Anda di halaman 1dari 14

TRADISI KRITIK TAFSIR

(STUDI AD-DAKHĪL)

Dibuat untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah


“Studi Al-Qur’an: Teori dan Metodologi”
yang diampu oleh Bapak Dr. H. Abdul Mustaqim, M.Ag.

REVISI
Oleh :
MOHAMAD SOBIRIN

Program Doktoral Studi Islam


Sekolah Paska Sarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta
2014

0
TRADISI KRITIK TAFSIR
(STUDI AD-DAKHĪL)

I. Pendahulan
Berbagai macam ijtihad untuk memahami pesan-pesan Al-Qur’ān sudah berlangsung
sejak masa Rasūlullah SAW, dimana beliau sendiri sebagai mubayyīn dan mufassīr-nya. Pada
era ini tidak terjadi perselisihan yang mencolok walaupun perbedaan juga tidak dapat
dihindari dalam upaya memahami kandungan makna ayat Al-Qur’ān tersebut, hal itu karena
marāji’ utama sebagai penjelasnyamasih ada sehingga para sahabat dapat bertanya langsung
kepada Rasūlullah SAW.1 Baru setelah Rasūlullah wafat perbedaan penafsiran yang
berakibat pada perselisihan mulai muncul, dan terus berkembang seiring rentang waktu yang
menjauh dari masa Rasul. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti perkembangan
ilmu pengetahuan, kebudayaan, setting sosial, kapabilitas mufassir, dan berbagai hal yang
bersifat normatif seperti prinsip dan metode penafsiran yang terdapat dalam banyak literatur
Ulum Al-Qur’ān.2Pada akhirnya, wujud perkembangan penafsiran menjadi sangat kompleks
dengan berbagai inovasi-progresif yang menyertainya.
Setelah melalui perjalanan panjang tersebut, munculah wacana baru dalm
perkembangan studi tafsīrpada beberapa dekade terkahir ini. Wacana dalam formasi upaya
pen-tanqīh-an atau pembersihan tafsīrAl-Qur’ān dari segala sesuatu yang menjadikan
eksistensi tafsīr tersebut menjadi tidak legitimet secara nalar keislaman yang radik karena
adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya dan menginternalisasi ke dalamnya secara
destruktif. Urgensi upaya tersebut pada akhirnya terformulasikan dalam satu studi mandiri
yang disebut dengan istilah Studi Ad-Dakhīl.

1
Secara historis, perkembangan usaha-usaha untuk menginterpretasi Al-Qur’ān telah ada sejak masa
Nabi SAW. Hal ini ditandai dengan adanya beberapa sahabat yang bertanya kepada Nabi SAW tentang
beberapa lafaẓ dan makna dalam ayat Al-Qur’ān yang tidak di mengerti, mengingat Nabi adalah sosok sentral
yang menjadi rujukan umat.Dengan kata lain beliau adalah seorang Nabi sekaligus mufassir utama Al-Qur’ān.
Lihat Muhammad Husain Aż-Ẓahabi, At-Tafsīr wa Al-Mufassirūn (Kairo: Dār Al-Ḥadīṡ, 2005), hlm. 46-47.
2
Konstruksinya adalah bahwa Al-Qur’ān secara teks memang tidak berubah, tetapi penafsiran
atasnya, selalu berubah sesuai dengan konteks ruang dan waktu di mana seorang mufassir itu berada. Oleh sebab
itu, ia pun menjadi selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi dan diinterpretasi dengan berbagai alat,
metode dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Dalam sejarah perkembangannya, beberapa metode tafsīr
diajukan sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari Al-Qur’ān. Baca Umar Shihab, Kontekstualitas
Al-Qur’ān, Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur’ān (Jakarta: Penamadani, 2003), hlm.3.

1
II. Kajian
Ad-Dakhīl: Etimologi dan Terminologi
Menurut Ragīb Al-Asfīhānī dalam kitabnya yang berjudul “Al-Mufradat fī
GārāibAl-Qur’an”, yang dimaksud dengan Ad-Dakhlu(‫ )اﻟﺪﺧﻞ‬secara etimologis adalah
“burung yang masuk didalam pepohonan yang rimbun, yang dililitkan, dan dikumpulkan jadi
satu.” Pengertian tersebut juga merupakan sebuah ungkapan untuk menggambarkan
kerusakan pada materi yang dimasukinya. Begitu juga bisa diartikan sebagai perselisihan atau
ketidak singkronan antara dua unsur.3
Sementara itu, menurut Dr. Abdul Wahhāb Fayyād, mendefinisikan Ad-Dakhīl
sebagai “pendatang baru yang menyusup masuk dari luar, dan keberadaanya tidak memiliki
dasar atau unsur utama dari sesuatu yang dimasukinya.” Hal ini terkadang digunakan untuk
mengungkapkan keberadaan seseorang dalam berkata-kata dan memaknai sesuatu, misalnya
fulan/seseorang telah menyusup ke dalam satu kaum/kelompok masyarakat, kalimat itu
mempunyai arti bahwa si fulan itu tidak berasal dari kaum tersebut secara nasab atau garis
keturunan, namun dia berada dan tinggal diantara kaum itu.
Berangkat dari pengertian diatas, Ad-Dakhīl juga diartikan sebagai bagian luar yang
menyimpang, tidak ada keterkaitan dengan yang ada didalam, dan yang didalam juga tidak
mencakup yang diluar itu, seperti seseorang yang berada diluar pintu, dia tidak berkaitan
dengan apa yang ada didalamnya, karena dia mempunyai bid’ah tertentu yang
menyebabkannya terhalangi dari sifat keterkaitan.4
Sedangkan makna Ad-Dakhīl secara terminologis adalah tafsīr atau penafsiran yang
tidak memiliki dasar sedikitpun dalam agama, yang dilakukan dengan tujuan merusak makna
dan kandungan Al-Qur’ān karena kesalahan atau kelalaian pada sebuah zaman tertentu
dimana didalamnya termasuk katagori penafsiran yang muncul setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW.
Ad-Dakhīl: Faktor-Faktor
Faktor-faktor penyebab terjadinya Ad-Dakhīl dalam suatu tafsīr terbagi menjadi dua,
pertama faktor internal, dan yang kedua adalah faktor eksternal. Faktor-faktor tersebut yaitu :
Pertama, faktor internal.

3
Ar-Rāgib Al-Asfahānī, Al-Mufradāt fī GarāibAl-Qur’ān (Mesir: Musṭafa Al-Bab Al-Jalis,
1381H/1961M), hlm. 166. Lihat juga Mu’jam Miqyās Al-Lugāh, juz II, hlm.3; Tahdzīb Al-Lugāh, juz VII, hlm.
271.
4
Abdul Wahhab Fayad, Ad-Dakhīl fīTafsīrAl-Qur’ān Al-Karīm (Mesir: Maṭba’ah Hasan, 1978), hlm.
13.

2
1. Faktor ini meliputi segala sesuatu yang datang dari kelompok-kelompok yang
mengaku dan mengatakan dirinya sebagai bagian dari Islam atau sekte Islam.
Mereka mengaku memiliki hubungan yang kuat dengan Islam. Padahal,
sebenarnya mereka hanya menjalankan strategi yang dirumuskan oleh mereka
yang memusuhi Islam.5
2. Faktor ini juga meliputi pembuangan sanad-sanad dan tidak mendasarkan
penafsiran dari sumber-sumber tafsīr yang sah. Sumber-sumber yang
dimaksudkan yaitu Al-Qur’ān, Ḥadīṡ Nabi, dan Atsar Sahabat.6
3. Faktor ini memuat riwayat-riwayat Isrāiliyyāt yang masuk dalam tafsīr,
biasanya melalui pertanyaan ahli kitab tentang satu nash tertentu yang terdapat
didalam Al-Qur’ān. Akhirnya riwayat tersebut menjadi tafsīr.
4. Faktor lahirnya fan-fan dalam ilmu pengentahuan juga turut berpengaruh, seperti
fiqih, lugah, tasawwuf, dan seterusnya. Menjadikan disiplin-disiplin ilmu
pengetahuan tersebut sebagai kerangka penafsiran adalah sesuatu yang sah,
namun dengan tidak meniadakan fungsi Al-Qur’ān, Ḥadīṡ, dan Aqwāl Sahabat
sebagai sumber tafsīr.7
5. Faktor mufassir yang hanya menggunakan akal dan ijtihad semata dalam
melakukan penafsiran.8
Kedua, faktor eksternal.
1. Faktor ini salah satu aspek penyebabnya meliputi sesuatu yang datang dari
orang-orang yang memusuhi Islam. Diantaranya adalah orang Yahudi, Nashrani,
Ateis, dan lain-lain. Dimana mereka mempunyai semacam misi untuk merusak
Islam dan mengotori ajarannya dengan hal-hal yang tidak semestinya. Mereka
menyebarkan dan menyelipkan cerita-cerita yang tidak mempunyai nilai
historisitas ke dalam Al-Qur’ān agar umat Islam merasa ragu dengan agamanya
sendiri. Sehingga lupa bahwasanya agama Islam itu prinsip dan sumbernya
berasal dari Al-Qur’ān dan Al-Ḥadīṡ.9
2. Munculnya berbagai perpecahan politik, aliran-aliran dan mażhab-mażhab dalam
Islam yang banyak menafsirkan Al-Qur’ān dengan menuruti kehendak dan
kepentingan golongan mereka masing-masing.

5
Ibid, hlm. 13 – 14.
6
Az-Zarkasyī, Al-Burhān fī‘UlūmAl-Qur’ān, juz II, hlm. 156.
7
As-Suyuṭī, Al-Itqān fī‘UlūmAl-Qur’ān, hlm. 510.
8
Syaikh Al-Qurṭubī, Al-Jāmi’ li AhkāmAl-Qur’ān, juz II (Bairut: Dār Al-Fikr, 1998), hlm. 43.
9
Abdul Wahhab Fayad., Ad-DakhīlfīTafsīrAl-Qur’ān Al-Karīm, hlm. 13.

3
3. Tidak adanya kompetensi yang dimiliki oleh seorang mufassir.10 Kompetensi
yang dimaksud adalah sebagaimana syarat-syarat mufassir sebagaimana telah
penulis paparkan pada bagian sebelum ini.
Isrāiliyyāt : Etimologi dan Terminologi
Secara etimologis Isrāiliyyātadalah bentuk jamak dari kata Isra'iliyyah. Merupakan
isim yang dinisbatkan pada kata Isra'il yang berasal dari kata Ibrani11yang berarti hamba
Tuhan. Isra' berarti hamba dan “il” bermakna Tuhan.12 Dalam perspektif historis, Isra'il
berkaitan erat dengan Nabi Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim A.S. di mana keturunan beliau yang
berjumlah dua belas itu disebut Bani Isra'il.13
Kata ini digunakan dalam konteks seperti Israil dalam bahasa Al-Qur’ān; kata Israil
menggunakan Hamzah, Ya’, dan tidak menggunakan Ya’, dengan Hamzah dan Kasroh.
Begitu juga kata Israil dengan Hamzah berharakat Fathah. Isro-in “dengan menggunakan
Nun” dengan makna Israil itu sendiri yang berarti hamba Allah. Ibnu Abas menyatakan
bahwa kata “Asrun”, menurut bahasa Ibraniyah memiliki arti kata hamba, sedangkan
“Wayalun” berarti Allah. Selain itu dikatakan juga bahwa “Asrun” adalah pilihan dan sesuatu
yang sangat, dan “Wayalun” berarti Allah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Israil adalah
makhluk Allah yang diistimewakan dengan disempurnakan khulūq-nya.14
Sedangkan Isrāiliyyāt secara terminologis -menurut istilah para Ulama’- adalah
perkataan atau ucapan yang mengarah pada cerita-cerita dan legenda-legenda yang dikaitkan
dengan asal usul Yahudi ataupun Nashrani, yang sebagian besar cerita didalamnya
mengandung mitos tentang apa yang terjadi pada orang-orang terdahulu. Seperti halnya
cerita-cerita tentang para Nabi dan Rasul. Isrāiliyyāt mayoritas berasal dari Tauratdan Injil.
Sehingga acap kali ditemukan absurditas dan pertentangan dengan Al-Qur’ān, mengingat
keberadaan keduanya yang tidak bisa dilepaskan dari tahrīf.15 Sementara itu, Ahli Tafsīr dan
Ḥadīṡ berpandangan bahwa Isrāiliyyāt secara terminologis adalah kisah atau peristiwa yang
diriwayatkan dari sumber Isrāilī.16

10
Az-Zarkasyī, Al-Burhān fī‘UlūmAl-Qur’ān, juz II, hlm. 180.
11
Khalāf Muhammad Al-Husainī, Al-Yahūdiyyahbain Al-Masihiyyah wa Al-Islām (Mesir: Al-
Muassasah Al-'Ammah, 1964), hlm. 14.
12
Muhammad Farid Wajdī, Dāirah Al-Ma'ārif, juzI(Beirut: Dār Al-Ma'rifah, 1971), hlm. 14.
13
Husain Az-Ẑahabi, Al-Isrā'iliyāt fīAt-Tafsīr wa Al-Ḥadīṡ(Kairo: Majma' Al-Buḥus Al-Islāmiyyah,
1971), hlm. 20.
14
Al-Qurṭubī, Tafsīr Imām Al-Qurṭubī, juz I (Mesir: Asy-Sya’bī, 1961), hlm. 281.
15
Mihjah Gālib Abdurrahman, Dirāsah Mauḍūiyyah wa Taṭbīqiyyah fī Ad-Dakhīl(Kairo: Jamiah Al-
Azhar, 1998), hlm. 15.
16
Ahmad Muhammad Syakir, Umdah At-Tafsīr ‘an Al-Hafiz Ibnū Kasir, jilid I (Mesir: Dār Al-
Ma’ārif, 1956), hlm. 138.

4
Tokoh tafsīr terkemuka, Husain Aż-Żahabī, mengemukakan pengertian Isrāiliyyāt
sebagai kisah dan dongeng klasik atau kuno yang masuk ke dalam tafsīr dan Ḥadīṡ, yang asal
periwayatannya dari sumber Yahudi, Nasrani atau yang lain.Sebagian Ahli tafsīr dan Ḥadīṡ
memperluas lagi pengertian Isrāiliyyāt ini sehingga mencakup pula cerita-cerita yang sengaja
deselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsīr dan Ḥadīṡ, yang tidak dijumpai
sama sekali dasarnya dalam sumber-sumber lama.17
Definisi yang cukup komperehensif tentang Isrāiliyyāt, juga dikemukakan oleh
Ahmad Khalīl, bahwa Isrāiliyyāt adalah kisah-kisah dan riwayat-riwayat yang berasal dari
Ahli Kitab, baik yang ada hubungannya dengan ajaran agama mereka maupun tidak.18
Walaupun kata Isrāiliyyātpada lahirnya merujuk pada riwayat yang bersumber pada
kalangan Yahudi, namun demikian dalam realitas, peristilahan ahli tafsīr dan Ḥadīṡ
mencakup juga riwayat yang bersumber dari kalangan Nasrani. Lebih populer dan
dominannya unsur Yahudi, dengan meminjam istilah Husain Aż-Żahabī, maka penisbatan
istilah Isrāiliyyāt hanyalah “min bāb at-taglīb”.2
Dominasi unsur Yahudi ini bisa jadi disebabkan karena sebagian besar mereka yang
meriwayatkan kisah-kisah itu terdiri dari orang Yahudi yang memeluk Islam19atau juga
karena menonjolnya perana mereka terhadap kaum Muslimin yang sudah sedemikian dekat
semenjak permulaan Islam.20
Hubungan Ad-Dakhīl dengan Isrāiliyyāt
Setelah makna Ad-Dakhīl dan makna Isrāiliyyāt masing-masing terpaparkan dengan
jelas sebagaimana diatas, maka konklusi mengenai hubungan antara keduanya terletak pada
pengertian relenvansional bahwa Ad-Dakhīl memiliki arti lebih luas dan umum dari pada
Isrāiliyyāt. Karena Ad-Dakhīl memuat Isrāiliyyāt didalamnya, dan hal-hal lainnya seperti
Ḥadīṡ-Ḥadīṡ yang ḍa’īf, dan Mauḍū’. Begitu juga memuat ta’wīl-ta’wīl yang tidak
bertendensikan pada sanad yang ṣahīh, dan menyeleweng dari ayat-ayat Al-Qur’ān baik
berupa penyelewengan maknanya yang hakiki, dan dengan menggunakan dalil-dalil yang
tidak sesuai dengan kebenaran maknanya. Begitu juga syaṭāhāt para Sufi dalam penafsiran
mereka merupakan bagian dari Ad-Dakhīl. Semua itu disebut dengan Ad-Dakhīl.21
Sehingga kesimpulan yang bisa diambil adalah bahwa Isrāiliyyāt merupakan bagian
dari bagian-bagian yang dimiliki oleh Ad-Dakhīl. Dengan pengertian lain, setiap
17
Husain Aż-Zahabi, Al-Isrā'iliyāt, hlm.20.
18
Ahmad Khalīl, Dirāsat fīAl-Qur’ān (Mesir: Dār Al- Ma’arif, 1972), hlm.113.
19
Husain Aż-Zahabi, At-TafsīrwaAl-Mufassirūn, cet. ke-1 (Mesir: Maṭba’ah Al-Sa’ādah, 1976),
hlm.165.
20
Amin Al-Khullī, Manāhij At-Tajdīd(Kairo: Dār Al-Ma’rifah, 1961), hlm. 277.
21
Mihjah Gālib Abdurrahman, Dirāsah Mauḍūiyyah wa Taṭbīqiyyah fī Ad-Dakhīl, hlm. 16.

5
Isrāiliyyātadalah Ad-Dakhīl, namun setiap Ad-Dakhīl itu belum tentu Isrāiliyyāt. Hubungan
antara keduanya, Ad-Dakhīl dan Isrāiliyyāt adalah hubungan mengenai hal yang umum
mutlaq dengan yang khusus spesifik.
Sejarah Perkembangan Ad-Dakhīl
Dalam sejarahnya, masyarakat Arab Quraisī sebelum lahirnya Islam adalah
masyarakat yang memiliki hubungan cukup erat dengan bangsa Yahudi dan Nasrani lewat
kebiasaan berdagang yang dilakukan bangsa Quraisī dua kali dalam setiap tahunnya, yaitu
perjalanan pada musim dingin ke Yaman dan pada musim panas ke Syam. Pada masa-masa
dagang seperti ini kaum Yahudi dan Nasrani memanfaatkan kesempatan itu untuk
mentransfer pengetahuan yang mereka miliki dari kitab suci mereka kepada masyarakat
Quraisī yang belum banyak mengerti baca dan tulis.
Selanjutnya, tatkala Rasūlullah SAW mendeklarasikan hadirnya suatu agama baru
yang bersumber dari Allah SWT, masyarakat Arab menemukan ada beberapa persamaan
antara apa yang dibawa oleh Al-Qur’ān dengan apa yang mereka dapatkan dari kitab suci
Yahudi dan Nasrani. Tentang kisah-kisah para Nabi, misalnya, banyak kisah-kisah yang
serupa atau bahkan sama dengan apa yang tertulis di Taurat dan Injil. Bedanya, metode yang
digunakan oleh Al-Qur’ān dalam mencertikan kisah-kisah tersebut hanya secara global,
langsung kepada poin mauiẓah dan i’tibār yang diinginkan dari kisah itu. Sedangkan dua
kitab suci sebelumnya banyak menjelaskan hal-hal yang kecil dan remeh secara terperinci
dan detail, seperti ukuran perahu Nabi Nūh dan jenis kayunya, warna anjing yang menemani
Ashabul Kahfi di gua, bagian dari sapi betina mana yang dipakai untuk menghidupkan orang
yang telah terbunuh pada zaman Nabi Musa AS, dan lain sebagainya. Dengan metode
pengisahan Al-Qur’ān yang bersifat global tersebut, mereka yang memiliki rasa ingin tahu
lebih, bertanya kepada para Ahli Kitab tentang penjelasan detail dari apa yang diceritakan
oleh Al-Qur’ān secara global.22
Kemudian seiring dengan masuknya para Ahli Kitab ke dalam Islam, ajaran agama
Yahudi dan Nasrani yang mereka bawa dapat dengan mudah diceritakan kepada kaum
Muslimin. Puncaknya terjadi pada masa pembunuhan Uṡman bin Affān tahun 41 H, kaum
Ahli Kitab yang masuk Islam secara munafik mulai berani memasukkan ajaran-ajaran baru
yang merusak kemurnian ajaran Islam dengan terang-terangan. Pada masa itu dan setelahnya,
riwayat-riwayat Isrāiliyyāt dan Ḥadīṡ-Ḥadīṡ palsu mulai tersebar dengan mudah.23Masyarakat

22
Yusuf Hasan Abidu, TafsīrAl-Qur’ān; Sejarah Tafsīr dan Metode Para Mufassir, hlm. 61-62.
23
Al-Hafiẓ Ibnū Kaṡīr mengatakan bahwa sebagaian besar tafsīrbil ma’tsur telah masuk ke periwayat
melalui orang-orang zindik dari kaum Yahudi, Persi dan Ahli Kitab yang telah masuk Islam. Sebagian ulama’

6
semakin dibuat bingung untuk membedakan antara Ḥadīṡ yang benar-benar bersumber dari
Rasūlullah dan riwayat-riwayat palsu yang diselundupkan oleh golongan munafikin dan para
pembenci Islam. Inilah sejarah faktor utama lahirnya dakhil dalam tataran riwayat (Ad-Dakhīl
fī Al-Manqūl).
Sementara sejarah yang menjadi penggerak utama lahirnya Ad-Dakhīl dalam tataran
pemikiran (Ad-Dakhīl fī Ar-Ra’yi) dimulai ketika kaum Muslimin terpecah menjadi banyak
sekte dan golongan, akibat kekacauan politik yang saat itu terjadi.24Diantara sekte dan
gologan tersebut yang terkenal ada lima, yaitu Ahli Sunnah, Mu’tazilah, Syi’ah, Murji’ah,
dan Khawarij. Kelompok terkenal lainnya, seperti Jabariyyah, Batiniyyah, Musyabbihah, dan
lain-lain sebagian besarnya berasal dari kelima kelompok utama itu.25 Untuk menguatkan
paham yang mereka usung, masing-masing dari mereka menafsirkan Al-Qur’ān sesuai
dengan doktrin masing-masing golongan. Dalam praktiknya, mereka pun memaksakan
doktrin yang mereka pahami untuk membaca Al-Qur’an, sehingga lahirlah pemahaman-
pemahaman menyimpang yang jauh dari makna yang dikandung oleh Al-Qur’ān yang
sebenarnya.
Pada zaman Tabi’in, kaum Yahudi, Nasrani, dan orang-orang non-Arab semakin
banyak yang memeluk Islam. Kisah-kisah tentang Isrāiliyyāt dan ajaran-ajaran agama lama
mereka pun semakin mudah membaur dengan ajaran Islam. Dengan fenomena seperti ini,
disadari ataupun tidak, riwayat-riwayat bohong dan paham-paham yang menyimpang mulai
merasuk dalam penafsiran al-Quran.26

berkata, umumnya hal itu berkenaan dengan kisah-kisah para rasul beserta kerabat mereka, hal-hal berkenaan
dengan kitab-kitab dan kemukjizatan mereka, sejarah selain mereka, seperti Ashabul Kahfi, Kota Irama Dzat Al-
Imad, Sihir Babil, masalah-masalah ghaib, seperti tanda dan datangnya kiamat, apa yang terjadi saat itu dan
sesudahnya. Sebagian besarnya adalah khurafat dan buatan yang dibenarkan oleh para periwayat termasuk
sebagian sahabat. Karena itu Imam Ahmad berkata, ada tiga hal yang tidak memiliki dasar, yaitu tafsīr, malāhim
dan magāzi. Kewajiban kita adalah mengumpulkan riwayat-riwayat yang disebutkan di dalam kitab-kitab
mandiri, seperti sebagian kitab hadsit dan menjelaskan kualitasnya, kemudian disebutkan didalam tafsīr apa
yang shahih saja tanpa sanad, seperti penuturan Ḥadīṡt dalam kitab-kitab fikih, namun tetap dinisbatkan kepada
mukharrijnya. Lihat bagian Mukaddimah kitab Tafsīr Ibnu Kaṡīr, (Mesir: As-Sya’b, t.th.), danAz-Zarqānī,
Manāhil Al-‘Irfān, juz I, hlm. 482.
24
Sekte dan golongan itu berkelompok-kelompok, bersikap fanatik, dan saling menjauh. Dari setiap
kelompok itu muncul ulama’ yang berusaha membela madzhab dan ideologi mereka. Semua mengarahkan
perhatian pada Al-Qur’ān. Masing-masing mengkaji ayat-ayat yang akan menguatkan pendapat dan mendukung
madzhabnya. Yang tidak menemukan apa yang dicarinya didalam Al-Qur’ān akan menundukkan ayat-ayat Al-
Qur’ān kepada madzhabnya dan membawa ayat-ayat itu kepada pendapat dan keinginan subjektifnya serta
menta’wīlkannya sesuai dengan akidahnya. Dari sinilah bermula keluarnya tafsīr dari wilayah ra’yu yang terpuji
menuju ra’yu yang tercela. Secara lebih rinci silahkan baca, Yusuf Hasan Abidu, TafsīrAl-Qur’ān; Sejarah
Tafsīr dan Metode Para Mufassir, hlm. 132-134.
25
Baca Abu Zahrah, Tarīkh Al-Jadal, hlm. 208.
26
Pada masa ini, seringkali terjadi penafsiran atau periwayatan yang tidak selektif dalam artian
bahwa banyak periwayatan Ḥadīṡ tidak melalui jalur “kode etik metodologi penelitian” ilmu-ilmu Ḥadīṡ, yakni
tidak menuliskansanadnya secara lengkap. Akibatnya, banyak muncul periwayatan dalam penafsiran Al-Qur’ān
yang terkena infiltrasi Isra’iliyyat. Tokoh penting yang banyak meriwayatkan pada periode ini, diantaranya

7
Pada masa Tabi’ Tabi’in, riwayat-riwayat ini dengan mudah masuk ke buku-buku
tafsīr, karena sebagian mereka tidak peduli (sengaja) memasukkan cerita-cerita tersebut untuk
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’ān yang menceritakan sebuah kisah secara terperinci.
Sebenarnya banyak karya tafsīr dihasilkan oleh para ulama’ dalam periode ini.27 Namun,
karena tafsīr-tafsīr itu tak mencantumkan sanad secara tegas, maka bercampur baurlah antara
riwayat yang Ṣahīh dan riwayat yang tidak Ṣahīh. Kondisi semacam ini merambah pada
pemuatan kisah-kisah Isrāiliyyāt. Di antara para mufassir yang banyak memasukkan Ad-
Dakhīl dalam mereka adalah Muhammad bin As-Saib Al-Kalbī, Abdul Mālik bin Abdul
‘Azīz bin Juraih, dan juga Muqātil bin Sulaimān.28
Perkembangan periode selanjutnya yaitu mulai dari era Abbasiyyah sampai
sekarang. Era tersebut merupakan era dimana wilayah negara Muslim sangat luas,
berkembang banyak sekali aliran seberagam pula opini-opini keagamaan mereka, dan begitu
juga faktor latar belakang sosial kultur mereka. Ilmu pengetahuan mereka pun berkembang
seiring perkembangan ilmu pengetahuan yang ada. Seperti halnya ilmu fikih, linguistik,
filsafat, dan lain sebaginya. Hal itu berdampak pada upaya untuk memasukkan keilmuan-
keilmuan yang ada tersebut dalam tafsīr.29
Karya-Karya
Kitab-kitab induk yang dijadikan kajian sekaligus rujukan dalam studi Ad-Dakhīl
saat ini yaitu Ad-Dakhīl fī at-Tafsīr karya Ibrāhim Khalīfah, Ushūl Ad-Dakhīl fī Tafsīr Aī at-
Tanzīl karya Abdul Wahhāb An-Najjār, Ad-Dakhīl fi Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm karya Abdul
Wahhāb Faiḍ, Ad-Dakhīl fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm karya Abdul Fatāh Khaḍar, Al-Kasyfu
wa al-Bayānu ‘an ad-Dakhīl fi Tafsīr Aī Al-Qur’ān karya Abdurrahman, Ad-Dakhīl fī at-
Tafsīr karya Mukhtār Marzūq, Ad-Dakhīl fī At-Tafsīr karya Husain Sayyid Ridwān, Ad-
Dakhīl fi at-Tafsīr karya Abdul Muhaimin, dan Asbāb al-Khaṭā’ fī at-Tafsīr karya Mahmūd
Muhammad Ya’qūb.
Selain kitab-kitab di atas, terdapat beberapa karya referensional lainnya dalam
bidang Ad-Dakhīl, yaitu Al-Ittijāhāt al-Munḥarifah fi Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm karya
Muhammad Husain Aż-Żahābī, munculnya karya ini setelah terbitnya Al-Itiijahāt karya

Ka’ab al-Ahbar dan Wahab ibn Munabbih. Baca Husain Aż-Zahabi, Al-Isra'iliyat fi At-Tafsīr wa Al-Ḥadīṡt,
hlm. 92-93.
27
Di antaranya adalahTafsīr Muqātil (w. 150 H), Tafsīr al-Farrā’ (w.207 H), Tafsīr al-Ṭabārī (w. 301
H), Tafsīr Aṡ-Ṡa’labī (w. 427), Tafsīr Ibn Kaṡīr (w. 747 H), dan lain-lain.
28
Husain Aż-Zahabi, Al-Isrā'iliyāt fi At-Tafsīr wa Al-Ḥadīṡt, hlm. 92-93.
29
Tsana’ Ali Mukhaimir As-Syaikh, Ad-Dakhīl fī At-Tafsīr, (Mesir: Markaz Ayat-Jami’ah Al-Azhar-
Kuliyyah Ad-Dirasat Al-Islamiyyah, 2003), hlm. 27.

8
Ramzī Na’nānah. Na’nānah menulis karyanya tersebut setelah Aż-Żahābī menulis artikel
Bida’ At-Tafāsir fī al-Maḍi wa al-Hāḍir, sebagai referensi dalam menulis kitabnya.
Beberapa kitab lainnya yang mempunyai keterkaitan langsung maupun tidak
langsung, dalam arti kitab-kitab yang membahas Ad-Dakhīl namun tidak memakai istilah itu
juga cukup banyak.
Macam-Macam Ad-Dakhīl
Sebagaimana pengertian Ad-Dakhīl adalah sebuah penafsiran yang dimasuki oleh
riwayat-riwayat yang tidak berasal dari Nabi maupun dari sahabatnya dan para tabi’in, atau
disebut juga dengan istilah Ad-Dakhīlbi Al-Ma’ṡur, maka demikian halnya penafsiran yang
dimasuki oleh pendapat-pendapat penafsiran yang bermotif mengrusak akidah yang disertai
dengan hawa nafsu yang menyesatkan, adalah disebut dengan istilah Ad-Dakhīlbi Ar-Ra’yi.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai dua macam Ad-Dakhīl:
1. Ad-Dakhīl fī Al-Manqūl
Dakhil dalam riwayat ini mempunyai beberapa bentuk,30 yaitu:
a. Ḥadīṡ-ḤadīṡMauḍū’
b. Ḥadīṡ-ḤadīṡḌa’īf
c. Atsar yang dinisbahkan kepada sahabat namun ia Mauḍū’ atau juga Ḍa’īf.
d. Atsar sahabat yang diketahui bahwa itu diambil dari riwayat Isrāiliyyāt dan
bersimpangan dengan Al-Qur’ān dan As-Sunnah.
e. Atsar sahabat yang diperselisihkan dan tidak ditemukan keyakinan tentang
kebenarannya.
f. Riwayat dari tabi’in, namun Mauḍū’, Ḍa’īf, dan bagian dari Isrāiliyyāt .
g. Dalil-dalil yang ta’āruḍ secara hakiki, sehingga tidak dimungkinkan untuk
dilakukan al-jam’u.
Namun kebanyakan dalam kitab-kitab yang membahas masalah Ad-Dakhīl ini yang
terdapat dalam kitab-kitab tafsīr yaitu berupa riwayat Isrāiliyyāt, Ḥadīṡ-ḤadīṡḌa’īf dan
Mauḍū’.
2. Ad-Dakhīl fī Ar-Ra’yi
Ad-Dakhīl jenis ini mempunyai pengertian segala sesuatu dalam tafsīr yang muncul
dari pendapat yang mażmūm atau tercela, yang tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang
wajib dipenuhi oleh seseorang yang hendak menafsirkanAl-Qur’ān.
Secara umum, Ad-Dakhīl fī Ar-Ra’yi ini memuat beberapa hal:

30
Lihat Ibrahim Abdurrahman Khalifah, Ad-Dakhīl fi At-Tafsīr, (Mesir: Dar Al-Kutub, t.th.), hlm. 33.

9
a. Ad-Dakhīl yang berasal dari Ateis, diantara mereka yaitu aliran Baṭiniyyah,
Bahāiyyah, Bābiyyah, danQāḍiyaniyyah.
b. Ad-Dakhīl yang berasal dari aliran Mujassimah dan Musyabbihah.
c. Ad-Dakhīl yang berasal dari aliran kelompok ahli bid’ah, seperti Syi’ah dan
Mu’tazilah.
d. Ad-Dakhīl yang berasal dari para sufi dan filosof, yang disebut dengan
Syaṭāhāt.
e. Ad-Dakhīl yang berasal dari sisi kebahasaan dan nahwu.
f. Ad-Dakhīl yang berasal dari ketidakcakapan ilmu pengetahuan seorang
mufassir, karena tidak terpenuhinya syarat yang dibutuhkan oleh seorang
mufassir.
g. Ad-Dakhīl yang berasal dari tafsīr corak ‘Ilmī.31
Contoh-Contoh
Contoh-contoh yang penulis paparkan pada bagian ini bersumber dari kitab kajian
kritis tafsir karya Abdullah Al-Gumārī32 berjudul Bida’ At-Tafāsir.Dalam kitab tersebut,
setelah penulis melakukan kajian terhadap materi didalamnya, ada banyak sekali contoh
berkenaan dengan Ad-Dakhīl.Secara klasifikatif-representatif terdapat tiga puluh tujuh
contoh, dengan pengklasifikasian secara kritis yang berjumlah dua.Pertama, klasifikasi
berupa Prinsip-Prinsip Penafsiran; kedua, Kaedah dan Bid’ah Penafsiran.33
1. Ad-Dakhīl fī Al-Manqūl
Contoh yang penulis ambil dari Abdullah Al-Gumārī, diantaranya yaitu

penafsiran terhadap surat Al-Fajr ayat 6-8:

‫ اﻟﱠِ ْﱵ َﱂْ ُﳜْﻠَ ْﻖ ِﻣﺜْـﻠُ َﻬﺎ ِ ْﰲ اﻟﺒِ َﻼ ِد‬‫ات اﻟﻌِ َﻤ ِﺎد‬


ِ ‫ إِرم َذ‬‫ﻚ ﺑِﻌ ٍﺎد‬
ََ َ ‫أَﱂَ ْ ﺗَـَﺮ َﻛْﻴ‬
َ َ ‫ﻒ ﻓَـ َﻌ َﻞ َرﺑﱡ‬

Ḥadīṡ yang sering dipakai untuk menafsirkan ayat ini adalah Ḥadīṡ riwayat
Tsa’labi dari jalur Ustman Ad-Dārimī, dari Abdullah bin Ṣalih, dari Abi
Luhai’ah, dari Khalid bin Abi Imrān, dari Wahab bin Munabbih, dari Abdullah
bin Qalābah. Ḥadīṡ tersebut menceritakan secara detail gambaran tentang Raja

31
Tsana’ Ali Mukhaimir As-Syaikh, Ad-Dakhīl fi At-Tafsīr, hlm. 26-27.
32
Beliau adalah al-Imām al-'Allāmah Al-Muḥaddiṡ al-Muḥaqqīq Abū Al-Faḍl Sayyid Abdullah bin
As-Ṣiddīq Al-Gumārī. Abū Al-Faḍl sebenarnya adalah nama kunyah beliau yang terinspirasi dari tiga tokoh
Ḥadīṡ besar yang juga memakai kunyah tersebut, pertama Al-Iraqī, Ibnu Hajar, dan terakhir As-Suyūṭī. Beliau
adalah ulama’ besar hadist era kontemporer berasal dari Maroko. Biografi lengkapnya baca Abdullah Al-
Gumārī, Sabīl At-Taufīq fī Tarjamati Abdullah bin Aṣ-Ṣiddīq Al-Gumārī, cet. ke-III (Kairo: Maktabah Al-
Qāhirah, 2012).
33
Baca Mohamad Sobirin, Bid’ah-Bid’ah Penafsiran Al-Qur’an menurut Abdullah Al-Ghumari,
Tesis, (Yogyakarta:Paskasarjna UIN Sunan Kalijaga, 2013), hlm.104-132.

10
‘Ad, yaitu Syaddad bin ‘Ad, dan kota ‘Adn. Berawal ketika raja ‘Ad mendapatkan
kabar mengenai gambaran surga, akhirnya ia memerintahkan kepada rakyatnya
semua untuk membangun kota ‘Adn untuk menandingi surga.34

Takhrīj yang dilakukan oleh Abdullah Al-Gumārī menyatakan bahwa Ḥadīṡ tersebut
adalah Mauḍū’. Kemauḍū’an terjadi karena faktor sanad dan matannya. Faktor sanad yaitu
Ibnu Qilābah, sementara faktor matan karena isi kandungan Ḥadīṡ yang sangat detail dalam
menggambarkan kota ‘Ad dengan Iram nya. Hingga seolah-olah rawi tersebut
menyaksikannya sendiri.35
2. Ad-Dakhīl fī Ar-Ra’yi
Abdullah Al-Gumārī dalam konteks ini memberikan banyak contoh penafsiran,
diantaranya adalah penafsiran yang bermotif mażhab. Ia menyatakan bahwa sebagian dari
bid’ah tafsīr yaitu ketika seorang mufassir menjadikan mażhabnya sebagai dasar dan dalil
untuk melakukan takhṣīṣ lafaẓ dalam sebuah ayat, atau mungkin juga taqyīd. Hal ini beliau
katakan sering dilakukan oleh Al-Jubā’ī, orang Mu’tazilah lainnya dan Syi’ah.36 Jadi
motifnya adalah bahasa, namun tujuannya adalah kepentingan mażhab.
Contoh kaedah ini dengan motif mażhab, yaitu penafsiran terhadap ayat 32 surat Al-
Fathir yang dilakukan oleh Syi’ah:

‫ اﻻﻳﺔ‬... َ ‫ﺻﻄََﻔْﻴـﻨَﺎ ِﻣ ْﻦ ِﻋﺒَ ِﺎد‬ ِّ ‫اﻟﻜﺘﺎب‬


ِ
 ْ ِ‫اﻟﺬﻳْ َﻦ إ‬ َ َ ‫ُﰒَ أَْوَرﺛْـﻨَﺎ‬
Murtaḍo, seorang Imam Syi’ah Imamiyyah, menafsirkan ayat tersebut bahwa pewaris

‫ﺎب‬ ِ
dari َ َ‫اﻟﻜﺘ‬ yang dimaksudkan ayat tersebut adalah para imam Syi’ah Imamiyyah yang

merupakan anak cucu Nabi Muhammad SAW. Padahal tidak ada dalil satu pun yang
menyatakan demikian. Ia menafsirkan seperti itu dalam kerangka untuk menguatkan

34
Abdullah Al-Gumārī, Bida’ At-Tafāsir(Kairo: Maktabah Al-Qāhirah, 2010),hlm. 114. Matan dari
Ḥadīṡ tersebut yaitu:
‫ ﻓﺒﲎ إرم ﰲ ﺑﻌﺾ ﺻﺤﺎرى‬.‫ ﻓﻘﺎل أﺑﲏ ﻣﺜﻠﻬﺎ‬،‫ وﲰﻊ ﺑﺬﻛﺮ اﳉﻨﺔ‬،‫ ﻓﺪاﻧﻮا ﻟﻪ‬،‫ ﻛﺎن ﻣﻠﻜﺎ ﻗﻬﺮ ﻣﻠﻮك اﻟﺪﻧﻴﺎ‬،‫أن ﺷﺪاد ﺑﻦ ﻋﺎد‬
‫ وﻓﻴﻬﺎ أﺻﻨﺎف اﻷﺷﺠﺎر واﻻ ﺎر‬،‫ وأﺳﺎﻃﻴﻨﻬﺎ ﻣﻦ اﻟﺰﺑﺮﺟﺪ واﻟﻴﺎﻗﻮت‬،‫ﻋﺪن وﻫﻲ ﻣﺪﻳﻨﺔ ﻋﻈﻴﻤﺔ ﻗﺼﻮرﻫﺎ ﻣﻦ اﻟﺬﻫﺐ و اﻟﻔﻀﺔ‬
‫ ﻓﻠﻤﺎ ﻛﺎن ﻣﻨﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﻣﺴﲑة ﻳﻮم وﻟﻴﻠﺔ ﺑﻌﺚ ﷲ اﻟﻴﻬﻢ‬.‫ وﳌﺎ ﰎ ﺑﻨﺎﺋﻬﺎ ذﻫﺐ اﻟﻴﻬﺎ ﻫﻞ ﳑﻠﻜﺘﻪ‬،‫ ﺑﻨﺎﻫﺎ ﰲ ﺛﻼﲦﺎﺋﺔ ﺳﻨﺔ‬.‫اﳌﻄﺮدة‬
.‫ وان ﻋﺒﺪ ﷲ ﺑﻦ ﻗﻼﺑﺔ ﺧﺮج ﰲ ﻃﻠﺐ اﺑﻞ ﻟﻪ ﻓﻮﻗﻊ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻓﺤﻤﻞ ﻣﺎ ﻗﺪر ﻋﻠﻴﻪ ﳑﺎ ﰒ‬.‫ وﻫﻲ اﳌﺮاد‬.‫ﺻﻴﺤﺔ ﻣﻦ اﻟﺴﻤﺎء ﻓﻬﻠﻜﻮا‬
‫ وﺳﻴﺪﺧﻠﻬﺎ رﺟﻞ ﻣﻦ اﳌﺴﻠﻤﲔ ﰲ‬.‫ ﻫﻲ ارم ذات اﻟﻌﻤﺎد‬:‫وﺑﻠﻎ ﺧﱪﻩ ﻣﻌﺎوﻳﺔ ﻓﺎﲢﻀﺮﻩ ﻓﻘﺺ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﺒﻌﺚ اﱃ ﻛﻌﺐ ﻓﺴﺎﻟﻪ ﻓﻘﺎل‬
‫ ﰒ اﻟﺘﻔﺖ ﻓﺮأى اﺑﻦ ﻗﻼﺑﺔ ﻓﻘﺎل ﻫﺬا‬.‫زﻣﺎﻧﻚ اﲪﺮ اﺷﻘﺮ ﻗﺼﲑ ﻋﻠﻰ ﺣﺎﺟﺒﻪ ﺧﺎل وﻋﻠﺮ ﻋﻨﻘﻪ ﺣﺎل ﳛﺮج ﰲ ﻃﻠﺐ اﻻﺑﻞ ﻟﻪ‬
.‫وﷲ ذﻟﻚ اﻟﺮﺟﻞ‬
35
Ibid.
36
Ibid., hlm. 96.

11
legitimasi Syi’ah Imamiyyah. Penafsiran seperti ini yang dimaksudkan oleh Abdullah Al-
Gumārī sebagai bid’ah bermotifkan mażhab, dalam hal ini Syi’ah.37
III. Kesimpulan
Beragam kitab tafsir maupun pemikiran penafsiran telah ada sejak lama hingga masa
sekarang.Dengan berbagai metode dan corak yang digunakan oleh para
mufassirnya.Heterogenitas ini meniscayakan adanya perbedaan dalam kitab-kitab dan
pemikiran tafsir tersebut.Respon sarjana Muslim atas keragaman pun juga bermacam-
macam.Kritik dan saran saling melengkapi.Studi Ad-Dakhil barangkali merupakan satu dari
sekian cara dan metodeuntuk menyikapi masalah keragaman ini. Maka, diperlukan sikap
saling terbuka, menghargai dan tidak saling menjatuhkan dalam sikap tersebut.

Kerangka teori yang terdapat pada studi Ad-Dakhilmerupakan kerangka teori kirtis
dalam membingkai satu problematika dalam dunia tafsir, walaupun produk dari
pengaplikasiannya juga tidak semua dapat dibenarkan dan disalahkan.Relativitas tetap
menjadi prinsip penilaian.Namun terlepas dari semua itu, dapat terlihat dari tori kiritik tafsir
tersebut bahwa ada cita-cita luhur untuk memunculkan tafsir yang objektif nihil dari
kepentingan negatif dan mempunyai kompetensi yang otoritatif sehingga dapat diterima
setiap golongan.Walaupun demikian, mufassir yang dianggap meyimpang melalui aplikasi
teori Ad-Dakhil tersebut dalam mengkaji tafsirnya, sesungguhnya telah melakukan usaha
mulia (ijtihad) untuk menjelaskan serta mengungkap makna yang terkandung dalam Al-
Qur’an.Sehingga karya-karya tersebut pun patut juga mendapatkan apresiasi, yakni dalam
bentuk kritik kontruktif sehingga kekayaan ilmiah tetap terjaga dan berkembang, tentu
melalui dealektika yang sehat.Wallahu ‘alam.

37
Ibid., hlm. 80.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Al-Gumārī, Bida’ At-Tafāsir(Kairo: Maktabah Al-Qāhirah, 2010).


Abdul Wahhab Fayad, Ad-Dakhīl fīTafsīrAl-Qur’ān Al-Karīm (Mesir: Maṭba’ah Hasan,
1978).
Ahmad Muhammad Syakir, Umdah At-Tafsīr ‘an Al-Hafiz Ibnū Kasir, jilid I (Mesir: Dār Al-
Ma’ārif, 1956).
Ahmad Khalīl, Dirāsat fīAl-Qur’ān (Mesir: Dār Al- Ma’arif, 1972).
Amin Al-Khullī, Manāhij At-Tajdīd(Kairo: Dār Al-Ma’rifah, 1961).
Al-Qurṭubī, Tafsīr Imām Al-Qurṭubī, juz I (Mesir: Asy-Sya’bī, 1961).
Ar-Rāgib Al-Asfahānī, Al-Mufradāt fī GarāibAl-Qur’ān (Mesir: Musṭafa Al-Bab Al-Jalis,
1381H/1961M).
Husain Az-Ẑahabi, Al-Isrā'iliyāt fīAt-Tafsīr wa Al-Ḥadīṡ(Kairo: Majma' Al-Buḥus Al-
Islāmiyyah, 1971).
Husain Aż-Zahabi, At-Tafsīrwal-Mufassirūn, cet. ke-1 (Mesir: Maṭba’ah Al-Sa’ādah, 1976).
Ibrahim Abdurrahman Khalifah, Ad-Dakhīl fi At-Tafsīr, (Mesir: Dar Al-Kutub, t.th.).
Khalāf Muhammad Al-Husainī, Al-Yahūdiyyahbain Al-Masihiyyah wa Al-Islām (Mesir: Al-
Muassasah Al-'Ammah, 1964).
Muhammad Husain Aż-Ẓahabi, At-Tafsīr wa Al-Mufassirūn (Kairo: Dār Al-Ḥadīṡ, 2005).
Muhammad Farid Wajdī, Dāirah Al-Ma'ārif, juzI (Beirut: Dār Al-Ma'rifah, 1971).
Mihjah Gālib Abdurrahman, Dirāsah Mauḍūiyyah wa Taṭbīqiyyah fī Ad-Dakhīl(Kairo:
Jamiah Al-Azhar, 1998).
Syaikh Al-Qurṭubī, Al-Jāmi’ li AhkāmAl-Qur’ān, juz II (Bairut: Dār Al-Fikr, 1998).
Tsana’ Ali Mukhaimir As-Syaikh, Ad-Dakhīl fī At-Tafsīr, (Mesir: Markaz Ayat-Jami’ah Al-
Azhar-Kuliyyah Ad-Dirasat Al-Islamiyyah, 2003).
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’ān, Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al-
Qur’ān (Jakarta: Penamadani, 2003).

13

Anda mungkin juga menyukai