Anda di halaman 1dari 11

Disusun Oleh :

Nama : Dece Barbalina Dadiara

NIM : 2019-79-008

Fakultas : MIPA

Jurusan/Prodi : Matematika / Matematika


I. PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Di era modern sekarang ini, kemajemukan (perbedaan) bukanlah hal
lazim bagi masyarakat. Namun dalam kemajemukan tersebut ada
golongan-golongan yang selalu dominan atau berusaha menjadi yang
mayoritas. Seperti halnya dalam beragama, Indonesia mengakui beberapa
agama salah satunya yaitu Islam (Muslim) yaitu kaum mayoritas dengan
penganut paling banyak tersebar diseluruh Indonesia. Dan kaum minoritas
lainnya memeluk dan menganut agama Kristen Protestan, Kristen
Khatolik,Hindu, Buddha dan Kong Hu Chu.
Walaupun dalam konteks mayoritas maupun minoritas namun
kadang muncul sifat-sifat dominansi sehingga menganggap bahwa si
kaum mayoritas tersebut lebih unggul serta lebih pantas dan lain
sebagainya dalam hal-hal tertentu misalnya dalam beragama atau
menganut kepercayaan. Hal tersebut juga dapat menjadi titik masalah
yang dapat menimbulkan adanya perpecahan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Tindakan menganggap agama yang dianut adalah suatu
kbenaran tanpa menghargai penganut agama yang berbeda dapat disebut
sebagai eksklusivisme dan fundamentalisme agama.

2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas yaitu :
a. Mengapa Eksklusivisme dan Fundamentalisme Agama dikatekorikan
sebagai salah satu faktor pengahambat masyarakat majemuk yang
berkeadaban?
b. Bagaimana cara mengatasi masalah Ekslusivisme dan
Fundamentalisme Agama?

3. TUJUAN
Mahasiswa dapat mengerti dan memahami tentang eksklusivisme dan
fundamentalisme agama sebagai faktor penghambat masyarakat
majemuk yang berkeadaban serta dapat mengatasi permasalahan
terkait eksklusivisme dan fundamentalisme agama di lingkungan
sekitarnya.
II. PEMBAHASAN

1. Pengertian
Eksklusivisme dan Fundamentalisme merupakan istilah yang kelihatan paralel
karena menggunakan imbuhan “isme” (ismus dalam bahasa Latin) di belakangnya.
Kata ini berarti “menunjukkan suatu paham, ajaran, cita-cita, acara, sistem atau
sikap. Namun,ketiga istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbeda, bukan
saja disebabkan oleh perbedaan makna kata karena perubahan bentuk kalimatnya,
tetapi memang berbeda makna substansinya.

 Eksklusivisme adalah salah satu cara pandang suatu agama terhadap


agama-agama yang berbeda dari agama tersebut. Pendekatan
eksklusivisme merupakan salah satu pendekatan di dalam studi teologi
agama-agama. Pendekatan eksklusivisme menyatakan bahwa agama
Kristen merupakan satu-satunya jalan keselamatan.
 Fundamentalisme adalah sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham
atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini
sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fundamental). Karenanya, kelompok-
kelompok yang mengikuti paham ini seringkali berbenturan dengan
kelompok-kelompok lain bahkan yang ada di lingkungan agamanya
sendiri. Mereka menganggap diri sendiri lebih murni dan dengan
demikian juga lebih benar daripada lawan-lawan mereka yang iman atau
ajaran agamanya telah "tercemar".Kelompok fundamentalis mengajak
seluruh masyarakat luas agar taat terhadap teks-teks Kitab Suci yang
otentik dan tanpa kesalahan. Mereka juga mencoba meraih kekuasaan
politik demi mendesakkan kejayaan kembali ke tradisi mereka.
2. Asal Mula Lahirnya Ekskusivisme Dan
Fundamentalisme

Fundamentalisme agama memang seringkali dikaitkan dengan


tindakan-tindakan kekerasan dan terorisme. Secara historis, terma
fundamentalisme agama mulanya digunakan untuk menyebut
gerakan dalam agama Kristen Protestan di Amerika Serikat yang
lahir dalam situasi konflik antara budaya urban dan budaya
pedesaan pasca Perang Dunia I, di mana terjadi depresi nilai-nilai
agraris dalam proses industrialisasi dan urbanisasi di negeri itu.
Gerakan ini menganut ajaran ortodoksi Kristen yang berdasarkan
atas keyakinan-keyakinan mendasar tertentu. Keyakinan dimaksud
adalah bahwa kitab suci secara harfiah tidak mengandung
kesalahan (the literal inerrancy of the scriptures), Yesus akan turun
kembali ke dunia (the second coming of Yesus Christ), Yesus
terlahir dari Maria yang perawan (the virgin birth), Yesus
dibangkitkan secara jasmaniah dari kematian (the physical
resurrection of the body), Yesus menebus dosa seluruh umat
manusia (the substitution atonement), manusia pada dasarnya
sangat buruk, ada dalam keadaan berdosa semenjak awal
kejadiannya (the total depravity of man- original sin).Keyakinan-
keyakinan dasar di atas sebenarnya tidak sedikitpun menyirat-kan
kemestian munculnya sikap kaku tanpa kompromi sebagaimana
yang dibayangkan pada sekte-sekte yang saat ini diidentifikasi
sebagai fundamentalis. Pada mulanya ajaran-ajaran tersebut
memang memberikan ruang bagi pertimbangan nalar untuk
mengkritisinya secara cerdas. Penganut ajaran ter-sebut dapat
mengkritisi dan memperdebatkan keyakinan-keyakinan dasar ini.
Namun perkembangan selanjutnya kemudian menunjukkan
fenomena yang berbalik. Keyakinan-keyakinan dasar tersebut
kemudian diyakini sedemikian rupa sehingga hanya memberikan
sedikit ruang yang sempit bagi munculnya pendapat yang berbeda.
Pembalikan fenomena tersebut dapat dilihat pada, misalnya, ajaran
bahwa Bibel tidak mengandung kesalahan kemudian di-
kembangkan menjadi ajaran bahwa kitab tersebut menjadi satu-
satunya sumber kebenaran. Pengembangan keyakinan tersebut
tentu melahirkan sikap kaku tanpa mengenal kompromi dan
cenderung mengarah pada klaim-klaim kebenaran (truth claims).
Klaim-klaim kebenaran tersebut pada giliran-nya dapat melahirkan
pembenaran penggunaan kekerasan bagi elemen-elemen lain yang
tidak sejalan dengannya.
Karen Amstrong, ketika mengemukakan tema
Fundamentalisme dalam bukunya “Berperang Demi Tuhan”,
memuat judul-judul: “Garis-garis Pertempuran” (1870-
1900),“Fundamental” (1900-1925), “Kontrabudaya” (1925-1960),
“Mobilisasi” (1960-1974),“Serangan” (1974-1979), dan “Kekalahan”
(1979-1999). Judul-judul tersebut menggambarkan perjalanan waktu
terjadinya sebuah peristiwa; bahwa fundamentalisme itu muncul
sebagai akibat dan juga dapat menjadi sebab terjadinya peristiwa
lain. Ekspresi fundamentalisme menurut Amstrong, terkadang cukup
mengerikan. Para fundamentalis menembaki jamaah yang sedang
salat di mesjid, membunuh para dokter dan perawat dalam klinik
aborsi, membunuh presiden dan bahkan mampu menggulingkan
peme-intahan yang kuat. Akan tetapi hanya sebagian kecil saja dari
mereka yang melakukan tindakan terorisme seperti itu. Amstrong
mengungkapkan bahwa fundamentalisme dimaksudkan adalah
funda-mentalisme agama, yaitu: agama Yahudi, agama Kristen dan
agama Islam, bahkan sejakdi akhir abad ke-20 telah menjadi tradisi
keagamaan dunia.50 Ungkapan tersebut dapat dijadikan tangkisan
bagi tuduhan yang datang dari penganut agama yang satu
kepadaagama yang lain. Karena saat ini fundamentalisme menjadi
istilah yang buruk. “Ia sering dianggap sebagai istilah yang
bermusuhan dan menghina, menunjukkan kesempitan pandangan,
fanatisme, menghambat kemajuan dan sektarianisme”. Padahal
fundamentalisme tanpa terorisme, merupakan gejala
kebangkitan“agama” di dunia Barat yang sekuler. Orang modern
beranggapan bahwa sekularisme adalah suatu keniscayaan dan
bahwa faktor agama tidak lagi berperan penting dalamperistiwa-
peristiwa besar dunia. Aksiomanya adalah jika manusia menjadi
lebih rasional,maka mereka tidak akan lagi membutuhkan agama.
Atau kalau tidak, mereka akanmemasukkan agama itu menjadi
sesuatu yang pribadi, suatu wilayah kehidupan privat. Namun, pada
akhir tahun 1970-an, kaum fundamentalis mulai berusaha
mengembalikan agama dari posisi yang marginal ke posisinya
semula yang sentral. Mereka melawan hegemoni kaum sekular. Ide-
ide mereka sebenarnya sangat modern dan inovatif, tetapi sikap
mereka konservatif karena selalu dekat dengan masa lampau. Kaum
Protestan Amerika adalah orang-orang pertama yang
menggunakan, dan menyebut diri mereka, “fundamentalis”. Hal ini
dilakukan untuk membedakan mereka dari kaum Protestan yang
lebih “liberal” yang menurut mereka telah merusak keimanan
Kristen. Kaum fundamentalis ingin kembali ke dasar dan
menekankan kembali aspek “fundamental” dari tradisi Kristen, suatu
tradisi yang mereka definisikan sebagai pemberlakuan penafsiran
harfiah terhadap kitab suci serta penerimaan doktrin-doktrin inti
tertentu. Lalu bagaimana konsep “fundamentalisme” ini dapat
melahirkan terorisme. Amstrong melakukan penelitian tentang
fundamentalisme agama ini terbatas pada fundamentalisme
Protestan Amerika, fundamentalisme Yahudi di Israel dan
fundamentalisme Islam di Mesir yang sunni, di Iran yang syi‘ah. Ia
mengungkapkan secarakronologis, sehingga menurutnya “betapa
miripnya” fundamentalisme pada ketiga agama monoteisme itu.
Gerakan fundamentalisme itu muncul didorong oleh ketakutan,
kecemasan dan kesulitan hidup di dunia modern yang sekular.
3. Eksklusivisme dan Fundamentalisme sebagai Faktor
penghambat masyarakat majemuk yang berkeadaban.
Sebagai manusia yang diciptakan oleh yang Pencipta dengan segala
macam perbedaan adalah hal yang mutlak, semuanya hanya tergantung dari
sang ciptaan untuk mau menerima perbedaan itu serta memakluminya agar
tercipta suasana yang aman dan damai antar segalah makhluk ciptaan. Dalam
konteks masyarakat majemuk, seseorang memiliki kebebasan untuk
menentukan pilihannya. Karena dalam masyarakat majemuk, perbedaan
merupakan sesuatu yang lumrah, maka dari itu dalam menganut kepercayaan
atau memeluk agama, seseorang tidak dituntut untuk wajib menganut agama
atau kepercayaan yang sama dengan sesama disekitarnya. Namun , jika dalam
menganut kepercayaan atau memeluk agama, terdapat golongan-golongan
tertentu yang merasa bahwa ajaran-ajaran agama yang mereka anut
merupakan kebenaran yang mutlak serta tidak menghargai ajaran-ajaran pda
agama lain, maka hal tersebut dapat berdampak fatal yaitu perpecahan antar
umat beragama. Di Indonesia sendiri, khusus Maluku pernah terjadi
perpecahan antar dua kelompok agama, yang berakibat buruk bagi
kelangsungan hidup berbangsa dan bertanah air yang kental akan persatuan
adan kesatuan. Terjadinya perpecahan tersebut didasari oleh kesalahpahaman
antar dua kelompok agama yang berakhir dengan kericuhan dan perpecahan.
Berasal dari latar belakang kepercayaan yang berbeda juga dapat
terjadi tindak diskriminasi dari kaum mayoritas terhadap kaum minoritas.
Selain berbeda aama, ada juga kesklusiisme maupun fundamentalisme agama
yang terai dlam suatu idenitas kelompok agama yang sama namun berbeda
aliran, misalnya Kristen protestan dengan sesama Kristen lainnya. Dalam
lingkup menganut kepercayaan yang sama namun dalam konteks proses
peribadahan ataupun hal-hal keagamaan yang lain yang sering bertentangan
antara Kristen protestan dengan Kristen aliran. Seperti contoh dalam
pemaknaan pembaptisan kudus, Kristen Protestan mengenal yang namanya
proses pembaptisan percik, sedangkan pada Kristen aliran lebih mengenal
dengan yang namanya proses pembaptisan menyelam. Hal ini juga menjadi
topik yang sangat sensitive jika diperbincangkan ataupun dibahas secara
mendalam karena dalam pembahasannya kadang-kadang didapati bahwa
adanya adu argumen yang sengit antar kedua belah pihak. Hak ini juga dapat
menimbulkan danya persaingan antar Kristen protestan dengan Kristen aliran.
Padahal menurut saya dalam hal beragama maupun menganut kepercayaan,
beradu argumen serta mempertahankan argument tersebut adalah hal yang
lumrah. Namun jika dalam beradu argument, terdapat hal-hal berbau
persaingan, saya merasa bahwa hal tersebut tidak masuk akal. Karena, sesuai
dengan UUD 1945 (Pasal 27, 28e, 28i, 28j, 29) bahwa setiap orang memiliki
hak dalam memeluk agama, berpendapat, dan lain sebagainya.

4. Cara mengatasi adanya Eksklusivisme dan Fundamentalisme


Agama

Cara mengatasi adanya eksklusivisme dan fundamentalisme agama


sebagai faktor penghambat masyarakat majemuk yang berkeadaban, yaitu
1. Pertama, adanya kesadaran dalam diri masing-masing individu untuk
menghargai dan menghortmati perbedaan, dalam berbagai hal, seperti
dalam memeluk agama.
2. Kedua, adanya rasa saling memiliki serta nasionalisme yang tinggi.
3. Ketiga, adanya sumbangsi pemerintah dalam membantu mewujudkan
kehidupan berbangsa dan bernegara serta rasa perstauan yang alot
sehingga dapat menepis paham-paham yang dapat mengakibatkan
adanya perpecahan, permusuhan dan persaingan antar msayarakat yang
majemuk.
PENUTUP

1. Kesimpulan
Dari pembahasan, dapat disimpulkan bahwa eksklusivisme dan
fundamentalisme agama merupakan faktor penghambat dalam masyarakat
majemuk yang berkeadaban yang dapat berakibat fatal. Karena dengan adanya
eksklusivisme serta fundamentalisme agama maka dapat melahirkan paham-paham
intoleransi antar umat beragama yang sangat berdampak buruk bagi kelangsungan
kehidupan berbangsa dan bernegara pada NKRI.

2. Saran

Dengan adanya hidup saling menghargai dan menghormati perdedan


dalam msayaraka majemuk maka eksklusivisme dan fundamentalisme
agama sebagai faktor pemnghambat dapat diatasi sehingga proses
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dapat berjalan aman,
damai, dan sejahtera tanpa adanya tindak intimidasi maupun
diskriminasi antar golongan yang berakibat perpecahan dan
persaingan.
Daftar Pustaka

https://id.wikipedia.org/wiki/Eksklusivisme

https://id.wikipedia.org/wiki/Fundamentalisme

http://eprints.walisongo.ac.id/1929/1/Nur_Rosidah-Fundamentalisme_Agama.

https://media.neliti.com/media/publications/158111-ID-none.

Anda mungkin juga menyukai