Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

DISRUPTION DAN TANTANGAN KEPEMIMPINAN


PENDIDIKAN

Diajukan dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Kepemimpinan


dan Perilaku Organisasi

Dosen Pengampu:
Dr. Susanto, M.A.

Oleh:
M. Makbul Akbar (182520050)

M. Nasrun Saragih (182520055)

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

PASCASARJANA INSTITUT PTIQ JAKARTA

2019

0
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengembangan kualitas sumberdaya manusia sebagai rangkaian


upaya untuk mewujudkan manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia
seluruhnya serta untuk kesejahteraan bangsa mencakup pengembangan
manusia, baik sebagai insan maupun sebagai sumber daya pembangunan.

Manusia sebagai insan menjadi perhatian karena dalam


peningkatan sumber daya, manusia menjadi dasar dari kehidupan dirinya.
Tentunya keberhasilan membangun manusia sebagai insan seutuhnya
akan menentukan keberhasilan membangun manusia pada sisi lainnya,
yaitu pelaku dalam membangun diri dan lingkungannya.1

Era disrupsi mendorong kita dalam berpikir cepat dan berorientasi


pada target. Dari semula yang menggunakan sistem manual sekarang
berubah menjadi sistem digital. Hingga pada sistem pendidikanpun harus
segera menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang semakin
mutakhir ini.

Banyaknya permasalahan pendidikan di Indonesia yang terus


terjebak dalam sistem pembelajaran yang hanya mementingkan kualitas
dan angka-angka belaka, sehingga melupakan esensi pendidikan yang
sesungguhnya yaitu bagaimana mempersiapkan generasi yang memiliki
ketangguhan agar dapat beradaptasi dalam era disrupsi, dimana
perubahan sangat cepat dan tidak terpediksi.

1
Adang Rukhiyat, Paradigma Baru Hubungan Guru dengan Murid, (Jakarta: Uhamka
Press, 2003), hlm. 13

1
Era disrupsi memberikan peluang bagi kita untuk mendapatkan
informasi dalam bentuk apapun. Informasi yang telah disediakan, sistem
yang sangat mendukung transfer informasi itu tidak membuat suatu sekat
antara pembuat informasi dengan penerima informasi. Sebagian
masyarakat sudah mulai familiar dengan datangnya zaman yang
menuntut serba cepat ini. Akan tetapi informasi yang akan kita dapatkan
sangat berbanding lurus dengan perangkat yang kita miliki. Semakin
canggih dan lengkapnya perangkat yang kita miliki, semakin lengkap
pula informasi yang akan kita dapatkan.

Untuk menghadapi era disrupsi menuntut tenaga kerja yang


terampil dan bermutu tinggi dalam berbagai sektor, Salah satunya
dibidang pendidikan. Banyak aspek kontribusi terhadap mutu pendidikan
salah satunya adalah kemampuan kepala sekolah dalam melaksanakan
manajemen disekolah yang dipimpinnya sehinggan proses belajar
mengajar terselenggara dengan baik.

Maka dalam makalah ini akan menjelaskan tentang “disruption”


dan tantangan-tantangan kepemimpinan di dunia pendidikan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa


masalah, diantaranya:

1. Apa yang dimaksud dengan disruption?


2. Bagaimana pengaruh disruption dalam bidang pendidikan?
3. Bagaimana tantangan kepemimpinan pendidikan di era disrupsi?

C. Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini yakni:

2
1. Menjelaskan pengertian disruption.

2. Menjelaskan pengaruh disruption dalam bidang pendidikan.

3. Menjelaskan tantangan kepemimpinan pendidikan di era disrupsi.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Disruption

Kata-kata seperti disruption, disruptive innovation, disruptive


tech- nology, disruptive mindset, disruptive leader, dan seterusnya kian
menjadi begitu populer dalam kalangan pendidikan tinggi dan
masyarakat luas. Seperti diuraikan secara luas oleh Rhenald Kasali dalam
bukunya Disruption, istilah “disruption” mula-mula muncul dalam
konteks bisnis, investasi dan keuangan.2

Secara bahasa, Disruption berarti kb. gangguan, kekacauan.


disruption of power service gangguan tenaga listrik.3 Sedangkan menurut
KBBI disrupsi /dis·rup·si/ berarti hal tercabut dari akarnya.4

Menurut Francis Fukuyama, disrupsi dipahami menurut arti kata


secara leksikal. Disrupsi berarti gangguan atau kekacauan. Menurutnya,
suatu masyarakat yang dikondisikan oleh kekuatan informasi cenderung
menghargai nilai- nilai yang dijunjung tinggi dalam demokrasi, yaitu
kebebasan (freedom) dan kesetaraan (equality).5

Pada tahun 1997, Clayton M. Christensen memperkenalkan teori


yang kelak dikenal sebagai disruption. Kata ini menjadi sangat popular
karena bergerak sejalan dengan muncul dan berkembangnya aplikasi-
aplikasi teknologi informasi dan mengubah bentuk kewirausahaan biasa

2
Rhenald Kasali, Disruption (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017), hlm.147
3
https://lektur.id/arti-disruption/ diakses pada tanggal 20 Desember 2019
4
https://www.kbbi.web.id/disrupsi diakses pada tanggal 20 Desember 2019
5
Francis Fukuyama, The Great Disruption, terjemahan Masri Maris, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2005). hlm. 4

4
menjadi start-up. Kata ini bergerser dari istilah yang dikenal setelah
perang dunia, yaitu “destruction” yang diperkenalkan Schumpeter.

Disruption betul-betul suatu revolusi. Sejak krisis ekonomi asia


(1997) dan Amerika Serikat (2008), anak-anak muda di seluruh dunia
begitu bergairah membangun start-up ketimbang mencari pekerjaan.
Mereka bukan sekedar berwirausaha, melainkan mendisrupsi industry,
meremajakan, dan membongkar pendekatan-pendekatan lama dengan
cara-cara baru.6

Kini dunia tengah menyaksikan perpindahan dari mobil bertenaga


bensin ke self-driving car yang dikendalikan terknologi informasi
(internet) melalui smartphone. Petugas bengkel kelak bukan lagi seorang
montir yang dikenal pada abad ke-20, melainkan para ahli IT yang
bekerja dengan perangkat lunak. Suka tidak suka, internet of things
membentuk kita mulai hari ini.

Dunia juga tengah menyaksikan teknik baru dalam pengobatan


yang kelak akan mengubah wajah rumah sakit, perusahaan asuransi, dan
profesi tertentu. Munculnya telemedika dan wearable mengubah cara dan
tentu saja model bisnis layanan kesehatan. Klinik-klinik spesialis yang
hadir sedekat mungkin dengan pasien melahirkan jasa-jasa kesehatan
baru yang berkualitas dengan harga semakin murah.

Berkualitas, tetapi harganya lebih dan semakin murah.


Bagaimana bisa? Itulah Disruption.7

Jadi, disrupsi merupakan sebuah inovasi yang akan menggantikan


seluruh sistem lama dengan cara-cara baru. Disrupsi akan menggantikan

6
Rhenald Kasali, Disruption (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017), hlm.149-150
7
Rhenald Kasali, Disruption, hlm. 8

5
teknologi lama yang serba fisik dengan teknologi digital yang
menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru, efisien, dan lebih
bermanfaat.

B. Pengertian Kepemimpinan Pendidikan

Kepemimpinan secara umum didefinisikan sebagai kemampuan


dalam kesiapan yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat mempengaruhi,
mendorong, mengajak, menuntun, menggerakkan, mengarahkan orang
atau kelompok agar menerima pengaruh tersebut dan selanjutnya terbuat
sesuatu yang dapat membantu tercapainya suatu tujuan tertentu yang
telah ditetapkan. Menurut para ahli sebagai berikut:
Drs. Ngalim Purwanto berpendapat bahwa kepemimpinan adalah
tindakan atau perbuatan di antara perseorangan dan kelompok yang
menyebabkan baik orang seorang maupun kelompok maju ke arah
tujuan-tujuan tertentu.
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan
kelompok yang diorganisir menuju kepada penentuan dan pencapaian
tujuan (Ralp M.Stogdill)
Menurut Robert Dubin, kepemimpinan dalam organisasi berarti
penggunaan kekuasaan dan pembuatan keputusan-keputusan.
Adapun menurut Fred E.Fiedler, kepemimpinan adalah individu
di dalam kelompok yang memberikan tugas pengarahan dan
pengorganisasian yang relevan dengan kegiatan-kegiatan kelompok.8
Jadi, kepemimpinan pendidikan adalah kemampuan untuk
menggerakkan pelaksanaan pendidikan, sehingga tujuan pendidikan yang
telah ditetapkan dapat tercapai secara efektif dan efisien.

8
Sondang P. Siagian, Teori dan Praktek Kepemimpinan, (Jakarta; Rineka Cipta, 1991)
hlm. 26

6
C. Sebab-Sebab Disruption

Perlu kita sadari bahwa dunia telah berubah dari segala sisi,

 Pertama, teknologi, khususnya infokom, telah mengubah dunia


tempat kita berpijak. Teknologi telah membuat segala produk
menjadi jasa, jasa yang serba digital, dan membentuk marketplace
baru, platform baru, dengan masyarakat yang sama sekali yang
berbeda.
 Kedua, sejalan dengan itu muncullah generasi baru yang menjadi
pendukung utama gerakan ini. Mereka tumbuh sebagai kekuatan
mayoritas dalam peradaban baru yang menentukan arah masa
depan peradaban. ltulah generasi millennials.
 Ketiga, kecepatan luar biasa yang lahir dari microprocessor
dengan kapasitas ganda setiap 24 bulan menyebabkan teknologi
bergerak lebih cepat dan menuntut manusia berpikir dan bertindak
lebih cepat lagi. Manusia dituntut untuk berpikir eksponensial,
bukan linear. Manusia dituntut untuk merespons dengan cepat
tanpa keterikatan pada waktu (menjadi 24 jam sehari, 7 hari
seminggu) dan tempat (menjadi di mana saja), dengan disruptive
mindset.
 Keempat, sejalan dengan gejala disrupted society, muncullah
disruptive leader yang dengan kesadaran penuh menciptakan
perubahan dan kemajuan melalui cara-cara baru. lni jelas
menuntut mindset baru: disruptive mindset. Hal ini dapat dilihat
pada para para bupati dan gubernur yang dibesarkan dalam
gelombang kedua internet, yang paham cara melakukan self-
disruption. Mereka justru mendorong semua aparatnya untuk
masuk ke media sosial dan memberi layanan 24 jam sehari

7
melalui smartphone. Para aparat itu dituntut untuk berubah dan
keluar dari perilaku "menjaga warung" menjadi perilaku proaktif.
Keluar dari tradisi yang membelenggu. Hidup dalam corporate
mindset.
 Kelima, bukan cuma teknologi yang tumbuh, tetapi juga cara
mengeksplorasi kemenangan. Manusia-manusia baru
mengembang- kan model bisnis yang amat disruptive yang
mengakibatkan barang dan jasa lebih terjangkau (affordable),
lebih mudah terakses (accessible), lebih sederhana, dan lebih
merakyat. Mereka memperkenalkan sharing economy, on
demand economy, dan segala hal yang lebih real time.
 Dan keenam, teknologi sudah memasuki gelombang ketiga:
Internet of Things. Hal ini berarti media sosial dan komersial
sudah memasuki titik puncaknya. Dunia kini memasuki
gelombang smart device yang mendorong kita semua hidup dalam
karya-karya yang kolaboratif. Telemedika dan wearable, juga
smart home, smart city, dan smart shopping, adalah realitas baru
yang harus kita hadapi. Hal ini menciptakan peluang sekaligus
menjadi ancaman bagi usaha kita.

Perubahan yang terjadi diawali dengan hal kecil sedemikian kecil


sehingga terabaikan oleh mereka yang besar. Perubahan itu bahkan tidak
terlihat, terjadi dari pintu ke pintu, langsung kepada pelanggan, tanpa
tanda-tanda yang bisa dibaca. Perubahan itu tiba- tiba begitu besar.9

9
Rhenald Kasali, Disruption (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017), hlm. 19-21

8
D. Tantangan Pendidikan di Era Disrupsi

Dalam konteks pendidikan yang ada di Indonesia, Yuswohadi


memaparkan tiga bentuk disrupsi, di antaranya: disrupsi anak didik
(kecenderungan gaya belajar yang berbeda sangat signifikan dengan gaya
belajar generasi sebelumnya), disrupsi teknologi (hadir dalam bentuk
beragam platform digital edukasi), dan disrupsi kompetensi (hadir dalam
bentuk teknologi yang dapat menggantikan pekerjaan dari sisi hard
skill, seperti: machine learning, AI, big data analytics, IoT,VR, sampai
3D printing).10

1. Disrupsi Anak Didik


Menurut Rhenald Kasali, perbedaan generasi millennials dengan
generasi-generasi sebelumnya adalah:
 Mereka merasa jauh lebih merdeka, dalam berpendapat,
memilih karier, bepergian, konsumsi, dan menjalin
kehidupan. Mereka
 Lebih berpendidikan dan memiliki akses yang besar pada
segala sumber daya dan informasi sehingga memudahkan
mereka berkolaborasi.
 Cepat bosan terhadap tempat tinggal, keluarga, sekolah,
pekerjaan atau kegiatan-kegiatan yang serius
 Masa mukim mereka terhadap segala hal menjadi lebih
pendek. Entah itu terhadap tempat tinggal, keluarga,
sekolah, pekerjaan, atau kegiatan-kegiatan yang serius
(semisal ideology atau hal-hal terkait).

10
Citra Amalia Abdul Gani, https://radarcirebon.com/disrupsi-pendidikan.html diakses
pada tanggal 20 Desember 2019

9
 Mereka lebih mengutamakan kebebasan dan kebahagiaan
ketimbang aturan-aturan yang membelenggu. Mereka
lebih mengutamakan kebebasan dan kebahagiaan
ketimbang aturan-aturan yang membelenggu.11

2. Disrupsi Teknologi

Teknologi memang sangat dahsyat, mampu


menjungkirbalikkan kebiasaan, cara melakukan suatu kegiatan,
misalnya. Hal inilah yang sudah dan diperkirakan makin meluas
terjadi dan juga dalam bidang pendidikan, khususnya dalam
proses belajar-mengajar. Proses belajar-mengajar akan
mengalami perubahan yang sangat mendasar. Kita telah
mengetahui tentang perubahan peran pengajar dari memberi
kuliah yang terpusat pada dosen (berbagi informasi,
pengetahuan, dan bahkan kebenaran), menjadi terpusat pada
siswa di mana dosen menjadi fasilitator yang menggerakkan
mahasiswa agar lebih aktif. Pada dasarnya, kedua metode
pembelajaran tersebut sangat intensif tenaga (labor intensive).

Sementara itu, teknologi telah menghasilkan Massive


Open Online Courses (MOOCs), yang merupakan pelajaran
yang bisa diunduh dan dipela jari oleh siapa pun, di mana pun,
dan secara gratis selama tidak menghendaki pengakuan akan
penguasaan bahannya de- ngan memperoleh sertifikat kelulusan.
Bahkan, ada juga bahan ajar tradi- sional seperti kuliah yang
dibuat film, bacaan, dan soal, yang juga telah disajikan secara
MOOCs; metode itu mampu menciptakan suatu forum yang

11
Rhenald Kasali, Disruption (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017), hlm. 467

10
merupakan komunitas pengguna interaktif antara siswa,
pengajar, dan asisten. MOOCs merupakan perkembangan dan
pembaruan dari pembelajaran jarak jauh12 (distance education)
yang diawali sejak 2008 dan makin populer sejak 2012.13

3. Disrupsi Kompetensi

Lembaga pendidikan sebaiknya menyiapkan diri


menghadapi pasar yang terkena imbas perubahan mendasar dan
“mengacaukan” karena pasar pendidikan berubah dari
berorientasi pada penawaran menjadi permintaan. Konsumenlah
yang menentukan jenis pengetahuan apa yang akan dibelinya;
mereka tidak lagi berminat pada paket mata kuliah yang belum
disesuaikan dengan pasar untuk memperoleh tidak hanya ilmu,
tetapi bersamaan dengan itu juga keterampilan yang diperlukan
di pasar kerja.14

E. Kepemimpinan di Era Disrupsi

Untuk menghadapi era disrupsi, pemimpin harus pandai berpikir


dan mampu bertindak lebih cepat dari perubahan yang terjadi. Karena itu,
perlu adanya digital leadership yang mengacu pada kepemimpinan di era
baru. Setiap generasi membutuhkan pemimpin dan karakter yang berbeda
beda. Khusus untuk menjadi pemimpin untuk generasi milenial harus
memiliki karakteristik:

1. Mampu menjadi teladan yang baik

12
Seperti yang selama ini diterapkan oleh Universitas Terbuka dan telah menjangkau
banyak mahasiswa di seantero Nusantara
13
Mayling Oey DKK, Era Disrupsi : Peluang dan Tantangan Pendidikan Tinggi
Indonesia (Jakarta: Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2017) hlm. 105-106
14
Mayling Oey DKK, Era Disrupsi, hlm. 118

11
Satu hal penting yang cukup menarik mengenai konsep
kepemimpinan untuk masyarakat milenial yakni kepemimpinan itu
merupakan suatu karakter dari seorang pemimpin yang mana salah
satunya seseorang pemimpin harus menjadi teladan bagi orang lain atau
bagi masyarakat yang dipimpinnya. Layaknya posisi seorang ibu dan
ayah bagi anak dalam lingkungan keluarga, maka seorang pemimpin juga
seolah menjadi orang tua bagi masyarakat yang dipimpinnya, masyarakat
milenial tersebut pada akhirnya akan mencontoh apa yang dilakukan oleh
pemimpin.

Maka sebagai seorang pemimpin untuk era milenial, selain harus


mempunyai jiwa kepemimpinan yang baik, mempunyai kapasitas dan
kapabilitas dalam memimpin sehingga bisa menciptakan kondisi yang
efektif, efisien dan produktif, juga seorang pemimpin milenial harus
mampu mempunyai karakter atau atitude yang baik sehingga ia menjadi
teladan bagi rakyatnya. Segala tindak tanduk pemimpin akan menjadi
penilaian bagi masyarakatnya, baik itu tindakannya sebagai pemimpin
suatu lembaga atau dalam hal tindakan ia sebagai masyarakat biasa
termasuk dalam ranah sosialisasi dengan masyarakatnya.

2. Mempunyai rasa tanggung jawab

Pemimpin yang ideal salah satu cirinya adalah bertanggung


jawab. Bertanggung jawab berarti berani untuk menanggung efek dari
segala keputusan yang timbul akibat tindakan yang telah dilaksanakan.
Selain cerdas dan berinisatif, seorang pemimpin yang ideal tentunya perlu
memiliki sifat bertanggung jawab. Pengambilan keputusan terhadap cara
kerja dan pelaksanaan misi suatu kelompok tentunya diputuskan dengan
tidak tergesa- gesa.

12
3. Berani mengambil resiko

Maka, pemimpin yang bertanggung jawab adalah pemimpin yang


tetap teguh dan mampu berpikir taktis untuk menerima segala resiko yang
timbul dari keputusan yang diambil. Pemimpin selalu berjiwa besar,
menerima kritik dan selalu mengambil tanggung jawab atas semua
keputusan yang ia ambil. Serta tidak pernah mencari kambing hitam atau
menyalahkan orang di sekitarnya.

4. Sense of belonging (merasa ikut memiliki), Sense of


participation (merasa ikut serta) dan Sense of responsibility
(merasa ikut bertanggung jawab)

Dalam sebuah perkumpulan tidak akan terlepas dari sosok


seorang leaders, mulai dari perkumpulan sederhana sampai oranganisasi
besar peran pemimpin sangat vital. Maju mundurnya sebah organisasi
sangat tergantung dari seorang leaders.

Pemimpin adalah sosok yang sangat berperan dalam menahkodai


sebuah organisasi. Tetapi sehebat apapun kepemimpinan seseorang
tanpa didukung dengan managemen tim yang bagus itupun akan
percuma, jadi kesolidan sebuah organisasi juga sangat penting agar
oranganisasi itu bisa terus melaju sesuai dengan cita-citanya. pemimpin
mempunyai tanggung jawab memastikan setiap anggotanya bekerja
dengan baik, pemimpin juga harus memastikan program-program kerja
berjalan. selain itu seorang pemimpin juga harus mempunyai kepekaan
sosial yang tinggi, pemimpin tidak bisa bertindak semena-mena
menyuruh ini itu, tanpa melihat kondisi lapangan atau anggota.

Pemimpin harus tegas tetapi juga harus bijak dalam mengambil


setiap keputusan. pemimpin yang tidak kreatif adalah pemimpin yang

13
gagal, karena seharusnya pemimpin mampu memunculkan inovasi-
inovasi dalam setiap gagasannya, memunculkan hal- hal baru dengan
gagasan-gagasan yang sepektakuler, beda dengan yang lainnya.
pemimpin bukan mereka yang hanya menerima mandat lalu menjalankan
tugas.

5. Menciptakan kerjasama yang baik di kalangan anggota

Dalam suatu organisasi atau perusahaan, untuk mencapai tujuan


bersama diperlukan suatu kerjasama dari anggota-anggota yang ada di
dalamnya. Pentingnya menjalin kerjasama dalam organisasi akan
berdampak positif terhadap kinerja yang efektif. Salah satu hal yang
mengawali lahirnya kerjasama adalah jalinan komunikasi yang baik.
Komunikasi merupakan hal terpenting dalam keberhasilan suatu
organisasi atau perusahaan. Jika anggota dalam perusahaan tersebut
menjalin komunikasi dengan baik maka perusahaan tersebut mempunyai
peluang besar untuk meraih keberhasilan.15

Di era disrupsi, sangat dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang bisa


memberikan perubahan baru yang positif dan inovasi-inovasi yang
membangun. Maka muncullah istilah baru “Digital Leader”. Perbedaan
karakter antara pemimpin biasa dan pemimpin digital yang dibutuhkan di
era disrupsi ini adalah:

 Pemimpin Biasa
1. Pemimpin dipilih dan diidentifikasi berdasarkan pengalaman,
senioritas, dan performa kerja.

15 Susilo Teguh Raharjo, Prinsip Kepemimpinan Character of A Leader pada Era


Generasi Milenial, (ejurnal, 2018) hlm. 117-121

14
2. Pemimpin harus memulai dari bawah dan perlahan-lahan menuju
ke atas seperti menaiki tangga.
3. Pemimpin diharapkan tahu apa yang akan dia lakukan dan
membawa penilaian serta pengalamannya dalam menghadapi
tantangan bisnis.
4. Pemimpin dinilai dan dibentuk dari perilaku dan gaya
kepemimpinan.
5. Pemimpin memimpin organisasi dan fungsi.
 Pemimpin Digital,
1. Pemimpin dipilih dan diidentifikasi berdasarkan agility,
kreativitas, dan kemampuan untuk menjembatani beberapa tim
yang ada dalam organisasi.
2. Bisa menjadi pemimpin sejak dini dan mengembangkan jiwa
kepemimpinan mereka sambil jalan.
3. Pemimpin diharapkan berinovasi, kolaborasi, dan menggunakan
metode ‘client teams’, crowdsourcing, ataupun hackathon untuk
menemukan solusi yang benar-benar baru.
4. Pemimpin dinilai dan dibentuk oleh pola pikir, dan kemampuan
dalam memecahkan masalah.
5. Pemimpin memimpin sebuah tim, proyek, dan hubungan antar
tim.16

16
https://inixindojogja.co.id/survival-of-the-most-digital-leadership/ diakses pada 20
Desember 2019

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Disrupsi merupakan sebuah inovasi yang akan menggantikan


seluruh sistem lama dengan cara-cara baru. Disrupsi akan menggantikan
teknologi lama yang serba fisik dengan teknologi digital yang
menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru, efisien, dan lebih
bermanfaat.

Dalam konteks pendidikan yang ada di Indonesia, ada tiga bentuk


disrupsi, yaitu: disrupsi anak didik, disrupsi teknologi, dan disrupsi
kompetensi.

Pemimpin pendidikan di era disrupsi dituntut untuk memilik


karakter dan kecakapan sebagai berikut:

1. Mampu menjadi teladan yang baik


2. Mempunyai rasa tanggung jawab
3. Berani mengambil resiko
4. Sense of belonging, Sense of participation, dan Sense of
responsibility
5. Menciptakan kerjasama yang baik di kalangan anggota

16
DAFTAR PUSTAKA

Fukuyama, Francis, The Great Disruption, terjemahan Masri Maris,


Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005
Kasali, Rhenald, Disruption Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017
Oey, Mayling, DKK, Era Disrupsi : Peluang dan Tantangan Pendidikan
Tinggi Indonesia, Jakarta: Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia,
2017
Raharjo, Susilo Teguh, Prinsip Kepemimpinan Character of A Leader
pada Era Generasi Milenial, ejurnal, 2018
Rukhiyat, Adang, Paradigma Baru Hubungan Guru dengan Murid,
Jakarta: Uhamka Press, 2003
Siagian, Sondang P. Teori dan Praktek Kepemimpinan, Jakarta; Rineka
Cipta, 1991

Amalia Abdul Gani, Citra, https://radarcirebon.com/disrupsi-


pendidikan.html diakses pada tanggal 20 Desember 2019
https://inixindojogja.co.id/survival-of-the-most-digital-leadership/
diakses pada 20 Desember 2019
https://lektur.id/arti-disruption/ diakses pada tanggal 20 Desember 2019
https://www.kbbi.web.id/disrupsi diakses pada tanggal 20 Desember
2019

17

Anda mungkin juga menyukai