Anda di halaman 1dari 16

Marlin Tolla, Migrasi Etnis Tionghoa di Kabupaten Yapen Waropen

MIGRASI ETNIS TIONGHOA


DI KABUPATEN YAPEN WAROPEN

Marlin Tolla
(Balai Arkeologi Jayapura)

Abstrack
Migration by Tionghoa ethnic from the Chinese mainland especially southern part to
the districts Yapen Waropen was in order to trade at that time,yapen is very famous with
the wonderful products such as bird of paradise feathers, crocodile leather, and other
excellent products that famous at that time. In the next stage, tionghoa ethnic marrying
woman of yapen. This is done to facilitate them in obtaining merchandise from the Yapen
people. Marriage between ethnic of tionghoa and yapen woman, produce offspring called
Peranakan Chinese Serui (Prancis), Serui is the first name of Yapen.

Keywords: Tionghoa, Yapen Waropen

Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu negara yang terdiri dari beragam etnis dan budaya
dan salah satu diantaranya adalah etnis Tionghoa. Etnis ini hidup berdampingan dengan
etnis lainnya beratus tahun lamanya yang membuat mereka pada akhirnya disebut sebagai
salah satu masyarakat asli Indonesia walaupun sampai sekarang masih menimbulkan pro
dan kontra atas penamaan tersebut. Walaupun sudah hidup berbaur dengan masyarakat
beratus tahun lamanya, namun hal itu tidak menjadi jaminan bagi masyarakat Indonesia
pada umumnya mengetahui lebih banyak mengenai latar belakang kehadiran mereka di
Indonesia.
Istilah Tionghoa diambil dari dialek Hokkian yakni salah satu kelompok suku
di Cina daratan yang sebagian besar menduduki Asia Tenggara. Tionghua adalah istilah
yang sebenarnya berasal dari huruf kanji (Hanzi = huruf Han = Chinese character).
Dengan demikian maka istilah Tionghua sendiri bukan merujuk pada orang Hokkian
saja yang dominan di Indonesia tetapi istilah ini mencakup keseluruhan masyarakat Cina
yang tinggal di Indonesia atau lebih tepatnya kata ‘tionghoa’ dipilih untuk menekankan

Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010 59


Marlin Tolla, Migrasi Etnis Tionghoa di Kabupaten Yapen Waropen

kedaerahan suku Hokkien yang mayoritas terhadap suku Cina lainnya yang minoritas.
Istilah Chinese adalah istilah dalam bahasa Inggris, sedangkan China adalah sebutan
dalam bahasa Jepang (Ongokham, 2008;22).
Etnis Tionghoa adalah salah satu etnis yang terkenal karena kegemaran mereka
melakukan migrasi dari satu daerah ke daerah yang lain, bukan hanya di daratan bahkan
kepulauan negeri Cina saja tetapi meluas sampai ke negara-negara lain seperti Indonesia.
Tionghoa di Indonesia bermigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun
lalu hal ini dikuatkan dengan catatan literatur Tiongkok yang menyatakan bahwa kerajaan
– kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti yang berkuasa di
Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang
maupun masyarakat dari Tiongkok ke Nusantara (Onghokham, 2008:32).
Selain sebagai jalur perdagangan dan penyebaran agama, pelayaran laut kemudian
dijadikan sebagai salah satu jalur ekspansi militer. Pada saat dikuasai oleh bangsa
Mongol, Cina berusaha untuk meluaskan kekuasaannya ke selatan. Usaha tersebut antara
lain dilakukan dengan pengiriman armada Mongol ke Jawa pada tahun 1293 Masehi
yang dipimpin oleh Laksamana Yi Ko Mussu. Berita Cina yang berasal dari Dinasti Sung
menyebutkan bahwa saat itu pasukan Cina mendarat di pelabuhan Tuban, Canggu dan
Sedayu. Dengan adanya data ini maka bisa disimpulkan bahwa kedatangan etnis Tionghoa
sekitar abad ke-7 Masehi di Indonesia awalnya dilakukan secara perseorangan atau bisa
saja berdasarkan kelompok-kelompok kecil. Selain karena keadaan politik di Tiongkok
yang dalam abad itu kurang kondusif dikarenakan perebutan kekuasaan oleh dinasti –
dinasti yang ada, mereka juga terpacu untuk melakukan kegiatan perdagangan mereka di
kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia yang pada saat itu bertumbuh begitu pesatnya.
Jika kita telusuri lebih jauh maka bukan hanya Sriwijaya saja yang menjadi sasaran
kedatangan mereka, tapi juga kerajaan-kerajaan lain di setiap kepulauan Indonesia seperti
Kerajaan Majapahit, Gowa-Tallo, Kesultanan Ternate dan kerajaan- kerajaan lainnya di
Indonesia saat itu. Hal ini kemudian diperkuat dengan ekspansi yang dilakukan oleh
Belanda ke Kalimantan Barat, yang mereka hadapi bukanlah para sultan ataupun orang
dayak akan tetapi kongsi-kongsi Cina yang merupakan kekuatan sosial-politik masyarakat
Tionghoa (Heidhues, 2008:28). Artinya Belanda tidak harus menundukkan para sultan
Melayu atau kepala suku Dayak, melainkan kekuatan Tionghoa yang saat itu menguasai
setiap sendi perekonomian di Kalimantan Barat.

60 Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010


Marlin Tolla, Migrasi Etnis Tionghoa di Kabupaten Yapen Waropen

Pada perkembangan selanjutnya ketika tulisan sudah dikenal, wilayah Papua


nampaknya juga sudah mempunyai peranan dalam perkembangan pemerintahan
kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara. Dalam catatan sejarah, sejak awal abad VIII telah
terdapat hubungan langsung maupun tidak langsung antara Papua (pada waktu itu disebut
dengan Janggi) dengan Negara Maritim Sriwijaya. Hal ini dibuktikan oleh adanya burung
Cenderawasih dari wilayah ini yang dibawa oleh para duta kerajaan Sriwijaya sebagai
souvenir kepada Kaisar Cina. Kemudian seorang musafir Cina bernama Chau Yu Kua pada
sekitar abad XIII telah menulis tentang suatu daerah bernama Tung-ki yang merupakan
bagian dari suatu negara di Maluku. Konon Tung-ki adalah nama Cina untuk Janggi atau
Irian. Pada masa Kejayaan Majapahit, dimasa Raja Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajah
Mada berkuasa, konon kekuasaannya sampai juga ke Irian. Dalam buku Negarakertagama
karya Empu Prapanca (1365) terdapat bait syair ke XIV yang menyatakan bahwa daerah
Wwanin dan Sran merupakan bagian dari kerajaan Majapahit. Wwanin atau Ewwanin,
menurut para ahli Bahasa Jawa Kuno adalah nama lain dari Onin, sedang Sran adalah
nama lain dari daerah Kowial, keduanya merupakan tempat yang ada di daerah Fak-fak
(Prasetyo, 2009).
Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan Cina yang bermigrasi secara periodik
dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu. Catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa
kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa
di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas
barang maupun masyarakat etnis Tionghoa dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.
Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara Tiongkok dapat diketahui karena dari
sejak zaman Dinasti Tang, kota–kota pelabuhan di pesisir tenggara Tiongkok memang
telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou malah tercatat sebagai bandar
pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut. Ramainya interaksi
perdagangan di daerah pesisir tenggara ini kemudian menyebabkan orang-orang
Tionghoa merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang dan adapun tujuan utama saat
itu adalah Asia Tenggara, hal ini terus berlanjut yang mengakibatkan ada pedagang yang
memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat dan ada pula pedagang yang
pulang ke Tiongkok untuk terus berdagang.
Imigran Tionghoa yang terbesar ke Indonesia mulai abad ke-16 sampai kira-kira
pertengahan abad ke-19. Walaupun orang Tionghoa perantau terdiri dari beberapa suku
bangsa namun dalam pandangan orang Indonesia pada umumnya mereka hanya terbagi

Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010 61


Marlin Tolla, Migrasi Etnis Tionghoa di Kabupaten Yapen Waropen

kedalam dua golongan yakni: Peranakan dan Totok (Onghokham, 2008:33). Peranakan
yaitu hasil perkawinan campuran antara etnis Tionghoa dan orang Indonesia sedangkan
Totok adalah etnis Tionghoa yang lahir di Negara Cina. Penggolongan yang dilakukan
antara peranakan dan totok yakni menyangkut soal derajat penyesuaian dan akulturasi
dari para perantau Tionghoa terhadap kebudayaan Indonesia yang ada di sekitarnya,
sedangkan derajat akulturasi itu tergantung kepada jumlah generasi para perantau yang
berada di Indonesia dan intensitas perkawinan campuran yang telah terjadi diantara para
perantau Tionghoa dengan orang Indonesia (Onghokham, 2008:35).
Terdapatnya pemukiman etnis Tionghoa yang biasa disebut Pecinaan di kepulauan
Indonesia bagian timur seperti Sulawesi utara tepatnya di Manado, Makassar dan Ambon
yang dihuni oleh etnis Tionghoa dengan beragam dialek suku memberikan indikasi
yang jelas bahwa migrasi yang dilakukan oleh etnis Tionghoa tidak hanya berpusat di
Batavia sebagai pusat kota saat itu. Seiring dengan waktu perkembangan kerajaan –
kerajaan kuno di Indonesia mengalami kemajuan yang begitu pesat mengakibatkan etnis
Tionghoa mulai menyebar ke daerah-daerah tersebut dengan membawa tujuan-tujuan
tertentu. Makassar dengan kerajaan Gowa – Tallo, kemudian Maluku dengan Kerajaan
Tidore, Ternate, Bacan Jailolo, Ambon, Seram dan Banda merupakan pusat-pusat niaga
terpenting di abad 15-19 (Handoko, 2008:114).
Di Papua keberadaan etnis Tionghoa yang membentuk komunitas tidak hanya
di temukan di Kabupaten Yapen tetapi juga masih bisa ditemukan di wilayah seperti
Kabupaten Sorong dan Kabupaten Fak-fak (Papua Barat). Merujuk pada gambaran
sejarah tersebut maka asumsinya adalah keberadaan komunitas etnis Tionghoa di Papua
secara umum dan secara khusus di Kabupaten Yapen, terpola oleh sebuah rangkaian
migrasi yang saling sambung menyambung dalam artian bahwa etnis Tionghoa yang ada
di setiap daerah kepulauan di Indonesia terjadi melalui proses perjalanan dari satu daerah
ke daerah yang lain mengikuti perkembangan kerajaan-kerajaan yang mulai ramai oleh
proses perdagangan dan pendistribusian barang. Mencermati hal tersebut maka kehadiran
etnis Tionghoa di Yapen tentu tidak terlepas dari pola tersebut.
Ada beberapa tinggalan baik yang berbentuk pemukiman maupun tinggalan
artefaktual yang menjadi indikasi keberadaan etnis Tionghoa di Yapen yaitu antara lain:
Kampung Cina Tua, Makam etnis Tionghoa, keramik, kotak uang, alat pembersih lidah,
penggilingan Mie seperti yang akan dideskripsikan berikut ini:

62 Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010


Marlin Tolla, Migrasi Etnis Tionghoa di Kabupaten Yapen Waropen

Kampung Cina Tua


Kampung Cina Tua adalah sebuah perkampungan yang merupakan tempat
bermukim etnis Tionghoa. Kampung ini terletak ± 250 meter dari pelabuhan. Masyarakat
etnis Tionghoa yang bermukim di kampung Cina tua ini ± 200 jiwa.
Adapun bangunan yang merupakan ciri khas di setiap pecinaan di Indonesia
seperti klenteng, dan rumah tinggal dengan ciri atap yang melengkung, serta ciri lain yang
merupakan ciri khas dari sebuah pecinan tidak ditemukan lagi di Kampung cina tua ini.
Adapun ciri lain yang menyangkut rumah tinggal etnis Tionghoa di Yapen yakni beberapa
rumah toko yang letaknya berhadapan dengan lainnya yang dipisahkan oleh jalan raya
besar di tengahnya.

Makam
Untuk menjawab permasalahan mengenai asal dari etnis Tionghoa yang ada di
Yapen, maka digunakan makam sebagai salah satu data arkeologi untuk mengungkap
permasalahan tersebut. Makam yang dideskripsikan yakni makam yang bertuliskan asal,
marga serta angka tahun kelahiran dan kematian dari yang dimakamkan. Ada beberapa
marga yang mendominasi nisan makam seperti Tan, Lie, Kwan, Ham, Tjeng Sun an, The
Tek, dan Ui kemudian berdasarkan tempat kelahiran yang dituliskan pada nisan yaitu
Hokkian.

Foto.1 Kompleks Makam Etnis Tionghoa dari arah barat


(dokumentasi Balai Arkeologi Jayapura 2009)

Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010 63


Marlin Tolla, Migrasi Etnis Tionghoa di Kabupaten Yapen Waropen

Keramik
Keramik ini berbentuk piring yang terbuat dari bahan kaolin dengan teknik
pembuatan roda putar. Diameternya 28 cm dengan motif burung merak yang mencengkram
dahan bunga. Warna pada burung sama dengan warna pada burung merak dan warna pada
motif bunga yakni didominasi oleh warna hijau pada daun dan warna merah dan kuning
pada bagian bunga. Pada bagian belakang piring terdapat motif hiasan sulur-suluran dan
huruf Cina pada bagian belakang piring.

Foto. 2 Foto. 3
Tampak Depan Tampak Belakang
(dokumentasi Balar Jayapura 2009)

Kotak Uang
Kotak uang ini merupakan salah satu koleksi dari bapak Gwan Pyabon May yang
merupakan salah seorang keturunan etnis Tionghoa peranakan. Kotak uang ini terbuat
dari besi dan bermotif hias berupa sulur – suluran yang terdapat dikelima sisi (depan,
belakang, kiri, kanan dan bagian tutup) yang pada bagian tengahnya terdapat hiasan
bunga dan motif yang menyerupai biji. Ukuran kotak ini yaitu: panjang: 19 cm, lebar: 10
cm dan tinggi: 7cm. Menurut pemiliknya, pada masa lalu kotak ini difungsikan sebagai
tempat pemyimpanan uang dan merupakan benda pusaka dari nenek moyang mereka.

64 Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010


Marlin Tolla, Migrasi Etnis Tionghoa di Kabupaten Yapen Waropen

Foto. 4
Kotak uang dan motif Sulur-suluran yang terdapat pada tiap sisinya
(dokumentasi Balai Arkeologi Jayapura 2009)

Sendok pembersih lidah.


Koleksi ini adalah milik Bapak Gwan Pyabon May yang merupakan salah seorang
keturunan etnis Tionghoa Kanton dan Serui. Sendok terbuat dari tembaga berwarna hitam
usang dan mempunyai ukuran panjang 18cm, lebar bagian ujung sendok yang digunakan
untuk pembersih lidah yaitu 4cm. Berdasarkan keterangan sang pemilik, sendok ini
digunakan sebagai pembersih lidah pada masa lalu.

Foto.5 Sendok pembersih lidah


(dokumentasi Balai Arkeologi Jayapura 2009)

Pembahasan
Masyarakat etnis Tionghoa yang melakukan migrasi dari Cina daratan ke
Indonesia pada awalnya datang jauh sebelum kedatangan Belanda. Mereka datang secara

Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010 65


Marlin Tolla, Migrasi Etnis Tionghoa di Kabupaten Yapen Waropen

perorangan atau kelompok kecil dengan berbagai macam suku dari berbagai propinsi di
Cina. Walaupun kedatangan mereka sudah sejak lama namun struktur masyarakat etnis
Tionghoa di Indonesia pada umumnya baru berkembang setelah kedatangan kolonis
Belanda (Onghokham, 2008:1). Pada tahun 1619, Kompeni (VOC;Vereenigde Oost-
Indische Compagnie) menjadikan Batavia sebagai markas besar operasi perdagangannya
di Asia dan Jawa menjadi pusat kolonialisme Belanda di Kepulauan Indonesia (Masselman,
1963). Kedua bangsa tersebut yakni etnis Tionghoa dan Belanda sebenarnya datang
ke Indonesia sama-sama untuk berdagang. Belanda dalam bentuk VOC datang untuk
melakukan perdagangan dan etnis Tionghoa datang ke Indonesia juga melakukan hal yang
sama. Orang Belanda yang mendirikan Batavia, J.P Coen yang menjadi gubernur jenderal
koloni itu dari tahun 1619 sampai 1623 menganggap etnis Tionghoa di kota itu sebagai
aset ekonomi yang penting. Etnis Tionghoa merupakan mayoritas dalam masyarakat
Batavia hidup sebagai tukang, pedagang, kontraktor dan kuli (Blusse, 1989:78-79).
Seperti etnis Tionghoa,Belanda datang ke Indonesia tidak secara besar-besaran
oleh karena itu kekuatan asing itu memerlukan mitra-mitra dagang. Etnis Tionghoa
menjadi mitra dagang Belanda khususnya di bidang distribusi perdagangan perantara
antara masyarakat pribumi dan penguasa kolonial. Namun hubungan tersebut ternyata
tidak berjalan dengan mulus pada tahun 1740 pembunuhan besar-besaran terjadi di
Batavia dan dilakukan oleh masyarakat Belanda terhadap etnis Tionghoa, setelah peristiwa
tersebut Belanda menjalankan politiknya dengan kebijakan pemisahan ras secara resmi
atau biasa disebut sistem apartheid.
Kedatangan etnis Tionghoa di Yapen Waropen hingga bermukim dalam pemukiman
yang diberi nama Kampung Cina Tua merupakan imbas dari politik yang diterapkan
oleh pemerintah Belanda yang saat itu mulai menduduki wilayah Yapen Waropen hal
ini merujuk kepada sistem politik yang diterapkan oleh Belanda yakni sistem Apartheid.
Sistem apartheid dikenal di Afrika Selatan yang merupakan salah satu daerah koloni
Belanda dan di sana ideologi apartheid berkembang dengan sangat subur (Ongokham,
2008:3). Dengan sistem apartheid ini, pemerintah Hindia Belanda membagi masyarakat
ke dalam tiga golongan yaitu: 1). Golongan Eropa atau Belanda, 2) Golongan Timur
Asing yakni Cina, Arab, India dan seterusnya, 3) Golongan Pribumi. Sistem apartheid
ini diterapkan di suatu masyarakat yang mengisolasi setiap golongan penduduk yang
satu dari penduduk yang lain secara fisik,dan untuk mengadakan perjalanan dari satu

66 Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010


Marlin Tolla, Migrasi Etnis Tionghoa di Kabupaten Yapen Waropen

kampung ke kampung lainnya harus menggunakan pas-pas jalan yang disediakan oleh
pemerintah kolonial Belanda. Di Yapen dikenal beberapa kompleks pemukiman seperti
Kampung Cina Tua, Kampung Islam dan kompleks pemukiman Belanda. Secara fisik,
setiap golongan harus tinggal di kampung-kampung tersendiri seperti di Jakarta ada
Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Pecinan di Makassar dan daerah-
daerah lainnya di Indonesia dikelompokkan masing-masing dalam sebuah pemukiman
tanpa percampuran dengan etnis lainnya.
Peraturan Apartheid yang dilakukan oleh pemerintah Belanda merupakan sebuah
usaha politik yang dilakukan untuk menekan pergerakan etnis Tionghoa yang sudah mulai
menguasai perdagangan di Batavia saat itu. Hal ini juga terjadi pada masyarakat etnis
Tionghoa yang ada di pulau-pulau kecil di Indonesia timur. Didorong oleh meningkatnya
kebutuhan dan iming-iming keuntungan yang lebih besar diperoleh jika barang langsung
didapatkan dari pemasok pertama mengakibatkan perdagangan pun mulai ramai dilakukan
ke daerah kepulauan yang menyediakan barang tersebut dan pada akhirnya memunculkan
pusat-pusat niaga seperti Sulawesi dan Maluku (Schrieke, 1955). Hal inilah yang kemudian
mengakibatkan etnis Tionghoa kemudian mengadakan perjalanan ke pusat-pusat niaga
yang mulai berkembang pada saat itu dan pada akhirnya hidup menetap.
Kampung Cina Tua yang berada di Yapen Waropen saat ini sudah tidak menyertakan
bangunan-bangunan yang sifatnya profan dan bangunan sakral seperti klenteng yang
menjadi ciri khas pecinaan dan juga konstruksi rumah etnis Tionghoa seperti model
atap yang melengkung sudah tidak ditemukan lagi. Walaupun begitu masih ada ciri-
ciri pecinaan yang masih tersisa di Kampung Cina Tua ini seperti deretan rumah yang
berhadap-hadapan di sepanjang jalan pusat pertokoan. Deretan rumah tersebut terdiri dari
rumah petak di bawah satu atap yang umumnya tidak mempunyai pekarangan. Sebagai
ganti pekarangan ditengah rumah terdapat ruangan tanpa atap untuk menanam tanaman
, untuk tempat mencuci piring dan menjemur pakaian. Ruangan paling depan dijadikan
ruangan tamu bahkan digunakan sebagai toko.
Berkaitan dengan keberadaan Kampung Cina Tua maka tentu ada faktor yang
mengakibatkan sehingga etnis Tionghoa membentuk komunitas di tempat ini dan jika
ditelusuri lebih dalam maka adapun latarbelakang imigrasi tersebut yakni dilatarbelakangi
oleh kekayaan alam yang dimiliki oleh daerah ini. Adapun yang dijadikan komoditi
perdagangan saat itu yakni antara lain: burung cenderawasih, damar, kulit bia lola

Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010 67


Marlin Tolla, Migrasi Etnis Tionghoa di Kabupaten Yapen Waropen

(dijadikan kancing baju untuk jas), kulit masohi (minyak lawang), sirip ikan hiu, dan
kulit buaya. Menurut sejarah para etnis Tionghoa dan masyarakat pribumi melakukan
perburuan buaya dan cendrawasih untuk dijual ke luar negeri melalui kapal-kapal Belanda
yang singgah di sana. Kulit buaya asal Yapen sangat diminati karena ukurannya yang
besar dan teksturnya yang bagus. Hal ini diperkuat dengan berita dari seorang musafir
Cina bernama Chau Yu Kua pada sekitar abad XIII menulis tentang suatu daerah bernama
Tungki yang merupakan nama Cina untuk Janggi atau Irian.
Dalam kompleks Kampung Cina tua, terdapat sebuah bangunan yang menurut
informan merupakan sebuah balai umum yang didirikan untuk menampung segala
kepentingan etnis Tionghoa saat itu, balai umum tersebut diberi nama Khong Oek dan
sekarang ini telah dipugar dan difungsikan sebagai kantor Komando Distrik Militer.
Khong Oek merupakan sebuah balai yang didirikan oleh para pendahulu etnis Tionghoa
di Yapen dengan tujuan antara lain sebagai pusat administrasi, tempat pertemuan, tempat
tinggal, dan juga difungsikan sebagai tempat pemujaan. Dalam kompleks pecinaan di
Indonesia, balai umum hampir selalu ditemukan yang pendiriannya dilakukan oleh
Kongsi yang terbentuk dalam komunitas etnis Tionghoa. Kata kongsi (M.gongsi) yang
sekarang ini secara luas dipergunakan dalam bahasa Indonesia dan Melayu dipergunakan
untuk setiap usaha bersama atau kemitraan, terutama kemitraan yang mengumpulkan
sumbangan keuangan mereka. Kongsi yang merupakan pembentuk dari balai umum
ini merupakan perkumpulan atau federasi yang sepakat untuk memasukkan modal dan
tenaga kerja dan keuntungannya dibagi bersama (Heidhues, Mary Somers2008:44).
Khong Oek dalam Kampung Cina tua ini kemungkinan menjalankan hal seperti yang
disebutkan diatas, hal ini merujuk pada balai umum yang ada di daerah pecinaan lainnya
di Indonesia seperti di Kalimantan barat, Sulawesi – selatan yang didalamnya masing-
masing mengurusi kegiatan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa. Di Kalimantan barat
misalnya, etnis Tionghoa di daerah tersebut kebanyakan berprofesi sebagai penambang
untuk itulah didirikan balai umum yang mengurusi segala yang berkaitan dengan kegiatan
mereka (Heidhues,Mary Somers;2008:45). Di Yapen sendiri etnis Tionghoa terdiri dari
pedagang dan diperkirakan Khong Oek dijadikan pusat untuk mengatur segala sesuatu
yang berkaitan dengan perniagaan dalam hal ini kegiatan perdagangan lokal maupun
sampai pada kegiatan ekspor – impor.

68 Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010


Marlin Tolla, Migrasi Etnis Tionghoa di Kabupaten Yapen Waropen

Selain itu dalam “pecinaan” ini juga terdapat sebuah kompleks Makam Cina dan
dari hasil deskripsi yang dilakukan diperoleh beberapa data seperti marga dan tempat
kelahiran yang dituliskan pada nisan yang diharapkan mejadi salah satu petunjuk yang
dapat menjawab permasalahan mengenai asal dan hal yang berkaitan dengan migrasi
mereka ke Yapen. Dari tulisan yang terdapat pada nisan terdapat beberapa marga seperti
Tan, lie, Kwan, Ham, Tjeng Sun an, The Tek,Ui maka diketahui bahwa kumpulan marga
tersebut adalah suku Hokkian dan Kanton yang termasuk dalam suku Han yang berdiam
di Propinsi Fujian dan Guangdong Tiongkok bagian selatan.

Foto 6 Foto 7
Foto 6 dan 7 Tulisan yang terdapat pada nisan Makam
(dokumentasi Balai Arkeologi Jayapura 2009)

Walaupun Hokkian dan Kanton berasal dari suku yang sama namun setiap kelompok
dialek tersebut dapat dibedakan dari keahlian yang dimiliki. Seperti suku Hokkian yang
lebih menguasai perdagangan sedangkan Kanton lebih pada pertukangan. Etnis yang
berasal dari Hokkian adalah etnis Tionghoa yang pertama kali bermukim di Indonesia
dalam jumlah yang sangat besar dan mereka merupakan golongan yang terbesar diantara
imigran-imigran yang lainnya. Dengan kepandaian berdagang ditambah dengan keuletan
yang dimiliki, mereka melakukan perjalanan kesetiap daerah yang merupakan pusat-
pusat perniagaan seperti Batavia dan juga pusat niaga yang dikelola oleh kerajaan kuno di
Indonesia saat itu seperti kerajaan Gowa-Tallo di Sulawesi Selatan dan kerajaan Tidore dan
Ternate. Tempat-tempat tersebut pada masa lampau merupakan pusat niaga yang begitu
ramai dengan perdagangan karena selain strategis kerajaan-kerajaan tersebut memiliki
kekayaan alam yang luar biasa sehingga tidak heran apabila sekarang ini pecinaan yang
ada didaerah tersebut merupakan perkumpulan dari suku Hokkian. Dari fenomena tersebut
maka diperkirakan suku Hokkian yang ada di Yapen merupakan kelompok Hokkian

Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010 69


Marlin Tolla, Migrasi Etnis Tionghoa di Kabupaten Yapen Waropen

yang menyebar dari Sulawesi selatan dan Maluku. Hal ini diperkuat dengan adanya data
yang menyebutkan bahwa hubungan yang amat spesifik adalah hubungan yang terjadi
antara Papua, Ternate dan Tidore. Disamping faktor geografis dalam hal ini jarak antara
kedua pulau yang dekat juga disebabkan oleh faktor perdagangan dimana pada masa itu
kerajaan Ternate dan Tidore merupakan kerajaan-kerajaan yang kuat dan disegani serta
amat besar pengaruhnnya di kawasan Indonesia timur. Dibawah kepemimpinan Sultan
Khairun dan Sultan Baabullah pengaruh kesultanan Tidore pada sekitar tahun 1580
telah sampai ke daerah yang batasnya Mindano sebelah utara, daerah Sumbawa sebelah
selatan, daerah Sulawesi sebelah barat dan pulau Papua. Selain itu pada awal abad ke-15
para pedagang Tionghoa bekerja di teluk Cendrawasih dan teluk Wandamen, dan pada
saat yang sama Sultan Tidore mengirim orang-orangnya untuk menagih pajak (Rustam,
2007). Dengan adanya data tersebut maka diperkirakan suku Hokkian yang ada di Yapen
ini mempunyai peranan penting dalam siklus perdagangan pada saat itu. Selain Hokkian,
juga terdapat Kanton yang berasal dari daerah yang sama yakni Tiongkok selatan. Seperti
halnya dengan suku Hokkian, suku Kanton juga membawa misinya ke Indonesia yakni
berdagang. Bedanya perdagangan yang mereka lakukan lebih khusus yakni berhubungan
dengan pertukangan seperti toko besi, toko mesin dan lain-lain dan kebanyakan mereka
adalah pemilik modal yang besar seperti yang terdapat di Jawa, Kalimantan timur dan
selatan, Jambi, Sumatera barat, Jawa tengah dan timur serta Sulawesi selatan dan utara
(Heidhues, 2008;17).
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa kerajaan seperti Ternate dan
Tidore begitu memegang peranan penting di Papua dalam hal kekuasaan selain negara-
negara dari Eropa. Dengan adanya hubungan yang terus menerus terjalin maka kontak
dalam hal pertukaran barang terjadi pada masing-masing pihak. Ternate dan Tidore yang
mewakili Maluku kaya akan rempah-rempah ternyata juga merupakan penghasil logam
yakni besi. Berdasarkan hal tersebut maka suku Kanton yang mempunyai latarbelakang
pedagang alat-alat pertukangan menjadi pihak perantara. Mereka memperdagangkan besi
yang didapatkan dari kepulauan Maluku kemudian menukarkannya dengan hasil bumi
seperti damar, kulit buaya, burung cendrawasih serta komoditi lainnya yang ada di Yapen.
Dari analisis tersebut diatas maka disimpulkan bahwa suku Hokkian dan Kanton
yang ada di Yapen merupakan suku yang pada awalnya telah melakukan perjalanan
dagang dari kerajaan-kerajaan di Indonesia timur saat itu seperti Gowa/Tallo dan

70 Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010


Marlin Tolla, Migrasi Etnis Tionghoa di Kabupaten Yapen Waropen

Kerajaan Ternate dan Tidore di kepulauan Maluku sebagai pedagang perantara dan
distribusi barang-barang impor dan hasil bumi pedesaan.Selanjutnya kedua suku tersebut
dalam proses migrasinya ke Yapen akhirnya mengadakan perkawinan dengan masyarakat
pribumi di Yapen yang pada akhirnya memunculkan sebuah istilah “peranakan Cina
Serui” (Prancis), serui adalah nama dulu Yapen.
Perkawinan antara masyarakat pribumi dengan etnis tionghoa dalam hal ini
suku Hokkian dan Kanton, dilatarbelakangi oleh belum adanya perempuan Cina yang
bermigran keluar Cina pada sekitar abad-19. Saat dimana kapal uap belum ada pada
saat itu, sehingga para lelaki Cina mencari perempuan lokal untuk dijadikan istri dan
hal ini hampir sama dilakukan di setiap daerah di Indonesia seperti di Jawa yang pada
akhirnya memunculkan istilah Cina peranakan, hasil perkawinan antara Cina totok
dengan perempuan lokal. Selain itu kemungkinan lain yang menyebabkan sehingga
etnis Tionghoa kemudian melakukan perkawinan dengan orang asli Yapen adalah faktor
kemudahan untuk memperoleh komoditi yang diperdagangkan. Dalam artian bahwa
dengan mengawini perempuan asli pribumi maka barang yang didapatkan dari masyarakat
pribumi akan lebih mudah didapatkan dan tentu dalam proses transaksi barang harga akan
lebih murah apabila dibantu oleh istri yang berasal dari masyarakat pribumi dalam hal ini
perempuan asli Yapen. Dengan cara inilah maka ditemukan kemudahan dalam menjalin
koneksi dengan para mitra dagang lokal (orang asli Yapen).

Foto. 8 Foto 9

Foto. 8 dan 9 Perkawinan Etnis Tionghoa dan Wanita Asli Yapen


(dokumentasi Balai Arkeologi Jayapura 2009)

Salah satu data yang menjadi petunjuk dalam mengungkap migrasi etnis
Tionghoa ke Yapen adalah keramik. Pada masa ini Keramik cina masih dapat ditemukan
dan dipelihara di setiap rumah yang ada dalam perkampungan cina, sebagian besar
dijadikan sebagai penghias ruang tamu. Kehadiran keramik di Yapen sebagai salah satu

Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010 71


Marlin Tolla, Migrasi Etnis Tionghoa di Kabupaten Yapen Waropen

data arkeologi dapat digunakan untuk mengungkap beberapa masalah kehidupan dan
kebudayaan manusia masa lampau, misalnya dapat menggambarkan pola atau sistem dari
aktivitas manusia dalam hal kehidupan sosial, perekonomian, perdagangan dan hubungan
antara penguasa pemerintahan antarnegara pada masa bersangkutan (Soegondo, 1993).
Selama ini terdapat berbagai pendapat maupun dugaan mengenai keberadaan keramik
di suatu situs diantaranya karena ada aktivitas perdagangan yang mencapai puncaknya
pada abad ke-16, selain itu keramik dibawa ke Indonesia sebagai bawaan, souvenir atau
cenderamata yang dilakukan oleh para penguasa masa lampau (Hadimulyono,1985:1059).
Berdasarkan data sejarah, aktivitas perdagangan di Nusantara dimulai sejak abad ke-3
sebelum Masehi, selanjutnya sekitar abad 3-4 Masehi, Indonesia telah mengadakan
hubungan dengan Cina (Astawa,1991:204-205) dengan melalui dua jalur perdagangan
yaitu jalur timur dan jalur barat. Jalur barat yaitu meliputi Vietnam, Thailand, Malaysia,
Sumatera, Jawa, Bali dan Timor. Kapal-kapal yang mengangkut barang dagangan dari
Malaysia berlayar menyusuri pantai utara dan pulau Jawa, Bali dan Timor dan selanjutnya
ke Ternate.
Adapun barang-barang yang diperdagangkan oleh etnis Tionghoa yaitu antara
lain: sutera, kain barokat, besi, mata uang logam,barang kerajinan dan keramik.Keramik
dalam masyarakat etnis Cina adalah salah satu benda yang memiliki nilai tukar yang
cukup besar dalam perdagangan pada masa lalu hal ini di didasarkan pada bukti arkeologis
yang ada diseluruh nusantara serta data-data tertulis mengenai itu. Dengan besarnya nilai
sebuah keramik pada masa lalu maka alat yang dipertukarkan juga mempunyai nilai yang
harus sama dengan barang yang dipertukarkan dengannya. Di Yapen sendiri keramik
dipertukarkan dengan damar yang ditemukan di daerah Waren. Seperti kita ketahui damar
merupakan salah satu komoditi unggulan pada masa lalu. Berdasarkan bahan, campuran
dan motif berupa sulur-suluran yang terdapat pada tubuh keramik maka diduga keramik
yang terdapat di Yapen berasal dari dinasti Ming dan Qing.

Penutup
Migrasi yang dilakukan oleh Etnis Tionghoa dalam hal ini suku Hokkian dan
Kanton yang berasal dari Cina daratan bagian selatan yang terdapat di Kabupaten Yapen
Waropen merupakan sebuah akibat dari perjalanan dagang yang dilakukan pada kerajaan-
kerajaan di Indonesia timur seperti Gowa/Tallo dan Kerajaan Ternate dan Tidore. Seperti

72 Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010


Marlin Tolla, Migrasi Etnis Tionghoa di Kabupaten Yapen Waropen

diketahui Yapen Waropen dalam kurun waktu tersebut terkenal sebagai sebuah daerah yang
cukup kaya akan hasil bumi seperti bulu cendrawasih, damar dan kulit buaya. Dalam hal
ini maka kedua suku tersebut memposisikan dirinya sebagai pedagang perantara barang-
barang impor dan hasil bumi pedesaan yang kemudian di didistribusikan ke kerajaan-
kerajaan yang pada saat itu menjadi pusat-pusat perniagaan di bagian Timur Indonesia.
Dalam proses tersebut kedua suku dalam hal ini suku Hokkian dan Kanton
mengawini gadis – gadis Yapen Waropen untuk mempermudah mereka dalam memperoleh
hasil bumi Yapen Waropen yang pada akhirnya menghasilkan keturunan yang disebut
peranakan Cina Serui (Prancis), Serui adalah nama dahulu Yapen.

Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010 73


Marlin Tolla, Migrasi Etnis Tionghoa di Kabupaten Yapen Waropen

DAFTAR PUSTAKA

Ascher, Robert. 1971. “ Analogy and Archaeological Interpretation”, dalam James Deetz,
Man’s Imprint From the Past. Boston: Little Brown and Company. Hlm.
262-271.
Creel, H.G.1953. Chinese Thought from Confucius to Mao Tse-tung, The Univesity
Of Chicago Press, (terjemahan bahasa Indonesia: Alam pikiran Cina Sejak
Confucius Sampai Mao Zedong, PT. Tiara Wacana Yogya,1990)
Handoko,Wuri. 2007. Aktivitas Perdagangan Lokal di Kepuluan Maluku Abad 15-19.
Kapata. Volume 3 No.4. Balai Arkeologi Ambon.
Heidhues, Mary Somers. 2008. Penambang Emas, Petani, dan Pedangang di ‘Distrik
Tionghoa’ Kalimantan Barat. Jakarta:Yayasan Nabil.
Joe Lan,Nio. 1952. Tiongkok Sepandjang Abad. Jakarta: Balai Pustaka.
Onghokham. 2008. Anti Cina kapitalisme Cina dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis C i n a
di Indonesia. Jakarta:Komunitas Bambu.
Prasetyo,Bagyo. 2009. “Perkembangan Hasil Penelitian Arkeologi di Tanah Papua”
dalam Seminar Semarak Arkeologi, Papua.
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional,1996. Buku Panduan Keramik.
Schiffer, Michael B. 1976. Behavioral Archaeology. New York: Academic Press
Yutang,Lin (editor). 1955. Wisdom of China,Jaico (Terjemahan Bahasa Indonesia:
Penguasa Bijak: Berguru pada Demokrasi Cina Kuno,Curiosita,2004)
Walter A.Fairservis,Jr. 2009. Asal – usul peradaban orang-orang Jawa dan Tonghoa.
Surabaya: Selasar Publishing.

74 Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010

Anda mungkin juga menyukai