Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH BUDAYA NUSANTARA

TIONGHOA

Disusun Oleh:

Kelompok 6
Kelas 5-Y

Danahri Rais Kahfi 07


Humayra Vonna 14
Lutfi Bagus Rivaldi 20
Oktavenyta Eriana 30
Rizki Taufik Anindhita 32
Rozano Fikri Andana 33

1
Daftar isi
BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN...................................................................... 4

Daftar Pustaka....................................................................................... 31

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan atau yang dapat disebut juga Peradaban
mengandung pengertian yang sangat luas dan mengandung pemahaman perasaan
suatu bangsa yang sangat kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan,
seni,moral, hukum, adat-istiadat, kebiasaan dan pembawaan lainnya yang
diperoleh dari anggota masyarakat.Kebudayaan merupakan perilaku yang menjadi
suatu kebiasaan di tengah masyarakat.Banyak hal yang dapat kita sebut sebagai
kebudayaan. Seperti: tari-tari an, musik, rumah adat, pekaian, senjata dan pola
hidup dalam suatu masyarakat atau kelompok merupakan contoh yang dapat kita
definisikan sebagai contoh dari kebudayaan.
Mempelajari kebudayaan bukanlah suatu kegiatan yang mudah dan
sederhana, karena banyak sekali batasan konsep dari berbagai bahasa, sejarah,
sumber bacaan atau literatur baik pendekatan metode juga telah banyak disiplin
ilmu lain yang juga mengkaji berbagai macam permasalahan terkait kebudayaan
seperti, Sosiologi, Psikoanalisis, Psikologi (Perilaku) dan sebagainya yang
masing-masing mempunyai tingkat kejelasan sendiri-sendiri tergantung pada
konsep dan penekanan masing-masing.
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai kebudayaan yang
beraneka ragam baik jumlahnya maupun keanekaragamannya. Budaya juga
merupakan identitas bangsa yang harus dihormati dan dijaga serta perlu
dilestarikan agar kebudayaan kita tidak hilang dan bisa menjadi warisan anak cucu
kita kelak. Hal ini tentu menjadi tanggungjawab para generasi muda dan juga
perlu dukungan dari berbagai pihak, karena ketahanan budaya merupakan salah
satu Identitas suatu negara. Kebanggaan bangsa indonesia akan budaya yang
beraneka ragam sekaligusmengundang tantangan bagi seluruh rakyat untuk
mempertahankan budaya lokal agar tidak hilang ataupundicuri oleh bangsa lain.
Salah satu kebudayaan yang masih ada dan terus berkembang di Indonesia adalah
kebudayaan masyarakat Tionghoa. Oleh karena itu penulis mencoba mencari tahu
keadaan kebudayaan dalam masyarakat tersebut.

B. Rumusan Masalah ?
1. Bagaimana keadaan budaya di masyarakat Tionghoa?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui kebudayaan di masyarakat Tionghoa.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Letak Geografis
Sebagian besar Orang Tionghoa menetap di Pulau Jawa, Sumatera Utara,
Sumatra Selatan, Bangka-Belitung, Batam, Lampung, Kalimatan Barat,
Banjarmasin, Lombok , Menado, Ambon, Jayapura

Kedatangan leluhur suku Tionghoa (yang berasal dari negera China) untuk
bermigrasi ke Indonesia terjadi pada ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu
(utamanya pada abad ke 16-19). Mereka datang ke Indonesia dengan
tujuan awal untuk berdagang (dalam perniagaan). Ramainya interaksi
perdagangan di daerah pesisir tenggara China, menyebabkan banyak orang
yang tinggal di daerah pesisir China ingin ikut berlayar untuk berdagang.
Tujuan utama mereka saat itu adalah Asia Tenggara, karena kegiatan
pelayaran sangat tergantung pada angin musim. Setiap tahunnya para
pedagang akan bermukim di wilayah-wilayah yang mereka singgahi.

Salah satu wilayah yang mereka singgahi di Asia Tenggara adalah


Indonesia (yang pada waktu itu masih era kolonial Belanda). Demikian
seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi
wanita setempat, ada pula pedagang yang kembali ke China untuk terus
berdagang. Lama-kelamaan, mereka yang tinggal membaur dengan
masyarakat asli Indonesia, dan akhirnya terjadi asimilasi serta akulturasi
budaya. Sejak negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang
berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam
lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

4
Para pendatang suku bangsa Tionghoa ini biasanya menyebut
dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkian), Tengnang (Tiochiu), atau
Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Huaren
(Hanzi Tradisional: ). Orang-orang Tionghoa di Indonesia umumnya
berasal dari bagian Tenggara China (sekarang propinsi Fujian, Guangdong,
Hainan, dan sekitarnya). Tidak ada info yang jelas mengenai berapa
jumlah masyarakat (yang mengaku) keturunan Tionghoa di Indonesia; tapi
diperkirakan berjumlah 4-5% dari total penduduk Indonesia yang ada.
Berikut sedikit gambaran mengenai suku-suku orang Tionghoa yang ada di
Indonesia :

1. Hokkian

Orang Hokkian (Hanzi: , pinyin: fujian ren) adalah


penduduk yang berasal dari provinsi Fujian yang terletak di bagian
tenggara-selatan China. Banyak orang Hokkian menjadi perantau dan
tinggal di berbagai negara, terutama di Asia Tenggara. Orang Hokkian
juga dikenal dengan sebutan orang Minnan ( ) atau orang Hok-lo
(). Suku Hokkian merupakan salah satu mayoritas populasi orang
Tionghoa di Indonesia.

Bahasa Hokkian (Hanzi , pinyin minnan yu) yang dikenal


sebenarnya adalah dialek Minnan Selatan (Min-nan) yang merupakan
bagian dari bahasa Han. Dialek ini terutama digunakan secara luas di
provinsi Fujian (Hokkian), Taiwan, bagian utara propinsi Guangdong,
dan di Asia Tenggara, di mana konsentrasi Tionghoa perantauan adalah
mayoritas berasal dari provinsi Fujian. Jumlah penutur bahasa Hokkian
sendiri diperkirakan berjumlah 50 juta orang di seluruh dunia

Orang Hokkien di Indonesia sendiri terkonsentrasi di daerah


Sumatera Utara, Riau (Pekan Baru), Sumatera Barat (Padang), Jambi,
Sumatera Selatan (Palembang), Bengkulu, Jawa, Bali, Kalimantan
(Banjarmasin, Kutai), Sulawesi (Makassar, Kendari, Manado) dan
Ambon.

2. Hakka

Orang Hakka (Hanzi , pinyin ke jia) adalah salah satu


kelompok Tionghoa Han yang terbesar di China. Bahasa yang

5
digunakan adalah bahasa Hakka (Hanzi , pinyin ke jia hua), atau
di Indonesia umumnya dikenal dengan bahasa Khek. Bahasa yang
dituturkan oleh orang Hakka ini merupakan suku Han yang tersebar di
kawasan pegunungan provinsi Guangdong, Fujian dan Guangxi di
Tiongkok. Masing-masing daerah ini juga memiliki khas dialek Hakka
yang berbeda tergantung provinsi dan juga bagian gunung sebelah mana
mereka tinggal. Bahasa Hakka/Khek juga merupakan salah satu dari
tujuh bahasa utama di Republik Rakyat Tiongkok saat ini.

Walau saling terpisah-pisah, para penutur Bahasa Hakka yang


berbeda logat dan dialek dapat berbicara satu sama lain. Kemana pun
mereka pindah, orang Hakka masih mempertahankan kebudayaan,
terutama bahasa. Bahasa Hakka memiliki kekerabatan yang lebih dekat
dengan Bahasa Mandarin daripada bahasa Tionghoa lain. Maka ini,
walaupun orang Hakka telah pindah dan menetap di berbagai daerah
lain di Tiongkok, mereka masih mempertahakan bahasa dan
kebudayaan dikarenakan kebiasaan berpindah dalam kelompok besar
dan menetap bersama di tempat baru. Jumlah orang Hakka sendiri
diperkirakan berjumlah 30-45 juta orang di seluruh dunia.

Di Tiongkok selatan, orang Hakka merupakan pendatang terakhir


di tanah orang lain dan seringkali harus bertahan hidup di tanah yang
tidak subur. Mereka dianggap rendah karena sebagian besar tidak
mempunyai tanah, miskin, serta dianggap kurang beradab. Karena
adanya penolakan dari kelompok Han lain inilah sehingga membentuk
sifat mereka yang ulet, berani, gigih dan tabah. Konflik dengan
penduduk asli menyebabkan mereka menjadi komunitas yang memiliki
solidaritas tinggi dan saling berhubungan erat. Kaum pria memiliki
tugas berat di luar rumah, sementara wanita bekerja keras mengurus
rumah dan ladang. Konflik yang terus-menerus dengan penduduk asli
menyebabkan orang Hakka berani mengambil resiko untuk keluar dari
tempat asal dan berimigirasi ke berbagai tempat di Tiongkok dan luar
negeri.

Orang Hakka di Indonesia sendiri terkonsentrasi di daerah Jakarta,


Aceh, Sumatera Utara, Batam, Sumatera Selatan (Palembang), Bangka-
Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin),
Sulawesi Selatan (Makasar), Sulawesi Utara (Manado), Ambon dan
Jayapura.

3. Kanton

6
Orang Kanton adalah penduduk yang berasal dari Guangzhou
(Hanzi , pinyin Guangzhou). Guangzhou sendiri adalah ibukota
dari Propinsi Guangdong dan merupakan kota terbesar di China bagian
selatan. Penduduknya banyak yang berpendidikan tinggi, serta terkenal
dengan teknik pengobatan tradisionalnya yang mujarab. Bahasa Kanton
(kantonis) atau Yu (Hanzi , pinyin guangdong hua) di Indonesia
sering disebut bahasa Konghu adalah salah satu dari dialek bahasa
Tionghoa yang dituturkan di daerah barat daya China (Guangdong),
Hong Kong, Makau, dan masyarakat keturunan Tionghoa di Asia
Tenggara. Bahasa Kanton dituturkan oleh hampir 70 juta orang di
seluruh dunia. Menurut penelitian dari ahli bahasa Han di China, dialek
Kanton merupakan salah satu dialek bahasa Han tertua yang masih
tersisa sekarang ini. Dialek Kanton dulunya digunakan secara luas pada
zaman Dinasti Tang.

Orang Kanton di Indonesia sendiri terkonsentrasi di daerah Jakarta,


Medan, Makassar dan Manado.

4. Tiochiu

Bahasa Tiochiu atau (Hanzi , pinyin Chaozhou) adalah sebuah


dialek bahasa yang termasuk rumpun bahasa bahasa Sino-Tibet. Dialek
ini mirip dengan bahasa Hokkian, karena itu penutur kedua bahasa
dapat cukup mengerti kedua bahasa ini meski tidak seluruhnya. Bahasa
Tiochiu boleh dikatakan adalah dialek Hokkian yang dipengaruhi oleh
dialek Kantonis dikarenakan letak geografisnya yang berada di utara
provinsi Guangdong dekat perbatasan dengan provinsi Fujian. Jumlah
penurur bahasa Tiochiu diperkirakan berjumlah 10-15 juta orang yang
tersebar di seluruh dunia. Orang-orang Tiochiu di Indonesia sendiri
berasal dari berbagai kota di Provinsi Guangdong, antara lain Jieyang,
Chaozhou, dan Shantou. Daerah asal orang Tiochiu biasa disebut
sebagai Chaoshan, gabungan dari kata Chaozhou dan Shantou.

Orang Tiochiu di Indonesia sendiri terkonsentrasi di daerah


Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan
Kalimantan Barat (Pontianak, Ketapang).

5. Hainan

Hainan (Hanzi , pinyin hainan) adalah sebuah propinsi yang


berbentuk kepulauan kecil yang terletak di paling selatan China

7
(wilayah Laut China Selatan). Nama Hainan atau di Indonesia lebih
dikenal dengan sebutan Hailam, mengacu pada pulau Hainan (
, pinyin hainan dao), pulau utama dari provinsi tersebut. Pulau ini
menjadi tujuan wisata utama oleh para turis lokal mau mancanegara
karena keindahan laut dan pantainya. Selama berabad-abad yang lalu,
pulau Hainan adalah bagian dari Provinsi Guangdong, namun pada
tahun 1988 pulau ini menjadi Provinsi yang berdiri sendiri dengan
ibukotanya adalah Haikou. Bahasa/dialek yang digunakan oleh orang
Hainan (Hailam) adalah dialek Hainan (Hanzi , pinyin: Hainan
hua). Jumlah penutur bahasa Hainan sendiri diperkirakan berjumlah
sekitar 1,5 juta orang yang tersebar di seluruh dunia.

Orang Hainan di Indonesia sendiri terkonsentrasi di daerah


Pekanbaru, Batam, dan Manado.

B. Sejarah Tionghoa
1. Pra Kemerdekaan Kebangkita nasonalisme di Hindia Belanda tidak terlepas dari
perkembangan yang terjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal 17 Maret
1900 di Batavia terbentuk Tiong Hoa Hwee Koan (THHK ) yang mendirikan
sekolah-sekolah. Inisiatif ini diikuti oleh etnis lain, seperti keturunan Arab
yang mendirikan Djamiat-ul Chair meniru model THHK.

Hal ini menyadarkan priyayi Jawa tentang pentingnya pendidikan bagi


generasi muda, sehingga dibentuklah Budi Utomo. Tahun 1909 di Buitenzorg
(Bogor) Serekat Dagang Islamiyah didirikan oleh RA Tirtoadisurya mengikuti model
Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa) yang dibentuk tahun 1906 di Batavia.
Bahkan pembentukan Serikat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas dari
pengaruh asosiasi yang lebih dulu dibuat oleh warga Tionghoa. Pendiri SI, Haji
Samanhudi, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi paguyuban tolong-
menolong orang Tionghoa di Surakarta. Samanhudi kemudian juga
membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing-nya orang Jawa. Lebih lanjut
dikatakan bahwa golongan Tionghoa turut memfasilitasi terjadinya Sumpah Pemuda,
dengan dihibahkannya sebuah gedung (SumpahPemuda) oleh Sie Kong Liong,
dan beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat duduk dalam kepanitiannya,
antara lain Kwee Tiam Hong dan tiga pemuda lainnya. Sin Po sebagai koran
Melayu Tionghoa juga banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi
yang bersifat nasionalis. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R.
Supratman pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po Sebelumnya,
pada tahun 1920-an Harian Sin Po memelopori penggunaan kata bumiputera
sebagai pengganti kata inlander di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti

8
oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal mengganti kata
Tjina dengan kata Tionghoa. Pada tahun 1931 Liem Koen Hian mendirikan
PTI, Partai Tionghoa Indonesia, bukan Partai Tjina Indonesia.

2. Masa Kemerdekaan
Pada tahun 1945-an Mayor Jhon Lie menyelundupkan barang-barang ke
Singapura untuk kepentingan pembiayaan republik. Ada pula tokoh lain
seperti Djiaw Kie Siong yang menyediakan rumahnya dipakai untuk rapat persiapan
kemerdekan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945.
Dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang
merumuskan UUD 45 terdapat 5 orang Tionghia, yaitu: Liem Koen Hian, Tan Eng
Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan Drs. Yap Tjwan Bing. Tony
Wen adalah orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di
Hotel Oranye Surabaya.

3. Pasca Kemerdekaan Pada jaman ORLA keluar Peraturan Pemerintah No.


10 Tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di
luar ibukota provinsi dan kabupaten. Pada jaman ORBA terdapat penerapan
ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonsia, atau yang lebih
populer disebut SBKRI, yang ditujukan kpada waga negara Indonesia (WNI) etnis
Tionghoa beserta keturunannya. Secara remi penerapan SBKRI sama artinya
dengan menempatkam WNI Tionghoa pada posisi status hukum yang
masih dipertanyakan. Pada jaman pemerintahan Presiden Abdurakhman Wahid,
orang Tionghoa secara resmi dijadikan suku bangsa Indonesia. Dan pada pemerintahan
Presiden Megawati, Imlek menjadi hari besar nasional

C. Sistem Budaya
Sistem budayanya berdasarkan pada kepercayaan tradisionalnya yang
meliputi :
1. Penghormatan kepada leluhur
2. Penghormatan kepada dewa-dewi
3. Tridharma, yang terdiri atas Taoisme, Konfusianisme, dan Budhisme
4. Konsep tiga alam, yaitu Alam Langit, Alam Bumi, dan Alam Baka.

Ajaran Agama Tao yang didalamnya terdapat konsep Yin dan


Yang menjadi acuan dalam berpikir. Artinya logo Yin Yang adalah
CERMINAN dari dunia dimana kita hidup sekarang. Hitam ya hitam saja,
putih ya putih saja. Tidak ada warna abu-abu. Hitam dan putih itulah
kenyataan yang ada di dunia kita, artinya di dunia ini tidak akan pernah
tercipta kedamaian SEJATI, di dunia ini tidak akan pernah tercipta

9
keselarasan SEJATI, selalu ada yang bertolak belakang. Yang ada hanya
saling mengisi, melengkapi, memahami kekurangan dan kelebihan
masing-masing (BALANCE). Contoh: pria dan wanita bersatu dalam
pernikahan. Salah satu KEBESARAN manusia dalah KEBEBASAN
menentukan target KEHIDUPAN nya (kebebasan memilih jalan hidupnya
sendiri). Mau jadi penyabar atau pemarah? Mau jadi pemalas atau rajin?
Mau jadi orang pandai atau bodoh? Mau jadi pengemis atau pendonatur?
Mau jadi orang jujur atau penipu? Mau jadi perampok atau pengusaha,
dsb. Semuanya harus di revisi sejakSEBELUM & SESUDAH kita lahir
ke dunia. Semuanya harus start dengan Kesadaran Jagat Raya. Agama
Tao memuat konsep-konsep yang telah lama ada, karena ia merupakan agama yang
tertua di dunia, sudah ada sejak 7000 tahun yang silam. Ia merupakan agama yang
berketuhanan, yaitu mengakui dan menyembah adanya Yang Maha Kuasa.
Agama ini merupakan akar utama dari kebudayaaan Tionghoa. Di samping itu
Orang Tionghoa juga mendasarkan hidupnya pada Budhisme, yang di Tiongkok telah
mengalami perubahan; yang terkenal dan amat dipuja ialah Amitabha Budha. Mereka
juga percaya adanya konsep inkarnasi dan karma.

D. Sistem Sosial
Sistem sosialnya mendasarkan pada Ajaran atau Filsafat Kong Hu
Cu. Filsafat Kong Hu Cu mengajarkan bagaimana hubungan antar sesama manusia,
berkisar sekitar soal kekeluargaan dan ketatanegaraan. Filsafatnya
bagaimana hubungan antara anak dan orangtuanya. Dalam pemujaan
leluhur dengan memelihara abu dalam rumah, ayah menjadi pemuka
upacara. Kewajiban ini kemudian diturunkan kepada anak laki-lakinya yang
sulung, begitu seterusnya. Anak perempuan tidak disebutkan dalam pemujaan
leluhur. Karena itu orang Cina menganggap anak laki-laki sebagai hal
yang sangat perlu. Anak laki- laki dibutuhkan bukan saja untuk
mempertahankan she-nya (nama keluarga), melainkan terutama menggantikan
ayahnya kelak untuk merawat abu lehuhur.

E. Sistem Ekonomi

10
Orang Tionghoa kebanyakan bekerja di bidang perekonomian,
terutama sebagai pedagang dan pengusaha. Kebanyakan orang
Tionghoa sukses dalam pekerjaannya. Banyak pula yang bekerja
sebagai karyawan, petani, penambang dan profesi lainnya.

a. Cina Benteng dikenal sebagai petani, nelayan atau peternak


babi, tetapi seiring dengan perkembangan zaman serta
pergesaeran lapangan pekerjan dari sector tradisional ke
sektor modern, tidak sediki Orang-orang Cina Benteng
mencapai sukses di bidang usaha atau profesi lainnya.
b. Suku Hokkiean umumnya pedagang, namun di Jawa dan
Pantai Barat Sumatra mereka bekerja sebagai petani dan
penanam sayuran, sedangkan di Riau bekerja sebagai
penangkap ikan.
c. Suku Hakka: di Jawa dan Madura mereka bekerja
sebagai pedagang, atau pengusaaha industri kecil. Di
Sumatra mereka bekerja di sektor pertambangan,
sedangkan di Kalimantan Barat banyak sebagai petani.
d. Suku Kanton di Jawa memiliki perusahaan dagang hasil
bumi, DI Sumatra mereka berprofesi sebagai petani
dan buruh tambang. Di Bangka merupakan kelompok
penting pekerja tambang, sedangkan di Palembang
sebagai buruh dalam industry minyak.

F. Kebudayaan Fisik
1. Bahasa
Bahasa Tionghoa ( / , / , atau ; Pinyin:
Hny, Huy, atau Zhngwn) adalah bagian dari rumpun bahasa Sino-
Tibet. Meskipun kebanyakan orang Tionghoa menganggap berbagai varian

11
bahasa Tionghoa lisan sebagai satu bahasa, variasi dalam bahasa-bahasa
lisan tersebut sebanding dengan variasi-variasi yang ada dalam misalkan
bahasa Roman; bahasa tertulisnya juga telah berubah bentuk seiring
dengan perjalanan waktu, meski lebih lambat dibandingkan dengan bentuk
lisannya, dan oleh sebab itu mampu melebihi variasi-variasi dalam bentuk
lisannya.
Sekitar 1/5 penduduk dunia menggunakan salah satu bentuk bahasa
Tionghoa sebagai penutur asli, maka jika dianggap satu bahasa, bahasa
Tionghoa merupakan bahasa dengan jumlah penutur asli terbanyak di
dunia. Bahasa Tionghoa (dituturkan dalam bentuk standarnya, Mandarin)
adalah bahasa resmi Tiongkok dan Taiwan, salah satu dari empat bahasa
resmi Singapura, dan salah satu dari enam bahasa resmi PBB. Istilah dan
konsep yang digunakan orang Tionghoa untuk berpikir tentang bahasa
berbeda dengan yang digunakan orang-orang Barat; ini disebabkan oleh
efek pemersatu aksara Tionghoa yang digunakan untuk menulis dan juga
oleh perbedaan dalam perkembangan politik dan sosial Tiongkok
dibandingkan dengan Eropa. Tiongkok berhasil menjaga persatuan budaya
dan politik pada waktu yang bersamaan dengan jatuhnya kerajaan
Romawi, masa di mana Eropa terpecah menjadi negara-negara kecil yang
perbedaannya ditentukan oleh bahasa. Sebuah perbedaan utama antara
konsep Tiongkok mengenai bahasa dan konsep Barat akan bahasa, ialah
bahwa orang-orang Tiongkok sangat membedakan Bahasa tertulis (wen)
dan bahasa lisan (yu). Pembedaan ini diperluas sampai menjadi
pembedaan antara kata tertulis (zi) dan kata yang diucapkan (hua). Sebuah
konsep untuk sebuah bahasa baku yang berbeda dan mempersatukan
bahasa lisan dengan bahasa tertulis ini dalam bahasa Tionghoa tidaklah
terlalu menonjol. Ada beberapa varian bahasa Tionghoa lisan, di mana
bahasa Mandarin adalah yang paling penting dan menonjol. Tetapi di sisi
lain, hanya ada satu bahasa tertulis saja. Bahasa Tionghoa lisan adalah
semacam bahasa intonasi yang berhubungan dengan bahasa Tibet dan
bahasa Myanmar, tetapi secara genetis tidak berhubungan dengan bahasa-
bahasa tetangga seperti bahasa Korea, bahasa Vietnam, bahasa Thai dan
bahasa Jepang. Meskipun begitu, bahasa-bahasa tersebut mendapat
pengaruh yang besar dari bahasa Tionghoa dalam proses sejarah, secara
linguistik maupun ekstralinguistik. Bahasa Korea dan bahasa Jepang
sama-sama mempunyai sistem penulisan yang menggunakan aksara
Tionghoa, yang masing-masing dipanggil Hanja dan Kanji. Di Korea
Utara, Hanja sudah tidak lagi digunakan dan Hangul ialah satu-satunya
cara untuk menampilkan bahasanya sementara di Korea Selatan Hanja
masih digunakan. Bahasa Vietnam juga mempunyai banyak kata-kata

12
pinjam dari bahasa Tionghoa dan pada masa dahulu menggunakan aksara
Tionghoa.
2. Sistem Organisasi Sosial
a. Sistem Kekerabatan
Dalam masyarakat orang Tionghoa di Indonesia, ada perbedaan
antara lapisan buruh dan lapisan majikan, golongan orang miskin dan
golongan orang kaya. Namun perbedaan ini tidaklah mencolok karena
golongan buruh ini tidak menyadari kan kedudaukannya, demikian juga
sebaliknya. Hal ini disebabkan karena masih adanya ikatan kekeluargaan
antara si buruh dan si majikan. Tionghoa peranakan, yaitu keturunan
dari orang Tionghoa Totok yang menikah dengan orang pribumi, yang
kebanyakan orang-orang Hokkien, merasa dirinya lebih tinggi dari orang
Tionghoa Totok, karena mereka menganggap Tionghoa Totok umumnya
berasal dari kuli dan buruh. Sebaliknya Tionghoa Totok memandang rendah
Tionghoa Peranakan karena dianggap mempunyai darah campuran.
Dengan adanya pemisahan pendidikan bagi anak-anak Tionghoa
sekarang ini, yaitu sebagian mengikuti pendidikan Cina yang berorientasi ke negara
Cina dan sebagian lagi mengikuti pendidikan Indonesia dan Barat, maka telah
timbul pemisahan antara golongan yang pendidikan yang berlainan itu. Masing-
masing menganggap lawannya sebagai golongan yang lebih rendah. Orang-
orang kaya dalam masyarakat Tionghoa umumnya tidak akan
bekerjasama dengan orang yang miskin . Demikianlah stratifikasi sosial orang
Tonghoa di Indonesia berdasarkan orientasi pendidikan dan tingkat kekayaan.

b. Kelompok kekerabatan

Orang Tionghoa menganut sistem patrilineal. Kelompok


kekerabatan terkecil bukanlah keluarga batih, tetapi keluarga luas yang
virilokal. Karena itu hubungan dengan kerabat pihak ayah lebih erat, tetapi
sekarang menunjukkan hubungan antara keluarga pihak ibu sama
eratnya dengan pihak ayah. Hal ini dikarenakan saat kehidupan etnis
tionghoa sudah menetap, mereka membentuk perkampungan yang
mula-mula terdiri dari garis keturunan ayah. Mulai dari semua saudara
laki-laki ayah dengan anak laki-lakinya dan eluarga kakek dengan
saudara laki-lakinya.
c. Nama Orang Tionghoa

13
Suku Tionghoa-Indonesia sebelum zaman Orde Baru rata-rata
masih memiliki nama Tionghoa dengan 3 karakter. Walaupun seseorang
Tionghoa di Indonesia tidak mengenal karakter Han, namun biasanya
nama Tionghoa di Indonesia tetap diberikan dengan cara romanisasi.
Karena mayoritas orang Tionghoa di Indonesia adalah pendatang dari
Hokkian, maka nama-nama Tionghoa berdialek Hokkian lebih lazim
daripada dialek-dialek lainnya. Di zaman Orde Baru, di bawah
pemerintahan Suharto, warganegara Indonesia keturunan Tionghoa
dianjurkan untuk mengindonesiakan nama Tionghoa mereka dalam arti
mengambil sebuah nama Indonesia secara resmi. Misalnya Liem Sioe
Liong diubah menjadi Soedono Salim. Walaupun demikian, di dalam
acara kekeluargaan, nama Tionghoa masih sering digunakan;
sedangkan nama Indonesia digunakan untuk keperluan surat-menyurat
resmi. Namun sebenarnya, ini tidak diharuskan karena tidak pernah
ditetapkan sebagai undang-undang dan peraturan yang mengikat. Hanya
tarik-menarik antara pendukung teori asimilasi dan teori integrasi
wajar di kalangan Tionghoa sendiri yang menjadikan anjuran ini
dipolitisir sedemikian rupa. Anjuran ganti nama tersebut muncul karena
ketegangan hubungan Republik Rakyat Tiongkok dengan Indonesia
setelah peristiwa G30S. Tahun 1966, Ketua Lembaga Pembinaan
Kesatuan Bangsa (LPKB), Kristoforus Sindhunata menyerukan
penggantian nama orang-orang Tionghoa demi pembangunan karakter
dan nasionalisme bangsa. Seruan ini mendapat kecaman dari kalangan
orang Tionghoa sendiri dan cemoohan dari kalangan anti-Tionghoa.
Yap Thiam Hien secara terbuka menyatakan bahwa nama tidak dapat
menjadi ukuran nasionalisme seseorang dan ini juga yang menyebabkan
nasionalis terkemuka Indonesia itu tidak mengubah namanya sampai
akhir hayatnya. Cemoohan datang dari KAMI dan KAPPI yang pada
waktu itu mengumandangkan nada-nada anti-Tionghoa yang
menyatakan bahwa ganti nama tidak akan mengganti otak orang
Tionghoa serta menyerukan pemulangan seluruh orang Tionghoa

14
berkewarganegaraan RRT di Indonesia ke negara leluhurnya. Ganti
nama ini memang merupakan satu kontroversi karena tidak ada kaitan
antara pembangunan karakter dan nasionalisme bangsa dengan nama
seseorang, juga karena tidak ada sebuah nama yang merupakan nama
Indonesia asli.
Nama-nama pada etnis Tionghoa Indonesia terdiri atas dua unsur,
yaitu marga (se) dan nama pribadi. Sebagaimana diketahui, selama
berabad-abad, etnis Tionghoa menganut sistem patrilineal.[2] Oleh
karena itu, marga diturunkan dari pihak lelaki. Marga diletakkan pada
posisi depan. Perhatikanlah contoh beberapa nama berikut ini. 1. Can
San Tung 2. Ciong Tin Nio 3. Gouw Boen Hoat 4. Kan Liang Bie 5. Li
Bun Hin 6. Liaw Kap Sui Kata-kata seperti Can, Ciong, Gouw, Kan, Li,
dan Liaw merupakan beberapa marga yang sering kita jumpai di
masyarakat. Dalam beberapa kasus, orang mengira bahwa orang-orang
yang bermarga sama pastilah bersaudara. Sebagai contoh, ada tiga
orang yang bernama Liaw Kap Sui, Liaw Sip Tjong, dan Liaw Ten Li.
Ketiganya bermarga Liaw. Namun, belum tentu mereka bersaudara.
Bisa saja itu terjadi karena marga mereka mirip bunyinya. Oleh karena
itu, untuk memastikannya, kita perlu menelusuri pohon keluarganya.
Sementara itu, nama pribadi diletakkan setelah marga. Dalam kalangan
etnis Tionghoa, orang tua biasanya memberikan anaknya nama pribadi
yang mempunyai arti baik. Poerwanto menjelaskan, "Kepada anak laki-
laki dipilih kata-kata yang berarti gagah, pandai, sopan; sedangkan,
untuk anak perempuan dipilih kata-kata yang mengadung arti harum,
cantik, lemah-lembut, dan sebagainya."[3] Nama pribadi biasanya
terdiri atas dua kata. Sebagai contoh, Liem Sin Kiat, Oey Sah Wah, Ong
Lan Tin, Sim Le An, Sung Cun U, Tan Bong Kian, The Min Nio, dan
Thio Sang Liem. Namun, ada pula sejumlah nama yang terdiri atas satu
kata, seperti Gouw Ringgit, Liem Yanto, Oey Elok, Sim Hengki, Tan
Kasih, dan Tjio Olih. Pada umumnya nama pribadi yang satu kata itu
sudah mengalami asimilasi budaya. Oleh karena itu, digunakanlah
nama-nama yang sudah lazim di masyarakat. Terdapat pengecualian
pada penamaan anak adopsi. Anak etnis Tionghoa diadopsi karena
beberapa sebab, seperti persoalan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.
Uniknya, anak itu tidak diadopsi orang lain, tetapi oleh kerabatnya
sendiri. Sebagai tanda adopsi, kerabat yang mengadopsinya harus
menyerahkan sejumlah uang kepada orang tuanya. Setelah resmi
diadopsi, nama anak itu pun berubah menjadi gobang atau perak, sesuai
dengan nama mata uang yang diberikan pengadopsinya.[4] Proses
adopsi itu berlangsung sampai anak itu dewasa. Setelah dewasa, anak

15
itu diberi pilihan untuk kembali ke orang tua kandung atau tetap tinggal
bersama orang tua angkatnya. Penamaan pada etnis Tionghoa
memunculkan polemik pada orde baru. Pada 1966 terbitlah putusan
pemerintah yang mengharuskan seluruh etnis Tionghoa mengubah
namanya agar lebih bernuansa Indonesia. Karena alasan politik itulah
ribuan etnis Tionghoa membuat nama baru. Uniknya, nama baru itu
masih mencerminkan nama lama mereka.[5] Pada nama baru itu tersisip
marga mereka. Kalau pada nama lama terletak di depan, pada nama
baru marga terletak di belakang. Sebagai contoh, Oey Eng Min
(Hamzah Wijaya), Oey Tiong Goan (Suryadi Wibowo), Kan Liang Lie
(Ramli Sukanta), Oey Le Ing (Leni Wijaya), dan Oey Yan Wie (Gowi).
Sementara itu, ada pula yang menyisipkan nama pribadinya, seperti
Liaw Kin Lan (Lalan), Liem Tjan Sun (Tarmono), dan Tjio Wilyang
(Yayang). Mengapa mereka menyisipkan unsur nama lama itu?
Tampaknya unsur itu, terutama marga, memiliki nilai historis yang kuat.
Bagaimana seandainya Anda mempunyai marga yang sudah diwariskan
generasi demi generasi, tetapi harus terputus karena Anda harus
membuat nama baru? Anda tentunya berupaya mempertahankan
identitas itu karena sudah menjadi warisan dari leluhur. Oleh karena itu,
etnis Tionghoa Indonesia pun mengupayakan unsur itu terlihat pada
nama baru mereka.

d. Kedudukan wanita

16
Dahulu kedudukan wanita sangatlah rendah. Pada waktu masih anak-
anak, saudara laki-laki mereka memperlakukan mereka dengan baik,
tetapi pada waktu meningkat dewasa mereka dipingit di dalam rumah.
Sesudah kawin mereka harus tunduk kepada suami mereka dan dikuasai oleh
mertuanya. Mereka tidak mendapat bagian dalam kehidupan di luar rumah.
Keadaan demikian sekarang sudah ditinggalkan. Wanita dapat memasuki
perkumpulan-perkumpulan, memasuki sekolah, dan di dalam kehidupan
ekonomi peranan wanita sebagai pembantu suaminya memegang peranan
dalam perdagangan. Pada masa kini wanita berhak mendapat harta yang
sama dengan anak laki-laki dalam hal warisan, bahkan kadang-kadang mendapat
tugas untuk mengurus abu leluhurnya, sehingga suami harus ikut
tinggal di rumah orang tuanya secara uxorilokal.
e. Perkawinan

Pernikahan tradisional etnis Tionghoa atau biasa disebut Chio


Tau (Chio Tao) adalah prosesi upacara yang sangat kental dengan unsur
budaya. Secara harfiah, Chio Tau berarti menata kepala atau
menata rambut. Masyarakat Tionghoa yang belum melakukan Chio
Tau berarti belum sah secara tradisi. Tradisi sekali seumur hidup Chio
Tau bukanlah sembarang upacara bagi warga Tionghoa. Tradisi ini
merupakan titik balik dari dunia remaja dan dunia dewasa di
hadapan Tuhan.

Prosesi pernikahan Tionghoa ini umumnya memang tak lagi


dilakukan oleh pasangan pengantin modern. Yang masih memelihara
tradisi tata cara pernikahan Chio Tau ini adalah peranakan Tionghoa di

17
daerah Tangerang, Bekasi, Singkawang; terutama di kalangan
komunitas peranakan Tionghoa yang tua. Bahkan di daratan Tiongkok,
upacara tradisional ini hampir punah akibat modernisasi, pergeseran
budaya, keterbatasan biaya dan lingkungan.

Di Indonesia, Chio Tau juga merupakan seni dan budaya hasil


asimilasi etnis Tionghoa di negeri ini. Chio Tau biasa dilaksanakan
dengan berbagai ritual dan busana pengantin tradisional khas etnis
Tionghoa, yang disebut Hwa Kun. Busana tradisional pengantin ini
memiliki ciri khas berupa penggunaan riasan kepala dengan belasan
tusuk konde, penggunaan cadar, serta kain merah bermotif dengan
sulaman emas untuk pengantin perempuan.
Bagian unik lainnya dari ritual pernikahan ini terdapat pada
pemakaian busana pernikahan tersebut. Mempelai wanita akan dibantu
seorang juru rias (atau pembantu juru rias) yang mempersiapkan
segala sesuatunya hingga seluruh rangkaian acara selesai. Upacara
dimulai dengan kedua orang tua perempuan yang dipimpin seorang juru
rias, bersembahyang di depan meja Sam Kai (altar) untuk memohon
restu dari Sang Pencipta. Setelah itu sembahyang dilanjutkan di dalam
rumah, tepatnya di depan meja leluhur. Setelah selesai, barulah cadar
dipasangkan kepada mempelai wanita sebelum ia dijemput mempelai
pria dan keluarganya.
Persiapan Mempelai Pengantin :
Mempelai Pria : Orang tua memakaikan baju pengantin pria; kemudian
keluarga melakukan doa sembahyang bersama.
Mempelai Wanita : Orang tua memakaikan baju pengantin, menyisir
rambut pengantin wanita. Rambut pengantin disisir sebanyak tiga kali
dengan ditarik lurus. Lalu adik paling kecil dari mempelai wanita
menyisir dengan harapan panjang jodoh, panjang umur, dan panjang
rejeki. Kemudian keluarga melakukan doa sembahyang bersama.
Selanjutnya orang tua menutup cadar mempelai wanita.

18
Perarakan Pengantin Pria
Keluarga pengantin pria berjalan ke rumah pengantin wanita. Pengantin
pria diiringi tandu pengantin wanita, kotak persembahan, musik, dan
barongsai.

Pengantin Pria Menjemput Pengantin Wanita


Adik pengantin wanita menjemput rombongan pengantin pria di depan
rumah sambil membawa teh. Kemudian keluarga pengantin wanita
mengantar pengantin wanita masuk ke tandu.

Per-arakan Pengantin Wanita Pengantin wanita diarak dengan


tandu. Orang tua memecahkan tempayan air. Artinya mereka tidak
mau mencampuri urusan keluarga baru. Pengantin wanita melempar
kipas keluar tandu. Artinya dia meninggalkan sifat buruknya.

19
Prosesi Melangkahi Api Pengantin pria menuntun pengantin wanita
keluar tandu. Pengantin wanita berjalan melangkahi bara api yang
menyala. Artinya pengantin wanita membersihkan diri sebelum
memasuki keluarga baru.

Penghormatan Kepada Tuhan di meja Sam Kai


Pengantin pria dan pengantin wanita memberi hormat ke langit dan
memohon berkat kepada Tuhan. Di awal upacara, orangtua mempelai
memasang lilin di meja Sam Kai. Dilanjutkan dengan memasang dupa
(hio) oleh orang tua agar upacara berkalan lancar. Pengantin juga ikut
memasang hio di meja Sam Kai.

20
Penghormatan Kepada Orang Tua
Pengantin pria dan wanita memberi hormat dan memohon berkat
kepada orang tua pengantin pria dan wanita.

Penghormatan Pengantin
Pengantin pria dan wanita saling berhadapan dan memberi hormat.
Pengantin pria membungkuk tiga kali menghormati mempelai wanita.
Hal ini melambangkan niat baik dan penghormatan bagi teman hidup.

Pembukaan Cadar
Pengantin pria membuka cadar pengantin wanita dengan
menggunakan tongkat atau kipas. Selanjutnya pengantin pria lalu
melepas oto yang dipasang di pengantin perempuan, sementara

21
pengantin perempuan membuka satu kancing baju pengantin lelaki.
Hal ini sebagai lambang dimulainya kehidupan rumah tangga.

Upacara Minum Teh (Teh Pai) Pengantin pria dan wanita memberi
penghormatan teh dengan cara menyuguhkan teh kepada orang tua
dan keluarga dekat; yang dibalas dengan pemberian angpao sebagai
bekal hidup. Dengan ini, penikahan Chio Tau telah sah dilakukan.

Prosesi Minum Arak


Pengantin pria dan wanita saling berhadapan dan meminum minuman
arak.

22
f. Kematian

Adat upacara kematian suku Tionghoa dilatar belakangi oleh


kepercayaan yang mempercayai bahwa dalam relasi seseorang dengan
Tuhan atau kekuatan-kekuatan lain yang mengatur kehidupan baik
langsung maupun tidak langsung,
berlaku hal-hal sebagai berikut :
Adanya reinkarnasi bagi semua manusia yang telah meninggal (cut
sie)
Adanya hukum karma bagi semua perbuatan manusia
Leluhur yang telah meninggal (arwah leluhur) pada waktu-waktu
tertentu dapat diminta datang untuk dijamu (Ceng beng)
Menghormati para leluhur dan orang pandai (tuapekong)
Kutukan para leluhur, melalui kuburan dan batu nisan yang dirusak
(bompay)
Apa yang dilakukan semasa hidup (di dunia) juga akan dialami di
alam akhirat.
Kehidupan sesudah mati akan berlaku sama seperti kehidupan di dunia
ini namun dalam kualitas yang lebih baik Upacara kematian terdiri atas
empat tahap yaitu :
A. Belum masuk peti sesaat setelah terjadinya kematian, anak-cucu
wajib memberi uang yang nominalnya gak boleh besar (maksimal
mungkin Rp. 10.000), uang tersebut kemudian dikumpulkan dalam
kepalan jenazah Jenazah dimandikan dan dibersihkan, lalu diberi
pakaian. Semua pakaian tersebut harus dilubangi dengan hio
menyala. Akan lebih bagus jika pakaian yang sering digunakan oleh
jenazah semasa hidup. Pada altar akan ada 2 tempat dupa dimana
yang dekat foto adalah untuk hio dari keluarga dan yang paling luar

23
adalah untuk hio dari tamu. Di sisi kiri dan kanan diisi dengan
pakaian yang meninggal. Sepatu yang dipakai harus dari kain.
Apabila yang meninggal pakai kacamata maka kedua kaca harus
dipecah yang melambangkan bahwa dia telah berada di alam lain.

B. Upacara masuk peti dan penutupan peti. Pemasangan mutiara oleh


anak laki-laki engkong. Proses penutupan muka engkong setelah
selesai semua, peti engkong dipenuhi uang akhirat Harus penuh
sama uang akhirat, hanya tersisa bagian muka Dimata, hidung, mulut
engkong ane ada mutiara Kedua mata, lubang hidung, mulut, telinga
jenazah diberi mutiara sebagai lambing penerangan untuk berjalan
ke alam lain Seluruh keluarga harus menggunakan pakaian tertentu.
Anak laki-laki harus memakai pakaian dari blacu yang dibalik dan
diberi karung goni. Kepala diikat dengan sehelai kain blacu yang
diberi potongan goni. Demikian pula pakaian yang dipakai oleh anak
perempuan namun ditambah dengan kekojong yang berbentuk
kerucut untuk menutupi kepala. Cucu biasanya memakai baju putih
polos. Semua ini sebagai tanda dari berkabung. Anak-cucu harus
membakar kertas sembahyang terus menerus di samping jenazah dan
dibawah peti diletakkan pelita minyak. Selama itu setiap hari selama
masih dirumah duka mengganti sam sang (ayam, babi, ikan), buah 3
macam, semangka tak perlu ganti (dibanting saat akan berangkat),
nanas, kue 3 macam, susu, teh , kopi, 3 macam sayur kesukaan.
Sesudah masuk peti, ada upacara penutupan peti yang dipimpin oleh
hweeshio atau cayma. Bagi yang beragama Budha dipimpin oleh
Biksu atau Biksuni, sedangkan penganut Konfusius melakukan
upacara Liam keng. Upacara ini cukup lama, dilaksanakan di
sekeliling peti mati dengan satu syarat bahwa air mata peserta pada
upacara penutupan peti tidak boleh mengenai mayat. Rumah-
rumahan dan perabotan. Ini nantinya dibaka Bagi anak cucu yang
berada (kaya), mulai menyiapkan rumah-rumahan yang diisi
dengan segala perabotan rumah tangga yang dipakai semasa hidup
almarhum. Semuanya harus dibuat dari kertas. Bahkan
diperbolehkan diisi secara berlebih-lebihan, termasuk adanya para
pembantu rumahtangga. Semua perlengkapan ini dapat dibeli pada
toko tertentu Setiap tamu-tamu yang datang harus di sungkem (di
soja) oleh anak-anaknya, khusus anak laki-laki.Di atas meja kecil
yang terletak di depan peti mati, selalu disediakan makanan yang
menjadi kesukaan semasa almarhum masih hidup. Upacara ini
berlangsung berhari-hari. Paling cepat 3 atau 4 hari. Makin lama

24
biasanya makin baik. Dilihat juga hari baik untuk pemakaman.
Selama proses penutupan peti ini, anak cucu harus sujud menghadap
ke peti engkong. Hampir 15 menit sujud. Selama peti mati masih di
dalam rumah, harus ada sepasang lampion putih yang selalu menyala
di depan rumah. Hal ini menandakan bahwa ada orang yang
meninggal di rumah tersebut.

C. Upacara pemakaman. Menjelang peti akan diangkat, diadakan


penghormatan terakhir. Dengan dipimpin oleh hwee shio atau
cayma, kembali mereka melakukan upacara penghormatan. Untuk
orang kaya, diadakan meja persembahan yang memanjang ? 2
sampai 5 meter. Di atas meja disediakan macam-macam jenis
makanan dan buah-buahan. Pada bagian depan meja diletakkan
kepala babi dan di depan meja berikutnya kepala kambing. Makanan
yang harus ada pada setiap upacara kematian adalah sam seng,
yang terdiri dari lapisan daging dan minyak babi (Samcan), seekor
ayam yang sudah dikuliti, darah babi, telur bebek. Semuanya direbus
dan diletakkan dalam sebuah piring lonjong besar. Anak laki-laki
pegang bambu/rotan Putra tertua memegang photo almarhum dan
sebatang bambu yang diberi sepotong kertas putih yang bertuliskan
huruf Cina, biasa disebut Hoe. Ia harus berjalan dekat peti mati,
diikuti oleh saudara-saudaranya yang lain. Begitu peti mati diangkat,
sebuah semangka dibanting hingga pecah sebagai tanda bahwa
kehidupan almarhum di dunia ini sudah selesai. Sujud ke arah peti
yang lagi diangkat. dalam perjalanan menuju tempat pemakaman, di
setiap persimpangan, semua anak harus berlutut menghadap orang-
orang yang mengantar jenasah. Demikian pula setelah selesai
penguburan. Proses sesaji dan membakar uang akhirat. Setibanya di
pemakaman, kembali diadakan upacara penguburan. Memohon
kepada dewa bumi (toapekong tanah) agar mau menerima jenasah
dan arwah almarhum, sambil membakar uang akhirat. Setelah itu
penurunan peti mati, disini pihak keluarga dilarang melihat
penurunan peti mati dan termasuk tamu pengunjung. (salah satu
kepercayaan masyarakat tionghoa, bila melihat turunnya peti. ada
kemungkin menyusul si meninggal atau usahanya jatuh atau
meninggal). Setelah itu penaburan kembang ke liang kubur dengan
dibarengi doa, dan setiap pihak keluarga mengambil satu gegam
tanah dan dilempar kepeti mati sebagai tanda menghormati si
meninggal. Itu gandum dll nya. Setalah selesai resesi ini dilanjuti
pemuka agama dengan pembagian gandum, koin, kacang ijo, jagung

25
sebagai simbolik si meninggal memberikan berkah kepada pihak
keluarga( semangkin banyak mendapatkanya semangkin banyak
rejekinya). Setibanya di rumah, mereka harus membasuh muka
dengan air kembang. Sekedar untuk melupakan wajah almarhum.
Semenjak ada yang meninggal sampai saat tertentu, semua keluarga
harus memakai pakaian dan tanda berkabung terbuat dari sepotong
blacu yang dilikatkan di lengan atas kiri. Tidak boleh memakai
pakaian berwarna ceria, seperti : merah, kuning, coklat, oranye Di
rumah disediakan meja pemujaan, rumah-rumahan dan tempat tidur
almarhum. Setiap hari harus dilayani makannya seperti semasa
almarhum masih hidup.

D. Upacara sesudah pemakaman biasanya terdiri dari :


Meniga hari (3 hari sesudah meninggal) Sesudah 3 hari meninggal
seluruh keluarga melakukan upacara penghomatan dan peringatan di
tempat jenasah berada (pergi ke kuburan almarhum jam 2 pagi).
Mereka membawa makanan, buah-buahan, dupa, lilin, uang akhirat.
Dengan memakai pakaian berkabung/blacu mereka melakukan
upacara penghormatan (soja dan kui). Tak lupa mereka juga
membakar uang akhirat. Pulang ke rumah, kembali mencuci muka
dengan air kembang Menujuh hari (7 hari sesudah meninggal)
Seperti halnya upacara meniga hari, seluruh keluarga melakukan
upacara penghomatan dan peringatan di tempat jenasah berada
(kembali ke kuburan ). Mereka membawa rumah-rumahan, makanan
dan buah-buahan serta uang akhirat. Lilin dan dupa ( hio )
dinyalakan. Seluruh rumah-rumahan dan sisa harta yang perlu
dibakar; dibakar sambil melakukan upacara mengelilingi api
pembakaran. Sesudah selesai, tanah sekepal / segenggam diambil,
diserakkan ke atasnya. 40 hari sesudah meninggal Pada hari ke 40 ini
kembali anak cucu dan keluarga melakukan upacara penghormatan
di tempat jenasah berada ( kuburan). Semua baju duka dari blacu dan
karung goni dibuka dan diganti baju biasa. Mereka masih dalam
keadaan berkabung, namun telah rela melepaskan arwah si
almarhum ke alam akhirat. Sebagai tanda tetap berkabung, semua
anak cucu memakai tanda di lengan kiri atas; berupa sepotong kain
blacu dan goni. Tiap-tiap tahun memperingati hari kematian Satu
tahun dan tahun-tahun berikutnya, akan selalu diperingati oleh anak
cucunya dengan melakukan soja dan kui sebagai tanda berbakti
dan menghormati. Peringatan tahunan ini berupa upacara
persembahan.

26
Bagi keluarga yang berada, di atas meja persembahan diletakkan
berbagai macam makanan, buah-buahan, minuman, antara lain teh
dan kopi, manisan minimum 3 macam, rokok, sirih sekapur,
sedangkan makanan yang paling utama adalah samseng 2 pasang,
lilin merah sepasang dan hio. Senja hari sebelum upacara, harus
dinyalakan lilin merah berpasang-pasang tergantung pada jumlah
orang / leluhur yang akan diundang. Maksud dari upacara ini adalah
meminta kepada dewa bumi (toapekong tanah) untuk membukakan
jalan bagi para arwah yaitu dengan cara membakar uang akhirat
(kertas perak dan kertas emas ).

g. Sistem Pengetahuan
1) Feng Shui
a. adalah salah satu ilmu dari agama Tao, yang merupakan metodologi
peramalan serta analisis tata letak. Feng Shui sendiri berasal dari
gabungan kata Feng yang berarti angin (arah) dan Shui yang berarti air
(tempat). Kemungkinan ilmu ini telah ada dan berkembang bahkan sebelum
bangsa Tiongkok kuno mengenal kompas, di mana penentuan kondisi suatu
tempat pada mulanya hanya melihat perpaduan unsur angin dan air saja. Tiga
konsep utama Feng Shui, adalah:
Aliran energi (Chi)
Keseimbangan Yin dan Yang
Interaksi kelima unsur alam semesta, yaitu kayu, api, logam,
tanah, dan air
2) Kitab Yi Jing (baca: I Ching ) Secara harfiah berarti Kitab (tentang )
Perubahan.
Falsafah Perubahan I Ching merupakan cikal bakal dari berbagai ilmu
metafisika China, seperti akupunktur, akupreser,Feng Shui , Ilmu Bentuk
Wajah, Ilmu Telapak Tangan, dan lain sebagainya. I Ching inilah yang
pertama kali memperkenalkan konsep tentang Pengkondisian Minus (-)
dan Plus (+), atau Yin dan Yang dalam sejarah peradaban manusia. Falsafah
mengenai Minus dan Plus merupakan komponen paling baku bagi ilmu apa
pun, baik ilmu yang bersifat fisik / ilmiah maupun yang berbau supernatural.
3) Pengobatan tradisional Pengobatan ini termasuk pengobatan herbal,
akupunktur, dan pijat Tui Na, yang digolongkan ke dalam
pengobatan Timur.
4) Kung Fu / Wu Su
Kung Fu adalah ilmu bela diri dari Tiongkok. Di masa lalu disebut kun
dao atau Kuntao Namun istilah Kuntao sekarang sudah sangat jarang
digunakan. Seiring dengan makin terbukanya negara Tiongkok, berbagai ilmu bela
diri kung fu digabung dan distandarkan menjadi suatu bentuk olahraga yang

27
dapat dipertandingkan, yakni Wu Shu. Wu Shu sendiri secara harfiah
berarti seni menghentkan kekerasan
5) Astrologi Kalender Tionghoa adalah kalender lunisolar yang dibentuk dengan
menggabungkan kalender matahari dan kalender bulan.
6) Shio
Shio adalah Zodiak Tionghoa yang memakai nama hewan untuk melambangkan
tahun, bulan dan waktu. Setiap individu diasosiasikan dengan satu shio sesuai
dengan tanggal kelahirannya. Menurut legenda, ketika Sang Budha hendak
meninggalkan bumi, beliau memerintahkan semua binatang untuk hadir di
hadapannya. Hanya dua belas binatang yang muncul. Pertama datanglah tikus,
kemudian kerbau, macan, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet,
ayam, anjng, dan yang terakhir babi. Sebagai penghargaan, Sang
Budha menamai satu tahun sesuai dengan nama dan urutan kedatangan
binatang-binatang itu. Kemudian beliau menyatakan bahwa setiap hewan yang
menguasai tahun yang dihadiahkan, diijinkan untuk memberikan sifat-
sifatnya kepada setiap anak manusia yang lahir dalam tahun itu. Menurut
kepercayaan Tionghoa, binatang yang menguasai tahun kelahiran seseorang
mempunyai pengaruh yang amat dalam terhadap kehidupan orang tersebut.
7) Klenteng dan Vihara
Klenteng pada dasarnya berarsitektur tradisional Tionghoa dan
berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat, selain fungsi spiritual.
Istilah klenteng hanya terdapat di Indonesia. Dipercaya asal kata
klenteng dari bunyi teng teng dari lonceng di dalam klenteng sebagai bagian
ritual ibadah. Di Tiongkok disebut bio atau miao. Pada mulanya
merupakan tempat penghormatan pada leluhur (rumah abu), para
suci (dewa/dewi), serta tempat mempelajari berbagai ajaran agama
etnis Tionghoa (Budha, Konghucu, dan Tao).
Vihara berarsitektur lokal dan biasanya berfungsi spiritual saja.
Namun ada juga yang berarsitektur tradisional Tionghoa seperti
Vihara Buddhis aliran Mahayana yang memang berasal dari Tiongkok.
Vihara adalah tempat melaksanakan upacara keagamaan Budha.
Dengan adanya peristiwa G30S yang menyebabkan pelarangan
kebudayaan Tionghoa, maka klenteng terancam ditutup, sehingga banyak
klenteng yang mengubah nama menjadi vihara

G. Kesenian
1. Bianzhong

28
Meski Bianzhong (Hanzi : ) telah ada sejak ribuan tahun
yang lalu, namun alat musik kuno dari Tiongkok ini masih terus
dimainkan hingga hari ini. Bahkan tahun lalu, penyanyi lagu-lagu
rakyat Tiongkok yang terkenal dengan suara sopran-nya, Gong Linna,
melakukan pertunjukkan di dua acara Perayaan Tahun Baru Imlek,
dimana ia menyanyikan lagu-lagu karangan suaminya, Robert Zollitsh,
yang berkebangsaan Jerman, yang juga memainkan Bianzhong.
Seberapa jauh sebenarnya kita mengenal alat musik yang menakjubkan
ini?

Bianzhong merupakan alat musik Tiongkok kuno yang terdiri dari satu
rangkaian lonceng. Alat musik ini terbuat dari perunggu dan digantung
pada sebilah papan kayu. Sebuah alat pemukul yang menyerupai palu
digunakan untuk membunyikan lonceng-lonceng tersebut sehingga
menghasilkan melodi yang indah.

Bianzhong memiliki beragam bentuk dan setiap lonceng-nya


digantung pada papan kayu menurut nada yang dihasilkan. Lonceng-
lonceng ini memiliki bagian yang menonjol seperti lensa dan
permukaan luarnya terbuat dari baja. Bentuknya tersebut memampukan
lonceng-lonceng ini untuk mengeluarkan dua nada berbeda saat
dipukul, tergantung dari bagian yang terkena pukulan: bagian depan
atau samping. Rentang nada dari setiap lonceng sebanding dengan 4
atau 5 jarak nada pada piano. Lonceng-lonceng ini juga menghasilkan
nada yang serupa dengan piano.

29
2. Bian Lian

Bian Lian ( Hanzi : ; Pinyin : Bian Lin; secara harfiah


berarti mengubah wajah atau face changing adalah sebuah seni opera
drama Tiongkok kuno yang berasal dari Chengdu, propinsi Sichuan;
yang juga merupakan bagian dari rangkaian pertunjukan seni Opera
Sichuan yang terkenal. Pelakon akan mengenakan kostum berwarna
cerah dengan diiringi musik yang dramatis. Tentunya mereka juga
menyiapkan-mengenakan berbagai topeng dengan beraneka corak dan
warna; dimana biasanya menggambarkan karakter-karakter yang
terkenal dari dunia seni opera Tiongkok.

Pertunjukan ini memang sangat istimewa, karena pemain yang


menguasai teknik Bian Lian bisa mengubah tampilan wajahnya dalam
hitungan detik di atas panggung di depan banyak penonton. Mereka
bisa melakukan perubahan itu berkali-kali hanya dalam tempo satu
menit. Dalam performanya, para pemain akan mengubah wajahnya
dengan ditutupi topeng; dari satu wajah ke wajah yang lain secara
seketika dengan babatan kipas angin, menggerakan kepala, atau gerakan
tangan yang cepat.

3. Tarian Naga

Tarian Naga (Hanzi : ; pinyin : w lng) atau disebut juga


Liong di Indonesia adalah suatu pertunjukan dan tarian tradisional
dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa. Seperti juga Tarian Singa atau
Barongsai, tarian ini sering tampil pada waktu perayaan-perayaan
tertentu. Orang Tionghoa sering menggunakan istilah Keturunan
Naga(Hanzi : ; pinyin : lng de chun rn) sebagai suatu
simbol identitas etnis.

30
Dalam tarian ini, satu regu memainkan naga yang diusung dengan
belasan tongkat. Penari terdepan mengangkat, menganggukkan,
menyorongkan dan mengibas-kibaskan kepala naga tersebut yang
merupakan bagian dari gerakan tarian yang diarahkan oleh salah
seorang penari. Terkadang bahkan kepala naga ini bisa mengeluarkan
asap dengan menggunakan peralatan pyrotechnic.

Para penari menirukan gerakan-gerakan makhluk naga ini membuat


gerakan berkelok dan berombak. Gerakan-gerakan ini secara tradisional
melambangkan peranan historis dari naga yang menunjukkan kekuatan
yang luar biasa dan martabat yang tinggi. Tarian naga juga merupakan
salah satu suguhan atraksi pada acara hari perayaan Imlek di kawasan
pecinan seluruh dunia.

4. Erhu

Pada mulanya, erhu menggunakan dua senar yang terbuat dari


sutra, tetapi sekarang erhu menggunakan senar dari logam. Erhu
biasanya menggunakan membran dari kulit ular piton, tetapi ada juga
yang menggunakan bahan lain. Kotak suara dapat berbentuk segi enam,
segi delapan, atau bulat. Kotak suara ini juga bervariasi ukurannya,
semakin besar ukuran kotak suaranya maka bunyi bass yang dihasilkan
semakin besar dan begitu pula sebaliknya.

Erhu digesek dengan busur yang terbuat dari bambu dan rambut
ekor kuda, ekor kuda itu ditempatkan di antara kedua senar sehingga
memudahkan perpindahan menggesek antara kedua senar. Rambut ekor
kuda tersebut digosok dengan damar (gondorukem) sehingga terasa
kesat waktu digesek. Erhu biasa disetel dengan nada D A atau C G.

31
Daftar Pustaka:
http://peterrchandradinata.blogspot.co.id/2009/09/kebudayaan-etnis-tionghoa-
ditinjau-dari_18.html

http://www.tionghoa.info/

https://www.kaskus.co.id/thread/53ff9cb7138b4605598b456b/mengenal-budaya-
adat-istiadat-kematian-tionghoa-no-sara-gan-pict/
http://www.tionghoa.info/pernikahan-tradisional-adat-tionghoa/
https://id.wikipedia.org/wiki/Rumpun_bahasa_Tionghoa
http://www.tionghoa.info/pilihan-anda-memahami-salah-satu-sudut-pandang-
logo-yin-yang/#more-3889
http://www.kompasiana.com/adica.wirawan/penamaan-pada-etnis-tionghoa-
indonesia_55196dc8813311d7769de14b

32

Anda mungkin juga menyukai