Anda di halaman 1dari 32

Konsep Soteriologi

Dalam Teologi Politik Johann Baptist Metz


Pengantar

Sejak KV II, salah satu perhatian utama


dalam refleksi teologi keselamatan adalah
soal tanggung jawab atau dimensi sosial
iman kristiani.

Buah rahmat bukan lari dari dunia


melainkan panggilan untuk mengolah
dunia, hadir di tengah masyarakat dan
berjuang mewujudkan keselamatan di sana.

Itulah yang juga menjadi konsep soteriologi


Johann Baptist Metz dalam teologi
politiknya.
Garis Besar Pembahasan
 Pengantar

 Mengenal Sosok Johann Baptist Metz

 Gambaran Umum Teologi Politik Metz

 Peristiwa Auschwitz dan Pengaruhnya terhadap


konsep Soteriologi Metz

 Locus Theologicus: Penderitaan Para Korban dan


Relevansi Soteriologis

 Basis Konsep Soteriologi Metz

 Konsep Soteriologi Metz: Pembebasan Para Korban


dari Situasi Penderitaan

 Teologi Keselamatan sebagai Praksis Pembebasan


(Solidaritas)

 Penutup
Mengenal Sosok Johann Baptist Metz
Johann Baptist Metz (5 Agustus 1928—2
Desember 2019) adalah seorang imam
diosesan Katolik Jerman dari Bavaria
(Auerbach), sebuah kota kecil yang
konservatif Katolik.
Dia adalah professor luar biasa Teologi
Fundamental, Emeritus, di Universitas
Westphalian Wilhelmus di Münster, kota
Jerman Utara. Dia menjadi dosen tamu
dalam bidang politik dan agama di Institut
untuk filsafat di Universitas Vienna.
 Karya-karya terbarunya adalah Faith and
Future: Essays on Theology, Solidarity, and
Modernity dan A Passion for God: The
Mystical-Political Dimension of
Christianity.
Mengenal Sosok Johann Baptist Metz
Di samping itu, Metz juga
menjalankan tugasnya sebagai
editor Jurnal Concilium dan
direktur teologi dogmatik selama
beberapa tahun.
Dia bekerja sebagai anggota pendiri
Biconfessional Research Institute
untuk Universitas Bielefeld.
Dia juga bekerja sebagai konsultan
untuk Sekretariat Kepausan untuk
orang ateis (1968—1973), dan
sebagai konsultan untuk Sinode
Uskup Jerman Barat (1971—1975)
Gambaran Umum Teologi Politik Metz
Istilah teologi politik sebenarnya bukan sebuah istilah
yang baru (Sudah ada sejak stoisisme).
Metz juga menggunakan istilah yang sama, tetapi
dengan arti yang berbeda.
Istilah “politik” dalam teologi politik sebagaimana
yang digunakan oleh Metz sama sekali tidak ada
hubungannya dengan (ilmu) politik, atau merujuk
pada praktik politik seperti memilih pejabat atau
partai yang menjalankan pemerintahan.
Apa yang dimaksudkan dengan teologi politik yang
baru?
 pertama, koreksi kritis teologi masa kini yang
menunjukkan kecenderungan privatisasi yang ekstrim,
yaitu kecenderungan berpusatkan pada diri (privat) dan
bukan masyarakat umum, masyarakat politis
 Kedua, teologi politik merupakan usaha untuk
merumuskan amanat eskatologis sesuai dengan kondisi
masyarakat (kontekstual).
Ada dua fase.
 Fase pertama (1966—1969), ditandai dengan kritik
terhadap perkembangan teologi sampai saat ini
sekaligus memperbarui teologi.

 Fase kedua (sejak 1969), ditandai dengan kritik


terhadap teologi yang memberi tekanan yang
berlebihan pada masa depan, lantas mengabaikan masa
lalu.
Peristiwa Auschwitz dan Pengaruhnya terhadap konsep
Soteriologi Metz
Konsep soteriologi
Metz ini sebenarnya “Latar belakang biografis ini
tidak bisa bersinar dalam seluruh karya
dipisahkan dari teologi saya, bahkan sampai hari
ini… Auschwitz berkerja seperti
pengalaman ultimatum (tuntutan dasar) bagi
kengerian perang saya.”
dunia II yang
ditandai dengan
peristiwa Austwitch.
Peristiwa ini
melahirkan Kategori
“memori
penderitaan”
Masalah yang hendak dipersoalkan oleh Metz adalah
penderitaan yang dialami korban ketidakadilan di mana
manusia menjadi tumbal.
Auschwitz merupakan lambang bagi tindakan kejam
terhadap orang-orang Yahudi oleh tentara Jerman pada masa
pemerintahan Nazi.
Tindakan kejam ini membawa malapetaka besar dan
penderitaan bagi para korban.
 Atas dasar itu, dalam konsep soteriologinya, Metz
mengajukan pertanyaan tentang keselamatan mereka yang
menderita ketidakadilan, yakni para korban yang telah
meninggal dalam sejarah.
Locus Theologicus: Penderitaan Para Korban dan Relevansi
Soteriologis
Metz meletakkan teodisea (arti khusus: “teodisea-
sensitif”) pada pusat refleksi teologi termasuk konsep
soteriologinya untuk menekankan sensitivitas
terhadap penderitaan yang terjadi.
Bagi Metz, diskursus tentang Allah pertama-tama dan
terutama merupakan diskursus tentang keselamatan
subjek yang mengalami penderitaan.
Metz mengawalinya dengan pertanyaan atau masalah
tentang mereka yang menderita ketidakadilan, para
korban yang dilupakan dalam sejarah
Mengapa harus fokus pada penderitaan?
 Realitas kontekstual dan berbahaya bagi umat beriman
modern, tidak hanya sekularisasi dan ateisme, tetapi
dunia yang menakutkan karena penderitaan yang tidak
manusiawi, eksistensi dari mereka yang tersalibkan.

Saya telah melihat komunitas dunia ketiga; orang-orang yang dalam


penderitaannya, dalam perjuangannya, dalam kesedihan dan dalam keberaniannya,
dapat diidentifikasikkan sebagai simbol Kerajaan Allah. Dan saya membuat
identifikasi ini lebih sesuai dengan kehidupan mereka daripada kehidupan saya
sendiri. Inilah pengalaman personal dan saya mempertimbangkannya sebagai
pertanyaan mendasar dalam teologi sekarang ini, yang disebut dengan persoalan
teodisea
Metz mengingatkan supaya tidak “jatuh di bawah
mantra soteriologis” di mana teologi membuang
pertanyaan teodisea demi mendukung hamartiologi
yang hipersensitif.
Penekanan yang berlebihan pada hamartiologi
menghindari apa yang bagi Metz tugas dasar untuk
membangun soteriologi yang memadai, kredibel dan
relevan, yakni menghubungkan peristiwa salib Kristus
dengan begitu banyak penderitaan manusia yang tak
terkatakan.
Basis Konsep Soteriologi Metz
Dasar konsep soteriologi: Kristologi

Kristologi Metz sangat khas: Ingatan Akan


Penderitaan, Wafat dan Kebangkitan Yesus
Kristus (Memoria Passionis, Mortis Et
Resurrectionis Jesu Christi )

Ingatan (penderitaan, wafat dan kebangkitan)


melahiran konsep “dangerous memory”.
“Dangerous memory” dipahami Metz sebagai sebuah
resiko dan konsekuensi menjadi pengikut Kristus.
Hal tersebut terlihat secara jelas dalam hidup dan
pesan-pesan injil-Nya
Metz mengambil perikop Markus 8:31-38:
 “Anak manusia harus menanggung banyak penderitaan,
dan ditolak oleh tua-tua…”
 perikop ini hendak menegaskan bahwa sejarah Mesias
itu bukan sejarah atau cerita tentang kesuksesan atau
kemenangan, tetapi sebaliknya sejarah penderitaan,
penolakan, dan diabaikan
Gambaran Mesias, berdasarkan perikop Mark. 8:31-38
itulah yang juga diikuti oleh para murid:
 “setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal
dirinya, memikul salibnya dan mengikuti Aku.”

 “jika dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih


dahulu membenci Aku daripada kamu …Ingatlah apa yang
Kukatakan kepadamu, seorang pelayan tidak lebih tinggi
daripada tuannya. Jika mereka telah menganiaya Aku, mereka
juga akan menganiaya kamu.” (Yoh 15:18-20)

 “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit, kami


habis akal namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun
tidak ditinggalkan sendirian; kami dihempas namun tidak
tidak binasa.” (2 Kor 4:8,9)
Perikop tersebut mengaskan bahwa
 Cerita kemuridan bukanlah cerita untuk menghibur
ataupun mendidik melainkan cerita di hadapan situasi
bahaya, atau “cerita berbahaya”.
 Cerita-cerita tersebut tidak mengajak orang untuk
bermenung, tetapi untuk mengikuti-Nya, dan dengan
menerima resiko ini, para murid sungguh mewartakan
misteri yang menyelamatkan.
 Hanya di hadapan bahaya ini, visi Kerajaan Allah akan
terwujud.
Metz menyebutnya apokaliptik terbalik:
 “Di mana keselamatan mendekat, bahaya juga bertambah besar.”

Apa maksudnya?
 Di mana kekristenan menjadi nyaman, lebih mudah bertahan, maka
masa depan mesianik itu lemah.

 Sebaliknya, di mana ada kesulitan, dan menjanjikan lebih banyak


bahaya daripada kenyamanan, di sana tampak lebih dekat dengan
realitas yang dikatakan oleh Yesus: “siapa saja yang dekat dengan
Aku, dekat dengan api; barangsiapa jauh dari Aku, berdiri jauh dari
Kerajaan.” Whoever is close to me, is close to the fire; whoever is far
from me, is far from the kingdom.
Metz mempertahankan karakter passio sebagai bagian
konstitutif dalam peristiwa Yesus Kristus dan juga
dimensi historis-politis dari penebusannya.
Bagi Metz, memori penderitaan dan kematiannya
tidak bisa dianulir dengan memori kebangkitan.
Memori penderitaan dan kematian adalah juga bagian
konstitutif dari memori kebangkitan.
 Ketiga-tiganya harus terintegrasi. Tidak ada
“Kristologi-Minggu Paskah” tanpa “ Kritologi-Sabtu
Suci”.
Konsep Soteriologi Metz: Pembebasan Para Korban dari
Situasi Penderitaan
konsep soteriologi tidak boleh dianggap berkaitan
dengan dunia lain (another world) atau juga proses
yang hanya berkaitan dengan sejarah manusia yang
aktual, melainkan proses yang berkembang yang
terjadi dalam dan melalui sejarah manusia.
Sejarah yang dimaksudkan oleh Metz di sini bukanlah
sejarah bagi mereka yang menang, yang berkuasa dan
hidup mapan melainkan secara khusus sejarah bagi
mereka yang kalah, yang menjadi korban
ketidakadilan, penindasan dan ketidakberdayaan.
Keselamatan: pembebasan manusia dari situasi
penderitaan sekarang ini dan di masa depan.
apa yang diperjuangkan atau diusahakan dalam
refleksi teologinya adalah
 otoritas yang membuat manusia bisa mempertahankan
eksistensi manusia sebagai subjek-subjek dan bukan
menjadi objek penindasan (authority of those who
suffer)
 mengangkat martabat mereka sebagai subjek di
hadapan Allah.
(authority of those who suffer)
 Dasar: perumpamaan yang terkenal tentang
penghakiman terakhir (Mat 25:31-46); seperti orang
lapar, haus, telanjang, orang asing, sakit dan dalam
penjara.
 Semua orang akan diadili berdasarkan kepatuhan
mereka terhadap otoritas mereka yang menderita;
sejauh mana mereka memberi perhatian pada jeritan
penderitaan orang lain dalam hidup keseharian.
Pengalaman penderitaan orang lain menginterupsi dan
menuntut tanggung jawab dari semua pihak.
diperlukan praksis dalam kehidupan nyata melalui
gerakan solidaritas dan emansipasi
Tindakan praktis ini mau menunjukkan bahwa
keselamatan itu bukan suatu gagasan abstrak melainkan
keterlibatan dalam situasi sosial masyarakat dengan
pelbagai persoalannya.
Metz: “setiap pembahasan soteriologi, tetapi terlepas
dari kehidupan nyata, konkret dan historis, maka hal itu
dianggap tidak relevan dan tidak berguna.”
Teologi Keselamatan sebagai Praksis Pembebasan
Konsep teologi keselamatan Metz terwujud dalam
praksis historis dan juga pengaruh pragmatis atau
internalisasi injil dalam kehidupan sehari-hari
Praksis iman kristiani pertama-tama dan terutama
adalah praksis imitasi Kristus.
“Iman orang kristiani adalah praksis dalam sejarah dan masyarakat,
yang dipahami sebagai harapan dalam solidaritas dengan Yesus,
sebagai Tuhan yang hidup dan yang mati, di mana memanggil semua
orang untuk menjadi subjek di hadapan-Nya. Umat kristiani
menjastifikasi diri mereka dalam praksis apokaliptis (imitasi) yang
esensial melalui perjuangan mereka untuk sesamanya. Mereka
membela semua orang dalam upaya untuk menjadi subjek dalam
solidaritas satu sama lain.” Faith in History and Society
Praksis iman kristiani harus sampai pada tindakan melihat dan
mendalami realitas sosial sehingga bisa terlibat aktif dalam
menemukan dan menggali sebab-sebab penderitaan, kemudian
membangun gerakan emansipatif dan solidaritas.
Praksis iman yang demikian sangat relevan dan mendesak di
tengah maraknya tindakan ketidakadilan dan konflik yang
menimbulkan penderitaan.
Keselamatan itu tepatnya ada di dalam penyingkapan cerita-
cerita pembebasan, sebab dengan demikian, sejarah kaum yang
menderita, tertindas dan tak berpengharapan dapat mengalami
peristiwa pembebasan dijiwai oleh kekuatan transformatif
memoria suffering, passionis et ressurectionis dari Yesus.
sejarah sebagai sejarah penderitaan terus menerus
diingat dan dinarasikan (kisah-kisah pribadi maupun
kisah-kisah Yesus) demi memperkuat daya atau
kekuatan untuk membebaskan para korban.
Dialektika antara keselamatan dan narasi penderitaan
menghasilkan buah harapan, yang terwujud melalui
solidaritas dalam komunitas iman
Sebab Narasi penderitaan dan salib Yesus mendorong
semangat berbela rasa dengan penderitaan sesama.
Narasi kristiani inilah yang berfungsi sebagai
jembatan atara ortodoksi ke ortopraksis:

Kekristenan sebagai komunitas orang-orang yang percaya


kepada Yesus Kristus, sejak awal, bukanlah orang-orang yang
menafsir dan berdebat, tetapi komunitas yang mengingat dan
menggugah tentang sengsara, kematian dan kebangkitan
Yesus. Logos salib dan kebangkitan memiliki struktur naratif.
Keyakinan akan penebusan sejarah dan pada manusia baru
dapat dilakukan, karena sejarah penderitaan manusia,
diterjemahkan ke dalam cerita-cerita yang membebaskan yang
berbahaya, pendengar yang terpengaruh olehnya tidak hanya
menjadi pendengar tetapi pelaku firman. Faith in History
and Society
Yesus: hidup di dalam solidaritas dengan orang berdosa
yang menderita melalui pengalaman penganiayaan,
penghinaan, penyiksaan, penyaliban, dan kematian-Nya
dan berjanji kepada semua yang menderita bahwa
penderitaan mereka akan memiliki makna dan akan
dibenarkan.

Jika semua manusia—masa lalu, sekarang, dan masa depan


—mengalami penderitaan, dan jika penderitan tersebut
memiliki makna dan di dalamnya tekandung janji
pemulihan, akan ada kemungkinan untuk terus hidup
dalam belas kasih satu sama lain dan hidup dalam
solidaritas di dalam dan melalui penderitaan dalam
masing-masing personal
solidaritas adalah kategori utama di mana subjek
diselamatkan ketika dia terancam, diselamatkan juga
dari tindakan pelupaan, atau penindasan dan
kematian.
Meskipun umat kristiani percaya bahwa penderitaan
yang disebabkan oleh kesalahan dan kematian telah
ditebus oleh Kristus, hal itu tidak berarti seseorang
dibebaskan dari tugas untuk membangun solidaritas
demi mengatasi penderitaan yang disebabkan oleh
penindasan dan ketidakadilan.
Kerajaan Allah akan tampak dalam
 membangun kerajaan di antara sesama manusia,
 imitasi Yesus yang berpihak kepada mereka yang ditindas dan
ditolak,
 dan juga melalui pewartaan kedatangan Kerajaan Allah sebagai
kuasa yang membebaskan, sebagai kasih yang tak bersyarat.
Ingatan akan Yesus Kristus bukanlah ingatan yang membebaskan
orang dari resiko untuk terlibat di masa depan. Sebaliknya
memoria Jesu Christi justru menginterupsi kaum beriman untuk
menghidupi semangat berbela rasa atau bersolider dengan
mereka yang ditindas, tanpa harapan dan ditakdirkan untuk
gagal; terlibat aktif dalam memperjuangkan martabatnya sebagai
subjek yang memiliki kebebasan di hadapan Allah
Penutup
Konsep soteriologi Metz tidak terlepas dari titik berangkat
refleksi teologinya, yakni penderitaan para korban dalam
sejarah.
keselamatan pertama-tama bagi Metz bukanlah diskursus
tentang doa melainkan sensitivitas terhadap penderitaan
orang lain.
Penderitaan yang terjadi dalam sejarah membangkitkan
sebuah kategori yang sangat penting, yakni memori
berbahaya (dangerous memory), demi mengantisipasi
bahaya-bahaya menjadi objek penindasan, menjadi korban
ketidakadilan sehingga menyebabkan penderitaan bagi
banyak orang.
Keselamatan bagi Metz adalah sebuah praksis untuk
membebaskan manusia dari penderitaan melalui gerakan
solidaritas di antara sesama manusia.
 Keselamatan itu bukan lagi sebuah idea abstrak tetapi terwujud
dalam tindakan atau praksis dalam masyarakat.
 Karena itu, iman kristiani mendorong orang untuk mengambil
bagian dalam misi kemanusiaan, mempunyai tanggung jawab
sosial dalam hidup bermasyarakat terutama keberpihakan
terhadap mereka yang menderita ketidakadilan.
Justru keselamatan itu terlaksana di dalam perjuangan orang
beriman dalam menyingkapkan fenomena-fenomena yang
membahayakan martabat manusia sebagai subjek di hadapan
Allah dan bukan objek penindasan.

Anda mungkin juga menyukai