GEREJA ANGLIKAN
I Pendahuluan
Negara Jerman adalah pusat perkembangan dari reformasi Prostestan. Babak reformasi ini
dipelopori oleh Martin Luther. Luther sukses menggerakan reformasi ini, karena berhasil
menentang peraktek penjualan indulgensi yang dilakukan oleh pihak Gereja Katolik. Ia
menentang dengan berani memaparkan 95 dalilnya di pintu gerbang Gereja Universitas
Wittenberg. Ia berbicara atas nama kebenaran injili. Revolusi keagamaan ini berkembang
dengan cepat hingga meluas ke sebagian Jerman Tengah dan Utara, Negara Skandanavia,
Denmark, Semenanjung Baltik, dan wilayah Swis yang berbahasa Jerman dan Perancis.
Meluasnya ekspansi gerakan reformasi ini, banyak daerah menyambut baik ide-ide yang
dikemukakan oleh tokoh-tokoh Protestan, tetapi ada juga yang menolak karena tidak sesuai
dengan tradisi gereja. Gerakan Reformasi ini melahirkan tiga aliran penting dalam gereja,
yaitu aliran Luther, Calvin, dan Anglikan.
Diantara keempat aliran ini, penulis membatasi dengan hanya mendalami latar belakang dan
sejarah Gereja Anglikan di Inggris. Sejarah dan latar belakang gereja ini dipenuhi pelbagai
konflik dan peristiwa. Konflik dan peristiwa itu melibatkan beberapa tokoh penting. Tokoh
yang sangat sentral adalah Raja Hennry VIII.
Melihat kenyataan ini, maka penulis memilih gerakan dari aliran ini untuk diuraikan. Tujuan
dari uraian ini adalah untuk memenuhi tugas Sejarah Gereja Reformasi Semester II, dan
memperkaya pengetahuan penulis. Metode yang digunakan penulis adalah mengumpulkan
data dari bebagai buku, membaca, dan menyusun berdasarkan tema yang disiapkan.
Meskipun kekuatan religius menjadi faktor utama, namun yang selalu diacu sebagai pemicu
lahirnya Gereja Anglikan adalah serangkaian peristiwa yang terpumpun pada Raja Hennry
VIII (1509-1547). Ia mengalami konflik dengan Paus Clemens sehubungan dengan masalah
perkawinannya dan secara resmi memutuskan hubungan dengan Roma tahun 1534.
Sebenarnya di bidang ajaran gereja pada mulanya Raja Hennry VIII tidak memiliki masalah
dengan Gereja Katolik Roma, bahkan sebelumnya Ia dipuji sebagai Raja yang sangat setia
kepada Roma. Berkat salah satu tulisannya, Ia diberi gelar oleh Paus sebagai “pembela iman”
Tetapi dalam perkawinannya Ia memiliki masalah, dan menurutnya Paus tidak berkenan
menolongnya. Pada tahun 1509, menjelang naik takhta Ia menikah dengan Catharina dari
Aragon, puteri Spanyol, janda almahrum abangnya Arthur. Catharina sebenarnya melahirkan
banyak anak, tetapi hampir semuanya meninggal pada waktu banyi, yang tersisa hanya satu
anak perempuan yaitu, Mary. Pada tahun 1527 (bahkan sudah sejak tahum 1514) Hennry
mengajukan permintaan kepada Paus agar membatalkan perkawinannya dengan Catharina,
sekaligus meresmikan perkawinannya dengan salah seorang gundiknya, Anna Boleyn.
Alasannya adalah Catharina tidak memberinya anak laki-laki dan Ia kuatir bahwa rakyatnya
tidak menerima wanita sebagai pewaris takhta kerajaan. Ia menunggu sampai enam tahun
tetapi persetujuan dari Paus tak kunjung datang. Sementara Anna Boleyn telah mengandung.
Karena itu, pada bulan Januari 1533 Raja Hennry mengambil keputusan untuk menikah Anna
Boleyn secara rahasia. Beberapa bulan kemudian, Mei 1533, Thomas Cranmer, Unkup
Agung Canterbury (konseptor utama reformasi Inggris) mengumumkan pembatalan
perkawinan Raja Hennry dengan Catharina dan pengakuan perkawinannya dengan Anna
Boleyn. Tindakan ini kemudian disusul oleh Paus dengan mengeluarkan makhlumat
pengucilan (ekskomunikasi) kepada Raja Hennry VIII dan Cranmer, serta pernyataan bahwa
anak yang dilahirkan dari perkawinan Henrry dengan Anne Boleyn adalah tidak sah.
Pembatalan perkawinan dengan Catharina tidak sama dengan perceraian. Menurut sejumlah
sejarahwan, permintaan pembatalan oleh Raja Hennry ada benarnya karena, perkawinannya
dengan Catharina sebenarnya tidak sah dan masuk kategori perkawinan terlarang
sebagaimana dikatakan dalam Kitab Imamat 20:21 (yang mengawini isteri saudara ).
Kematian beruntun dari anak yang dilahirkan oleh Catharina dipahami Hennry sebagai
hukuman dari Allah atas perkawinan terlarang tadi. Sementara itu dicatat juga bahwa pada
masa lalu Paus pernah membatalkan perkawinan seperti itu, sehingga patut dipersoalkan dan
diguguat. Tetapi sebagian ahli melihat bahwa pemintaan Raja Hennry ini hanyalah dalil
untuk menutupi nafsu besarnya (memiliki enam isteri)
Sementara menantikan pembatalan perkawinan itu. Raja Henry yang didukung oleh Uskup
Cranmer menyadari bahwa Gereja Inggris tidak perlu terikat pada Paus dan berwenang
mengatur dirinya sendiri. Raja tidak perlu tunduk kepada Gereja, sebaliknya berwenang
mengatur gereja. Pada masa yang bersamaan Raja melihat bahwa Gereja, terutama biarah-
biarah memiliki banyak kekayaan yang dapat menjadi sumber dana untuk membiayai
kehidupan pemerintah dan perang. Maka, Raja Hennry mengambil alih semua kekayaan ini di
bawah pengelolaan negara.
Sejak tahun 1533 Gereja Anglikan berpisah dengan Gereja Katolik Roma, namun gereja ini
tetap mempertahankan struktur yang ada, ada uskup, rohaniwan, gedung-gedung gereja, dan
jemaat-jemaat dibawa kendali Uskup Agung Canterbury. Jadi, tak ada lagi dibawah Paus.
Sementara dalam hal ajaran, tata ibadah, dan pola organisasi Gereja Anglikan cukup banyak
mempertahankan dan memilihara warisan dan tradisi Gereja Katolik Roma . Selain itu gereja
Anglikan tetap mengajarkan kebenaran oleh iman dan pokok perselisihan dogmatik sesuai
dengan injili. Perwarisan jabatan rasuli diakui dan dijunjung tinggi.
Ajaran dan susunan dari gereja ini mirip dengan Gereja Katolik Roma, karena dasarnya
adalah “ Book of common Prayer dan 39 Articles (1553), yang dipersiapkan oleh Uskup
Agung Thomas Cranmer, yang dihukum mati oleh ratu Mary (1554). Dalam dokumen itu
dibuang setiap ungkapan yang menyatakan ekaristi sebagai kurban. Ajaran tentang ekaristi,
gereja ini menganut paham Calvin. Berkat ajaran ini liturgi dan ajaran Gereja Anglikan
tercampur antara unsur-unsur Katolik dan Protestan.
Campuran antara unsur Katolik dan Protestan dalam Gereja Anglikan melahirkan tiga aliran
yang merupakan kebijakan Ratu Elisabeth I. Ketiga aliran itu adalah sebagai berikut:
pertama, aliran High church ( Angola -Katolik ). Aliran ini memberi tekanan kuat pada
pembenaran jabatan rasuli, pelayanan rohani, sakramen, dan bentuk- bentuk lahiriah dari
ibadah serta menegaskan bahwa Gereja Anglikan adalah perwujudan yang benar dari
kekristenan. Kedua, aliran Low Church. Aliran ini berpegang teguh pada jabatan uskup
(Suksesi apostolik) dengan Kitab Suci sebagai norma tertinggi. Oleh karena itu, Gereja
Anglikan menganggap diri sebagai “jalan tengah” antara Gereja Katolik dan Protestan.
Ketiga, aliran Broad Church. Aliran ini kurang memperhatikan ajaran, tetapi sangat
menekankan karya sosial. Aliran ini juga banyak menekankan tradisi yang dibangun sejak
zaman Elisabeth I, yang menyatakan bahwa Gereja Anglikan merupakan gabungan hal-hal
terbaik dari Gereja Katolik Roma dan Protestan.
III Penutup
Gereja Anglikan adalah wujud gereja yang berasal dari gerakan Reformasi Protestan.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa ada tiga
faktor terbentuknya Gereja Anglikan di Inggris. Pertama, hasrat Raja Hennry VIII untuk
mendapatkan anak laki-laki. Kedua, tumbuhnya perasaan nasionalisme dan anti klerikalisme.
Ketiga, meluasnya gagasan-gagasan Luther.
Gereja ini tetap mempertahankan tradisi katolik yang jemaatnya di bawah Uskup Agung
Canterbury. Tradisi ini tetap di pertahankan, karena dasarnya adalah dokuman ”Book of
Common Prayer dan 39 Articles” yang disiapkan oleh Thomas Cranmer. Berkat dokumen ini,
Gereja Anglikan menggunakan ajaran Gereja Katolik Roma dan Protestan .
Melihat sejumlah aliran dan ajaran dalam Gereja Anglikan dapat disimpulkan bahwa gereja
ini bersifat kompromistis. Di sisi lain, justru disinilah letak kekuatan gereja ini untuk
menjalin hubungan dan kerja sama dengan banyak gereja, meskipun didalamnya terdapat
pelbagai perbedaan aliran.
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, S. Jan. Berbagai Aliran di dalam Gereja dan Sekitar Gereja. Jakarta: BPK Gunung
Mulia,1996.
Berkhom, H, Enklaar H. Sejarah Gereja-Wujud Gereja Anglikan. Jakarta: BPK Gunung
Mulia,1998.
Hariprabowo, Yakobus. Sejarah Gereja Reformasi-Kontra Revormasi-Vatikan II. Sinaksak:
STFT ST. Yohanes.
Heuken Adolf. Gereja Anglikan, dalam Ensiklopedi Gereja. Jakarta: Yayasan Cipta Loka
Caraka, 2004.
Holmes, G.R. The Anglican Tradition-A.Handbook of Cources. London: SPCK/Fortress
Press,1991.
Laarhoven, Kleopas P. Gereja Abadi dalam Perjanjiannya dari Abad ke Abad. Sibolga:
Offset, 1999.
Anglikanisme
Anglikanisme (bahasa Inggris: Anglicanism) adalah suatu tradisi di dalam Kekristenan yang
terdiri dari Gereja Inggris dan gereja-gereja yang secara historis terkait dengannya ataupun
memiliki keyakinan, praktik ibadah, dan struktur gereja yang serupa.[1] Kata Anglikan berasal
dari ecclesia anglicana, sebuah frasa Latin Pertengahan yang berasal dari Magna
Carta (1215)[2] dan masa sebelumnya,[3] yang berarti "Gereja Inggris".
Para penganut Anglikanisme disebut "umat Anglikan" (Anglicans). Sebagian besar umat
Anglikan adalah anggota Gereja Anglikan nasional ataupun regional, dikenal
sebagai provinsi gerejawi, sebagai bagian dari Komuni Anglikan internasional,[4] yang adalah
persekutuan Kristen terbesar ketiga di dunia, setelah Gereja Katolik Roma dan Gereja
Ortodoks Timur.[5] Sebagaimana terlihat dari namanya, gereja-gereja dari Komuni Anglikan
terhubungkan oleh ikatan tradisi, afeksi, dan loyalitas yang sama. Semuanya berada dalam
persekutuan penuh dengan Takhta Canterbury, dan karenanya Uskup Agung Canterbury
merupakan fokus khusus persatuan Anglikan sebagai primus inter pares. Sekali setiap
dasawarsa ia menghimpun Konferensi Lambeth, memimpin pertemuan para primat, dan
adalah Presiden Dewan Konsultatif Anglikan.[6][7] Namun, terdapat sejumlah gereja yang
tidak termasuk dalam Komuni Anglikan yang memandang diri mereka sebagai Anglikan,
seperti misalnya gereja-gereja Anglikan Berkelanjutan[8] dan gereja-gereja yang menjadi
bagian dari gerakan penataan kembali Anglikan.
Para penganut Anglikan mendasarkan iman Kristen mereka pada Alkitab, tradisi-tradisi
Gereja apostolik, suksesi apostolik("episkopat historis"), dan tulisan-tulisan dari para Bapa
Gereja.[1] Anglikanisme membentuk salah satu cabang Kekristenan Barat; secara definitif
menyatakan keterlepasannya dari Takhta Suci pada saat Penyelesaian Keagamaan
Elizabethan.[9] Banyak formularium baru Anglikan dari pertengahan abad ke-16 yang
berhubungan erat dengan formularium Protestanisme kontemporer. Reformasi dalam Gereja
Inggris ini dipahami oleh salah seorang dari mereka yang paling bertanggung jawab
atasnya, Thomas Cranmer sebagai Uskup Agung Canterbury pada saat itu, sebagai
mengarahkan suatu jalan tengah antara dua tradisi Protestan yang timbul,
yaitu Lutheranisme dan Calvinisme.[10] Pada akhir abad tersebut, retensi dalam Anglikanisme
atas banyak tata liturgis tradisional dan atas episkopatnya tidak dapat diterima oleh mereka
yang mempromosikan prinsip-prinsip terbaru Protestan.
Pada paruh pertama abad ke-17, Gereja Inggris dan Gereja Irlandia yang terkait dengannya
disajikan oleh beberapa rohaniwan Anglikan sebagai cakupan suatu tradisi Kristen yang
berbeda, dengan berbagai teologi, struktur, dan tata ibadah yang merepresentasikan satu jenis
jalan tengah atau via media yang berbeda antara Protestanisme dan Katolisisme Roma.
Perspektif ini menjadi sangat berpengaruh dalam teori-teori identitas Anglikan selanjutnya
dan diungkapkan dalam deskripsi Anglikanisme sebagai "Katolik dan Tereformasi" (Catholic
and Reformed).[11] Tingkat perbedaan antara kecenderungan Protestan dan Katolik di dalam
tradisi Anglikan merupakan bahan perdebatan rutin baik di dalam gereja-gereja Anglikan
tertentu maupun di seluruh Komuni Anglikan. Kekhasan Anglikanisme adalah Buku Doa
Umum, kumpulan tata ibadah yang digunakan dalam sebagian besar gereja Anglikan selama
berabad-abad, dan dengan demikian diakui sebagai salah satu pertalian yang mengikat
Komuni Anglikan bersama-sama.
Setelah Revolusi Amerika, jemaat Anglikan di Amerika Serikat dan Amerika Utara
Britania (yang kelak membentuk dasar bagi negara modern Kanada) masing-masing dibentuk
kembali menjadi gereja-gereja otonom dengan struktur-struktur swakelola dan uskup-uskup
tersendiri, yaitu Gereja Episkopal Amerika Serikat dan Gereja Anglikan Kanada. Dengan
perluasan Imperium Britania dan aktivitas misi Kristen, model ini diadopsi sebagai model
bagi banyak gereja yang baru terbentuk pada saat itu, khususnya di Afrika, Australasia, dan
Asia-Pasifik. Pada abad ke-19, istilah Anglikanisme diciptakan untuk mendeskripsikan tradisi
religius bersama dari gereja-gereja tersebut; termasuk juga dari Gereja Episkopal Skotlandia,
yang—meski bemula lebih awal di dalam Gereja Skotlandia—telah diakui sebagai berbagi
identitas bersama ini.
Terminologi
Kata Anglikan berasal dari ecclesia anglicana, suatu frasa Latin Pertengahan yang berasal
dari setidaknya tahun 1246 yang berarti Gereja Inggris (bahasa Inggris: English
Church).[12] Para pengikut Anglikanisme disebut Anglicans (umat Anglikan). Sebagai kata
sifat, "Anglikan" digunakan untuk mendeskripsikan orang, institusi, dan gereja, serta tradisi
liturgis maupun konsep teologis yang dikembangkan oleh Gereja Inggris.[7] Sebagai kata
benda, seorang Anglikan adalah seorang anggota dari suatu gereja dalam Komuni Anglikan.
Kata tersebut juga digunakan oleh para pengikut dari kelompok-kelompok terpisah yang telah
meninggalkan Komuni Anglikan ataupun didirikan terpisah darinya, kendati hal ini terkadang
dianggap sebagai penyalahgunaan. Kata Anglikanisme muncul pada abad ke-19.[7] Kata
tersebut awalnya hanya mengacu pada ajaran-ajaran dan ritus-ritus dari kalangan Kristen di
seluruh dunia yang berada dalam persekutuan dengan takhta dari Canterbury, namun
terkadang diperluas hingga mencakup gereja apa saja yang mengikuti tradisi mereka tanpa
keanggotaan aktual dalam Komuni Anglikan modern.[7]
Meskipun istilah "Anglikan" didapati mengacu pada Gereja Inggris sejak abad ke-16,
penggunaannya baru menjadi umum pada paruh akhir abad ke-19. Dalam undang-undang
parlementer Britania yang mengacu pada Gereja Negara Inggris, tidak diperlukan suatu
deskripsi; Anglikan adalah Gereja Inggris, kendati kata "Protestan" digunakan dalam banyak
akta yang menetapkan suksesi monarki dan kualifikasi untuk jabatan. Ketika Akta Persatuan
dengan Irlandia menciptakan Gereja Bersatu Inggris dan Irlandia, ditetapkan bahwasanya
akan menjadi satu "Gereja Episkopal Protestan", sehingga membedakan tata kelola gerejanya
dari sistem Presbiterian yang berlaku di Gereja Skotlandia.[13]
Kata Episkopal lebih disukai dalam penamaan Gereja Episkopal (provinsi dari Komuni
Anglikan yang mencakup Amerika Serikat) dan Gereja Episkopal Skotlandia, kendata nama
lengkap dari yang pertama disebut adalah Gereja Episkopal Protestan dari Amerika Serikat.
Namun, di tempat lain, istilah "Gereja Anglikan" lebih disukai karena membedakan gereja-
gereja tersebut dari yang lainnya yang mempertahankan sistem episkopal.
Katolik karena menganggap dirinya sebagai bagian dari gereja Yesus Kristus yang
universal dalam kontinuitas tak terputus dengan gereja apostolik awal. Hal ini
diungkapkan dalam penekanannya pada ajaran-ajaran para Bapa Gereja awal,
sebagaimana telah diresmikan dalam Kredo Para Rasul, Nicea, dan Athanasius.[9]
Reformed karena telah dibentuk oleh beberapa prinsip doktrinal dari Reformasi
Protestan abad ke-16, khususnya 39 Artikel Agama dan Buku Doa Umum.[9]
Fase awal Reformasi Inggris menghasilkan banyak martir Katolik maupun martir Protestan
radikal. Pada fase selanjutnya, Hukum Pidana digunakan untuk menghukum para penganut
Katolik Roma dan Protestan nonkonformis. Pada abad ke-17, perselisihan politik dan agama
mengakibatkan timbulnya faksi Puritan dan Presbisterian yang berkeinginan untuk
mengendalikan gereja, namun ini berakhir dengan terjadinya Restorasi. Pengakuan kepausan
atas kepemimpinan George III pada tahun 1766 menyebabkan toleransi keagamaan yang
lebih baik.
Sejak Reformasi Inggris, Gereja Inggris telah menggunakan liturgi dalam bahasa Inggris.
Gereja ini meliputi beberapa aliran doktrinal, tiga yang terutama dikenal sebagai Anglo-
Katolik, Evangelikal, dan Gereja Luas. Ketegangan antara kaum progresif dan konservatif
teologis tampak jelas dalam perdebatan mengenai penahbisan kaum
wanita dan homoseksualitas. Gereja ini terdiri dari para anggota dan rohaniwan
yang liberal maupun konservatif.[10]
Struktur tata kelola gereja berbasiskan pada keuskupan-keuskupan, yang masing-masingnya
dipimpin oleh seorang uskup. Di dalam setiap keuskupan terdapat paroki-
paroki setempat. Sinode Umum Gereja Inggris berfungsi sebagai badan legislatif gereja ini
dan terdiri dari para uskup, klerus lainnya, dan kaum awam. Rancangan undang-undang atau
ketentuan hukum yang mereka hasilkan harus mendapat persetujuan dari kedua Dewan
Parlemen Britania Raya.
Pengangkatan
Pendeta memimpin upacara di diosis karena mereka memegang jabatan sebagai pendeta yang
diberi kuasa, atau karena diberi izin oleh uskup ketika diangkat (mis. kurator), atau dengan
izin saja.
Proses pengangkatan uskup diosis lebih rumit, dan ditangani oleh sebuah lembaga yang
disebut Komisi Nominasi Kerajaan, yang menyerahkan nama-namanya kepada Perdana
Menteri (yang bertindak atas nama Raja atau Ratu) untuk dipertimbangkan. Proses ini
digambarkan dalam artikel Pengangkatan Uskup Gereja Inggris.
Sejarah
Hereford adalah salah satu dari 43 katedral Gereja ini, dan banyak di antaranya mempunyai
sejarah yang panjang hingga beberapa abad.
Gereja Inggris menelusuri pembentukannya dari misi Augustinian pada tahun 597, dan
menekankan kesinambungan dan identitasnya dengan Gereja Barat universal yang pertama.
Gereja ini juga menetapkan sifatnya yang independen dan nasional pada masa pasca-
Reformasi dari masa Tudor di Inggris.
Agama Kristen tiba di Britania pada abad pertama atau kedua (diduga melalui jalur
perdagangan timah melalui Irlandia dan Spanyol), dan berdiri secara terpisah dari Gereja
Roma, seperti halnya juga banyak komunitas Kristen pada masa itu. Menurut berbagai
catatan uskup-uskup Britania menghadiri Konsili Arles pada 314. Paus mengutus St.
Augustinus dari Canterbury dari Roma pada abad ke-6untuk menginjili orang-
orang Anglo pada (597). Dengan bantuan orang-orang Kristen yang sudah tinggal di Kent, ia
mendirikan gerejanya di Canterbury, ibu kota Kent, dan menjadi uskup agung pertama dari
Canterbury.
Pada saat yang bersamaan, Gereja Keltik dari St.Columba terus menginjili Skotlandia. Gereja
Keltik dari Britania Utara dalam pengertian tertentu mengakui 'wewenang' Roma pada Sinode
Whitby pada 644. Selama beberapa abad berikutnya, sistem Roma yang diperkenalkan oleh
Augustine pelan-pelan menyerap gereja-gereja Kristen Keltik yang sudah ada sebelumnya.
Selama hampir seribu tahun Inggris menjadi bagian dari Gereja Katolik Roma. Pada 1534
Gereja di Inggris memisahkan diri dari Roma, pada masa pemerintahan Raja Henry VIII. Di
bawah anaknya, Edward VI Gereja ini secara teologis menjadi lebih radikal, namun
kemudian sebentar bergabung kembali dengan Gereja Roma pada masa pemerintahan
Ratu Mary I, pada 1555. Di bawah Elizabeth Idibentuklah sebuah Gereja yang mapan
(artinya, takluk kepada dan merupakan bagian dari negara), yang agak bersifat protestan,
Katolik, dan apostolik. Gereja ini mengakomodasi posisi-posisi teologis yang merentang luas,
yang menjadi cirinya sejak saat itu.
Gereja-gereja terkait
Saudara Gereja Inggris, Gereja Irlandia, juga mengalami reformasi pada abad ke-16 atas
permintaan penguasa-penguasa Irlandia yang berada di Inggris. Berbeda dengan di in Inggris,
mayoritas penduduk nya tidak mengikuti reformasi ini, dan lebih suka untuk tetap berpegang
pada ajaran Katolik Roma; tetapi Gereja Irlandia mempertahankan status Gereja negara yang
resmi di Irlandia hingga 1871. Hingga saat ini, Gereja ini tetap ditata sebagai Gereja seluruh
pulau Irlandia.
Di Skotlandia, Gereja Skotlandia diakui menurut hukum (Akta Gereja Skotlandia 1921)
sebagai "Gereja nasional" (meskipun ia bukanlah "Gereja mapan" dalam pengertian yang
sama dengan Gereja Inggris, karena mempunyai otonomi yang lebih besar dalam
pemerintahannya). Gereja Skotlandia mempunyai sistem kepemimpinan presbyterian. Sebuah
Gereja Anglikan yang lebih kecil juga hadir di Skotlandia, yang dikenal sebagai Gereja
Episkopal Skotlandia, yang mempunyai komuni penuh dengan Gereja Inggris. Sejarahnya
rumit dan membingungkan, melibatkan masa-masa promosi dan penganiayaan resmi pada
suatu masa tertentu, karena Gereja ini terkait dengan Jacobitisme, sehingga ia harus
beroperasi sub rosa (secara rahasia).
Ketika Gereja Episkopal di Amerika Serikat menjadi mandiri dari Gereja Inggris
setelah Perang Kemerdekaan Amerika, pimpinan Gereja Inggris tidak yakin bahwa Gereja itu
dapat secara sah menahbiskan uskup-uskup baru tanpa menuntut mereka mengucapkan
sumpah kesetiaan yang baku kepada raja atau ratu Inggris. Akibatnya, para uskup dari Gereja
Episkopal Skotlandia yang bukan Gereja negara itulah yang menahbiskan para uskup pertama
Amerika, hingga peraturan yang baru memungkinkan Gereja Inggris mengendurkan
kebijakannya.
Gereja di Wales, sebelumnya adalah bagian dari Gereja Inggris, berubah sehingga menjadi
bukan Gereja negara pada 1920 dan pada saat yang sama menjadi anggota inedependen
dari Komuni Anglikan.
Gereja Inggris berkomuni penuh dengan Gereja-gereja lain dalam Komuni Anglikan, dan
secara terpisah dengan Gereja-gereja lain yang menandatangani perjanjian Komuni Porvoo.
Gereja Inggris juga merupakan anggota penuh dari Konferensi Gereja-gereja Eropa.
Situasi keuangan
Meskipun statusnya Gereja negara, Gereja Inggris tidak mendapatkan dukungan langsung
pemerintah dari segi keuangan. Sumbangan adalah sumber pendapatannya yang terbesar,
meskipun Gereja ini juga sangat mengandalkan pendapatan dari berbagai dana abadi historis.
Pada 2005, pengeluaran Gereja Inggris diperkirakan mencapai sekitar £900 juta.
Secara historis, masing-masing paroki mencari dana dan menggunakan sebagian besar dana
Gereja, artinya bahwa gaji rohaniwannya tergantung pada kekayaan parokinya, dan hak
paroki untuk mengangkat pendeta ke paroki-paroki tertentu dapat menjadi karunia yang
sangat berharga. Masing-masing diosis juga mempunyai aset yang cukup besar: Diosis
Durham mempunyai kekayaan yang sangat besar dan kekuasaan dunia sehingga uskupnya
digelari 'Uskup-Pangeran'. Namun sejak pertengahan abad ke-19, Gereja telah melakukan
berbagai upaya untuk 'menyamakan' situasinya, dan para rohaniwan di masing-masing diosis
kini menerima tunjangan standar yang dibayar dari dana diosis. Sementara itu, Gereja
memindahkan sebagian besar dari aset-asetnya yang menghasilkan uang (yang pada masa
lalu mencakup banyak sekali tanah, namun sekarang umumnya berupa saham dan surat-surat
berharga) dari tangan masing-masing rohaniwan dan uskup ke dalam tangan sebuah lembaga
yang disebut Komisioner Gereja, yang menggunakan dana-dana ini untuk membayar banyak
sekali pengeluaran non-paroki, termasuk pensiun rohaniwan, dan biaya pemeliharaan katedral
dan rumah uskup. Dana-dana ini jumlahnya sekitar £3,9 miliar, dan menghasilkan pendapatan
sekitar £164 juta setiap tahunnya (pada tahun 2003), sekitar seperlima dari keseluruhan
penghasilan Gereja.
Selain gedung-gedung gereja dan katedral, Gereja Inggris juga menguasai sejumlah bangunan
yang terkait yang ada di samping gereja atau terkait kepadanya, termasuk sejumlah besar
perumahan pendeta. Selain perumahan vikar dan rektor (pendeta kepala), perumahan ini
mencakup juga sejumlah tempat tinggal (disebut 'istana') untuk masing-masing dari ke-114
uskup Gereja. Dalam beberapa kasus tertentu, nama ini tampaknya tepat. Gedung-gedung
seperti Istana Lambeth, tempat tinggal Uskup Agung Canterbury di London dan Istana Lama
di Canterbury benar-benar mirip istana, sementara Istana Auckland yang dihuni Uskup
Durham, mempunyai 50 kamar, sebuah ruang pesta dan taman berukuran 120.000. Namun,
banyak uskup yang merasa bahwa istana-istana lama itu tidak cocok dengan gaya hidup
sekarang, dan beberapa 'istana' uskup hanya berupa rumah dengan empat kamar. Banyak
diosis yang mempertahankan istana-istana besar kini menggunakan sebagian ruangannya
sebagai kantor administrasi, sementara para uskup dan keluarga mereka tinggal di sebuah
apartemen kecil di dalam istana itu. Pada tahun-tahun belakangan sebagian diosis berhasil
memanfaatkan ruangan yang berlebih dan kemewahan istana-istana mereka untuk mencari
dana, dengan menjadikannya pusat-pusat konferensi. Ketiga istana uskup yang lebih mewah
yang disebutkan di atas — Istana Lambeth, Istana Lama Canterbury dan Istana Auckland —
berfungsi sebagai kantor untuk administrasi gereja, tempat-tempat konferensi, dan sampai
batas tertentu tempat tinggal pribadi seorang uskup. Ukuran keluarga para uskup telah jauh
mengecil dan anggaran mereka untuk menerima tamu dan memiliki staf hanya mengambil
bagian yang kecil sekali dibandingkan dengan tingkat biaya yang dikeluarkan pada masa
sebelum abad ke-20.
Reformasi Inggris
Sejarah Inggris
Reformasi Inggris adalah serangkaian peristiwa di Inggris pada abad ke-16 ketika Gereja
Inggris memisahkan diri dari pemerintahan Paus dan Gereja Katolik Roma. Peristiwa ini
terkait dengan Reformasi Protestan yang menyebar luas di seluruh Eropa, menjadi gerakan
keagamaan dan politik yang memengaruhi praktik Kekristenan di sebagian besar Eropa
selama periode ini. Faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa ini di antaranya adalah
kemerosotan feodalisme dan kebangkitan nasionalisme, diciptakannya hukum umum,
penemuan mesin cetak yang meningkatkan oplah Alkitab, serta tersebarnya ide dan
pengetahuan baru di kalangan ilmuwan dan kelas menengah ke atas. Namun, berbagai
tahapan Reformasi Inggris, yang juga berlangsung di Wales dan Irlandia, sebagian besarnya
dipicu oleh kebijakan pemerintah, dan opini publik ikut menyesuaikan diri secara bertahap.
Berawal dari kekesalan Henry VIII terhadap Gereja Katolik Roma karena tidak bersedia
membatalkan pernikahannya, Reformasi Inggris pada awalnya lebih berupa masalah politik
ketimbang masalah teologi. Fakta bahwa adanya perbedaan pandangan politik antara Inggris
dan Roma memicu munculnya perselisihan ideologis di kemudian hari.[1] Sebelum Inggris
memisahkan diri dari Roma, kewenangan untuk memutuskan doktrin berada di tangan Paus
dan dewan umum gereja. Tindakan gereja diatur oleh kode hukum kanon, dan kekuasaan
mengadili dipegang oleh Roma.
Pajak Gereja dibayar langsung pada Roma, dan Paus memiliki hak untuk memutuskan
pengangkatan uskup. Setelah putus hubungan dengan Roma, monarki Inggris ditetapkan
sebagai Gubernur Tertinggi Gereja Inggris melalui Supremasi Kerajaan, menjadikan Gereja
Inggris sebagai agama resmi negara. Doktrin dan putusan hukum berada di tangan raja, dan
hak Paus untuk mengangkat uskup dan memungut pajak turut diambil alih oleh Gereja
Inggris.
Struktur dan teologi gereja di Inggris telah menjadi sumber sengketa selama beberapa
generasi. Perselisihan tersebut berakhir dengan pecahnya Revolusi Agung pada tahun 1688.
Setelah revolusi, muncul pemerintahan gereja yang beranggotakan sejumlah
gereja nonkonformis yang didiskriminasi oleh kaum mayoritas, misalnya pemusnahan
minoritas Katolik Roma yang dilegalkan oleh organisasi gereja hingga abad ke-19.
Latar belakang
Henry VIII naik takhta sebagai raja Inggris pada tahun 1509 saat berusia 17 tahun. Ia
menikah dengan Catharina dari Aragon, janda kakaknya, Arthur, pada bulan Juni 1509, tepat
sebelum upacara penobatannya. Tidak seperti ayahnya yang penuh rahasia dan berpandangan
konservatif, Henry muda memiliki sifat yang sopan dan penuh keramahan. Sebagai Katolik
yang taat, ia mengikuti hampir lima Misa dalam sehari (kecuali pada musim berburu); dari
yang sebelumnya "berpikiran kuat dan lugu", ia membiarkan dirinya dipengaruhi oleh
penasihatnya pada malam atau siang hari. Henry juga menghargai siapapun yang mau
mendengarnya.[2]
Pada tahun 1522, seorang gadis Prancis bernama Anne Boleyn dikirim untuk menjadi dayang
Ratu Catharina. Pembawaan Anne yang cerdas dan memesona berhasil memikat
Henry.[3] Pada akhir 1520-an, Henry ingin pernikahannya dengan Catharina dibatalkan.
Pernikahannya dengan Catharina tidak menghasilkan keturunan lelaki, sedangkan Henry
menginginkan seorang putra sebagai ahli waris Dinasti Tudor.
Sebelum ayah Henry (Henry VII) naik takhta, Inggris telah dilanda oleh perang
saudara dalam memperebutkan mahkota Inggris. Henry bertekad ingin menghindari hal-hal
tersebut dengan cara memiliki ahli waris yang sah.[4]Satu-satunya anak Catharina yang hidup
sampai dewasa hanyalah Putri Mary.
Debat parlemen
Pada tahun 1529, raja memanggil Parlemen sehubungan dengan masalah pembatalan
pernikahan. Parlemen sendiri menyetujui keinginan Henry untuk melakukan reformasi,
namun tidak berhasil mencapai kesepakatan mengenai tindakan apa yang harus diambil;
parlemen ini selanjutnya dikenal dengan nama Parlemen Reformasi. Beberapa AP membenci
para pendeta yang memiliki hak istimewa untuk ikut campur dalam pengadilan.[10] Penasihat
Henry yang baru, Thomas More, menginginkan pengesahan undang-undang baru yang
mengatur mengenai ajaran sesat.[11]
Thomas Cromwell, seorang anggota parlemen yang beragama Protestan, berpendapat bahwa
Parlemen bisa dimanfaatkan untuk mendukung Supremasi Kerajaan sebagaimana yang
diinginkan Henry. Ia juga mendorong Henry untuk memilih Protestan sebagai agama
negara.[10] Thomas Cranmer, anggota Parlemen lainnya yang beragama Protestan, diangkat
sebagai Uskup Agung setelah reformasi. Sedangkan mengenai masalah pembatalan
pernikahan, kesepakatan masih belum tercapai. Paus sepertinya lebih takut pada Karl V
ketimbang Henry. Anne Boleyn dan Cromwell bersikeras bahwa mereka bisa mengabaikan
wewenang Paus, namun pada Oktober 1530, para rohaniwan berunding dan sepakat bahwa
Parlemen tidak berhak untuk menentang wewenang Paus. Henry kemudian memutuskan
untuk mengintimidasi para pendeta yang menolak keputusannya.[12]
Keputusan raja
Henry yang geram memutuskan untuk menghukum para pendeta atas tuduhan
melanggar praemunire. Undang-Undang Praemunire, yang melarang ketaatan kepada Paus
dan penguasa asing dan telah diberlakukan sejak tahun 1392, telah diterapkan terhadap
individu dalam sejumlah proses pengadilan. Henry juga menjatuhi hukuman terhadap para
pendukung Ratu Catharina, termasuk Uskup John Fisher, Nicholas West dan Henry Standish,
serta diakon Adam Travers, atas tuduhan yang sama.[13] Henry menuntut denda sebesar
£100.000 sebagai syarat pembebasan mereka, yang akhirnya diberikan oleh Konvokasi pada
24 Januari 1531. Para pendeta menuntut pembayaran tersebut dilakukan selama lima tahun.
Henry setuju dan mengeluarkan lima keputusan yang menyatakan bahwa:
1. Para rohaniwan mengakui Henry sebagai "pelindung tunggal dan Pemimpin Agung
Gereja dan rohaniwan di Inggris."[14]
2. Raja memiliki kekuasaan mengadili dalam bidang kerohanian
3. Hak istimewa Gereja bisa ditegakkan hanya jika tidak bertentangan dengan hukum
kerajaan
4. Raja mengampuni para rohaniwan meskipun telah melanggar undang-undang
praemunire
5. Para biarawan juga diampuni