TIONGHOA
Disusun Oleh:
Kelompok 6
Kelas 5-Y
1
Daftar isi
BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN...................................................................... 4
Daftar Pustaka....................................................................................... 31
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan atau yang dapat disebut juga Peradaban
mengandung pengertian yang sangat luas dan mengandung pemahaman perasaan
suatu bangsa yang sangat kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan,
seni,moral, hukum, adat-istiadat, kebiasaan dan pembawaan lainnya yang
diperoleh dari anggota masyarakat.Kebudayaan merupakan perilaku yang menjadi
suatu kebiasaan di tengah masyarakat.Banyak hal yang dapat kita sebut sebagai
kebudayaan. Seperti: tari-tari an, musik, rumah adat, pekaian, senjata dan pola
hidup dalam suatu masyarakat atau kelompok merupakan contoh yang dapat kita
definisikan sebagai contoh dari kebudayaan.
Mempelajari kebudayaan bukanlah suatu kegiatan yang mudah dan
sederhana, karena banyak sekali batasan konsep dari berbagai bahasa, sejarah,
sumber bacaan atau literatur baik pendekatan metode juga telah banyak disiplin
ilmu lain yang juga mengkaji berbagai macam permasalahan terkait kebudayaan
seperti, Sosiologi, Psikoanalisis, Psikologi (Perilaku) dan sebagainya yang
masing-masing mempunyai tingkat kejelasan sendiri-sendiri tergantung pada
konsep dan penekanan masing-masing.
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai kebudayaan yang
beraneka ragam baik jumlahnya maupun keanekaragamannya. Budaya juga
merupakan identitas bangsa yang harus dihormati dan dijaga serta perlu
dilestarikan agar kebudayaan kita tidak hilang dan bisa menjadi warisan anak cucu
kita kelak. Hal ini tentu menjadi tanggungjawab para generasi muda dan juga
perlu dukungan dari berbagai pihak, karena ketahanan budaya merupakan salah
satu Identitas suatu negara. Kebanggaan bangsa indonesia akan budaya yang
beraneka ragam sekaligusmengundang tantangan bagi seluruh rakyat untuk
mempertahankan budaya lokal agar tidak hilang ataupundicuri oleh bangsa lain.
Salah satu kebudayaan yang masih ada dan terus berkembang di Indonesia adalah
kebudayaan masyarakat Tionghoa. Oleh karena itu penulis mencoba mencari tahu
keadaan kebudayaan dalam masyarakat tersebut.
B. Rumusan Masalah ?
1. Bagaimana keadaan budaya di masyarakat Tionghoa?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui kebudayaan di masyarakat Tionghoa.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Letak Geografis
Sebagian besar Orang Tionghoa menetap di Pulau Jawa, Sumatera Utara,
Sumatra Selatan, Bangka-Belitung, Batam, Lampung, Kalimatan Barat,
Banjarmasin, Lombok , Menado, Ambon, Jayapura
Kedatangan leluhur suku Tionghoa (yang berasal dari negera China) untuk
bermigrasi ke Indonesia terjadi pada ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu
(utamanya pada abad ke 16-19). Mereka datang ke Indonesia dengan
tujuan awal untuk berdagang (dalam perniagaan). Ramainya interaksi
perdagangan di daerah pesisir tenggara China, menyebabkan banyak orang
yang tinggal di daerah pesisir China ingin ikut berlayar untuk berdagang.
Tujuan utama mereka saat itu adalah Asia Tenggara, karena kegiatan
pelayaran sangat tergantung pada angin musim. Setiap tahunnya para
pedagang akan bermukim di wilayah-wilayah yang mereka singgahi.
4
Para pendatang suku bangsa Tionghoa ini biasanya menyebut
dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkian), Tengnang (Tiochiu), atau
Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Huaren
(Hanzi Tradisional: ). Orang-orang Tionghoa di Indonesia umumnya
berasal dari bagian Tenggara China (sekarang propinsi Fujian, Guangdong,
Hainan, dan sekitarnya). Tidak ada info yang jelas mengenai berapa
jumlah masyarakat (yang mengaku) keturunan Tionghoa di Indonesia; tapi
diperkirakan berjumlah 4-5% dari total penduduk Indonesia yang ada.
Berikut sedikit gambaran mengenai suku-suku orang Tionghoa yang ada di
Indonesia :
1. Hokkian
2. Hakka
5
digunakan adalah bahasa Hakka (Hanzi , pinyin ke jia hua), atau
di Indonesia umumnya dikenal dengan bahasa Khek. Bahasa yang
dituturkan oleh orang Hakka ini merupakan suku Han yang tersebar di
kawasan pegunungan provinsi Guangdong, Fujian dan Guangxi di
Tiongkok. Masing-masing daerah ini juga memiliki khas dialek Hakka
yang berbeda tergantung provinsi dan juga bagian gunung sebelah mana
mereka tinggal. Bahasa Hakka/Khek juga merupakan salah satu dari
tujuh bahasa utama di Republik Rakyat Tiongkok saat ini.
3. Kanton
6
Orang Kanton adalah penduduk yang berasal dari Guangzhou
(Hanzi , pinyin Guangzhou). Guangzhou sendiri adalah ibukota
dari Propinsi Guangdong dan merupakan kota terbesar di China bagian
selatan. Penduduknya banyak yang berpendidikan tinggi, serta terkenal
dengan teknik pengobatan tradisionalnya yang mujarab. Bahasa Kanton
(kantonis) atau Yu (Hanzi , pinyin guangdong hua) di Indonesia
sering disebut bahasa Konghu adalah salah satu dari dialek bahasa
Tionghoa yang dituturkan di daerah barat daya China (Guangdong),
Hong Kong, Makau, dan masyarakat keturunan Tionghoa di Asia
Tenggara. Bahasa Kanton dituturkan oleh hampir 70 juta orang di
seluruh dunia. Menurut penelitian dari ahli bahasa Han di China, dialek
Kanton merupakan salah satu dialek bahasa Han tertua yang masih
tersisa sekarang ini. Dialek Kanton dulunya digunakan secara luas pada
zaman Dinasti Tang.
4. Tiochiu
5. Hainan
7
(wilayah Laut China Selatan). Nama Hainan atau di Indonesia lebih
dikenal dengan sebutan Hailam, mengacu pada pulau Hainan (
, pinyin hainan dao), pulau utama dari provinsi tersebut. Pulau ini
menjadi tujuan wisata utama oleh para turis lokal mau mancanegara
karena keindahan laut dan pantainya. Selama berabad-abad yang lalu,
pulau Hainan adalah bagian dari Provinsi Guangdong, namun pada
tahun 1988 pulau ini menjadi Provinsi yang berdiri sendiri dengan
ibukotanya adalah Haikou. Bahasa/dialek yang digunakan oleh orang
Hainan (Hailam) adalah dialek Hainan (Hanzi , pinyin: Hainan
hua). Jumlah penutur bahasa Hainan sendiri diperkirakan berjumlah
sekitar 1,5 juta orang yang tersebar di seluruh dunia.
B. Sejarah Tionghoa
1. Pra Kemerdekaan Kebangkita nasonalisme di Hindia Belanda tidak terlepas dari
perkembangan yang terjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal 17 Maret
1900 di Batavia terbentuk Tiong Hoa Hwee Koan (THHK ) yang mendirikan
sekolah-sekolah. Inisiatif ini diikuti oleh etnis lain, seperti keturunan Arab
yang mendirikan Djamiat-ul Chair meniru model THHK.
8
oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal mengganti kata
Tjina dengan kata Tionghoa. Pada tahun 1931 Liem Koen Hian mendirikan
PTI, Partai Tionghoa Indonesia, bukan Partai Tjina Indonesia.
2. Masa Kemerdekaan
Pada tahun 1945-an Mayor Jhon Lie menyelundupkan barang-barang ke
Singapura untuk kepentingan pembiayaan republik. Ada pula tokoh lain
seperti Djiaw Kie Siong yang menyediakan rumahnya dipakai untuk rapat persiapan
kemerdekan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945.
Dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang
merumuskan UUD 45 terdapat 5 orang Tionghia, yaitu: Liem Koen Hian, Tan Eng
Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan Drs. Yap Tjwan Bing. Tony
Wen adalah orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di
Hotel Oranye Surabaya.
C. Sistem Budaya
Sistem budayanya berdasarkan pada kepercayaan tradisionalnya yang
meliputi :
1. Penghormatan kepada leluhur
2. Penghormatan kepada dewa-dewi
3. Tridharma, yang terdiri atas Taoisme, Konfusianisme, dan Budhisme
4. Konsep tiga alam, yaitu Alam Langit, Alam Bumi, dan Alam Baka.
9
keselarasan SEJATI, selalu ada yang bertolak belakang. Yang ada hanya
saling mengisi, melengkapi, memahami kekurangan dan kelebihan
masing-masing (BALANCE). Contoh: pria dan wanita bersatu dalam
pernikahan. Salah satu KEBESARAN manusia dalah KEBEBASAN
menentukan target KEHIDUPAN nya (kebebasan memilih jalan hidupnya
sendiri). Mau jadi penyabar atau pemarah? Mau jadi pemalas atau rajin?
Mau jadi orang pandai atau bodoh? Mau jadi pengemis atau pendonatur?
Mau jadi orang jujur atau penipu? Mau jadi perampok atau pengusaha,
dsb. Semuanya harus di revisi sejakSEBELUM & SESUDAH kita lahir
ke dunia. Semuanya harus start dengan Kesadaran Jagat Raya. Agama
Tao memuat konsep-konsep yang telah lama ada, karena ia merupakan agama yang
tertua di dunia, sudah ada sejak 7000 tahun yang silam. Ia merupakan agama yang
berketuhanan, yaitu mengakui dan menyembah adanya Yang Maha Kuasa.
Agama ini merupakan akar utama dari kebudayaaan Tionghoa. Di samping itu
Orang Tionghoa juga mendasarkan hidupnya pada Budhisme, yang di Tiongkok telah
mengalami perubahan; yang terkenal dan amat dipuja ialah Amitabha Budha. Mereka
juga percaya adanya konsep inkarnasi dan karma.
D. Sistem Sosial
Sistem sosialnya mendasarkan pada Ajaran atau Filsafat Kong Hu
Cu. Filsafat Kong Hu Cu mengajarkan bagaimana hubungan antar sesama manusia,
berkisar sekitar soal kekeluargaan dan ketatanegaraan. Filsafatnya
bagaimana hubungan antara anak dan orangtuanya. Dalam pemujaan
leluhur dengan memelihara abu dalam rumah, ayah menjadi pemuka
upacara. Kewajiban ini kemudian diturunkan kepada anak laki-lakinya yang
sulung, begitu seterusnya. Anak perempuan tidak disebutkan dalam pemujaan
leluhur. Karena itu orang Cina menganggap anak laki-laki sebagai hal
yang sangat perlu. Anak laki- laki dibutuhkan bukan saja untuk
mempertahankan she-nya (nama keluarga), melainkan terutama menggantikan
ayahnya kelak untuk merawat abu lehuhur.
E. Sistem Ekonomi
10
Orang Tionghoa kebanyakan bekerja di bidang perekonomian,
terutama sebagai pedagang dan pengusaha. Kebanyakan orang
Tionghoa sukses dalam pekerjaannya. Banyak pula yang bekerja
sebagai karyawan, petani, penambang dan profesi lainnya.
F. Kebudayaan Fisik
1. Bahasa
Bahasa Tionghoa ( / , / , atau ; Pinyin:
Hny, Huy, atau Zhngwn) adalah bagian dari rumpun bahasa Sino-
Tibet. Meskipun kebanyakan orang Tionghoa menganggap berbagai varian
11
bahasa Tionghoa lisan sebagai satu bahasa, variasi dalam bahasa-bahasa
lisan tersebut sebanding dengan variasi-variasi yang ada dalam misalkan
bahasa Roman; bahasa tertulisnya juga telah berubah bentuk seiring
dengan perjalanan waktu, meski lebih lambat dibandingkan dengan bentuk
lisannya, dan oleh sebab itu mampu melebihi variasi-variasi dalam bentuk
lisannya.
Sekitar 1/5 penduduk dunia menggunakan salah satu bentuk bahasa
Tionghoa sebagai penutur asli, maka jika dianggap satu bahasa, bahasa
Tionghoa merupakan bahasa dengan jumlah penutur asli terbanyak di
dunia. Bahasa Tionghoa (dituturkan dalam bentuk standarnya, Mandarin)
adalah bahasa resmi Tiongkok dan Taiwan, salah satu dari empat bahasa
resmi Singapura, dan salah satu dari enam bahasa resmi PBB. Istilah dan
konsep yang digunakan orang Tionghoa untuk berpikir tentang bahasa
berbeda dengan yang digunakan orang-orang Barat; ini disebabkan oleh
efek pemersatu aksara Tionghoa yang digunakan untuk menulis dan juga
oleh perbedaan dalam perkembangan politik dan sosial Tiongkok
dibandingkan dengan Eropa. Tiongkok berhasil menjaga persatuan budaya
dan politik pada waktu yang bersamaan dengan jatuhnya kerajaan
Romawi, masa di mana Eropa terpecah menjadi negara-negara kecil yang
perbedaannya ditentukan oleh bahasa. Sebuah perbedaan utama antara
konsep Tiongkok mengenai bahasa dan konsep Barat akan bahasa, ialah
bahwa orang-orang Tiongkok sangat membedakan Bahasa tertulis (wen)
dan bahasa lisan (yu). Pembedaan ini diperluas sampai menjadi
pembedaan antara kata tertulis (zi) dan kata yang diucapkan (hua). Sebuah
konsep untuk sebuah bahasa baku yang berbeda dan mempersatukan
bahasa lisan dengan bahasa tertulis ini dalam bahasa Tionghoa tidaklah
terlalu menonjol. Ada beberapa varian bahasa Tionghoa lisan, di mana
bahasa Mandarin adalah yang paling penting dan menonjol. Tetapi di sisi
lain, hanya ada satu bahasa tertulis saja. Bahasa Tionghoa lisan adalah
semacam bahasa intonasi yang berhubungan dengan bahasa Tibet dan
bahasa Myanmar, tetapi secara genetis tidak berhubungan dengan bahasa-
bahasa tetangga seperti bahasa Korea, bahasa Vietnam, bahasa Thai dan
bahasa Jepang. Meskipun begitu, bahasa-bahasa tersebut mendapat
pengaruh yang besar dari bahasa Tionghoa dalam proses sejarah, secara
linguistik maupun ekstralinguistik. Bahasa Korea dan bahasa Jepang
sama-sama mempunyai sistem penulisan yang menggunakan aksara
Tionghoa, yang masing-masing dipanggil Hanja dan Kanji. Di Korea
Utara, Hanja sudah tidak lagi digunakan dan Hangul ialah satu-satunya
cara untuk menampilkan bahasanya sementara di Korea Selatan Hanja
masih digunakan. Bahasa Vietnam juga mempunyai banyak kata-kata
12
pinjam dari bahasa Tionghoa dan pada masa dahulu menggunakan aksara
Tionghoa.
2. Sistem Organisasi Sosial
a. Sistem Kekerabatan
Dalam masyarakat orang Tionghoa di Indonesia, ada perbedaan
antara lapisan buruh dan lapisan majikan, golongan orang miskin dan
golongan orang kaya. Namun perbedaan ini tidaklah mencolok karena
golongan buruh ini tidak menyadari kan kedudaukannya, demikian juga
sebaliknya. Hal ini disebabkan karena masih adanya ikatan kekeluargaan
antara si buruh dan si majikan. Tionghoa peranakan, yaitu keturunan
dari orang Tionghoa Totok yang menikah dengan orang pribumi, yang
kebanyakan orang-orang Hokkien, merasa dirinya lebih tinggi dari orang
Tionghoa Totok, karena mereka menganggap Tionghoa Totok umumnya
berasal dari kuli dan buruh. Sebaliknya Tionghoa Totok memandang rendah
Tionghoa Peranakan karena dianggap mempunyai darah campuran.
Dengan adanya pemisahan pendidikan bagi anak-anak Tionghoa
sekarang ini, yaitu sebagian mengikuti pendidikan Cina yang berorientasi ke negara
Cina dan sebagian lagi mengikuti pendidikan Indonesia dan Barat, maka telah
timbul pemisahan antara golongan yang pendidikan yang berlainan itu. Masing-
masing menganggap lawannya sebagai golongan yang lebih rendah. Orang-
orang kaya dalam masyarakat Tionghoa umumnya tidak akan
bekerjasama dengan orang yang miskin . Demikianlah stratifikasi sosial orang
Tonghoa di Indonesia berdasarkan orientasi pendidikan dan tingkat kekayaan.
b. Kelompok kekerabatan
13
Suku Tionghoa-Indonesia sebelum zaman Orde Baru rata-rata
masih memiliki nama Tionghoa dengan 3 karakter. Walaupun seseorang
Tionghoa di Indonesia tidak mengenal karakter Han, namun biasanya
nama Tionghoa di Indonesia tetap diberikan dengan cara romanisasi.
Karena mayoritas orang Tionghoa di Indonesia adalah pendatang dari
Hokkian, maka nama-nama Tionghoa berdialek Hokkian lebih lazim
daripada dialek-dialek lainnya. Di zaman Orde Baru, di bawah
pemerintahan Suharto, warganegara Indonesia keturunan Tionghoa
dianjurkan untuk mengindonesiakan nama Tionghoa mereka dalam arti
mengambil sebuah nama Indonesia secara resmi. Misalnya Liem Sioe
Liong diubah menjadi Soedono Salim. Walaupun demikian, di dalam
acara kekeluargaan, nama Tionghoa masih sering digunakan;
sedangkan nama Indonesia digunakan untuk keperluan surat-menyurat
resmi. Namun sebenarnya, ini tidak diharuskan karena tidak pernah
ditetapkan sebagai undang-undang dan peraturan yang mengikat. Hanya
tarik-menarik antara pendukung teori asimilasi dan teori integrasi
wajar di kalangan Tionghoa sendiri yang menjadikan anjuran ini
dipolitisir sedemikian rupa. Anjuran ganti nama tersebut muncul karena
ketegangan hubungan Republik Rakyat Tiongkok dengan Indonesia
setelah peristiwa G30S. Tahun 1966, Ketua Lembaga Pembinaan
Kesatuan Bangsa (LPKB), Kristoforus Sindhunata menyerukan
penggantian nama orang-orang Tionghoa demi pembangunan karakter
dan nasionalisme bangsa. Seruan ini mendapat kecaman dari kalangan
orang Tionghoa sendiri dan cemoohan dari kalangan anti-Tionghoa.
Yap Thiam Hien secara terbuka menyatakan bahwa nama tidak dapat
menjadi ukuran nasionalisme seseorang dan ini juga yang menyebabkan
nasionalis terkemuka Indonesia itu tidak mengubah namanya sampai
akhir hayatnya. Cemoohan datang dari KAMI dan KAPPI yang pada
waktu itu mengumandangkan nada-nada anti-Tionghoa yang
menyatakan bahwa ganti nama tidak akan mengganti otak orang
Tionghoa serta menyerukan pemulangan seluruh orang Tionghoa
14
berkewarganegaraan RRT di Indonesia ke negara leluhurnya. Ganti
nama ini memang merupakan satu kontroversi karena tidak ada kaitan
antara pembangunan karakter dan nasionalisme bangsa dengan nama
seseorang, juga karena tidak ada sebuah nama yang merupakan nama
Indonesia asli.
Nama-nama pada etnis Tionghoa Indonesia terdiri atas dua unsur,
yaitu marga (se) dan nama pribadi. Sebagaimana diketahui, selama
berabad-abad, etnis Tionghoa menganut sistem patrilineal.[2] Oleh
karena itu, marga diturunkan dari pihak lelaki. Marga diletakkan pada
posisi depan. Perhatikanlah contoh beberapa nama berikut ini. 1. Can
San Tung 2. Ciong Tin Nio 3. Gouw Boen Hoat 4. Kan Liang Bie 5. Li
Bun Hin 6. Liaw Kap Sui Kata-kata seperti Can, Ciong, Gouw, Kan, Li,
dan Liaw merupakan beberapa marga yang sering kita jumpai di
masyarakat. Dalam beberapa kasus, orang mengira bahwa orang-orang
yang bermarga sama pastilah bersaudara. Sebagai contoh, ada tiga
orang yang bernama Liaw Kap Sui, Liaw Sip Tjong, dan Liaw Ten Li.
Ketiganya bermarga Liaw. Namun, belum tentu mereka bersaudara.
Bisa saja itu terjadi karena marga mereka mirip bunyinya. Oleh karena
itu, untuk memastikannya, kita perlu menelusuri pohon keluarganya.
Sementara itu, nama pribadi diletakkan setelah marga. Dalam kalangan
etnis Tionghoa, orang tua biasanya memberikan anaknya nama pribadi
yang mempunyai arti baik. Poerwanto menjelaskan, "Kepada anak laki-
laki dipilih kata-kata yang berarti gagah, pandai, sopan; sedangkan,
untuk anak perempuan dipilih kata-kata yang mengadung arti harum,
cantik, lemah-lembut, dan sebagainya."[3] Nama pribadi biasanya
terdiri atas dua kata. Sebagai contoh, Liem Sin Kiat, Oey Sah Wah, Ong
Lan Tin, Sim Le An, Sung Cun U, Tan Bong Kian, The Min Nio, dan
Thio Sang Liem. Namun, ada pula sejumlah nama yang terdiri atas satu
kata, seperti Gouw Ringgit, Liem Yanto, Oey Elok, Sim Hengki, Tan
Kasih, dan Tjio Olih. Pada umumnya nama pribadi yang satu kata itu
sudah mengalami asimilasi budaya. Oleh karena itu, digunakanlah
nama-nama yang sudah lazim di masyarakat. Terdapat pengecualian
pada penamaan anak adopsi. Anak etnis Tionghoa diadopsi karena
beberapa sebab, seperti persoalan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.
Uniknya, anak itu tidak diadopsi orang lain, tetapi oleh kerabatnya
sendiri. Sebagai tanda adopsi, kerabat yang mengadopsinya harus
menyerahkan sejumlah uang kepada orang tuanya. Setelah resmi
diadopsi, nama anak itu pun berubah menjadi gobang atau perak, sesuai
dengan nama mata uang yang diberikan pengadopsinya.[4] Proses
adopsi itu berlangsung sampai anak itu dewasa. Setelah dewasa, anak
15
itu diberi pilihan untuk kembali ke orang tua kandung atau tetap tinggal
bersama orang tua angkatnya. Penamaan pada etnis Tionghoa
memunculkan polemik pada orde baru. Pada 1966 terbitlah putusan
pemerintah yang mengharuskan seluruh etnis Tionghoa mengubah
namanya agar lebih bernuansa Indonesia. Karena alasan politik itulah
ribuan etnis Tionghoa membuat nama baru. Uniknya, nama baru itu
masih mencerminkan nama lama mereka.[5] Pada nama baru itu tersisip
marga mereka. Kalau pada nama lama terletak di depan, pada nama
baru marga terletak di belakang. Sebagai contoh, Oey Eng Min
(Hamzah Wijaya), Oey Tiong Goan (Suryadi Wibowo), Kan Liang Lie
(Ramli Sukanta), Oey Le Ing (Leni Wijaya), dan Oey Yan Wie (Gowi).
Sementara itu, ada pula yang menyisipkan nama pribadinya, seperti
Liaw Kin Lan (Lalan), Liem Tjan Sun (Tarmono), dan Tjio Wilyang
(Yayang). Mengapa mereka menyisipkan unsur nama lama itu?
Tampaknya unsur itu, terutama marga, memiliki nilai historis yang kuat.
Bagaimana seandainya Anda mempunyai marga yang sudah diwariskan
generasi demi generasi, tetapi harus terputus karena Anda harus
membuat nama baru? Anda tentunya berupaya mempertahankan
identitas itu karena sudah menjadi warisan dari leluhur. Oleh karena itu,
etnis Tionghoa Indonesia pun mengupayakan unsur itu terlihat pada
nama baru mereka.
d. Kedudukan wanita
16
Dahulu kedudukan wanita sangatlah rendah. Pada waktu masih anak-
anak, saudara laki-laki mereka memperlakukan mereka dengan baik,
tetapi pada waktu meningkat dewasa mereka dipingit di dalam rumah.
Sesudah kawin mereka harus tunduk kepada suami mereka dan dikuasai oleh
mertuanya. Mereka tidak mendapat bagian dalam kehidupan di luar rumah.
Keadaan demikian sekarang sudah ditinggalkan. Wanita dapat memasuki
perkumpulan-perkumpulan, memasuki sekolah, dan di dalam kehidupan
ekonomi peranan wanita sebagai pembantu suaminya memegang peranan
dalam perdagangan. Pada masa kini wanita berhak mendapat harta yang
sama dengan anak laki-laki dalam hal warisan, bahkan kadang-kadang mendapat
tugas untuk mengurus abu leluhurnya, sehingga suami harus ikut
tinggal di rumah orang tuanya secara uxorilokal.
e. Perkawinan
17
daerah Tangerang, Bekasi, Singkawang; terutama di kalangan
komunitas peranakan Tionghoa yang tua. Bahkan di daratan Tiongkok,
upacara tradisional ini hampir punah akibat modernisasi, pergeseran
budaya, keterbatasan biaya dan lingkungan.
18
Perarakan Pengantin Pria
Keluarga pengantin pria berjalan ke rumah pengantin wanita. Pengantin
pria diiringi tandu pengantin wanita, kotak persembahan, musik, dan
barongsai.
19
Prosesi Melangkahi Api Pengantin pria menuntun pengantin wanita
keluar tandu. Pengantin wanita berjalan melangkahi bara api yang
menyala. Artinya pengantin wanita membersihkan diri sebelum
memasuki keluarga baru.
20
Penghormatan Kepada Orang Tua
Pengantin pria dan wanita memberi hormat dan memohon berkat
kepada orang tua pengantin pria dan wanita.
Penghormatan Pengantin
Pengantin pria dan wanita saling berhadapan dan memberi hormat.
Pengantin pria membungkuk tiga kali menghormati mempelai wanita.
Hal ini melambangkan niat baik dan penghormatan bagi teman hidup.
Pembukaan Cadar
Pengantin pria membuka cadar pengantin wanita dengan
menggunakan tongkat atau kipas. Selanjutnya pengantin pria lalu
melepas oto yang dipasang di pengantin perempuan, sementara
21
pengantin perempuan membuka satu kancing baju pengantin lelaki.
Hal ini sebagai lambang dimulainya kehidupan rumah tangga.
Upacara Minum Teh (Teh Pai) Pengantin pria dan wanita memberi
penghormatan teh dengan cara menyuguhkan teh kepada orang tua
dan keluarga dekat; yang dibalas dengan pemberian angpao sebagai
bekal hidup. Dengan ini, penikahan Chio Tau telah sah dilakukan.
22
f. Kematian
23
adalah untuk hio dari tamu. Di sisi kiri dan kanan diisi dengan
pakaian yang meninggal. Sepatu yang dipakai harus dari kain.
Apabila yang meninggal pakai kacamata maka kedua kaca harus
dipecah yang melambangkan bahwa dia telah berada di alam lain.
24
biasanya makin baik. Dilihat juga hari baik untuk pemakaman.
Selama proses penutupan peti ini, anak cucu harus sujud menghadap
ke peti engkong. Hampir 15 menit sujud. Selama peti mati masih di
dalam rumah, harus ada sepasang lampion putih yang selalu menyala
di depan rumah. Hal ini menandakan bahwa ada orang yang
meninggal di rumah tersebut.
25
sebagai simbolik si meninggal memberikan berkah kepada pihak
keluarga( semangkin banyak mendapatkanya semangkin banyak
rejekinya). Setibanya di rumah, mereka harus membasuh muka
dengan air kembang. Sekedar untuk melupakan wajah almarhum.
Semenjak ada yang meninggal sampai saat tertentu, semua keluarga
harus memakai pakaian dan tanda berkabung terbuat dari sepotong
blacu yang dilikatkan di lengan atas kiri. Tidak boleh memakai
pakaian berwarna ceria, seperti : merah, kuning, coklat, oranye Di
rumah disediakan meja pemujaan, rumah-rumahan dan tempat tidur
almarhum. Setiap hari harus dilayani makannya seperti semasa
almarhum masih hidup.
26
Bagi keluarga yang berada, di atas meja persembahan diletakkan
berbagai macam makanan, buah-buahan, minuman, antara lain teh
dan kopi, manisan minimum 3 macam, rokok, sirih sekapur,
sedangkan makanan yang paling utama adalah samseng 2 pasang,
lilin merah sepasang dan hio. Senja hari sebelum upacara, harus
dinyalakan lilin merah berpasang-pasang tergantung pada jumlah
orang / leluhur yang akan diundang. Maksud dari upacara ini adalah
meminta kepada dewa bumi (toapekong tanah) untuk membukakan
jalan bagi para arwah yaitu dengan cara membakar uang akhirat
(kertas perak dan kertas emas ).
g. Sistem Pengetahuan
1) Feng Shui
a. adalah salah satu ilmu dari agama Tao, yang merupakan metodologi
peramalan serta analisis tata letak. Feng Shui sendiri berasal dari
gabungan kata Feng yang berarti angin (arah) dan Shui yang berarti air
(tempat). Kemungkinan ilmu ini telah ada dan berkembang bahkan sebelum
bangsa Tiongkok kuno mengenal kompas, di mana penentuan kondisi suatu
tempat pada mulanya hanya melihat perpaduan unsur angin dan air saja. Tiga
konsep utama Feng Shui, adalah:
Aliran energi (Chi)
Keseimbangan Yin dan Yang
Interaksi kelima unsur alam semesta, yaitu kayu, api, logam,
tanah, dan air
2) Kitab Yi Jing (baca: I Ching ) Secara harfiah berarti Kitab (tentang )
Perubahan.
Falsafah Perubahan I Ching merupakan cikal bakal dari berbagai ilmu
metafisika China, seperti akupunktur, akupreser,Feng Shui , Ilmu Bentuk
Wajah, Ilmu Telapak Tangan, dan lain sebagainya. I Ching inilah yang
pertama kali memperkenalkan konsep tentang Pengkondisian Minus (-)
dan Plus (+), atau Yin dan Yang dalam sejarah peradaban manusia. Falsafah
mengenai Minus dan Plus merupakan komponen paling baku bagi ilmu apa
pun, baik ilmu yang bersifat fisik / ilmiah maupun yang berbau supernatural.
3) Pengobatan tradisional Pengobatan ini termasuk pengobatan herbal,
akupunktur, dan pijat Tui Na, yang digolongkan ke dalam
pengobatan Timur.
4) Kung Fu / Wu Su
Kung Fu adalah ilmu bela diri dari Tiongkok. Di masa lalu disebut kun
dao atau Kuntao Namun istilah Kuntao sekarang sudah sangat jarang
digunakan. Seiring dengan makin terbukanya negara Tiongkok, berbagai ilmu bela
diri kung fu digabung dan distandarkan menjadi suatu bentuk olahraga yang
27
dapat dipertandingkan, yakni Wu Shu. Wu Shu sendiri secara harfiah
berarti seni menghentkan kekerasan
5) Astrologi Kalender Tionghoa adalah kalender lunisolar yang dibentuk dengan
menggabungkan kalender matahari dan kalender bulan.
6) Shio
Shio adalah Zodiak Tionghoa yang memakai nama hewan untuk melambangkan
tahun, bulan dan waktu. Setiap individu diasosiasikan dengan satu shio sesuai
dengan tanggal kelahirannya. Menurut legenda, ketika Sang Budha hendak
meninggalkan bumi, beliau memerintahkan semua binatang untuk hadir di
hadapannya. Hanya dua belas binatang yang muncul. Pertama datanglah tikus,
kemudian kerbau, macan, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet,
ayam, anjng, dan yang terakhir babi. Sebagai penghargaan, Sang
Budha menamai satu tahun sesuai dengan nama dan urutan kedatangan
binatang-binatang itu. Kemudian beliau menyatakan bahwa setiap hewan yang
menguasai tahun yang dihadiahkan, diijinkan untuk memberikan sifat-
sifatnya kepada setiap anak manusia yang lahir dalam tahun itu. Menurut
kepercayaan Tionghoa, binatang yang menguasai tahun kelahiran seseorang
mempunyai pengaruh yang amat dalam terhadap kehidupan orang tersebut.
7) Klenteng dan Vihara
Klenteng pada dasarnya berarsitektur tradisional Tionghoa dan
berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat, selain fungsi spiritual.
Istilah klenteng hanya terdapat di Indonesia. Dipercaya asal kata
klenteng dari bunyi teng teng dari lonceng di dalam klenteng sebagai bagian
ritual ibadah. Di Tiongkok disebut bio atau miao. Pada mulanya
merupakan tempat penghormatan pada leluhur (rumah abu), para
suci (dewa/dewi), serta tempat mempelajari berbagai ajaran agama
etnis Tionghoa (Budha, Konghucu, dan Tao).
Vihara berarsitektur lokal dan biasanya berfungsi spiritual saja.
Namun ada juga yang berarsitektur tradisional Tionghoa seperti
Vihara Buddhis aliran Mahayana yang memang berasal dari Tiongkok.
Vihara adalah tempat melaksanakan upacara keagamaan Budha.
Dengan adanya peristiwa G30S yang menyebabkan pelarangan
kebudayaan Tionghoa, maka klenteng terancam ditutup, sehingga banyak
klenteng yang mengubah nama menjadi vihara
G. Kesenian
1. Bianzhong
28
Meski Bianzhong (Hanzi : ) telah ada sejak ribuan tahun
yang lalu, namun alat musik kuno dari Tiongkok ini masih terus
dimainkan hingga hari ini. Bahkan tahun lalu, penyanyi lagu-lagu
rakyat Tiongkok yang terkenal dengan suara sopran-nya, Gong Linna,
melakukan pertunjukkan di dua acara Perayaan Tahun Baru Imlek,
dimana ia menyanyikan lagu-lagu karangan suaminya, Robert Zollitsh,
yang berkebangsaan Jerman, yang juga memainkan Bianzhong.
Seberapa jauh sebenarnya kita mengenal alat musik yang menakjubkan
ini?
Bianzhong merupakan alat musik Tiongkok kuno yang terdiri dari satu
rangkaian lonceng. Alat musik ini terbuat dari perunggu dan digantung
pada sebilah papan kayu. Sebuah alat pemukul yang menyerupai palu
digunakan untuk membunyikan lonceng-lonceng tersebut sehingga
menghasilkan melodi yang indah.
29
2. Bian Lian
3. Tarian Naga
30
Dalam tarian ini, satu regu memainkan naga yang diusung dengan
belasan tongkat. Penari terdepan mengangkat, menganggukkan,
menyorongkan dan mengibas-kibaskan kepala naga tersebut yang
merupakan bagian dari gerakan tarian yang diarahkan oleh salah
seorang penari. Terkadang bahkan kepala naga ini bisa mengeluarkan
asap dengan menggunakan peralatan pyrotechnic.
4. Erhu
Erhu digesek dengan busur yang terbuat dari bambu dan rambut
ekor kuda, ekor kuda itu ditempatkan di antara kedua senar sehingga
memudahkan perpindahan menggesek antara kedua senar. Rambut ekor
kuda tersebut digosok dengan damar (gondorukem) sehingga terasa
kesat waktu digesek. Erhu biasa disetel dengan nada D A atau C G.
31
Daftar Pustaka:
http://peterrchandradinata.blogspot.co.id/2009/09/kebudayaan-etnis-tionghoa-
ditinjau-dari_18.html
http://www.tionghoa.info/
https://www.kaskus.co.id/thread/53ff9cb7138b4605598b456b/mengenal-budaya-
adat-istiadat-kematian-tionghoa-no-sara-gan-pict/
http://www.tionghoa.info/pernikahan-tradisional-adat-tionghoa/
https://id.wikipedia.org/wiki/Rumpun_bahasa_Tionghoa
http://www.tionghoa.info/pilihan-anda-memahami-salah-satu-sudut-pandang-
logo-yin-yang/#more-3889
http://www.kompasiana.com/adica.wirawan/penamaan-pada-etnis-tionghoa-
indonesia_55196dc8813311d7769de14b
32