoa berkembang dari satu bahasa yang sama pada awalnya. Subbahasa Bahasa Tionghoa: Bahasa Hokkien Bahasa Hokkien atau bahasa Hokkian yang kita kenal sebenarnya adalah dialek Min Selatan (Min-nan) yang merupakan bagian dari bahasa Han. Dialek ini terutama digunakan secara luas di provinsi Fujian (Hokkien), Taiwan (Taiwan), sebelah utara Guangdong (Kengtang) dan di Asia Tenggara di mana konsentrasi Tionghoa perantauan adalah mayoritas berasal dari provinsi Fujian. Bahasa Hokkian juga dikenal sebagai bahasa Holo di daratan Tiongkok dan Taiwan. Bahasa Hokkien ini sendiri terbagi atas banyak logat di antaranya logat Ciangciu (Zhangzhou), logat Cuanciu (Quanzhou) dan logat Emui (Xiamen, dulu Amoy). Bahasa Tiochiu (Chaozhou) adalah juga salah satu logat dalam bahasa Hokkien, namun karena penduduk Tiochiu tersebar di daerah Guangdong utara, maka bahasa Tiochiu kemudian mendapat pengaruh dari bahasa Kanton menjadi logat dalam bahasa Hokkien yang dekat dengan bahasa Kanton. Di Indonesia sendiri, bahasa Hokkien umumnya dikenal sebagai bahasa ibu (mother tongue) komunitas Tionghoa di Medan, Pekanbaru, Palembang dan beberapa daerah lainnya. Bahasa Tiochiu

Dialek Tiochiu atau Tiociu atau teochew atau diojiu (kadang juga dieja sebagai Chiu Chow di Amereika Serikat dan Hong Kong) adalah sebuah dialek bahasa yang termasuk rumpun bahasa bahasa Sino-Tibet. Dialek ini cukup mirip dengan bahasa Hokkien (Tiochiu dan Hokkien/Min-nan diklasifikasikan dalam rumpun Min) dan penutur kedua bahasa dapat cukup mengerti kedua bahasa meski tidak seluruhnya. Di Indonesia, terdapat banyak penutur Tiochiu di Pontianak dan Ketapang, Kalimantan Barat; Jambi, Riau, Kepri dan Sumatera Utara serta Selatan. Bahasa Hakka Bahasa Hakka (secara harafiah berarti "bahasa keluarga tamu") atau di Indonesia umumnya dipanggil Khek adalah bahasa yang dituturkan oleh orang Hakka yang merupakan suku Han yang tersebar di kawasan pegunungan provinsi Guangdong, Fujian dan Guangxi di Tiongkok. Masing-masing daerah ini juga memiliki khas dialek Hakka yang agak berbeda tergantung provinsi dan juga bagian gunung sebelah mana mereka tinggal. Penutur bahasa Hakka di Indonesia banyak terdapat di Aceh, Bangka-Belitung, Jawa, serta Kalimantan Barat. Bahasa Kantonis Bahasa Kanton atau Yu (secara harafiah: bahasa Guangdong; di Indonesia sering disebut bahasa Konghu) adalah salah satu dari dialek bahasa Tionghoa yang dituturkan di barat daya China, Hong Kong, Makau, masyarakat keturunan Tionghoa di Asia Tenggara dan juga masyarakat Tionghoa di belahan dunia lain. Bahasa Kanton ini juga punya pembicara di kalangan Tionghoa di Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia, bahasa Kanton biasa dikenal dengan sebutan bahasa Konghu. Bahasa Mandarin Bahasa Mandarin atau Beifanghua (secara harafiah: bahasa percakapan utara atau dialek utara) adalah dialek bahasa Tionghua yang dituturkan sepanjang utara dan barat daya Republik Rakyat Cina (RRC). Kata mandarin dalam bahasa Inggris dan Indonesia digunakan untuk menerjemahkan beberapa istilah Tionghoa yang berbeda yang merujuk kepada kategorikategori bahasa Tionghoa lisan. Bahasa Mandarin dikenal juga dengan nama Bahasa Guoyu (secara harafiah: bahasa nasional), sesuai dengan kenyataan bahwa bahasa Mandarin ditetapkan sebagai bahasa resmi pemerintahan dan nasional di beberapa negara seperti Republik Rakyat Cina (RRC) dan
9

Taiwan.

BAB II MATA PENCAHARIAN HIDUP Sebagian besar orang Tionghoa di Indonesia berdagang ada juga yang bergerak di bidang pertanian dan pertambangan. Sebesar 50% dari orang Hokkien di Indonesia adalah pedagang, tetapi di Jawa Barat dan di pantai barat Sumatra ada banyak orang Hokkien yang bekerja sebagai petani dan penanam sayuran. Sedangkan di Bagan Siapiapi (Riau) sebagian besar orang Hokkien menjadi penangkap ikan. Orang Hakka di Jawa dan Madura sebagian menjadi pedagang. Di Sumatra, orang Hakka bekerja di sektor pertambangan, sedangkan di Kalimantan Barat banyak yang menjadi petani. Sebanyak 40% dari populasi orang Kanton atau Kwong Fu di Jawa mempunyai perusahaan-perusahaan industri kecil dan perusahaan dagang hasil bumi. Di Sumatra banyak orang

Kanton yang menjadi petani, penanam sayur-sayuran dan buruh tambang. Di Bangka mereka merupakan kelompok yang penting sebagai pekerja tambang, sedangkan di Palembang ada banyak orang Kanton uang bekerja sebagai tukang dalam industri minyak. Usaha perdagangan orang Tionghoa di Indonesia tidak tetap, sering terancam kebangkrutan. Sehingga, banyak perusahaan mereka tidak bisa bertahan lebih dari 3 generasi. Organisasi perdagangan yang kecil dan pembagian yang tidak merata pada keturunanketurunannya menyebabkan mereka selalu memulai suatu usaha dengan modal yang kecil. Banyak anak yang tidak memperhatikan usaha ayahnya, sehingga usaha itu mati bersama-sama dengan kematian ayahnya. Hak milik dipegang seluruhnya dalam lingkungan keluarga dan famili dekat. Sehingga usaha anggota keluarga dapat dengan mudah dipersatukan.

BAB III SISTEM KEMASYARAKATAN DAN KEKERABATAN MAYARAKAT TIONGHOA Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu. Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuna di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya. . Suku bangsa Cina tersebut melakukan akulturasi dengan penduduk sekitar, bahkan ada yang sampai menikahi penduduk sekitar tersebut sehingga mereka memiliki keturunan yang bertahan hingga sekarang. Orang-orang Tionghoa yang berada di Indonesia berasal dari beberapa suku bangsa yang berasal dari dua propinsi di Cina, yaitu Fukien dan Kwangtung. Perbedaan asal
11

masyarakat Tionghoa di Indonesia ini kemudian menyebabkan perbedaan kebudayaan tiap suku bangsa beserta dengan bahasanya sehingga di Indonesia terdapat bermacam bahasa Cina yang digunakan oleh masyarakat Tionghoa Indonesia. Bahasa tersebut antara lain bahasa Hokkien, Teo Chiu, Hakka, dan Kanton. Orang Tionghoa di Indonesia terbiasa menyebut diri mereka sebagai Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Sedangkan dalam dialek Mandarin disebut Tangren (Hanzi: , bahasa Indonesia: Orang Tang). Ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sedangkan Tiongkok Utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: , hanyu pinyin: hanren, bahasa Indonesia: Orang Han). Pada masa sekarang, terdapat dua penggolongan suku bangsa Tionghoa yang bermukim di wilayah Indonesia. Golongan pertama adalah golongan Tionghoa peranakan yang merupakan keturunan Tionghoa asli yang bersatu dengan penduduk Indonesia melalui ikatan pernikahan atau orang Tionghoa yang dilahirkan di Indonesia. Tionghoa peranakan ini mulai tumbuh ketika pada awal masa perantauan penduduk Cina ke Indonesia masih sedikit golongan wanita yang ikut sehingga para pria memilih untuk menikahi para wanita pribumi. Masyarakat Tionghoa peranakan itu kini ciri-ciri fisiknya sudah menyerupai dengan ciri-ciri fisik masyarakat Indonesia asli. Populasinya tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Golongan kedua dari suku bangsa Tionghoa di Indonesia adalah golongan Tionghoa totok atau Tionghoa asli, tidak menjalin ikatan pernikahan dengan bangsa pribumi, bahkan ada di antara mereka yang sampai saat ini masih belum bisa berbahasa Indonesia dan ciri-ciri fisiknya masih menyerupai ciri-ciri fisik orang Cina. Selain itu golongan masyarakat Tionghoa ini agak susah dalam melakukan akulturasi terhadap budaya setempat karena pengaruh adat istiadat mereka sendiri. Biasanya mereka hidup dalam desa-desa orang Tionghoa yang mereka bangun sendiri. Populasi Tionghoa totok terdapat di wilayah Jawa Barat, Kalimantan Barat, Bagan Siapiapi. Sebagaimana suku bangsa lainnya yang memiliki kultur kebudayaan, masyarakat Tionghoa memiliki sistem kekerabatan yang digunakan, salah satunya untuk mengidentifikasikan keturunan masyarakat tionghoa yang akan mewariskan nama keluarganya. Sistem kekerabatan ini juga

berhubungan dengan tata cara pemilihan jodoh dan tata cara pernikahan. Adat Pernikahan Dan Bentuk Keluarga Adat pernikahan dan berkeluarga dalam masyarakat Tionghoa melalui beberapa tahapan. Dalam bab ini hal-hal mengenai adat pernikahan tersebut akan dibahas. Adat menikah dalam masyarakat Tionghoa dimulai dari adat pemilihan jodoh dan akn diteruskan dengan adat lainnya dalam proses pernikahan itu. Meskipun sudah jarang ditemui, sampai pada awal abad 20, perkawinan diatur oleh orang tua kedua belah pihak. Yang menjadi calon mempelai tidak mengetahui calon pasangannya. Dalam pemilihan jodoh orang tionghoa peranakan mempunyai pembatasan-pembatasannya. Perkawinan terlarang adalah antara orangorang yang mempunyai nama keluarga, nama she, yang sama. Namun, kini perkawinan antara orang-orang yang mempunyai nama she yang sama tetapi bukan kerabat dekat dibolehkan. Perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang masih ada hubungan kekerabatan tetapi dari generasi yang lebih tua dilarang. Sebaliknya, perkawinan seorang anak perempuan dengan seorang anggota keluarga dari generasi yang lebih tua (atas), dapat diterima. Hal ini disebabkan bahwa seorang suami tidak boleh lebih muda atau rendah tingkatnya dari isterinya. Peraturan lainnya ialah seorang adik perempuan tidak boleh mendahului kakak perempuannya kawin. Peraturan ini juga berlaku bagi saudara sekandung laki-laki. Pelanggaran terhadap hal ini mengakibatkan si adik harus memberikan hadiah tertentu bagi kakaknya. Akan tetapi adik perempuan boleh mendahului kakak laki-lakinya, demikian juga adik laki-laki boleh mendahului kakak perempuannya menikah. Perkawinan itu menutup suatu masa tertentu dalam hidup seseorang yaitu masa bujang dan hidup tanpa beban keluarga. Orang Cina baru dianggap dewasa atau menjadi orang bila ia telah menikah. Oleh karena itu, upacara perkawinan harus mahal, rumit, dan agung agar perkawinan menjadi kejadian yang penting bagi kehidupan seseorang. Upacara perkawinan Tionghoa di Indonesia tergantung pada agama yang dianut. Selain itu upacara etnis Tionghoa Totok berbeda dengan Tionghoa peranakan. Kebudayaan Tionghoa, pada saat pernikahan selalu menggunakan busana pengantin berwarna merah. Begitu juga dengan dekorasi ruangan kamar pengantin menggunakan warna merah. Sebab warna merah mempunyai arti keberuntungan dan kebahagian. Sejak zaman nenek moyang terdahulu, baju pengantin berwarna merah. Bahkan, orang Tionghoa pantang menggunakan busana warna putih dan hitam pada saat berbahagia.
13

pernikahan. Sekedar diketahui, pada zaman dulu pengantin yang turunan dari kerjaan atau istana. Bahkan anak pejabat. Pada saat pernikahan menggunakan Hong Koan untuk pengantin wanitanya. Putri dan istri raja harus menggunakan Hong koan pada saat menikah. Karena itu tanda yang sangat penting bagi pengantin perempuan. Upacara yang dilaksanakan dalam Pernikahan Upacara pernikahan merupakan adat perkawinan yang didasarkan atas dan bersumber kepada kekerabatan, keleluhuran dan kemanusiaan serta berfungsi melindungi keluarga. Upacara pernikahan tidaklah dilakukan secara seragam di semua tempat, tetapi terdapat berbagai variasi menurut tempat diadakannya; yaitu disesuaikan dengan pandangan mereka pada adat tersebut dan pengaruh adat lainnya pada masa lampau. Pesta dan upacara pernikahan merupakan saat peralihan sepanjang kehidupan manusia yang sifatnya universal. Oleh karena itu, upacara perkawinan selalu ada pada hampir setiap kebudayaan. Demikian pula halnya dengan adat pernikahan orang Tionghoa yang mempunyai upacara-upacara antara lain: 1. Upacara Menjelang Pernikahan : Upacara ini terdiri atas 5 tahapan yaitu : Melamar : Yang memegang peranan penting pada acara ini adalah mak comblang. Mak comblang biasanya dari pihak pria. Penentuan : Bila keahlian mak comblang berhasil, maka diadakan penentuan bilamana antaran/mas kawin boleh dilaksanakan. Sangjit / Antar Contoh Baju : Pada hari yang sudah ditentukan, pihak pria/keluarga pria dengan mak comblang dan kerabat dekat mengantar seperangkat lengkap pakaian mempelai pria dan mas kawin. Mas kawin dapat memperlihatkan gengsi, kaya atau miskinnya keluarga calon mempelai pria. Semua harus dibungkus dengan kertas merah dan warna emas. Selain itu juga dilengkapi dengan uang susu (ang pauw) dan 2 pasang lilin. Biasanya ang pauw diambil setengah dan sepasang lilin dikembalikan Tunangan : Pada saat pertunangan ini, kedua keluarga saling memperkenalkan diri dengan panggilan masing-masing, seperti yang telah diuraikan pada Jelajah No. 3. Penentuan Hari Baik, Bulan Baik : Suku Tionghoa percaya bahwa dalam setiap melaksanakan suatu upacara, harus dilihat hari dan bulannya. Apabila jam, hari dan bulan

pernikahan kurang tepat akan dapat mencelakakan kelanggengan pernikahan mereka. Oleh karena itu harus dipilih jam, hari dan bulan yang baik. Biasanya semuanya serba muda yaitu : jam sebelum matahari tegak lurus; hari tergantung perhitungan bulan Tionghoa, dan bulan yang baik adalah bulan naik / menjelang purnama. 2. Upacara Pernikahan 3 - 7 hari menjelang hari pernikahan diadakan memajang keluarga mempelai pria dan famili dekat, mereka berkunjung ke keluarga mempelai wanita. Mereka membawa beberapa perangkat untuk meng-hias kamar pengantin. Hamparan sprei harus dilakukan oleh keluarga pria yang masih lengkap (hidup) dan bahagia. Di atas tempat tidur diletakkan mas kawin. Ada upacara makan-makan. Calon mempelai pria dilarang menemui calon mempelai wanita sampai hari H. Malam dimana esok akan diadakan upacara pernikahan, ada upacara Liauw Tiaa. Upacara ini biasanya dilakukan hanya untuk mengundang teman-teman calon kedua mempelai. Tetapi adakalanya diadakan pesta besar-besaran sampai jauh malam. Pesta ini diadakan di rumah mempelai wanita. Pada malam ini, calon mempelai boleh digoda sepuas-puasnya oleh teman-teman putrinya. Malam ini juga sering dipergunakan untuk kaum muda pria melihat-lihat calonnya (mencari pacar). 3. Upacara Sembahyang Tuhan (Cio Tao) Di pagi hari pada upacara hari pernikahan, diadakan Cio Tao. Namun, adakalanya upacara Sembahyang Tuhan ini diadakan pada tengah malam menjelang pernikahan. Upacara Cio Tao ini terdiri dari : Penghormatan kepada Tuhan Penghormatan kepada Alam Penghormatan kepada Leluhur Penghormatan kepada Orang tua Penghormatan kepada kedua mempelai. Meja sembahyang berwarna merah 3 tingkat. Di bawahnya diberi 7 macam buah, a.l. Srikaya, lambang kekayaan. Di bawah meja harus ada jambangan berisi air, rumput berwarna hijau yang melambangkan alam nan makmur. Di belakang meja ada tampah dengan garis tengah 2 meter dan di atasnya ada tong kayu berisi sisir, timbangan, sumpit, dll. yang semuanya itu melambangkan kebaikan, kejujuran, panjang umur dan setia.
15

Kedua mempelai memakai pakaian upacara kebesaran Cina yang disebut baju Pao. Mereka menuangkan teh sebagai tanda penghormatan dan memberikan kepada yang dihormati, sambil mengelilingi tampah dan berlutut serta bersujud. Upacara ini sangat sakral dan memberikan arti secara simbolik. 4. Ke Kelenteng Sesudah upacara di rumah, dilanjutkan ke Klenteng. Di sini upacara penghormatan kepada tuhan dan para leluhur. 5. Penghormatan Orang tua dan Keluarga Kembali ke rumah diadakan penghormatan kepada kedua orang tua, keluarga, kerabat dekat. Setiap penghormatan harus dibalas dengan ang pauw baik berupa uang maupun emas, permata. Penghormatan dapat lama, bersujud dan bangun. Dapat juga sebentar, dengan disambut oleh yang dihormati. 6. Upacara Pesta Pernikahan Selesai upacara penghormatan, pakaian kebesaran ditukar dengan pakaian ala barat. Pesta pernikahan di hotel atau tempat lain. Usai pesta, ada upacara pengenalan mempelai pria ( Kiangsay ). Mengundang kiangsay untuk makan malam, karena saat itu mempelai pria masih belum boleh menginap di rumah mempelai wanita. 7. Upacara Sesudah Pernikahan Tiga hari sesudah menikah diadakan upacara yang terdiri dari : Cia Kiangsay Cia Ceem Pada upacara menjamu mempelai pria (Cia Kiangsay) intinya adalah memperkenalkan keluarga besar mempelai pria di rumah mempelai wanita. Mempelai pria sudah boleh tinggal bersama. Sedangkan Cia Ceem di rumah mempelai pria, memperkenalkan seluruh keluarga besar mempelai wanita. Tujuh hari sesudah menikah diadakan upacara kunjungan ke rumahrumah famili yang ada orang tuanya. Mempelai wanita memakai pakaian adat Cina yang lebih sederhana. Sebagai suatu pranata adat yang tumbuh dan mempengaruhi tingkah laku masyarakat yang terlibat di dalamnya, sasaran pelaksanaan adat pernikahan Tionghoa mengalami masa

transisi. Hal ini ditandai dengan terpisahnya masyarakat dari adat pernikahan tersebut melalui pergeseran motif baik ke arah positif maupun negatif dan konflik dalam keluarga. Dewasa ini masyarakat Tionghoa lebih mementingkan kepraktisan ketimbang upacara adat. Hampir semua peraturan yang diadatkan telah dilanggar. Kebanyakan upacara pernikahan berdasarkan dari agama yang dianut. Tempat tinggal setelah kawin bagi masyarakat Tionghoa adalah di rumah orang tua suami. Hal ini erat hubungannya dengan tradisi Tionghoa sendiri bahwa hanya anak laki-laki tertualah yang merupakan ahli waris dan yang akan meneruskan pemujaan terhadap leluhurnya. Putra-putra berikutnya tidak terikat lagi dengan ketentuan-ketentuan tempat tinggal patrilokal ini. Mereka bebas memilih sendiri apakah ingin menetap pada keluarga istri (uxorilokal) atau pada keluarga sendiri (virilokal) atau tinggal sendiri di rumah keluarga yang baru (neolokal). Berhubungan dengan tradisi orang tua, perceraian diizinkan beradasarkan beberapa alasan. Perceraian dapat terjadi apabila si istri tidak memberikan anak laki-laki pada keluarga si suami.. Dalam hal ini, suami dapat mengambil hak istimewanya. Perceraian dapat terjadi apabila si istri tidak mau tinggal bersama istri kedua suaminya. Meskipun demikian, perceraian jarang terjadii karena merupakan perbuatan yan tercela dan akan mencemarkan nama keluarganya. Keluarga yang akan menikahkan calon suami bagi anak perempuannya akan menasihati anaknya untuk menghindari perceraian. Dalam adat Tionghoa, laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri, tetapi ia dapat mengambil sejumlah wanita sebagai istri mudanya. Sebelum abad ke-20, perkawinan demikian banyak terjadi. Bahkan istri-istri itu dibawa tinggal bersama-sama, istrri pertama tetap menjadi istri yang utama; yang mengatur rumah tangga, yang mendampingi suaminya dalam pertemuan-pertemuan serta menjadi ibu dari semua anak-anak baik anaknya sendiri maupun anak dari istri yang lainnya. Istri muda hanya berkedudukan sebagai pembantu saja. Kadang-kadang seorang suami menikah kembali atas anjuran istri pertama karena ia tidak mempunyai anak laki-laki. Biasanya istri kedua berasal dari keluarga yang sangat miskin dan pernikahannya tidak dirayakan. Kebiasaan ini sudah sangat jarang dan umumnya orang Tionghoa menganut monogami.

17

Berdasarkan sistem kekerabatan Tionghoa, maka bentuk rumah tangganya adalah keluarga-luas. Keluarga-luas Tionghoa ini terbagi dalam dua bentuk : Bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri keluarga orang tua dengan hanya anak laki-laki tertua beserta istri dan anak-anaknyadan saudaranya yang belum kawin. Benuk keluarga virilokal yang terdiri dari keluarga orang tua dengan anak-anak laki-laki beserta keluarga batih mereka masing-masing. Kedudukan wanita pada orang Tionghoa dulu adalah sangat rendah. Pada waktu masih anak-anak, saudara laki-laki mereka memperlakukan mereka dengan baik, tetapi pada waktu meningkat dewasa mereka dipingit di rumah. Sesudah kawin mereka harus tunduk kepada suami mereka dan dikuasai oleh suami mereka.Mereka tidak mendapat bagian di kehidupan di luar rumah. Akan tetapi keadaan ini sudah ditinggalkan. Wanita sudah memperoleh hak di bidang politik, ekonomi, pendidikan, dll. Bahkan kaum perempuan terkadang mendapat tugas mengurus abu leluhurnya sehingga suaminya yang harus ikut tinggal di rumah orang tuanya secara uxorilokal. Sehngga tidak ada lagi kecendeungan mengharapkan anak laki-laki. SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT TIONGHOA Orang Tionghoa menganut sistem patrilineal. Kelompok kekerabatan terkecil bukanlah keluarga batih tetapi keluarga luas yang virilokal. Karena itu hubungan dengan kaum kerabat pihak ayah lebih erat dibandingkan dengan kaum kerabat pihak ibu. Meskipun di zaman sekarang menunjukkan hubungan yang sama eratnya. Panggilan Kekerabatan Dalam Tradisi Tionghua

Keterangan: L: lelaki

P: perempuan |: hubungan orang tua-anak -: hubungan saudara x: hubungan perkawinan Sebutan Oleh: Bhs. Hokkian dialek Xiamen (Padanan dalam Bhs. Indonesia)

8P: 1 [Lao Pe ], Pa Pa , A Pa , A Tia (Ayah) 2 [Lao Bu ], Ma Ma , A Bu , A Nia (Ibu) 1&2 [Pe Bu ] (Orang tua) 3 Chin Ke (Besan Lelaki) 4 Chni M (Besan Perempuan) 5 Tua Hnia , A Hnia , Tua Ko , Ko Ko (Abang) 6 Tua So , A So (Kakak Ipar) 7 Ang , Ang Sai (Suami) 8 Gua Ka Ki (Saya) 9 Be Sai (Adik Ipar) 10 Sio Be (Adik Perempuan) 11 Sio Ti (Adik Lelaki) 12 Kim A (Adik Ipar)

19

Oleh 11L: 1 [Lao Pe ], Pa Pa , A Pa , A Tia (Ayah) 2 [Lao Bu ], Ma Ma , A Bu , A Nia (Ibu) 1&2 [Pe Bu ] (Orang tua) 3 [Tniu Lang ] (Mertua Lelaki) 4 [Tniu M ] (Mertua Perempuan) 5 Tua Hnia , A Hnia , Tua Ko , Ko Ko (Abang) 6 Tua So , A So (Kakak Ipar) 7 Ci Hu (Kakak Ipar) 8 Tua Ci , A Ci , Ci Ci (Kakak Perempuan) 9 Ci Hu (Kakak Ipar) 10 A Ci , Ci Ci , Ji Ci (Kakak Perempuan) 11 Gua Ka Ki (Saya) 12 Bou (Istri) 19 Hao Sni (Anak Lelaki), Tua Han Knia (Anak Sulung) 20 Sim Pu (Menantu Perempuan) 21 Knia Sai (Menantu Lelaki) 22 Ca Bou Knia (Anak Perempuan) 19&22 Gin Na , Knia / (Anak) 12P: 1 [Ta Knua /] (Mertua Lelaki)

2 [Ta Ke /] (Mertua Perempuan) 3 [Lao Pe ], Pa Pa , A Pa , A Tia (Ayah) 4 [Lao Bu ], Ma Ma , A Bu , A Nia (Ibu) 3&4 [Pe Bu ] (Orang tua) 11 Ang , Ang Sai (Suami) 12 Gua Ka Ki (Saya) 19 Hao Sni (Anak Lelaki), Tua Han Knia (Anak Sulung) 20 Sim Pu (Menantu Perempuan) 21 Knia Sai (Menantu Lelaki) 22 Ca Bou Knia (Anak Perempuan) 19&22 Gin Na , Knia / (Anak) 19L: 1L A Kong , An Kong (Kakek) 2P A Ma , An Ma (Nenek) 3L Gua Kong (Kakek) 3P Gua Ma (Nenek) 5L A Peq , Tua Peq (Paman, Pakde) 6P A M , Tua M (Bibi, Bude) 7L Ko Tniu (Paman, Pakde) 8P A Kou , Tua Kou (Bibi, Bude) 9L Kou Tniu (Paman, Pakde)
21

10P A Kou (Bibi, Bude) 11L [Lao Pe ], Pa Pa , A Pa , A Tia (Ayah) 12P [Lao Bu ], Ma Ma , A Bu , A Nia (Ibu) 13L A Ku , Tua Ku (Paman) 14P A Kim , Tua Kim (Bibi) 15L Yi Tniu (Paman) 16P A Yi , Yi Yi (Bibi) 17L A Ku (Paman) 18P A Kim (Bibi) Marga Masyarakat Tionghoa menganut sistem pemargaan dalam mengidentifikasikan keturunannya. Mungkin melalui sistem marga inilah yang menimbulkan perasaan persaudaraan yang erat di kalangan masyarakat Tionghoa khususnya bagi masyarakat Tionghoa yang merantau sehingga akan timbul kepedulian dan saling tolong menolong di antara masyarakat Tionghoa. Marga Tionghoa merupakan marga yang digunakan orang Tionghoa. Marga (Hanzi: , hanyu pinyin: xingshi) biasanya berupa satu karakter Han (Hanzi) yang diletakkan di depan nama seseorang. Ada pula marga yang terdiri dari 2 atau bahkan 3 sampai 9 karakter marga seperti ini disebut marga ganda (Hanzi: , hanyu pinyin: fuxing). Marga Tionghoa juga diadopsi oleh suku-suku minoritas yang sekarang tergabung dalam entitas Tionghoa. Marga dalam suku-suku minoritas ini biasanya berupa penerjemahan pelafalan dari bahasa suku-suku minoritas tadi ke dalam Hanzi. Penggunaan marga di dalam kebudayaan Tionghoa telah mempunyai sejarah selama 5.000 tahun lebih. Di zaman dulu, marga-marga tertentu mempunyai tingkatan lebih tinggi daripada marga-marga lainnya. Pandangan ini terutama muncul dan memasyarakat pada zaman Dinasti Jin dan sesudahnya. Ini dikarenakan sistem Men Di yang serupa dengan sistem kasta di India. Pengelompokan tingkatan marga ini terutama juga dikarenakan oleh sistem

feodalisme yang mengakar zaman dulu di Cina. Ini dapat dilihat di zaman Dinasti Song misalnya, Bai Jia Xing yang dilafalkan pada masa tersebut menempatkan marga Zhao yang merupakan marga kaisar menjadi marga pertama. Marga Tionghoa di Indonesia terutama ditemukan di kalangan suku TionghoaIndonesia. Suku Tionghoa-Indonesia walau telah berganti nama Indonesia, namun masih banyak yang tetap mempertahankan marga dan nama Tionghoa mereka yang masih digunakan di acara-acara tidak resmi atau yang bersifat kekeluargaan. Diperkirakan ada sekitar 300-an marga Tionghoa di Indonesia, data di PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia) mencatat ada sekitar 160 marga Tionghoa di Jakarta. Di Singapura sendiri ada sekitar 320 marga Tionghoa. Atas dasar ini, karena daerah asal suku Tionghoa di Indonesia relatif dekat dengan Singapura maka dapat diambil kesimpulan kasar bahwa jumlah marga Tionghoa di Indonesia melebihi 320 marga. Macam-macam Marga Marga Feng Marga Feng (mandarin), Pang (hokkian), Fung (kanton) atau Pung (hakka) berasal dari marga Ji dan telah ada sejak zaman Dinasti Zhou (abad 11 SM). Anak ke-15 dari Raja Zhou Wen Wang yang bernama Bi Gong Gao dihadiahkan wilayah Bi, selanjutnya berkuasa di kota Feng (sekarang di kabupaten Ying-yang, propinsi Henan). Keturunannya kemudian mengambil nama kota sebagai marga mereka dan merupakan leluhur orang bermarga Feng yang pertama. Masuk ke zaman Musim Semi dan Gugur (abad 8 SM~5 SM), ada seorang bermarga Gui yang menjadi pejabat di negara Zheng. Karena dihadiahkan wilayah Feng (sekarang di kabupaten Ying-yang, propinsi Henan) maka ia mengganti marganya menjadi Feng. Ia kemudian dikenal dengan nama Feng Jian-ze dan keturunannya kemudian bermarga Feng. Tokoh2 terkenal dari marga ini semisal Feng Meng-long, seorang sastrawan dari dinasti Ming dan Feng Yu-xiang yang merupakan jenderal terkenal dalam perang melawan Jepang dan pernah menjabat sebagai Gubernur Henan di masa republik nasionalis Marga Guan Marga Guan1 (mandarin), Kuan (hokkian), Kwan (kanton) dan Kuan (hakka) adalah marga yang telah sangat tua umurnya. Menurut catatan sejarah, telah mulai ada sejak akhir Dinasti Xia (abad 18 SM) sehingga telah berumur lebih 3700 tahun. Marga
23

Guan yang tertua adalah berasal dari keturunan seorang menteri negara di zaman Dinasti Xia akhir. Menteri yang bernama Huan Long Feng yang mengabdi pada Kaisar Jie (kaisar terakhir Dinasti Xia) dibunuh oleh sang kaisar karena menasehatinya untuk menghentikan kelaliman dan ketidakpeduliannya pada pemerintahan negara. Karena karakter Huan dan Guan bernada sama pada masa itu, maka kemudian sejarah ada mencatat nama menteri tersebut sebagai Guan Long Feng. Keturunan sang menteri kemudian menggunakan Guan sebagai marga mereka. Marga Guan yang lain berasal dari masa Musim Semi dan Gugur (abad 8 SM ~ 5 SM) dari seorang pejabat bernama Yin Xi. Ia merupakan komandan Gu Guan (pos yang menghubungkan antara satu kota dengan kota lainnya) dan jabatan seperti itu disebut sebagai Guan Ling pada masa itu. Yin Xi ini kemudian menjadi terkenal setelah menyebarluaskan kitab Tao Te Ching yang ditulis Lao Zi dan dihadiahkan kepadanya sewaktu Lao Zi melewati pos tersebut. Keturunannya kemudian menggunakan nama jabatannya (Guan) sebagai marga. Tokoh terkenal dari marga ini adalah Guan Yu (Kuan Kong) yang merupakan jenderal terkenal dari negara Shu pada masa Tiga Negara (Samkok). Juga ada perdana menteri Guan Bo pada zaman Dinasti Tang. Sekarang ini ada olahragawati (peselancar es) tingkat dunia yang terkenal Guan Ying-shan (Michelle Kwan). Rinto Jiang Marga Wu Marga Wu2 (mandarin) = Go/Goh (hokkian) = Ng (kanton) adalah marga yang telah sangat tua sejarahnya. Marga ini telah ada tercatat sebelum zaman Dinasti Xia di zamannya Kaisar Shun4 (abad 23 SM).Dikisahkan, keturunan Kaisar Shun ada yang berkuasa di daerah Yu dan dikarenakan Yu bernada hampir sama dengan Wu, maka keturunannya itu kemudian ada yang bermarga Wu.Ada pula marga Wu yang berasal dari keturunan Raja Dinasti Zhou bermarga Ji. Gu-gong Dan-fu adalah kakek dari pendiri Dinasti Zhou (Zhou Wen-wang) mempunyai 3 anak, Tai Bo, Zhong Yung dan Ji Li. Karena Gu-gong Dan-fu menginginkan cucunya Ji Chang (yang nantinya bertahta dengan gelar Zhou Wen-wang) meneruskan tahtanya, maka kedua anaknya yang lain, Tai Bo dan Zhong Yung kemudian setuju dengan keputusan ayah mereka untuk menjadikan Ji Li sebagai penerusnya untuk kemudian meneruskannya kepada Ji Chang. Kedua bersaudara tadi kemudian mencari daerah baru ke selatan (Jiang Nan) dan mendirikan negara Wu (sekarang di propinsi Jiangsu). Keturunan mereka kemudian

mengambil nama negara sebagai marga mereka.Tokoh terkenal dari marga ini seperti Wu Qi, seorang ahli perang dari zaman Negara2 Berperang dan Wu Cheng-en yang menulis novel klasik Xi You Ji (Perjalanan ke Barat) dari zaman Dinasti Ming. Di zaman sekarang ini ada PM Singapura, Goh Chok-tong atau Wu Zuo-dong (mandarin). Marga Tionghoa di Indonesia mayoritas dilafalkan dalam dialek Hokkian (Minnan). Hal ini tidak mengherankan karena mayoritas keturunan Tionghoa-Indonesia adalah berasal dari Provinsi Fujian (Provinsi Hokkian). Marga yang lazim di kalangan Tionghoa-Indonesia semisal: Cia/Tjia (Hanzi: , hanyu pinyin: xie) Gouw/Goh (Hanzi: , hanyu pinyin: wu) Kang/Kong (Hanzi: , hanyu pinyin: jiang) Lauw/Lau (Hanzi: , hanyu pinyin: liu) Lee/Lie (Hanzi: , hanyu pinyin: li) Oey/Ng/Oei (Hanzi: , hanyu pinyin: huang) Ong (Hanzi: , hanyu pinyin: wang) Tan (Hanzi: , hanyu pinyin: chen) Tio/Thio/Theo/Teo (Hanzi: , hanyu pinyin: zhang) Lim (Hanzi: , hanyu pinyin: lin) Masih banyak lagi marga-marga lain yang dapat ditemui. Salah satu fenomena umum di Indonesia adalah karena marga dilafalkan dalam dialek Hokkian, sehingga tidak ada satu standar penulisan (romanisasi) yang tepat. Hal ini juga menyebabkan banyak marga-marga yang sama pelafalannya dalam dialek Hokkian terkadang dianggap merupakan marga yang sama padahal sesungguhnya tidak demikian. Tio selain merujuk kepada marga Zhang ( ) dalam Mandarin, juga merupakan dialek Hokkian dari marga Zhao (). Ang selain merujuk kepada marga Hong ( ) dalam Mandarin, juga merupakan dialek Hokkian dari marga Weng (). Sistem Kemasyarakatan Masyarakat Tionghoa Di Indonesia Stratifikasi Sosial

25

Dalam masyarakat tradisional orang Tionghoa di Indonesia ada perbedaan antara lapisan buruh dan lapisan majikan, golongan orang miskin dan golongan orang kaya. Namun perbedaan ini tidak begitu mencolok oleh kedua belah pihak. Karena kedua belah pihak masih terkadang masih mempunyai hubungan kekerabatan. Sebuah perusahaan (kongsi) orang Tionghoabiasanya merupakan perusahaan yang dikerjakan oleh suatu kelompok kekerabatan dan kadang-kadang merupakan usaha sekelompok orang di China sebelum ke Indonesia. Tionghoa peranakan-kebanyakan orang Hokkien-merasa dirinya lebih tinggi dari orang Tionghoa Totok karena menganggap Tionghoa Totok umumnya berasal dari kuli dan buruh. Sebaliknya Tionghoa Totok memandang rendah Tionghoa peranakan karena mereka dianggap mempunyai darah campuran. Selain itu stratifikasi sosial dilakukan beradasarkan orientasi pendidikan. Dengan adanya pemisahan pendidikan bagi anak-anak Tionghoa, yaitu sebagian yang mengikuti pendidikan yang berorientasi ke China dan sebagian lagi berorientasi ke barat maka timbul pemisahan antara kedua kelompok ini. Masing-masing menganggap lawannya sebagai kelompok yang lebih rendah. Pimpinan Masyarakat Tionghoa Pada zaman kolonial, pemerintah Belanda mengangkat pemimpin bagi masyarakat Tionghoa dengan pangkat majoor (pangkat tertinggi), kapitein, luitenant dan wijkmeester (ketua RW). Tugasnya adalah sebagai perantara yang menghubungkan antara orang Tionghoa dengan pemerintah Belanda. Para pemimpin orang Tionghoa ini disebut kongkoan oleh orang Tionghoa. Kongkoan sendiri adalah kantor diamana para pemimpin tadi bekerja untuk kepentingan orang Tionghoa. Tugas utama pemimpin adalah menjaga ketertiban dan keamanan dari masyarakat Tionghoa yang terdapat di suatu daerah atau kota, mengurus adat istiadat, kepercayaan, perkawinan, perceraian dan memutuskan segala hal. Mereka mencatat perkawinan, kelahiran dan kematian dan mengangkat sumpah. Kongkoan ini mempunyai hak mengadili segala perkara di antara orang Tionghoa. Mereka juga berfungsi sebagai penasihat pemerintah Belanda terutama dalam masalah penarikan pajak dan merupakan saluran dari peraturan-peraturan pemerintah terhadap masyarakat Tionghoa. Umumnya

mereka dipilih karena memiliki pengaruh dan dihormati oleh orang Tionghoa dan orang kaya. Selain itu mereka juga memiliki kedekatan dengan orang Belanda. Perkumpulan dan Organisasi Orang Tionghoa Pada mulanya orang Tionghoa di kota besar mendirikan kamar dagang (sianghwee). Kamar dagang ini merupakan perkumpulan pedagang Tionghoayang bekerja untuk kepentingan anggota-anggotanya terutama dalam mengurus pajak. Di samping itu ada perkumpulan yang berdasar asal desa di China. Awal abad ke-20, nasionalisme orang Cina cepat menyebar sebagai bentuk kekecewaan terhadap orang Belanda. Tahun 1900, didirikan perkumpulan yang bertujuan memajukan nasionalisme Cina berdasarkan Religi Kong-Fu-Tse dan menyatukan orang Tionghoa yang masih provinsialistis.. Organisasi-organisasi politik yang dibentuk etnis Tionghoa, masing-masing memiliki perbedaan aliran. Pertama yang berorientasi ke Tiongkok, kedua yang berorientasi ke Hindia Belanda, dan ketiga yang berorientasi ke Indonesia. Organisasi yang berorientasi ke Tiongkok adalah Tiong Hoa Hwee Koan Rumah Perkumpulan Tionghoa (THHK, 1900), Siang Hwee (1908), dan Soe Po Sia (1908). Organisasi ini didukung oleh orang Tionghoa Totok, yang baru datang ke Indonesia sekitar akhir abad ke 19 s/d awal abad ke 20. Organisasi yang berorientasi ke Hindia Belanda adalah Chung Hwa Hui yang didirikan pada tahun 1920. Para pendirinya adalah orang Tionghoa Peranakan yang berpendidikan Belanda, yang sudah beberapa generasi tinggal di Indonesia. Karena terlalu "kebelanda-belandaan", organisasi ini akhirnya terpecah dua. Yang tidak setuju kemudian mendirikan partai politik yang pro-lndonesia, yaitu Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada tahun 1932. Dalam perkembangannya etnis Tionghoa di Hindia Belanda terbagi menjadi tiga: Yang pro Belanda mendirikan Chung Hwa Hui dengan corongnya Harian Perniagaan (Siang Po). Yang Pro Tiongkok dipimpin Harian Sin Po. Yang Pro Kemerdekaan terhimpun di Partai Tionghoa Indonesia (PTI) di bawah pimpinan Liem Koen Hian dengan corongnya Harian Sin Tit Po. Perkumpulan dan Organisasi Orang Tionghoa era Orde Lama Salah satu organisasi Tionghoa terkenal yang lahir pada masa ini adalah Badan
27

Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Baperki yang didirikan pada tahun 1954 merupakan organisasi sosial politik yang dapat diterima oleh berbagai kalangan orang Tionghoa, baik Totok maupun Peranakan. Masalah yang dihadapi para tokoh Baperki yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan (Siauw) pada masa itu adalah diskriminasi rasial di berbagai bidang. Baperki ikut serta dalam Pemilu 1955 untuk memilih anggota DPR (29 September 1955) dan anggota Konstituante (15 Desember 1955). Dalam kedua Pemilu ini, Baperki memperoleh 178.887 suara untuk DPR dan 160.456 suara untuk Konstituante, atau 70% suara dari golongan Tionghoa di Jawa. Dengan jumlah suara sebanyak ini, Baperki berhasil memperoleh satu kursi di DPR. Perkumpulan dan Organisasi Orang Tionghoa era Orde Baru dan Orde Reformasi Selain itu selama tiga puluh dua tahun pemerintahan Orde Baru, etnis Tionghoa diisolasi dari kegiatan politik. Penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan massal terhadap orang-orang yang berindikasi G30S/PKI termasuk tokoh, anggota dan simpatisan Baperki dan organisasi-organisasi Tionghoa lainnya, telah menimbulkan trauma yang berkepanjangan di kalangan masyarakat Tionghoa. Timbulnya tragedi Mei 1998 membangkitkan kesadaran etnis Tionghoa bahwa selama ini mereka secara politis mereka tidak berdaya sama sekali. Ini terbukti setelah jatuhnya rezim Orde Baru, berbagai kelompok peranakan Tionghoa segera membentuk partai politik, paguyuban, perhimpunan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan sebagainya, antara lain Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI), Partai Bhineka Tunggal Ika (PBI), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI), Solidaritas Pemuda Pemudi Indonesia Untuk Keadilan (SIMPATIK), dsb. Pasca reformasi 1998, terdapat beberapa sikap politis kaum Tionghoa dalam menghadapi masalah kewarganegaraan, antara lain: Sebagian besar akan tetap bekerja dengan tenang, acuh tak acuh, tanpa partisipasi politis apapun, kecuali hanya berharap dan berdoa agar keluarganya tidak diganggu. Sebagian yang lain menolak sikap pasrah. Mereka beranggapan bahwa keturunan Tionghoa sama seperti warga negara yang lain harus aktif berpartisipasi langsung dalam politik dan ikut mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan

terutama di lembaga legislatif. Kelompok ketiga adalah mereka yang merasa lebih membutuhkan kelompok pendukung yang disebut paguyuban demi saling menopang diantara teman senasib. Kelompok keempat yaitu mereka yang bergabung dengan atau memberi suara kepada parpol yang sudah ada, ataupun yang baru dibentuk yang akan memperjuangkan kepentingan mereka. Dewasa ini, organisasi Tionghoa memiliki fungsi yang berbeda-beda, diantaranya: Partai politik seperti Partai Reformasi Tionghoa, dan Partai Bhinneka Indonesia yang mempunyai tujuan untuk memperoleh kekuasaan baik eksekutif (pemerintah), maupun legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat). Organisasi yang berdasarkan kebangsaan, organisasi ini mempunyai tujuan, aspirasi kebangsaan, terbuka untuk semua suku Warga Negara Indonesia. Organisasi yang berdasarkan ikatan sebagai suku Tionghoa yang merasa senasib dan sepenanggungan, ingin memperjuangkan nasib sebagai orang Tionghoa Bangsa Indonesia (PSMTI). Organisasi yang berdasarkan kesamaan sub etnis (Hakka, Hokian, Konghu dan lain-lain), marga (Lim, Tan, Oey dan lain-lain), asal kampung (Meizou, Taipu, Nan An dan lainlain). Organisasi ini bertujuan untuk mensejahterakan anggotanya sesuai ikatan tersebut. Organisasi yang berdasarkan kesamaan agama (Matakin, Walubi, Paguyuban Tao Indonesia dan lain lain), tujuan organisasi ini adalah untuk peningkatan penghayatan keagamaan umatnya masing-masing. Organisasi berdasarkan kesamaan alumni sekolah dengan tujuan biasanya memperhatikan guru-guru yang sudah tua, penyiapan beasiswa, membangun sekolah dan kegiatan lain yang berkaitan dengan pendidikan. Organisasi yang berdasarkan kesamaan kegiatan seperti, bantuan bencana alam, perkumpulan paduan suara, olahraga, penggemar lukisan, pelawatan, kedukaan, pendidikan, dan lain-lain. Pada zaman sekarang telah lahir beberapa organisasi yang menaungi warga Tionghoa : Perhimpunan Indonesia Tionghoa
29

Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia Persatuan Islam Tionghoa Indonesia Selain itu, beberapa orang Tionghoa juga telah masuk ke dalam beberapa organisasi sosial maupun politik yang ada di Indonesia. Pola Perkampungan Etnis Tionghoa Karena sebagian besar dari orang Tionghoa di Indonesia tinggal di kota kota, maka hanya dibicarakan di sini perkampungan Tionghoa di kota-kota. Perkampungan Tionghoa di kota-kota itu biasanya merupakan deretan rumah-rumah yang berhadaphadapan di sepanjang jalan pusat pertokoan. Deretan rumah-rumah itu, merupakan rumahrumah petak di bawah satu atap, yang umumnya tidak mempunyai pekarangan. Sebagai ganti pekarangan, di tengah rumah biasanya ada bagian tanpa atap untuk menanam tanamtanaman, untuk tempat mencuci piring dan menjemur pakaian. Ruangan paling depan dari rumah selalu merupakan ruangan tamu dan tempat meja abu. Biasanya ruang ini dipakai sebagai toko, sehingga meja abu harus ditempatkan di ruangan di belakangnya. Sesudah itu ada lorong dengan di sebelah kanan-kirinya ada kamar-kamar tidur. Di bagian belakang ada dapur dan kamar mandi. Ciri khas dari rumah-rumah orang Tionghoa dengan tipe yang kuno adalah bentuk atapnya yang selalu melancip pada ujung-ujungnya, dan dengan ukir-ukiran yang berbentuk naga. Pada rumah-rumah orang yang berada, terdapat banyak ukir-ukiran pada tiang-tiang dari balok dan sebagainya.

BAB IV MODERNISASI TIONGHOA pada kelompok orang-orang tionghoa di Indonesia, terdapat 3 macam kelompok: Kelompok Pertama (Flight) adalah kelompok Apatis, yang tidak mau terlibat sedikitpun dengan masalah politik di Indonesia. Tidak Mau bukan berarti tidak ada keinginan, tapi Tidak Mau karena Takut. Kelompok ini biasanya datang dari kalangan bisnis atau professional. Kelompok ini berusaha melawan rasa takutnya dengan cara Melarikan Diri. Tapi untuk melarikan diri, mereka butuh dana atau keahlian tertentu untuk diterima di negara lain Kelompok ke-2 adalah kelompok yang cenderung melakukan perlawanan (Fight) sebagai respon dari rasa takut pada kelangsungan nasib kehidupan mereka di Indonesia. Mereka percaya bahwa tekanan politik dan sosial dapat memaksa masyarakat untuk menerima golongan tionghoa sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia. Masalahnya, seringkali ketika melakukan tekanan sosial, mereka hanya dengan bersosialisasi dengan segelintir pejabat elite atau militer. Kelompok Asimilasi dan Integrasi. Kelompok lain adalah kelompok yang sadar bahwa harus terjadi pembauran kelompok etnis tionghoa ke dalam masyarakat Indonesia. Tapi biarpun bertujuan sama, kelompok ini terbagi menurut cara pembaurannya, yaitu kelompok Asimilasi dan kelompok Integrasi. Kelompok Asimilasi menginginkan pembauran dalam suatu masyarakat menjadi yang terdiri dari berbagai macam suku dan budaya dengan menghilangkan identitas dan budaya asal menjadi satu masyarakat yang satu dan seragam (melting pot), sedangkan Integrasi menginginkan pembauran dalam suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai macam suku dan budaya tanpa menghilangkan identitas atau budaya asal (multikulturalisme).

31

Anda mungkin juga menyukai