Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

HUKUM HAMMURABI

Oleh :

FIFIT WIDYA ASTUTI

09120190016
KATA PENGANTAR 

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Hukum Hammurabidengan baik dan
tepat pada waktunya. Dalam penyusunan makalah mungkin ada sedikit hambatan.
Namun berkat bantuan dukungan dari teman-teman serta bimbingan dari dosen
pembimbing, kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat membantu proses pembelajaran dan
dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca. Penulis juga tidak lupa
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak, atas bantuan, dukungan dan
doanya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca
makalah ini dan dapat mengetahui tentang sejarah perkembangan Hukum
hammurabi dunia dan Indonesia . Makalah ini mungkin kurang sempurna, untuk itu
kami mengharap kritik dan saran untuk penyempurnaan makalah ini.

Makassar, 20 Februari 2022 

Fifit widya astuti


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Hukum Hammurabi
B. Tujuan Hukum Hammurabi

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
B. Saran
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hukum Hammurabi adalah prasasti hukum kuno Babilonia yang disusun oleh raja


Hammurabi. Prasasti ini berukuran 2,25 meter dengan tulisan terukir dalam bahasa
Akkadia berisi 282 peraturan mengenai berbagai ketentuan; semisal undang-
undang perdagangan, perbudakan, penuduhan, ganti
rugi kerusakan, pencurian dan hubungan keluarga.

Pada tahun 1901, seorang arkeolog asal Swiss, Gustave Jéquier, berhasil menemukan


undang-undang ini di situs prasejarah Susa, Khuzestan, Iran.[1] Para peneliti percaya
bahwa undang-undang ini termasuk salah satu prasasti hukum tertua di
dunia. Terdapat beberapa salinan hukum pada batu-batu ukiran yang berukuran
lebih kecil. Saat ini, Undang-undang Hammurabi menjadi salah satu koleksi Museum
Louvre di Paris.
Salah satu peraturan terkenal dari prasasti ini adalah hukum balas-setimpal yang
mirip dengan Hukum di Kitab Taurat:
Jika seseorang menghancurkan mata milik orang lain, mereka harus menghancurkan mata
milik perusak itu. Jika seseorang mematahkan tulang milik orang lain, mereka harus
mematahkan tulang milik orang (yang mematahkan) itu.... — Hukum ke-196 dan ke-197.

Terdapat berbagai peraturan lain yang salah satunya membahas hukum orang
merdeka terhadap budak.

B. TUJUAN
1. Memahami sejarah hukum hammurabi
2. Memahami Tujuan dibuatnya hukum hammurabi
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH HUKUM HAMMURABI
Berabad silam, tepatnya pada abad ke-17 sebelum Masehi, ada sebuah cerita
masyhur tentang sejarah lahirnya hukum. Konon, hukum di seluruh dunia ini bermula
dari Hukum Hammurabi. Sebuah sistem hukum yang dibuat oleh Raja Babylonia
bernama Hammurabi. Ia membuat Piagam Hammurabi yang berisi pasal-pasal
hukum konstitusional untuk wilayah Babylonia.

Aturan Hukum Hammurabi tertatah di batu-batu besar yang ditemukan oleh para
arkeolog di reruntuhan kawasan Mesopotamia. Melalui temuan tersebut, Hammurabi
secara tak langsung telah ditahbiskan sebagai raja yang pertama kali membuat
hukum. Sebab, hanya Hammurabilah satu-satunya raja zaman kuno yang memulai
kodifikasi hukum secara rapi. Maka wajar jika dalam buku-buku diktat sejarah
sekolah, Hammurabi dianggap sebagai raja yang telah berjasa melahirkan konsep
hukum modern.

Pada zamannya, Hukum Hammurabi memang dianggap sebagai seperangkat


hukum dengan asas keadilan tunggal. Semua pelaksanaan tata kelola negara harus
diacu dari Hukum Hammurabi. Menurut Raja Hammurabi sendiri, hukum itu tak serta
merta tercipta dari ego pribadinya. Melainkan lahir berdasarkan ilham yang datang
dari Dewa Anu, Enlil dan Marduk —para dewa utama dalam tradisi keagamaan
Mesopotamia.

Ia dengan terang mengatakan bahwa hukum Hammurabi ada "untuk menjaga


keadilan di tanah ini, untuk melenyapkan orang fasik dan jahat, untuk mencegah
yang kuat menindas yang lemah."

Hukum Hammurabi merupakan prinsip sakral yang harus dipatuhi seluruh rakyat
Babylonia. Tak boleh dipertanyakan, harus dijalankan dengan taklid buta.
Masyarakat harus percaya dengan mantap bahwa Hukum Hammurabi memiliki
kebenaran yang mutlak.

Tapi, apakah ujaran Raja Hammurabi itu benar adanya? Jawabannya: tidak. Hukum
yang diciptakan Hammurabi tak lebih dari mitos yang jahat. Hukum Hammurabi
justru mengantarkan masyarakat Babylonia ke dalam zaman kegelapan yang
mengerikan. Ketika kebenaran ditutupi kabut hitam takhayul tentang para dewa.

Hukum Hammurabi justru berisi aturan yang menindas dan menyengsarakan


rakyatnya. Tak ada asas tentang kesetaraan di hadapan hukum. Hukum Hammurabi
menjalankan keadilan yang sejatinya sama sekali tidak proporsional. Pada titik
tertentu, bahkan bersifat diskriminatif dan tolol.

Yuval Noah Hariri, sejarahwan penulis buku Sapiens, menemukan fakta menarik dari
Hukum Hammurabi ini. Dalam hukum tersebut, menurut Yuval, masyarakat --yang
merupakan objek hukum-- dibagi menjadi tiga kelas yaitu orang kalangan atas, orang
biasa dan budak. Sedangkan dalam kategori gender dibagi dua, lelaki dan
perempuan.

Ada pasal hukum yang menyatakan jika seseorang dari kalangan atas membunuh
anak perempuan dari kalangan atas, maka yang harus dibunuh adalah putri sang
pembunuh. Bukan si pembunuh itu sendiri. Tentu, aturan ini terdengar tolol karena si
putri pembunuh yang tak berdosa justru yang terkena hukuman.

Belum lagi pasal hukum yang melihat strata kelas sosial masyarakat jadi bahan
pertimbangan hukum. Misalnya, seorang kalangan atas yang mematahkan tulang
orang biasa atau budak, mereka hanya perlu membayar beberapa shekel perak —
mata uang Babylonia— untuk menebus kesalahannya. Sedangkan bila orang biasa
atau budak yang melakukannya, mereka harus menerima hukuman dipatahkan
tulangnya.

Semuanya harus patuh. Karena Hukum Hammurabi, berlaku premis jika seluruh
rakyat meu patuh hukum berdasarkan hirarki sosialnya, maka kesejahteraan dan
keamanan tercipta. Tapi kita tahu bahwa Hukum Hammurabi tak lebih dari laku
dungu seorang raja lalim. Yuval Noah Hariri menduga inilah yang membuat imperium
Babylonia berdiri tegak dan langgeng dalam waktu yang lama. Karena masyarakat
Babylonia berhasil dibodohi oleh mitos bernama Hukum Hammurabi.

Hukum Hammurabi menjadi bukti bahwa Raja Hammurabi merupakan raja yang
fasis. Tapi, siapa pun takkan pernah berani mengkritik hukum yang telah ia buat.
Karena hukum itu turun langsung dari para dewa dan barang siapa tidak percaya
maka ia bakal terkena kutuk.

Situasi yang pernah terjadi pada abad ke-17 SM di Babylonia itu agaknya sedikit
mirip dengan apa yang sedang mulai berlangsung di Indonesia saat ini. Barangkali
dugaan saya ini nampak berlebihan. Tapi, pada kenyataannya saya kira memang
begitu.

Sekarang dengan mudah kita melihat beberapa instrumen hukum tak ubahnya
seperti pusaka keramat. Harus ditaati dengan sepatuh-patuhnya dan tak boleh
dikritik sama sekali. Mereka yang mengkritik justru akan dianggap sebagai pemecah
belah bangsa atau sebutan konyol lainnya.

Akhir-akhir ini ada beberapa instrumen hukum justru melahirkan pro dan kontra. Hal
ini dikarenakan aturan hukum itu yang motifnya ambigu. Baik dalam bentuk undang
undang atau peraturan yang dikeluarkan oleh penjabat negara. Pada ceruk tertentu,
beberapa produk hukum tersebut sangat rentan untuk dimanfaatkan sekelompok
orang.

Alih-alih membuat aturan untuk menertibkan segala silang sengkarut masalah,


aturan tersebut justru menjadi alat bungkam untuk menjegal kelompok tertentu.
Contohnya adalah Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan
Perppu Ormas.

Pada mulanya UU ITE dianggap sebagai instrumen hukum yang diterapkan guna
menjaga ketertiban masyarakat dalam berinternet. Namun, pada praktiknya aturan
hukum ini malah dipakai untuk mengkriminalisasi orang-orang tertentu.

Dalam pasal 27 ayat 3 misalnya, dibahas bahwa cyberbullying atau perundungan


masuk dalam tindakan kriminal. Meskipun tafsir terhadap cyberbullying itu sendiri
sangat ambigu. Banyak ahli hukum yang mengaku kesulitan mengartikan definisi ini.
Alhasil, ada beberapa warganet yang hanya ingin menyuarakan kritik, tapi justru
berakhir di meja hukum.

Hal serupa juga berlaku pada apa yang terjadi dalam kasus Perppu Ormas. Lahirnya
aturan ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran pada beberapa kelompok radikal yang
bisa mengguncang kemapanan ideologi negara. Maka dibuatlah aturan Perppu
Ormas untuk membubarkan kelompok-kelompok yang berhaluan dengan ideologi
negara.

Tapi sayangnya, Perppu Ormas justru mengandung nuansa otoritarian. Aturan ini
memiliki potensi untuk mengebiri prinsip kebebasan berekspresi dan berserikat yang
sudah termaktub dalam konstitusi UUD 1945. Perppu Ormas seperti pisau bermata
dua, di satu sisi digunakan melindungi ideologi negara, namun di sisi lain justru bisa
dipakai oleh seorang oknum untuk menzalimi kelompok-kelompok masyarakat
marjinal.

Beberapa instrumen hukum yang saya contohkan tadi bisa menjadi seperti narasi
kanon kebenaran tunggal. Artinya ia bisa menolak semua potensi kebenaran yang
berada di luar motif pembuat hukum. Tentu ini sangat berbahaya, bahkan ini
merupakan tanda-tanda munculnya fasisme. Hampir mirip dengan Hukum
Hammurabi.

Produk instrumen hukum harus kita ingat kembali sebagai bagian dari produk politik.
Bahkan produk hukum seperti undang-undang bisa muncul dari proses fungsi
legislatif yang tak bersih. Penuh intrik dan kepentingan. Goenawan Mohamad pun
pernah menggambarkan undang-undang seperti halnya tahu. Tercipta dari proses
pembuatan menjijikkan dan penuh aroma bacin, namun ketika jadi tahu tampak gurih
dan kita menikmatinya.

Kita juga harus ingat bahwa produk hukum tercipta dari buah-buah pikiran manusia
biasa yang bisa salah. Bukan dari sabda dewa atau Tuhan. Jadi, semestinya semua
produk hukum harus memilik sifat oto-kritik. Semata-mata agar semua kekurangan
dalam prinsip hukum bisa dibenahi. Karena tidak ada produk hukum yang paripurna.
Bukan malah sebaliknya, produk hukum menjadi kebal kritik dan harus dipatuhi
dengan mata tertutup.

Tapi di negeri ini, ironi memang tak pernah cuti. Dengan mudah, setiap pagi kita bisa
menemukan berita penuh ironi di televisi. Ketika para aktivis membela petani
dikriminalisasi dan masuk bui, di waktu lain ada seorang tersangka korupsi kelas
kakap justru bisa memasukkan orang lain ke bui hanya karena sebuah meme. Kita
harus ingat bahwa bangsa yang sehat adalah bangsa yang memperlakukan
hukumnya secara sehat. Begitu pun sebaliknya.

B. TUJUAN HUKUM HAMMURABI

Raja Hammurabi menganggap tujuan hukum adalah keadilan dalam rangka menjaga
dan melindungi rakyatnya. Persepsi keadilan Raja Hammurabi barangkali tidak bisa
dibayangkan dan disamakan dengan konsep keadilan saat ini. Sebagai contoh: Pada
Hukum Hammurabi, ditetapkannya hukuman mati bagi perampokan dan pencurian
(“kriminal biasa”)-sementara saat ini hukuman mati pelaku kejahatan-kejahatan besar
bagi kemanusiaan yaitu terorisme, narkoba dan korupsi-masih menjadi perdebatan
panjang). Hal ini secara tidak langsung memberi keyakinan kepada kita bahwa konsep
keadilan sebagai tujuan hukum sampai kapanpun dan dengan cara apapun dikaji tidak
pernah diperoleh standar yang pasti.

Dalam perkembangan hukum berikutnya, persoalan tujuan hukum tetap menjadi


perhatian penting karena menjadi ruh bagi perumusan suatu peraturan. Berbagai
teoripun muncul mengenai tujuan Hukum, misalnya:
1. Teori etis (etische theory) dikemukakan oleh Aristoteles, bahwa tujuan hukum
adalah untuk dicapainya keadilan, dan keadilan bukan berarti menyamaratakan atau
tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama
2. Teori utilitas (utilities theory) dikemukakan oleh Jeremy Betham, bahwa tujuan
hukum adalah untuk kemanfaatan dan kebahagiaan
3. Teori normative-dogmatif dikemukakan oleh John Austin, bahwa tujuan hukum
adalah untuk menciptakan kepastian hukum
Selain teori-teori di atas masih banyak lagi pendapat dan teori yang dikemukakan para
ahli hukum tentang tujuan hukum, namun secara umum dapat dikemukakan bahwa
tujuan hukum adalah untuk ketertiban, keamanan dan kebahagiaan manusia serta
diperolehnya keadilan.

Bagaimana dengan Hukum Islam? Sebagai suatu sistem hukum maka sudah pasti juga
memiliki tujuan. Para ahli hukum Islam merumuskan bahwa tujuan Hukum Islam
adalah kebahagiaan hidup manusia dengan jalan mengambil segala yang manfaat dan
mencegah atau menolak segala yang mudarat. Bicara tujuan Hukum Islam atau dikenal
dengan istilah maqashid al-syariah adalah bicara mengenai kemashlahatan manusia
sebagai tujuan hukum Islam, dan bicara mengenai kemashlahatan maka itu berarti ada
lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan dalam kerangka
kemashlahatan yaitu agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Kelima unsur pokok ini
dipopulerkan oleh seorang pakar yang bernama Al-Syatibhi. Kajian mengenai hal ini
sangat dalam dan tidak sederhana karena berkaitan dengan kajian ushul fikih, namun
dapat dikatakan bahwa sebagai suatu sistem hukum yang berasal dari Tuhan maka
Hukum Islam tidak hanya menyentuh persoalan keduniaan semata. Oleh karena itu
sangat logis apabila tujuan hukum Islam-pun tidak sebatas pada hal yang sifatnya
duniawi, ada hal yang lebih fundamental lagi yaitu menyentuh persoalan yang lebih
hakiki dan abadi yaitu kehidupan ukhrowi.
Islam meyakini bahwa keberadaan manusia tidak lain tujuannya adalah dalam rangka
beribadah kepada Tuhan penciptanya (QS Dzariyat:56), oleh karena itu segala
aktivitas hidup manusia selayaknya ditujukan dalam kerangka beribadah dan dengan
demikian keberadaan hukum sebagai rambu-rambu yang mengatur aktivitas manusia
diarahkan dalam rangka kemashlahatan agar “kerangka beribadah” itu dapat berjalan
baik sehingga ujung perjalanan hidup berakhir dengan baik (khusnul khatimah).
Dengan demikian, didalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer (termasuk
salah satunya adalah aktivitas ekonomi syariah –sebagai salah satu aktivitas bisnis
yang sangat pesat perkembangannya dewasa ini) selayaknya perlu dikaji mendalam
hakekat dari masalah serta meneliti sumber hukum yang akan dijadikan dalil atau
dasar hukumnya agar tujuan hukum sebagaimana yang dikehendaki Tuhan semesta
alam terpenuhi.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Undang-undang Hammurabi (Code of Hammurabi) adalah


prasasti hukum kuno Babilonia yang disusun oleh raja
Hammurabi. Terdapat beberapa salinan hukum pada batu-batu
ukiran yang berukuran lebih kecil.

B. SARAN

Kita juga harus ingat bahwa produk hukum tercipta dari buah-buah pikiran
manusia biasa yang bisa salah. Bukan dari sabda dewa atau Tuhan. Jadi,
semestinya semua produk hukum harus memilik sifat oto-kritik. Semata-mata
agar semua kekurangan dalam prinsip hukum bisa dibenahi. Karena tidak ada
produk hukum yang paripurna. Bukan malah sebaliknya, produk hukum menjadi
kebal kritik dan harus dipatuhi dengan mata tertutup.

Tapi di negeri ini, ironi memang tak pernah cuti. Dengan mudah, setiap pagi kita
bisa menemukan berita penuh ironi di televisi. Ketika para aktivis membela petani
dikriminalisasi dan masuk bui, di waktu lain ada seorang tersangka korupsi kelas
kakap justru bisa memasukkan orang lain ke bui hanya karena sebuah meme.
Kita harus ingat bahwa bangsa yang sehat adalah bangsa yang memperlakukan
hukumnya secara sehat. Begitu pun sebaliknya.

Anda mungkin juga menyukai