Anda di halaman 1dari 39

Tentang asal mula suku Dayak

Tentang asal mula suku bangsa Dayak, banyak teori yang diterima adalah teori imigrasi
bangsa China dari Provinsi Yunan di Cina Selatan. Penduduk Yunan ber-imigrasi
besar-besaran (dalam kelompok kecil) di perkirakan pada tahun 3000-1500 SM (SM).
Sebagian dari mereka mengembara ke Tumasik dan semenanjung Melayu, sebelum
ke wilayah Indonesia. Sebagian lainnya melewati Hainan,Taiwan dan Filipina.

Pada migrasi gelombang pertama yang oleh beberapa ahli disebut Proto-Melayu,
datanglah kelompok Negroid dan Weddid. Sedangkan gelombang kedua, dalam jumlah
yang lebih besar di sebut Deutero-Melayu. Para migran Deutero-Melayu kemudia
menghuni wilayah pantai Kalimantan dan disebut suku Melayu. Proto-Melayu dan
Deutero-Melayu sebenarnya berasal dari negeri yang sama.

Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari Asia terjadi pada fase pertama zaman Tertier. Saat
itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian Nusantara masih
menyatu, yang memungkinkan ras Mongoloid dari Asia mengembara melalui daratan
dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut
pegunungan Muller dan Schwaner.

Dari pegungungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan.


Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri
sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977-1978).

Cerita selanjutnya suku Dayak adalah tentang bagaimana mereka menghadapi


gelombang-gelombang kelompok lain yang datang ke Kalimantan. Suku Dayak pernah
membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai
Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit,
yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur, 1971). Kejadian
tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah
pedalaman.

Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan
Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608). Sebagian
besar suku Dayak memeluk Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi
menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak
yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di
Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari,
Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak
masuk rimba. Orang Dayak pemeluk islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan
dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Banjar yang terkenal adalah
Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan.
Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming
tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama
di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa
datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan
tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang,
terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga
dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian
suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik (Departeman
Pendidikan dan Kebudayaan,1977-1978).

Bahkan sumber lain menyebutkan sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di
Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke
selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok
pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila
dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari
Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga
barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring,
cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)

(Tempun Petak Nana Sare, Kartika Rini, 2005)

Migrasi pertama kemungkinan terjadi ketika orang luar datang dari daerah Yunnan Cina Selatan
sekitar tahun 3000 – 1500 SM (Zaman glasial/zaman es) menggunakan perahu bercadik melalui
Indocina ke semenanjung Malaya ke selatan Kalimantan, kelompok ini disebut dengan ”Proto-
Melayu”. Sedangkan gelombang kedua, dalam jumlah yang lebih besar di sebut Deutero-Melayu.
Para migran Deutero-Melayu kemudia menghuni wilayah pantai Kalimantan dan disebut suku
melayu. Proto-melayu dan Deutero-melayu sebenarnya berasal dari negeri yang sama .
Kedatangan bangsa melayu Sumatera & Semenanjung Malaya ke Kalimantan memaksa suku
dayak yang tinggal di tepi sungai Kapuas pindah ke hulu-hulu sungai; migrasi bangsa Cina Ke
Kalbar sejak abad ke – 17 melalui rute Indocina-Malaya-Kalbar & Borneo Utara-Kalbar sebagai
tenaga pekerja emas di Monterado (Sultan Sambas & Panembahan Mempawah).

Menurut H.TH.Fisher, migrasi dari Asia terjadi pada fase pertama zaman Tretier. Saat itu, benua
Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara masih menyatu, yang
memungkinkan ras Mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan
dengan melintasi pegunungan yang sekarang di sebut pegunungan Muller-Schwaner.

Dari pegungungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam
rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan
kemudian mendiami pesisir pulai Kalimantan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1977-
1978)
Cerita selanjutnya tentang suku dayak, dalam menghadapi gelombang-gelombang kelompok lain
yang datang ke Kalimantan. Umumnya orang Dayak enggan tinggal bersama satu pemukiman
dengan suku lain, mereka lebih senang pindah dan membuka kampung baru ke arah hulu sungai .
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan yang menurut tradisi lisan dayak, disebut
”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit,
yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (fridolin ukur,1971). Kejadian tersebut
mengakibatkan suku dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Migrasi
orang Dayak sendiri memilik berbagai cerita yang berbeda namun secara umum bisa dilihat dari
gambaran mingrasi Dayak yang terjadi oleh suku Dayak Kenyah dan Kayan. Migrasi dan asal
muasal Dayak Ngaju yang konon merupakan induk beberapa anak suku dayak yang ada di
Kalimantan memiliki sejarah tersendiri dalam kaitan sejarah migrasi kependudukan di
Kalimantan.

Menurut Hose (1990 : 7) dalam teks orisinal yang ditulis pada tahun 1926 dikemukakan bahwa
beberapa abad yang lalu suku Iban merupakan salah satu suku yang mungkin merantau dari
Sumatera. Hipotesis dari Adelaar yang mengatakan migrasi kembali ke Kalimantan
menunjukkan kemungkinan orang Dayak memang berasal dari Kalimantan yang pindah ke luar
dan pada akhirnya kembali lagi ke Kalimantan. Dewasa ini karena banyaknya migrasi,
pernikahan di luar kelompok asli, dan juga orang Dayak yang pecah dari kelompoknya
menyebabkan sulit untuk menemui tokoh masyarakat adat yang bisa menceritakan mitos dan
sifat-sifat lain budayanya padi atau keperluan hidup sehari-harinya saja. 1

Tampaknya sekitar abad ke-11 suku Melayu masuk (atau kembali) ke Sambas, Mempawah,
Sangga, Sintang dan kemudian menyebar ke tempat lain. Menurut pendapat umum agama Islam
menyebar ke Kalimantan sekitar abad ke-15. Ini menunjukkan bahwa Islam masuk setelah orang
Melayu dan Jawa membawa unsur-unsur agama Hindu dan budaya dari zaman Sriwijaya dan
juga dari zaman Majapahit ke Kalimantan. Salah satu Kerajaan Hindu tertua di Kutai didirikan
sekitar abad keempat, tepatnya di Kalimantan Utara. Disebutkan bahwa di candi Borobudur ada
gambar laki-laki dengan telinga panjang yang sepertinya menggunakan sumpit yang panjang.
Relief ini mungkin melukiskan orang Dayak (Avé 1986 : 13). Menurut Kühr (1995 : 53) dewa-
dewi orang Dayak yang tinggal di pinggir sungai Kapuas, sebenarnya diberi nama dewa-dewi
Hindu-Jawa yang didayakkan seperti; Petara (Batara), Jubata (Déwata) dan Sengiaug (Sang
Hyang). 1

Di samping back migration (merantau kembali) orang Melayu, bangsa Tionghoa berlayar ke
pantai Asia Timur pada abad ketiga untuk perdagangan dan kembalinya melalui Kalimantan dan
Filipina dengan memanfaatkan angin musim. Bangsa Tionghoa adalah kelompok etnis yang
cukup penting dalam sejarah Kalimantan, sehingga sejarah mereka penting disorot. 1

Sekitar abad ketujuh orang Tionghoa mulai menetap di Kalimantan tetapi mereka tetap bercorak
Cina dan hubungan dengan negeri leluhur mereka selalu dipelihara. Pada tahun 1292 pasukan
Kubilai Khan dalam perjalanannya untuk menghukum raja Kertanegara dari Majapahit di Jawa
singgah di pulau Karimata yang terletak tidak terlalu jauh dari Pontianak. 1

Kawasan tersebut termasuk jaringan lalu lintas rute pelayaran dari daratan Asia ke Asia selatan.
Pasukan Tar-tar dari Jawa menderita kekalahan total dalam pertempuran dengan pasukan Kubilai
Khan. Ada kemungkinan bahwa sebagian besar pasukannya lari dan menetap di Kalimantan
karena mereka takut dihukum oleh pejabat Kubilai Khan yang masih ada di Jawa. 1

Sumber lain menyebutkan, Bangsa Tionghoa diperkirakan mulia datang ke Kalimantan pada
masa dinasti Ming, tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhurup kanji disebutkan bahwa kota
yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa
Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk dayak dan tidak
memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar
di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang dayak. Peninggalan bangsa
Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan
peralatan keramik (departeman Pendidikan dan Kebudayaan,1977-1978)

Agama Islam di Kalimantan juga ikut disebarkan oleh orang Tionghoa. Pada tahun 1407 berdiri
perkumpulan masyarakat Tionghoa Hanafi yang menganut Islam di Sambas. Laksamana Cheng
Ho seorang Hui adalah penganut Islam dari Yunan yang atas perintah Cheng Tsu3 dan anak
buahnya masuk untuk menguasai daerah tersebut. Dia menetap di sana dan menikah dengan
penduduk setempat, serta menyebarkan agama Islam kepada penduduk lokal. 1.

Pengaruh Islam diperkuat oleh kerajaan demak terutama di Kalselteng bersama masuknya para
pedagang melayu (sekitar tahun 1608). Sebagian besar suku dayak memeluk islam tak lagi
mengakui dirinya sebagai orang dayak, tapi menyebutnya sebagai orang melayu atau orang
banjar. Sedangkan orang dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke
pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari,
Watang Amandit, Labuan Lawas dan watang Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk
rimba. Orang dayak pemeluk islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagain Kota
Waringin, salah seorang sultan kesultanan banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat
sebenarnya adalah seorang dayak (Maanyaan atau Ot danum?)

Pada tahun 1609 Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang aktif dari tahun 1602-1799
menjalin peniagaan dengan kerajaan Sambas, yang pada waktu itu masih di bawah kedaulatan
kerajaan Johor. Dalam waktu yang relatif pendek perselisihan terjadi dan beberapa orang
Belanda dibunuh oleh masyarakat Sambas. Pada tahun 1612 tindakan pembalasan oleh VOC
terjadi, sebuah kampung di Sambas juga dibakar. 1

Pada abad ke-17 sudah ada dua rute laut dari Cina melalui Indo-Cina ke Nusantara. Pertama
yang terus ke Malaya dan pantai Sumatra Timur lalu ke Bangka-Belitung serta pantai Kalbar,
terutama Sambas dan Mempawah. Rute laut kedua melalui Borneo Utara terus ke Sambas dan
pedalaman Sambas dan Mempawah Hulu. 1

Pada tahun 1745 gelombang besar masyarakat Tionghoa datang dengan persetujuan Sultan
Sambas untuk membuka tambang-tambang emas. Pada waktu itu sepertujuh produksi emas dunia
diperkirakan berasal dari Kalbar. Orang Tionghoa membentuk kongsi di Montrado dan di
Mandor, kongsi itu semakin lama semakin kuat. Perkongsian itu menetap di daerah tersebut dan
wajib membayar upeti kepada sultan Melayu. Pembayaran itu mengakibatkan sultan memberi
izin kepada orang Tionghoa untuk mengatur daerah sendiri, seperti urusan pemerintahan lokal
dan punya pengadilan sendiri. Orang Dayak yang tidak merasa cocok dengan kekuatan orang
Tionghoa berpindah ke luar daerah kekuasaan kongsi tersebut.

Gelombang perantau baru dari Tiongkok masuk karena hidup di Kalimantan aman dan ada
cukup kesempatan untuk mencari emas, intan, perak dan juga karena tanahnya cukup subur. Pada
tahun 1777, orang Tionghoa dari suku Tio Ciu dan suku Khe yang mencari emas di Mandor dan
Montrado mendirikan Republik Lan Fong di Mandor, enam tahun setelah kota Pontianak
didirikan. Pada umumnya hanya laki-laki Tionghoa yang merantau, ini dikarenakan mereka
cepat berbaur dan bisa memperistri wanita Dayak atau Melayu. Kelompok Tionghoa cepat
berkembang sehingga jumlah mereka mencapai 30.000 jiwa. Pada waktu itu, setelah mereka
berkembang mereka berani melawan pemerintahan sultan. Beberapa pertempuran terjadi antara
kongsi-kongsi dan pangeran dari Sambas.

Pada tahun 1818 bendera Belanda dikibarkan di Sambas dan atas alasan perjanjian Belanda
dengan Sultan, kepala-kepala Tionghoa sebenarnya berada di bawah kekuasaan Belanda. Setelah
beberapa pertempuran berat terjadi, kekuasaan kongsi-kongsi Tionghoa dibubarkan di seluruh
daerah Kalimantan Barat dan Republik Lan Fong Mandor yang berkuasa selama 107 tahun dan
Republik Montrado yang berkuasa selama 100 tahun diakhiri (Lontaan 1975 : 256).

Sekitar 18 bulan setelah G30S meletus di Jawa, yang menyebabkan Soeharto menjadi pemimpin
Indonesia, orang Dayak mengusir sekitar 45.000 jiwa Tionghoa dari pelosok dan membunuh
ratusan jiwa Tionghoa, sebagai aksi politik untuk mengimbangi masalah pada zaman dahulu
(Schwarz 2004 : 21). Dari tulisan di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintah kolonial
mempengaruhi kehidupan orang Dayak, dan juga bahwa sejarah orang Tionghoa, Melayu dan
Dayak sangat terjalin.

Apa yang sudah disebutkan di atas, orang Melayu masuk dari Sumatra dan dari Semenanjung
Malaka sekitar abad ke-11 atau ke-12 dan berbaur dengan orang Dayak. Pada umumnya mereka
mendiami daerah pinggir laut dan menjadi perantara orang luar dan orang Dayak yang ingin
menukar atau menjual hasil hutan. Orang Melayu juga berbaur dengan keturunan orang Jawa
yang sudah masuk sebelumnya. Seorang Ratu dari keturunan Hindu Majapahit yang memerintah
daerah Sambas pindah ke agama Islam untuk memudahkan perniagaan dan mengembangkan
hubungan baik dengan Johor dan Brunei yang sudah masuk Islam. Dewasa ini istilah Melayu
digunakan sebagai kontras Dayak dengan Melayu. Istilah Melayu tidak digunakan sebagai
referensi etnis tetapi sebagai referensi Islam kontras non-Islam. Peningkatan jumlah besar orang
Melayu di Kalimantan disebabkan oleh orang asli atau Dayak yang memeluk Islam dan bukan
karena jumlah besar orang Melayu yang merantau ke Kalimantan. Orang Dayak yang memeluk
Islam tidak berarti bahwa mereka selalu memeluk secara penuh tetapi mungkin hanya secara
nominal.

Pada zaman dahulu, orang Dayak yang tidak mau dikuasai oleh suku lain terdesak dari pantai ke
pedalaman Kalbar. Tergantung kekuatan suku Dayak tertentu, mereka membayar upeti atau
tidak. Upeti dibayar dalam bentuk hasil hutan kepada sultan yang dibawa dengan sampan oleh
pedagang Melayu ke hilir, ke pusat perdagangan di pinggir laut. Ada juga suku Dayak yang
bertahan yang disebut “Dayak merdeka” dan mereka tidak dikuasai langsung oleh kerajaan
Melayu pada zaman dahulu
Migrasi yang dilakukan oleh penduduk Tionghoa ke Kalimantan awalnya di daerah
Singkawang (Monterado), karena konon ceritanya dari kejauhan laut terpencar sinar
berwarna kuning, yang berrati banyak emas. Sejak itu dimulailah berbondong-bondong
masyarakat Tionghoa masuk ke wilayah Kalimantan (Kalimantan Barat) dan banyak
membuka pertambangan emas. Setelah itu masuk penjajahan Belanda yang ikut berperan
berinvestasi emas di wilayah Singkawang. Selain itu juga dipengaruhi oleh migrasi dari
Bugis, Melayu (Sumatera Semenanjung), Arab, Jawa. Dimana mereka masuk melalui
muara sungai-sungai (Mempawah, Selakau, Kapuas), mereka pada umumnya menjadikan
Kalimantan Barat awalnya sebagai tempat singgah dan berdagang, namun pada lama
kelamaan ada yang memulai berinvestasi tanah dan melakukan perkawinan di sekitar
pesisir sungai.

Migrasi Suku-suku Lain di Indonesia ke Kalimantan

Bugis – Bajau

[3]Serbuan Imigan dari orang-orang Bugis dari Sulawesi Selatan ke Kalseltim sekurang-
kurangnya dimulai pada abad ke – 16. Para pelaut bugis terlibat dalam perdangangan dan
pengangkapan ikan.

Pada awal tahun 1950-an terjadi gelombang imigran baru dari orang Bugis yang karena
penderitaan akibat pemberontakan Islam Kahar Muzakar di Sulsel (Vayda dan Sahur 1985).
Mereka kemudian disusul oleh kerabatnya dan mulai membuka daerah-daerah hutan didataran
rendah yang luas di sepanjang jalan untuk usaha tani lada dan perdaganan lainnya. Pada tahun
1990-an migrasi orang bugis lebih pada kencendrungan mencari pekerjaan pada sektor usaha
eksploitasi SDA seperti pertambangan.

Di daerah pantai barat laut Sabah dan sepanjang daerah pantai timur terdapat banyak suku Bajau,
yang semual dikenal sebagai petualang laut ; penjelajah Laut Sulu untuk mencari ikan dan hasil
laut lainnya (Sopher 1965; Rutter 1930).

Jawa – Bali – Madura

Pendatang dari jawa telah ada dalam jumlah besar di kalimantan dalam abad ke-14 dan ke-15
semasa puncak kejayaan Kerajaan majapahit di Jawa Timur. Pengaruh mereka masih dapat
dilihat dalam bahasa dan budaya serta tatacara istana di Banjarmasin, sambas dan Kotawaringain
(Ave dan King 1986). Migran baru terus berdatangan dan banyak yang berhasil mengerjakan
sawah lahan basah pasang surut di Kalimantan Selatan (Collier 1977, 1980).

Petani muskin yang cukup besar jumlahnya dari Jawa dan Bali juga telah dimukimkan kembali
di kalimantan melalui program transmigrasi yang disponsori pemerintah. Banyak pekerja kasar
di industri perminyakan, perkayuan dan kini juga pendatang dari Jawa (termasuk di kegiatan
illegal). Masyarakat Madura terdapat di Kalimantan barat, Tengah dan Selatan membawa orang
madura ke Kalimantan akhir abad yang lalu sebagai bagian dari program kolonisasi mereka.
Orang Madura menduduki berbagai lapangan pekerjaan, dari mengemudi beca, bertani dsb.

A.2.1. Jaman Pra Sejarah

Suku Dayak dikatakan sebagai salah satu kelompok etnis tertua di Kalimantan. Menurut mitos,
nenek moyang orang Dayak berasal dari Kalimantan. Namun catatan sejarah tentang orang

Dayak sebelum tahun 1850 sebenarnya sanga t nihil.

Ada beberapa hipotesis dari para ahli, seperti dari Kern dan Bellwood yang menunjukkan bahwa
orang pada zaman sekarang di Nusantara mungkin berasal dari Yunan, Tiongkok yang datang ke
Nusantara secara bergelombang beberapa milenium sebelumnya. (Avé 1996 : 6).01

Suku Dayak diperkirakan mulai datang ke pulau Kalimantan pada tahun 3000-1500 sebelum
Masehi. Mereka adalah kelompok-kelompok yang bermigrasi dari daerah Yunnan, Cina Selatan.
Kelompok ini disebut Proto-Melayu. Dari daratan Asia kelompok-kelompok kecil tersebut
mengembara melalui Indocina ke Semenanjung Malaya, berlanjut ke pulau-pulau di Indonesia,
termasuk Kalimantan. Beberapa kelompok lain diperkirakan ada yang melalui Hainan, Taiwan
dan Filipina.

Beberapa kelompok, terutama yang kemudian menetap di bagian selatan Kalimantan,


kemungkinan besar untuk beberapa waktu singgah di Sumatera dan Jawa. Perpindahan ini
terjadi pada zaman glasial (zaman es), dimana permukaan laut sangat surut sehingga dengan
perahu-perahu kecil mereka dapat menyeberangi perairan yang memisahkan pulau-pulau itu.
Teknologi perundagian yang telah dikenal di daratan Asia sekitar tahun 1500 sebelum Masehi
memungkinkan perpindahan mereka menggunakan perahu bercadik. Masa bercocok tanam
diperkirakan dimulai sekitar tahun 1000 sebelum Masehi. Beliung persegi dan kapak persegi
yang dibuat dengan teknologi perundagian ditemukan di Nanga Balang, Kapuas Hulu. Kehidupan
religi pada zaman ini adalah memuja roh nenek moyang, sesuai dengan kehidupan masyarakat
zaman Megalithikum

Bukti awal yang diketahui tentang keberadaan manusia di Kalimantan adalah sebuah tengkorak
Homo sapien yang ditemukan di Ambang Barat Gua Besar di Niah, Sarawak. Tengkorak tersebut
memiliki pertanggalan mutlak [hasil pertanggalan radiocarbon C-14 terhadap matriks tanah
tempat tengkorak tersebut ditemukan] lebih dari 35.000 tahun. Meskipun masih terdapat
perdebatan tentang usia tengkorak tersebut, Niah tetap merupakan situs yang penting, karena
mengandung rekaman data tingkatan okupasi manusia terlama di Asia Tenggara, Gua Niah
merupakan sebuah situs dari Plestosen Atas yang banyak mengungkapkan gaya hidup manusia
Paleolitik pendukung budaya manusia yang sudah menggunakan alat dalam menunjang
kehidupan sehari-harinya.3a
Gua-gua di Niah menunjukkan budaya penggunaan alat-alat dari batu yang lebih canggih dari
20.000 tahun yang lalu; alat-alat dari batu ini mungkin digunakan untuk membunuh dan
memotong-motong makanan, dan kemudian jadi model pembuatan alat-alat lain dari bambu dan
kalu dan tulang.0b

Manusia purba di Borneo berburu binatang, menangkap ikan dan mengumpulkan hasil hutan
dalam kurun waktu 40.000-20.000 tahun yang lalu. Diantara tulang-tulang yang patah dan
terbakar di Niah terdapat tulang-tulang binatang yang sekarang sudah punah, termasuk tapir
Tapirus indicus, trenggiling purba, manis palaeojavanica dan celurut bergigi putih Crocidura
fuliginosa. Manusia purba juga berburu kancil Traqulus spp, orang utan Pongo pygmaeus dan
rusa Cervus unicolor, badak Sumatera Dicerorhinus sumatrensis serta beruang madu Helarctos
malayanus. Tikus babi Hylomys suillus dan biul Melogale orientalis tercata dari ekskavasi di Niah.
Binatang-binatang tersebut sekarang hanya dapat ditemukan di tempat-tempat yang lebih sejuk
dan di lereng-lereng yang lebih tinggi di G. Kinabalu. Hal ini mendukung teori yang mengatakan
bahwa iklim pada akhir Pleistosen lebih dingin. Manusia purba juga membawa ikan, burung,
biawak dan buaya ke dalam gua. Gua-gua di Niah menunjukkan budaya penggunaan alat-alat
dari batu yang lebih canggih dari 20.000 tahun yang lalu; alat-alat dari batu ini mungkin
digunakan untuk membunuh dan memotong-motong makanan, dan kemudian jadi model
pembuatan alat-alat lain dari bambu dan kalu dan tulang.0b

Hasil ekskavasi terbaru di Madai, Sabah, memperlihatkan bukti lebih jauh tentang migrasi awal
dan penghunian manusia di seluruh Kepulauan Indonesia dengan penanggalan mutlak 30.000
tahun. Tejadinya perhubungan darat pada masa Plestosen, gelombang kedatangan manusia
masa lampau menyapu daerah-daerah kepulauan di Paparan Sunda dari Asia. Orang-orang
Negrito, nenek moyang bangsa aborigin Australia dan Melanesia, mungkin telah menghuni Gua
Niah pada 50.000 tahun yang lalu, lalu digantikan oleh gelombang kedatangan Mongoloid
Selatan. Saat gelombang migrasi menyapu daerah kepulauan, mereka bercampur dan
melakukan persilangan dengan penduduk asli. Beberapa suku di Asia Tenggara seperti Negrito
Malaysia memiliki budaya berburu dan mengumpulkan makanan yang masih primitif. Hal tersebut
mengarahkan dugaan bahwa orang-orang Penan (Punan) juga berasal dari penduduk Negrito
asli Kalimantan.

Beberapa kelompok suku bangsa di Asia Tenggara seperti bangsa Negrito dan bangsa Malay
adalah pemburu primitif dan pengumpul. Suku Penan mungkin merupakan keturunan bangsa
Negrito yang merupakan penduduk asli Borneo. Namun ada juga spekulasi yang mengatakan
bahwa suku Penan mungkin sudah beralih dari cara hidup sebagai pemburu-pengumpul menjadi
masyarakat petani (Bellwood 1985; Hoffman 1981). Suku Penan mendiami sebagian besar
daerah berhutan di Serawak dan Kalimantan. Mereka tinggal di kemah-kemah sementara dengan
beberapa keluarga, berburu dengan sumpit, memanen sagu liar , mengumpulkan buah-buahan
liar seperti rambutan, durian dan manggis serta menukarkan hasil-hasil hutan dengan
masyarakat petani di sekitarnya, seperti suku Kayan (Hose dan McDougall 1912; Kedit 1978).
Apakah benar suku Penan berasal dari bangsa Negrito atau bangsa Mongolia yang bermigrasi
lebih akhir seperti suku Dayak, gaya hidup mereka sangat mencerminkan gaya hidup manusia
purba. 2

Di Kalimantan Selatan Pegunungan Meratus yang terbentuk dari karst batu gamping yaitu jenis
butuan yang sangat baik untuk mengkonservasi tulang secara alamiah. Jika harus dicari jejak-
jejak masa lalu manusia prasejarah di daerah Kalimantan Selatan, maka pegunungan kapur
seperti ini adalah salah satu tempat yang paling memberikan harapan untuk padang perbuman
jejak manusia prasejarah antara lain harus diarahkan pada celah-celah batu gamping di
Pegunungan Meratus yang banyak menyimpan gua-gua alamiah, baik berupa ceruk (rock
shelter) maupun gua (cave).

Penelitian intensif ekskavasi di Gua Babi di Bukit Batu Buli (Tabalong, Kalimantan Selatan)
selama 1995 - 1999 berhasil menemukan komponen manusia yang bersifat fragmentaris dengan
kuantitas yang cukup tinggi. Berdasarkan karakter morfologisnya diketahui adanya tidak kurang
dari 11 individu yang terdiri dari dewasa dan anak-anak. Penemuan rangka manusia di Gua
Tengkorak pada 1999 memberikan indikasi yang sangat penting dan signifikan tentang ras
manusia pendukung budaya kawasan Bukit Batu Buli, yaitu Austromelanesoid.

Di Kalimantan Selatan, aktivitas masyarakat prasejarah pada masa berburu dan meramu tingkat
sederhana ditunjukkan dengan adanya bukti beberapa tinggalan budaya paleolit yang ditemukan
di Awangbangkal Aranio (Kabupatcn Banjar) berupa kapak perimbas oleh seorang geolog
bernama Toer Soetardjo pada tahun 1958. Sebelumnya, H. Kupper pada tahun 1939 juga
menemukan alat-alat batu di daerah tepi selatan sungai Riam Kanan di Awangbangkal. Alat-alat
yang ditemukan digolongkan sebagai unsur budaya kapak perimbas dibuat dari batu kuarsa
terdiri dari 5 buah kapak perimbas dan 2 (dua) buah alat serpih.3a

Bentuk pertama pertanian menetap mungkin berkaitan dengan introduksi sagu dari Indonesia
bagian timur, sagu lebih banyak tumbuh di rawa-rawa pesisir yang lembab. Masyarakat purba
mungkin mengambil pati dari sagu ini, lalu memelihara tumbuhan sagu, seperti yang dilakukan
oleh suku Melanau di delta Rejang, Serawak. Masyarakat pesisir dan pinggiran sungai mulai
menangkap ikan dan mengumpulkan moluska air tawar; dengan kemampuan untuk memanen
sagu secara teratur, kemudian terbentuk pemukiman menetap (Ave dan King 1986).0b

Perubahan gaya hidup yang cukup penting terjadi bersamaan dengan penemuan biji besi dan
cara-cara untuk mengekstraksi dan mengolahnya. Di Borneo ada beberapa tempat dengan
endapan biji besi dan penduduk asli sudah menggunakan di delta-delta sungai di Kuching.
Serawak pada tahun 1.000 (Ave dan King 1986). Keterampilan dalam membuat alat-alat dari besi
mungkin sudah ada sebelumnya,bersamaan dengan dikenalkan dengan pengenalan artefak dari
besi dan perunggu tembaga dan tekhnologi penggunaannya dari orang-orang Vietnam, Cina dan
India antara abad ke 6 ke 10 (Bellwood 1985). Gua Agop Atas pada batu kapur Madai sudah
dihuni dari tahun 200-500 dan di dalamnya terdapat pecahan-pecahan tembikar, perunggu dan
besi. Guci-guci yang berkaitan dengan kurun waktu itu juga ditemukan di gua Madai dan
Tapadong di Sungai Segama; guci-guci ini juga dipakai di Niah pada akhir masa Neolitik. Guci
yang tertua berasal dari tahun 200 SM. Tradisi ini mungkin berasal dari India dan Asia Tenggara
dari permulaan milenium pertama sebelum Masehi.0b

Penggunaan besi membawa perubahan yang sangat mendasar dalam kehidupan masyarakat
setempat. Dengan alat-alat yang terbuat dari besi, hutan lebih mudah dibuka dan pembukaan
hutan ini memungkinkan penanaman padi dan taro. Masyarakat Dayak berubah dari pengumpul
sagu alam menjadi masyarakat yang aktif menanam padi. Peladangan dengan padi dilahan-
lahan kering masih tetap dilakukan sampai sekarang. 0b

Bangsa-bangsa Austronesia yang kemudian menyebar di Kepulauan Indomalaya dari daratan


Asia membawa bentuk ekonomi pertanian, yang semula hanya memfokuskan pada padi-padian
dan memperkenal tembikar serta alat-alat baru serupa beliung dari batu. Dalam permulaan Kal
Holosen, kira-kira 7.000 tahun yang lalu, padi liar dan padi-padian lain dibudidayakan di
punggung daerah aliran sungai Yangtze, yaitu lahan-lahan basah musiman di sebelah selatan.
Padi mungkin diperkenalkan di Indonesia oleh imigran bangsa Mongolia, tetapi mungkin tidak
langsung berhasil di tanam di Borneo, karena tidak ada bukti-bukti baik di Niah atau Madai
(Bellwood 1985)

Besi digunakan untuk membuat pisau dan alat-alat pertanian serta alat untuk membuat lubang
pada sumpit dari kayu besi yang keras. Sumpit ini merupakan ciri khusus Borneo. Pemburu
purba di Borneo sudah mengenal panah dan anak panah, tetapi sumpit yang terbuat dari kayu ini
adalah senjata yang jauh lebih hebat, lebih akurat dan mampu membunuh mangsa dari jarak
jauh. Ujung anak sumpit dimasukkan kedalam racun alami yang diambil dari getah tumbuhan.0b
Daerah Apo kayan kaya akan biji besi, demikian pula Mantalat (Barito Hulu), Mantikai (anak
sungai Sambas) dan Tayah di Kalimantan Barat. Parang dan Mandau merupakan senjata untuk
berkelahi yang dicari oleh orang Dayak )Ave dan King 1986).0b

Batu megalitik yang ditemukan di sumber air s.Baram disekitar g. Murud dan tempat-tempat lain
di pegunungan Kelabit dan di Kalimantan Tengah mungkin berasal dari kurun waktu ini
(Harrisson 1962;Chin 1980). Masyarakat Kelabit terus membuat megalit sampai tahun 1950,
ketika mereka berubah menjadi penganut agama Kristen. Megalit ini berkaitan dengan upacara-
upacara penguburan tokoh-tokoh masyarakat, seperti kepala suku. Daerah dataran tinggi Bahau
di Kalimantan Timur barangkali merupakan pusat arkeologi yang paling banyak memiliki benda-
benda purba di Kalimantan. Disini terdapat kira-kira 50 pusat pemukiman dan kuburan yang
disebut ”ngorek” yang memiliki monumen batu.0b

Bukti-bukti arkeologi dari lokasi kuburan menunjukkan bahwa Borneo memiliki sejarah
perdagangan yang panjang dengan dunia luar. Para pedagang India mulai mengunjungi
Indonesia pada abad pertama. Kerajaan hindu Kutai didirikan dalam kurun waktu ini dan tempat-
tempat penyembahan Brahma di Muara Kaman dan patung-patung Hindu di dalam G. Komeng di
Kalimantan Timur kira-kira berasal dari abad ke 5 (Boyce, 1986).0b

Hubungan diplomasi antara bangsa Cina dan masyarakat di daerah pesisir Borneo tercatat
dalam sejarah dinasti Cina dari abad ke-7 sampai abad ke-16. 0b

Relief yang menggambarkan seorang pemburu dengan sumpit di galeri candi Borubodur di Jawa
Tengag yang dibuat pada abad ke sembilan menyatakan bahwa hubungan antara orang Dayak
dan orang Jawa sudah terjadi dalam kurun waktu ini (Ave dan King 1986). Selama abad ke-14
dan abad ke-15, di bagian selatan, barat dan timur Borneo merupakan daerah-daerah di bawah
kekuasaan kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Bahkan sebelum ini Borneo sudah memiliki
hubungan dnegan negara-negara Hindu-Budha. Hal ini dibuktikan oleh adanya candi hindu di
Amuntai, Kalimantan Selatan.0b

Pemukiman masyarakat dayak terpusat di dalam desa-desa inti, mereka tinggal bersama di
dalam rumah panjang untuk alasan sosial dan keamanan. Sebagian besar masyarakat Dayak
memiliki akses atau sudah pernah terlibat dalam pertukatan tembikar dan besi dengan kulit kayu
sebgai bahan pakaian mereka. Praktek-praktek lain yang dilakukan oleh suku Dayak adalah
pembuatan tato, yang juga ditemukan diseluruh kalangan bangsa Astronesia. 0b

A.2.2. Masa Kerajaan

Pada umumnya sejarah Indonesia dalam mengungkapkan dan menjelaskan suatu negara
tradisional sangat bertumpu kepada historiografi tradisional seperti babad, hikayat, atau cerita
rakyat. Historiografi tradisional mempunyai ciri-ciri yang menonjol dan saling berkaitan, yaitu: (1)
etnosentrisme, (2) rajasentrisme, (3) antroposentrisme. Diakui historiografi tradisional
penulisannya tidak berlandaskan kepada metode sejarah, tetapi sumber-sumber historiografi
tradisional sebagai sumber dapat dipergunakan selama sumber terbaik belum ditemukan.

Keadaan geografis Indonesia yang berpulau-pulau dan jumlahnya mencapai ribuan pulau besar
kecil menyebabkan daerah pesisir telah memegang peranan yang cukup penting di bidang
perdagangan maupun kekuasaan politik dan ekonomi. Melihat kenyataan bahwa sejak
permulaan berdirinya kerajaan Islam di Indonesia baik yang terletak di Sumatera, Jawa,
Sulawesi, Kalimantan dan Maluku, maka daerah pesisirlah yang menjadi pusat kerajaan, hal ini
tidak mengenyampingkan peranan kerajaan Mataram Islam yang berpusat di pedalaman.
Dengan keadaan geografis semacam ini akan sulit kiranya membayangkan adanya suatu
kekuasaan tunggal untuk menguasai seluruh Indonesia pada saat itu. Dalam perkembangan
masyarakat Indonesia-Hindu yang berpindah secara perlahan dan lambat ke masyarakat
Indonesia Islam dan lenyapnya kekuasan raja Indonesia-Hindu yang digantikan oleh munculnya
kekuasaan kerajaan Indonesia Islam telah membawa akibat pula dalam transformasi politik dan
sosial untuk menuju ke sistem masyarakat baru.

Perkembangan kehidupan pemerintahan dan kenegaraan di daerah Kalimantan Selatan sampai


dengan permulaan abad 17 masih sangat kabur karena kurangnya data sejarah. Adanya Hikayat
Raja-Raja Banjar dan Hikayat Kotawaringin tidak cukup memberikan gambaran yang pasti
mengenai keberadaan Kerajaan-kerajaan tersebut.
Sekilas Kerajaan di Kalimantan
Pada abad 17 salah satu tokoh yaitu Pangeran Samudera (cucu Maharaja Sukarama)
dengan dibantu para Patih bangkit menentang kekuasaan pedalaman Nagara Daha,
kemudiian menjadikan Banjarmasin di pinggir Sungai Kwin sebagai pusat
pemerintahannya (daerah ini disebut Kampung Kraton).
Pemberontakan Pangeran Samudera tersebut merupakan pembuka jaman baru
dalam sejarah Kalimantan Selatan sekaligus menjadi titik balik dimulainya periode
Islam dan berakhirnya jaman Hindu. Sebab dialah yang menjadi cikal bakal Islam
Banjar dan pendiri Kerajaan Banjar.
Dalam perkembangan sejarah berikutnya pada Tahun 1859 seorang Bangsawan
Banjar yaitu Pangeran Antasari mengerahkan rakyat Kalimantan Selatan untuk
melakukan perlawanan terhadap kaum kolonialisme Belanda meskipun akhirnya pada
Tahun 1905 perlawanan-perlawanan berhasil ditumpas oleh Belanda.
Kelancaran hubungan dengan Pulau Jawa turut mempengaruhi perkembangan di
Kalimantan Selatan. Bertumbuhnya pergerakan-pergerakan kebangsaan di Pulau
Jawa dengan cepat menyebar kedaerah Kalimantan Selatan, hal ini tercermin
dengan dibentuknya wadah-wadah perjuangan pada Tahun 1912 di Banjarmasin
seperti berdirinya Cabang-cabang Sarikat Islam di seluruh Kalimantan Selatan.
Seiring dengan itu para pemuda Kalimantan terdorong membentuk Organisasi
Kepemudaan yaitu Pemuda Marabahan, Barabai dan lain-lain, yang kemudian pada
Tahun 1929 terbentuk Persatuan Pemuda Borneo.
Organisasi-organisasi perjuangan tersebut merupakan wadah untuk menyebarluaskan
kesadaran kebangsaan melawan penjajahan Kolonial Belanda.
Pada periode pasca Proklamasi Kemerdekaan merupakan momentum yang paling
heroik dalam sejarah Kalimantan Selatan, dimana pada tanggal 16 Oktober 1945
dibentuk Badan Perjuangan yang paling radikal yaitu Badan Pemuda Republik
Indonesia Kalimantan (BPRIK) yang dipimpin oleh Hadhariyah M. dan A. Ruslan,
namun dalam perjalanan selanjutnya gerakan perjuangan ini mengalami hambatan,
terutama dengan disepakatinya perjanjian Linggarjati pada tanggal 15 Nopember
1945. Berdasarkan perjanjian ini ruang gerak pemerintah Republik Indonesia menjadi
terbatas hanya pada kawasan Pulau Jawa, Madura dan Sumatera sehingga
organisasi-organisasi perjuangan di Kalimantan Selatan kehilangan kontak dengan
Jakarta, kendati akhirnya pada tahun 1950 menyusul pembubaran Negara Indonesia
Timur yang dibentuk oleh kaum kolonial Belanda, maka Kalimantan Selatan kembali
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Republik Indonesia sampai saat ini

Dibawah ini beberapa catatan singkat tentang kerajaan di Kalimantan :

- Kutai Karta Negara di Kaltim :

Kalimantan Timur mempunyai sejarah yang berbeda dengan propinsi – propinsi lainnya di
Negara Republik Indonesia. Sejarah tersebut antara lain adanya kerajaan yang tertua pada
abad ke - VI yaitu kerajaan Mulawarman Nala Dewa. Turunan Raja Mulawarman dapat
berlanjut sampai dengan Raja ke – 25 yang bernama Maharaja Derma Setia pada abad ke -
XII dengan nama Kerajaan Kutai Ing Martapura.
Menjelang kepudaran kerajaan tersebut, telah berdiri beberapa kerajaan di Kalimantan
Timur, yang dimulai dengan kerajaan Kutai Kartanegara, kerajaan Berau, kerajaan
Bulungan dan kerajaan Pasir. Semua kerajaan tersebut memerintah di wilayahnya masing –
masing tanpa ada peperangan antara mereka, hingga masuk Belanda dan mulai menjajah
Kalimantan Timur ini pada tahun 1844, demikian pula ketika Jepang menjajah wilayah ini
pada tahun 1941 – 1945. Pada masa perjuangan fisik, tahun 1945 – 1949 rakyat juga turut
bergerak untuk mempertahankan kemerdekaan yang puncaknya pada peristiwa sanga-
sanga sekitar January 1947 )

Pada abad ke-17 agama Islam diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara.
Selanjutnya banyak nama-nama Islami yang akhirnya digunakan pada nama-nama raja dan
keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Sebutan raja pun diganti dengan sebutan Sultan.
Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji Muhammad Idris
(1735-1778).

Setelah mengalami masa-masa perubahan system pemerintahan dari bentuk kerajaan


menjadi daerah istimewa tahun 1956, dan akhirnya menjadi Kabupaten tahun 1960, yaitu
Kabupaten Kutai, Kabupaten Berau, Kabupaten Bulungan dan Kabupaten Pasir ditambah
dengan KotaPraja Samarinda dan Balikpapan. Semua daerah kabupaten / KotaPraja
tersebut dibawah naungan Propinsi Kalimantan Timur tepat pada bulan January 1957.

- Kerajaan Nan Sarunai – Dipa – Daha – Banjar Di Kalsel :

Di Kalimantan Selatan terutama sejak abad ke-14 sampai awal abad ke-16 yakni sebelum
terbentuknya Kerajaan Banjar yang berorientasikan Islam, telah terjadi proses pembentukan
negara dalam dua fase. Fase pertama yang disebut Negara Suku (etnic state) yang diwakili
oleh Negara Nan Sarunai milik orang Maanyan. Fase kedua adalah negara awal (early state)
yang diwakili oleh Negara Dipa dan Negara Daha. Terbentuknya Negara Dipa dan Negara
Daha menandai zaman klasik di Kalimantan Selatan. Negara Daha akhirnya lenyap seiring
dengan terjadinya pergolakan istana, sementara lslam mulai masuk dan berkembang
disamping kepercayaan lama. Zaman Baru ditandai dengan lenyapnya Kerajaan Negara
Daha beralih ke periode negara kerajaan (kingdom state) dengan lahirnya kerajaan baru,
yaitu Kerajaan Banjar pada tahun 1526 yang menjadikan Islam sebagai dasar dan agama
resmi kerajaan.

Zaman keemasan Kerajaan Banjar terjadi pada abad ke-17 hingga abad ke-18. Pada masa
itu teriadi puncak perkembangan Islam di Kalimantan Selatan sebagaimana ditandai oleh
lahirnya Ulama-ulama Urang Banjar yang terkenal dan hasil karya tulisnya menjadi bahan
bacaan dan rujukan di berbagai negara, antara lain Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
(1710-1812)

Melacak latar belakang keberadaan Negara Nan Sarunai, Dipa dan Daha masih sangat
tergantung kepada cerita rakyat berbentuk nyanyian Orang Maanyan dan Hikayat Banjar.
Menurut Ras, Hikayat Banjar terbagi dalam dua versi. Versi pertama merupakan versi yang
telah dirubah dan disusun pada masa Kerajaan Banjarmasin yang secara definitif telah
memeluk agama Islam, sedangkan versi kedua dianggap sebagai versi yang berasal dari
Negara Dipa secara definitif beragama Hindu.

Dalam cerita rakyat dan Hikayat Banjar, di area Kalimantan Selatan ini dulunya terdapat
sebuah negara bernama Nan Sarunai lalu sirna, kemudian muncul Negara Dipa, lalu
digantikan oleh kerajaan Daha. Disadari informasi dari Hikayat Banjar tentang Negara Dipa
dan Daha ditandai oleh sifat-sifat mistis, legendaris, dan tidak ada unsur waktu dalam urutan
ceritanya.
Tidak jelas kapan kerajaan ini berdiri, namun ada sebuah catatan yaitu Pada Abad XIV,
Negara Nan Sarunai diserang oleh Majapahit dan mengalami kekalahan. Dampak dari
serangan ini, membuat Orang Maanyan eksodus meninggalkan Sarunai. Peristiwa tragis
yang dialami oleh Orang Maanyan kemudian dituangkan kedalam nyanyian atau wadian
yang kemudian ditranformasikan kepada generasi berikutnya.

Dalam eksodus itu, Orang Maanyan terpecah dan tersebar menjadi tujuh suku kecil yang
masing-masing bernama: (1) Maanyan Siung bermukim di Telang, Paju Epat dan Buntok, (2)
Maanyan Patai bermukim di aliran Sungai Patai, (3) Maanyan Paku berdomisili di wilayah
Tampa, (4) Maanyan Paju X bermukim di sepanjang aliran Sungai Karau dan Barito, (5)
Maanyan Paju Epat bermukim di wilayah aliran sungai yang sama dengan pemukiman Paju
X, (6) Maanyan Dayu menghuni aliran Sungai Dayu, dan (7) Maanyan, mereka menghuni di
wilayah Bintang Karang, Tumpang Murung, Dusun Timur, Tamiang Layang, Belawa,
Tupangan Daka dan Barito

Negara Dipa dan Daha Sebagai Negara Awal

Menurut Hikayat Banjar Kerajaan Dipa diawali dari cerita tentang saudagar bernama Mpu
Jatmika yang berasal dari Keling, bersama dengan dua orang anaknya bernama Lambung
Mangkurat dan Mpu Mandastana telah tiba di Hujung Tanah. Tanah di Hujung Tanah ketika
dicium oleh Mpu Jatmika berbau harum, sehingga ia yakin bahwa daerah itu cocok untuk
membangun negeri yang bernama Dipa dengan ibukotanya bernama Kuripan dan
mengangkat dirinya untuk menjadi raja sementara di kerajaan itu di Hujung Tanah.

Lebih lanjut Hikayat Banjar meriwayatkan, bahwa Negara Dipa digantikan oleh negara baru
yang bernama Negara Daha. Beralihnya Negara Dipa ke Negara Daha merupakan suatu
peristiwa kekeluargaan antara seorang keturunan Pangeran Suryanata bernama
Sekarsungsang yang secara tidak sadar telah mengawini ibunya bernama Putri Kalungsu.
Perkawinan antara Sekarsungsang dan Putri Kalungsu oleh Hikayat Banjar dijadikan titik
pangkal munculnya Negara Daha dengan rajanya yang bernama Sekarsungsang yang
bergelar Panji Agung Maharaja Sari Kaburangan. Pusat Negara terletak di Muara Hulak dan
Muara Bahan sebagai pelabuhannya. Dengan Daerah-daerah kekuasaan itu meliputi Batang
Tabalung, Batang Baritu, Batang Alai, Batang Amandit, Batang Balangan, Batang Petak
beserta komunitas-komunitas yang mendiami bukit-bukit di sekitarnya, Biaju Kecil, Biaju
Besar, Sabangau, Mandawai, Katingan, Sampit, dan Pambuang.

Runtuhnya Negara Daha

Dimulai dari Raden Sukarama memerintah Negara Daha yang mewasiatkan tahta kekuasaan
Negara Daha kepada cucunya bernama Raden Samudera, tetapi wasiat itu ditentang oleh
ketiga anaknya, yaitu Mangkubumi, Tumenggung, dan Bagalung. Setelah Raden Sukarama
wafat, Pangeran Tumenggung merampas kekuasaan.

Raden Samudera memilih untuk menjadi pelarian politik dan bersembunyi di hilir Sungai
Barito yaitu Kampung Banjarmasih, dan ia dilindungi oleh kelompok-kelompok (melayu) yang
dipimpin Pati Masih

Perjalanan selanjutnya Raden Samudera diangkat menjadi kepala negara oleh kelompok
Melayu di daerah itu dan merupakan embrio bagi kelahiran Orang Banjar. Raden Samudera
dianjurkan oleh Patih Masih untuk meminta bantuan ke Demak guna persiapan untuk
mengambil kembali tahtanya atas Negara Daha. Permintaan bantuan dari Raden Samudera
oleh Sultan Demak diterima, tetapi dengan suatu syarat, bahwa Raden Samudera beserta
pengikutnya harus memeluk agama Islam. Raden Samudera menyanggupi persyaratan itu,
tidak lama kemudian, Sultan Demak mengirimkan kontingennya yang dipimpin oleh Khatib
Dayan. Gelar atau nama Khatib Dayan lebih mencerminkan nama seorang penyampai
khotbah atau penyiar agama ketimbang nama atau gelar seorang panglima perang.

Peperangan dimenangkan oleh Raden Samudera yang kemudian memindahkan rakyat


Negara Daha ke Banjarmasih. Perpindahan rakyat Negara Daha ke Banjarmasih merupakan
manifestasi dari tujuan perang, yaitu merekrut jumlah tenaga manusia, dan pengukuhan
Raden Samudera sebagai kepala negara yang mempunyai kharisma. Pembauran penduduk
di Banjarmasih, yang terdiri dari rakyat Negara Daha, Melayu, Dayak, dan Orang Jawa
(kontingen dari Demak), pada dasarnya menggambarkan bersatunya masyarakat sebagai
kesaktian utama.

Kemenangan Raden Samudera atas Pangeran Tumenggungg pada abad XVI merupakan
suatu perwujudan terjadinya pergeseran politik dari negara yang ekonominya berbasiskan
agraris (Daha) kepada negara yang bersifat maritim, dan Islam dijadikan sebagai agama
negara. Gelar yang dipergunakan oleh Raden Samudera sejak saat itu berubah menjadi
Sultan Suriansyah. Kemudian menjadi Kerajaan Banjar

Dalam Hikayat Banjar ditemui istilah-istilah seperti: Negeri Banjar, Orang Banjar, Raja Banjar
dan Tanah Banjar. Istilah-itilah itu mengacu kepada pengertian wilayah Kerajaan ini, yaitu
wilayah kerajaan dimana penduduknya disebut orang Banjar dan rajanya disebut Raja
Banjar.

Kerajaan Banjar adalah nama lain dari sebutan Kerajaan Banjarmasin atau Kesultanan
Banjar. Pengaruh Kesultanan Banjar melebar meliputi gabungan seluruh wilayah yang saat
ini dikenal sebagai Propinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan sebagian
Kalimantan Timur bahkan ada beberapa daerah yang pada saat ini masuk wilayah Propinsi
Kalimantan Barat.

Kerajaan Banjar yang berkembang sampai abad ke-19 merupakan sebuah kerajaan Islam
merdeka dengan nation atau bangsa Banjar sebagai bangsa dari Kerajaan Banjar. Pada
akhir abad ke-19 ekspansi kolonial Belanda berhasil menguasai Kerajaan Banjar dan secara
sepihak mengumumkan Proklamasi Penghapusan Kerajaan Banjarmasin pada tanggal 11
Juni 1860. Wilayah kerajaan yang herhasil dikuasainya dijadikan Karesidenan Afdelling
Selatan dan Timur Borneo (Residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo). Sejak itulah
bangsa Banjar turun derajatnya menjadi bangsa jajahan. Mereka tidak lagi disebut sebagai
suatu nation akan tetapi hanya sebagai Urang Banjar.

- Kerajaan Sambas di Kalbar :

Sejarah tentang asal usul kerajaan Sambas tidak bisa terlepas dari Kerajaan di Brunei
Darussalam. Antara kedua kerajaan ini mempunyai kaitan persaudaraan yang sangat erat.
Pada jaman dahulu, di Negeri Brunei Darussalam, bertahtalah seorang Raja yang bergelar
Sri Paduka Sultan Muhammad. Setelah beliau wafat, tahta kerajaan diserahkan kepada anak
cucunya secara turun temurun. Sampailah pada keturunan yang kesembilan yaitu Sultan
Abdu lDjalil Akbar. Beliau mempunyai putra yang bernama sultan Raja Tengah. Raja tengah
inilah yang telah datang ke Kerajaan Tanjungpura (Sukadana). Karena prilaku dan tata
kramanya sesuai dengan keadaan sekitarnya, beliau disegani bahkan Raja Tanjungpura rela
mengawinkan dengan anaknya bernama ratu Surya. Dari perkawinan ini terlahirlah Raden
Sulaiman. Saat itu di Sambas memerintah seorang ratu keturunan Majapahit (Hinduisme)
bernama Ratu Sepudak dengan pusat pemerintahannya di Kota Lama kecamatan Telok
keramat skt 36 Km dari Kota Sambas. Baginda Ratu Sepudak dikaruniai dua orang putri.
Yang sulung dikawinkan dengan kemenakan Ratu Sepudak bernama raden Prabu Kencana
dan ditetapkan menjadi penggantinya. Ketika Ratu Sepudak memerintah, tibalah raja Tengah
beserta rombongannya di Sambas. Kemudian banyak rakyat menjadi pengikutnya dan
memeluk agama Islam. Tak berapa lama, Ratu Sepudak wafat. Menantunya Raden Prabu
Kencana naik tahtadan memerintah dengan gelar Ratu Anom Kesuma Yuda. Pada peristiwa
bersamaan putri kedua Ratu Sepudak yang bernama Mas Ayu Bungsu kawin dengan Raden
Sulaiman (Putera sulung Raja Tengah. Perkawinan ini dikaruniai seorang putera bernama
Raden Boma. Dalam pemerintahan Ratu Anom Kesuma Yuda, diangkatlah pembantu-
pembantu Administrasi kerajaan. Adik kandungnya bernama Pangeran Mangkurat ditunjuk
sebagai Wazir Utama. Bertugas khusus mengurus perbendaharaan raja, terkadang juga
mewakili raja. Raden Sulaiman ditunjuk menjadi Wazir kedua yang khusus mengurus dalam
dan luar negeri dan dibantu menteri-menteri dan petinggi lainnya. Rakyat lebih menghargai
Raden Sulaiman daripada Pangeran Mangkurat, hingga menimbulkan rasa iri dihati
Pangeran Mangkurat. suatu ketika tangan kanan Raden Sulaiman bernama Kyai Satia Bakti
dibunuh pengikut Pangeran Mangkurat. setelah dilaporkan kepada raja, ternyata tak ada
tindakan positif, suasana makin keruh. Raden Sulaiaman mengambil kebijaksanaan
meninggalkan pusat kerajaan, menuju daerah baru dan mendirikan sebuah kota dengan
nama Kota bangun. Jumlah pengikutnyapun makin banyak. Hal ini telah mengajak Petinggi
Nagur, Bantilan dan Segerunding mengusulkan untuk berunding dengan Ratu Anom Kesuma
Yuda. Hasil mufakat keduanya meninggalkan kota lama. Raden Sulaiman menuju kota
Bandir dan Ratu Anom Kesuma Yuda berangkat menuju sungai Selakau. Kemudian agak ke
hulu dan mendirikan kota dengan ibukota pemerintahannya diberi nama Kota Balai Pinang.

Meninggalnya Ratu Anom Kesuma Yuda dan Pangeran Mangkurat, putera Ratu Anom yang
bernama Raden Bekut diangkat menjadi raja dengan gelar Panembahan Kota Balai. Beliau
beristrikan Mas Ayu Krontiko, puteri Pangeran Mangkurat. Raden Mas Dungun putera raden
Bekut adalah Panembahan terakhir Kota Balai. Kerajaan ini berakhir karena utusan Raden
Sulaiman menjemput mereka kembali ke Sambas. Kurang lebih 3 tahun kemudian berdiam di
Kota Bandir, atas hasil mufakat, berpindahlah mereka dan mendirikan pusat
pemerintahannya di Lubuk Madung, pada persimpangan tiga sungai : sungai Sambas Kecil,
Sungai Subah dan Sungai Teberau. Kota ini juga disebut orang " Muara Ulakan". Kemudian
keraton kerajaan dibangun dan hingga kini masih berdiri megah.

Di tempat inilah raden sulaiman dinobatkan menjadi Sultan Pertama di kerajaan Sambas
dengan gelar Sultan Muhammad Syafeiuddin I. Saudara-saudaranya, Raden Badaruddin
digelar pangeran Bendahara Sri Maharaja dan Raden Abdul Wahab di gelar Pangeran
Tumenggung Jaya Kesuma. Raden Bima (anak Raden Sulaiman) ke Sukadana dan kawin
dengan puteri raja Tanjungpura bernama Puteri Indra Kesuma (adik bungsu Sultan
Zainuddin) dan dikaruniai seorang putera diberinama Raden Meliau, nama yang terambil dari
nama sungai di Sukadana. Setahun kemudian merka pamit ke hadapan Sultan Zaiuddin
untuk pulang ke Sambas, oleh Raden Sulaiman dititahkan berangkat ke Negeri Brunai untuk
menemui kaum keluarga. Sekembalinya dari Brunai, Raden Bima dinobatkan menjadi Sultan
dengan gelar Sultan Muhammad Tadjuddin. Bersamaan dengan itu, Raden Akhmad putera
Raden Abdu Wahab dilantik menjadi Pangeran Bendahara Sri Maharaja. Wafatnya Sultan
Muhammad Tadjuddin, pemerintahan dilanjutkan Puteranya Raden Meliau dengan gelar
Sultan Umar Akamuddin I.
Berkat bantuan permaisurinya bernama Utin Kemala bergelar Ratu Adil, pemerintahan
berjalan lancar dan adil. Inilah sebabnya dalam sejarah Sambas terkenal dengan sebutan
Marhum Adil, Utin Kemala adalah puteri dari pangeran Dipa (seorang bangsawan kerajaan
Landak) dengan Raden Ratna Dewi (puteri Sultan Muhammad Syafeiuddin I).

Wafatnya Sultan Umar Akamuddin I, Puteranya Raden Bungsu naik tahta dengan gelar
Sultan Abubakar Kamaluddin. Kemudian diganti oleh Abubakar Tadjuddin I. Berganti pula
dengan Raden Pasu yang lebih terkenal dengan nama Pangeran Anom. Setelah naik tahta
beliau bergelar Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin I. Sebagai wakilnya diangkatlah Sultan
Usman Kamaluddin dan Sultan Umar Akamuddin III. Pangeran Anom dicatat sebagai tokoh
yang sukar dicari tandingannya, penumpas perampok lanun. Setelah memerintah kira-kira 13
tahun (1828), Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin I wafat. Puteranya Raden Ishak (Pangeran
Ratu Nata Kesuma)baru berumur 6 tahun. Karena itu roda pemerintahan diwakilikan kepada
Sultan Usman Kamaluddin.

Tanggal 11 Juli 1831, Sultan Usman Kamaluddin wafat, tahta kerajaan dilimpahkan kepada
Sultan Umar Akamuddin III. Tanggal 5 Desember 1845 Sultan Umar Akamuddin III wafat,
maka diangkatlah Putera Mahkota Raden Ishak dengan gelar Sultan Abu Bakar Tadjuddin II.
Tanggal 17 Januari 1848 putera sulung beliau yang bernama Syafeiuddin ditetapkan sebagai
putera Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati. Tahun 1855 Sultan Abubakar Tadjuddin II
diasingkan ke Jawa oleh pemerintah Belanda (Kembali ke Sambas tahun 1879). Maka
sebagai wakil ditunjuklah Raden Toko' (Pangeran Ratu Mangkunegara) dengan gelar Sultan
Umar Kamaluddin. Pada tahun itu juga atas perintah Belanda, Pangeran Adipati
diberangkatkan ke Jawa untuk study.

Tahun 1861 Pangeran Adipati pulang ke Sambas dan diangkat menjadi Sultan Muda. Baru
pada tanggal 16 Agustus 1866 beliau diangkat menjadi Sultan dengan gelar sultan
Muhammad Syafeiuddin II. Beliau mempunyai dua orang istri. Dari istri pertama (Ratu Anom
Kesumaningrat) dikaruniai seorang putera bernama Raden Ahmad dan diangkat sebagai
putera Mahkota. Dari istri kedua (Encik Nana) dikaruniai juga seorang putera bernama
Muhammad Aryadiningrat. Sebelum manjabat sebagai raja, Putera Mahkota Raden Ahmad
wafat mendahului ayahnya. Sebagai penggantinya ditunjuklah anaknya yaitu Muhammad
Mulia Ibrahim. Pada saat Raden Ahmad wafat, Sultan Muhammad Syafeiuddin II telah
berkuasa selama 56 tahun. Beliau merasa sudah lanjut usia, maka dinobatkan Raden
Muhammad Aryadiningrat sebagai wakil raja dengan gelar Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin
II.

Setelah memerintah kira-kira 4 tahun, beliau wafat. Roda pemerintahan diserahkan kepada
Sultan Muhammad Mulia Ibrahim. Dan pada masa pemerintahan raja inilah, bangsa Jepang
datang ke Sambas. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim adalah salah seorang yang menjadi
korban keganasan Jepang. Sejak saat itu berakhir pulalah kekuasaan Kerajaan Sambas.
Sedangkan benda peninggalan Kerajaan Sambas antara lain tempat tidur raja, kaca hias,
seperangkat alat untuk makan sirih, pakaian kebesaran raja, payung ubur-ubur, tombak
canggah, meriam lele, 2 buah tempayan keramik dari negeri Cina dan kaca kristal dari negeri
Belanda

Dengan menurunnya kekuasaan Majapahit, Islam semakin tersebar ke seluruh kepualauan


mengikuti jalur perdagangan. Ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa para pedagang Islam
sudah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di Borneo dalam abad ke-13. Kerajaan Brunei
mungkin sudah berdiri sejak abad ke-15. Sultan Brunei mendapat kekayaan yang sangat banyak
dari penarikan pajak dari daerah-daerah tepi sungai di Pontianak sampai kebagian selatan
Filipina. Kerajaan Islam lain yang cukup penting adalah Sambas, Sukadana dan Landak di pesisir
barat, dan Banjarmasin di sebelah selatan.0b

Dengan pertambahan pedagangan Islam yang menetap di daerah pesisir, suku Dayak semakin
masuk kepedalaman damal beberapa gelombang migrasi. Suatu kelompok imigran yang paling
akhir yaitu suku Iban, yang terkenal dengan penyebaran yang sangat luas di daerah aliran S.
Kapuas di Kalimantan barat sampai ke sebagian besar negara bagian Serawak dalam kurun 400
tahun terakhir. Menjelang tahun 1850 mereka sudah mendiami sebagian besar daerah Rajang
(St. John 1974) dan selama abad ke-19 mereka terus berpindah kearah utara yaitu ke Brunei.
Mereka membuka hutan tropis yang sangat luas di sepanjang lembah-lembah sungai untuk
melakukan perladangan berpindah. Penyebaran ini barangkali tidak seluruhnya didorong oleh
tekanan kepadatan penduduk dan kebutuhan untuk menanam tanaman pangan yang lebih
banyak, tetapi juga oleh kebutuhan budaya dan ritus mereka untuk mengumpulkan kepala
orang.0b
Sejarah Tionghoa Masuk ke Kalimantan Barat

Sejak abad ketiga, pelaut Cina telah berlayar ke Indonesia untuk melakukan perdagangan. Rute
pelayaran menyusuri pantai Asia Timur dan pulangnya melalui Kalimantan Barat dan Filipina
dengan mempergunakan angin musim. Pada abad ketujuh, hubungan Tiongkok dengan
Kalimantan Barat sudah sering terjadi, tetapi belum menetap. Imigran dari Cina kemudian masuk
ke Kerajaan Sambas dan Mempawah dan terorganisir dalam kongsi sosial politik yang berpusat di
Monterado dan Bodok dalam Kerajaan Sambas dan Mandor dalam Kerajaan Mempawah.

Pasukan Khubilai Khan di bawah pimpinan Ike Meso, Shih Pi dan Khau Sing dalam
perjalanannya untuk menghukum Kertanegara, singgah di kepulauan Karimata yang terletak
berhadapan dengan Kerajaan Tanjungpura. Karena kekalahan pasukan ini dari angkatan perang
Jawa dan takut mendapat hukuman dari Khubilai Khan, kemungkinan besar beberapa dari mereka
melarikan diri dan menetap di Kalimantan Barat. Pada tahun 1407, di Sambas didirikan
Muslim/Hanafi - Chinese Community. Tahun 1463 laksamana Cheng Ho, seorang Hui dari
Yunan, atas perintah Kaisar Cheng Tsu alias Jung Lo (kaisar keempat dinasti Ming) selama tujuh
kali memimpin ekspedisi pelayaran ke Nan Yang. Beberapa anak buahnya ada yang kemudian
menetap di Kalimantan Barat dan membaur dengan penduduk setempat. Mereka juga membawa
ajaran Islam yang mereka anut.

Di abad ke-17 hijrah bangsa Cina ke Kalimantan Barat menempuh dua rute yakni
melalui Indocina - Malaya - Kalimantan Barat dan Borneo Utara - Kalimantan Barat.
Tahun 1745, orang Cina didatangkan besar-besaran untuk kepentingan perkongsian,
karena Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah menggunakan tenaga-tenaga
orang Cina sebagai wajib rodi dipekerjakan di tambang-tambang emas. Kedatangan
mereka di Monterado membentuk kongsi Taikong (Parit Besar) dan Samto Kiaw (Tiga
Jembatan). Tahun 1770, orang-orang Cina perkongsian yang berpusat di Monterado
dan Bodok berperang dengan suku Dayak yang menewaskan kepala suku Dayak di
kedua daerah itu. Sultan Sambas kemudian menetapkan orang-orang Cina di kedua
daerah tersebut hanya tunduk kepada Sultan dan wajib membayar upeti setiap bulan,
bukan setiap tahun seperti sebelumnya. Tetapi mereka diberi kekuasaan mengatur
pemerintahan, pengadilan, keamanan dan sebagainya. Semenjak itu timbulah Republik
Kecil yang berpusat di Monterado dan orang Dayak pindah ke daerah yang aman dari
orang Cina.

Pada Oktober 1771 kota Pontianak berdiri. Tahun 1772 datang seorang bernama Lo
Fong (Pak) dari kampung Shak Shan Po, Kunyichu, Kanton membawa 100 keluarganya
mendarat di Siantan, Pontianak Utara. Sebelumnya di Pontianak sudah ada kongsi Tszu
Sjin dari suku Tio Ciu yang memandang Lo Fong sebagai orang penting. Mandor dan
sekitarnya juga telah didiami suku Tio Ciu, terutama dari Tioyo dan Kityo. Daerah
Mimbong didiami pekerja dari Kun-tsu dan Tai-pu. Seorang bernama Liu Kon Siong
yang tinggal dengan lebih dari lima ratus keluarganya mengangkat dirinya sebagai Tai-
Ko di sana. Di San Sim (Tengah-tengah Pegunungan) berdiam pekerja dari daerah
Thai-Phu dan berada di bawah kekuasaan Tong A Tsoi sebagai Tai-Ko.
Lo Fong kemudian pindah ke Mandor dan membangun rumah untuk rakyat, majelis
umum (Thong) serta pasar. Namun ia merasa tersaingi oleh Mao Yien yang memiliki
pasar 220 pintu, terdiri dari 200 pintu pasar lama yang didiami masyarakat Tio Tjiu, Kti-
Yo, Hai Fung dan Liuk Fung dengan Tai-Ko Ung Kui Peh dan 20 pintu pasar baru yang
didiami masyarakat asal Kia Yin Tju dengan Tai-Ko Kong Mew Pak. Mao Yien juga
mendirikan benteng Lan Fo (Anggrek Persatuan) dan mengangkat 4 pembantu dengan
nama Lo-Man. Lo Fong kemudian mengutus Liu Thoi Ni untuk membawa surat rahasia
kepada Ung Kui Peh dan Kong Mew Pak, sehingga mereka terpaksa menyerah dan
menggabungkan diri di bawah kekuasaan Lo Fong tanpa pertumpahan darah. Lo Fong
kemudian juga merebut kekuasaan Tai-Ko Liu Kon Siong di daerah Min Bong (Benuang)
sampai ke San King (Air Mati).
Abad 18
Lo Fong kemudian menguasai pertambangan emas Liu Kon Siong dan pertambangan perak
Pangeran Sita dari Ngabang. Kekuasaan Lo Fong meliputi kerajaan Mempawah, Pontianak dan
Landak dan disatukan pada tahun 1777 dengan nama Republik Lan Fong. Tahun 1795 Lo Fong
meninggal dunia dan dimakamkan di Sak Dja Mandor. Republik yang setiap tahun mengirim
upeti kepada Kaisar Tiongkok ini pun bubar. Oleh orang Cina Mandor disebut Toeng Ban Lit
(daerah timur dengan 1000 undang-undang . Tahun 1795, berkobar pertempuran antara kongsi
Tai-Kong yang berpusat di Monterado dengan kongsi Sam Tiu Kiu yang berpusat di Sambas
karena pihak Sam Tiu Kiu melakukan penggalian emas di Sungai Raya Singkawang, daerah
kekuasaan Tai-Kong. Tahun 1796, dengan bantuan kerajaan Sambas, kongsi Sam Tiu Kiu
berhasil menguasai Monterado. Namun seorang panglima sultan bernama Tengku Sambo mati
terbunuh ketika menyerbu benteng terakhir kongsi Tai Kong. Perang ini oleh rakyat Sambas
disebut juga Perang Tengku Sambo.

A.2.3. Masa Penjajahan

Sistem Pemerintahan Hindia Belanda mulai diberlakukan di Kalimantan Selatan ketika F.N.
Nieuwenhuyzen mengumumkan Proklamasi Penghapusan Kerajaan Banjarmasin pada tanggal
11 Juni 1860. Dalam proklamasi tersebut antara lain dinyatakan Kerajaan Banjar dihapuskan dan
tidak lagi diperintah oleh raja (sultan) dan seluruh pemerintahan di lingkungan bekas Kerajaan
Banjar langsung di bawah kekuasaan Gubernemen Hindia Belanda di bagian Selatan dan Timur
pulau Borneo.

Kemudian dibentukan Karesidenan Afdeling Selatan dan Timur Borneo, maka pada tahun 1865
Belanda, afdeling di wilayah-wilayah bekas kesultanan Banjar yang telah dikuasai,sebagai berikut
:

1. Afdeling Banjarmasin termasuk Onderafdeling Kween (Kuin)


2. Afdeling Martapura yang terbagi atas lima district. (Martapura, Riam Kiwa, Riam Kanan,
Banua Ampat, Margasari
3. Afdeling Tanah Laut, terbagi atas empat district (Pleihari, Tabanio, Maluka dan Satui
4. Afdeling Amuntai yang terbagi atas tujuh district (Amuntai, Nagara, Balangan, Alai, Amandit,
Tabalong, Kalua

Keorganisasian pemerintahan Hindia Belanda selalu mengalami perubahan, begitupula dengan


jumlah afdeling dan distriknya. Berdasarkan Staatsblad tahun 1898 nomor 178, di daerah Borneo
bagian Selatan dibagi ke dalam beberapa wilayah administratif, yakni Afdeling Banjarmasin dan
daerah sekitarnya (ommelanden) Afdeling Martapura; Afdeling Kandangan; Afdeling Amuntai;
Afdeling Tanah-tanah Dusun/Teweh (Doesoenlanden); Afdeling Tanah-tanah Dayak/Kapuas
(Dajaklanden); Afdeling Sampit; Afdeling Pasir dan Tanah Bumbu.

Di Kalimantan Tengah :

Tercatat dalam buku sejarah propinsi Kalimantan Selatan bahwa Sultan Tahmidullah II pada
tahun 1787 menyerahkan kemerdekaan dan kedaulatan kerajaan kepada VOC (Veregnide Oost
Indische Company) yang ditandai dengan Akte penyerahan (Acte van afstand) tertanggal
Kayutangi 17-8-1787. Akte penyerahan tersebut ditandatangani oleh Sultan Tahmidullah II di
depan Residen Walbeck. Hal ini terjadi setelah Sultan Tahmidullah berhasil menguasai tahta
kerajaan dengan bantuan VOC dan selanjutnya Kerajaan Banjar menjadi taklukan VOC.

Berdasarkan akte peenyerahan tersebut, Sultan Tahmidullah juga menyerahkan status wilayah
kekuasaannya termasuk daerah-daerah dayak ((dajaksche provintien) ke bawah kekuasaan
VOC. Setelah VOC dinyatakan bangkrut dan bubar, selanjutnya penguasaan daerah bekas
taklukan VOC diambil alih oleh kerajaan Belanda melalui Gubernur Jenderal Hindia Belanda di
Batavia (sekarang Jakarta). Dengan demikian daerah dayak juga berada di bawah kekuasaan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Pada tanggal 1 Januari 1817, ditanda tangani kontrak persetujuan Karang Intan I oleh sultan
Sulaiman di depan Residen Arnout van boekholzt dari pemerintah hindia Belanda. Enam tahun
kemudian, yakni tanggal 13 september 1923, dilakukan alterasi dan ampliasi (perubahan,
peralihan, penambahan, perluasan dan penyepurnaan) yang dikenal dengan nama Kontrak
Persetujuan Karang Intan II. Kontrak tersebut juga ditanda tangani oleh Sultan Sulaiman di
depan Residen Mr.Tobias.

Berdasarkan kontrak persetujuan ke II ini, Sultan melepaskan secara penuh hak-haknya atas
seluruh kawasan di Kalimantan yang dianggap sebagai wilayah kerajaan Banjar itu, termasuk
yang disebut Belanda sebagai Daerah Dayak (Dajaksche provintien). Pihak Pemerintah Hindia
Belanda kemudian melakukan pemetaan di kawasan dajaksche provintien. Sungai kahayan
dalam pemerintaha Belanda di sebut Groote dajak Rivier sedang sungai kapuas di sebut Kleinee
dajak rivier

Sebelum adanya akte penyerahan Kayutangi tersebut, wilayah Dajaksche provintien yang kini
dikenal sebagai wilayah Propinsi Kalimantan Tengah tidak langsung dikuasai VOC. Ketika
Perang Banjar (1859-1865) usai dengan Belanda sebagai pemenangnya, suku dayak masih
melanjutkan pertempurannya melawan Belanda yang dikenal dengan nama Perang Barito (1865-
1905). Tetapi akibat akte penyerahan serta Kontrak Perjanjian Karang Intan I dan II, tertancaplah
kekuasaan penjajah Belanda di Kaimantan.

Namun penguasaan yang sangat luas itu tidak berlangsung mulus. Belanda mengalami
kekurangan tenaga dalam mengelola pemerintahan meskipun telah dilakukan pembagian
wilayah. Belanda kemudian membatasi kekuasaan langsungnya pada tingkat onderafdeling saja,
sedang untuk pemerintahan distrik dan onderdistrik Belanda menggunakan para petinggi Suku
Dayak. Beberapa Temanggong dan Damang diangkat menududuki jabatan Kepala distrik dan
kepala onderdistrik.

Sejak tahun 1823, kawasan yang disebut wilayah dayak (Dajaksche provintien) dimasukan dalam
wilayah yang disebut kapoeas-Moeroeng Gabied yang merupakan bagian dari afdeling
Marabahan yang berkedudukan di Marabahan membawahi beberapa Onderafdeling, salah
satunya adalah Onderafdeling Koeala Kapoeas yang dipimpin seorang Controleur. Salah satu
distrik dilingkup Onderafdeling koeala Kapoeas adalah distrik Pangkoh yang berkedudukan di
Pangkoh. Wilayah distrik Pangkoh meliputi seluruh aliran sungai Kahayan dan pada tahun 1872
dipimpin oleh Temanggong Rambang sebagai kepala distrik.

Memasuki abad ke-20 (tahun 1913), kawasan kapoeas-Moeroeng gebied dibentuk menjadi 2
afdeling yaitu (1) afdeling dajaklanden (tanah dayak) berkedudukan di Banjarmasin,dan
(2)Afdeling dusunlanden (tanah dusun)berkedudukan di Muara teweh. Distrik pangkoh yang
sebelumnya membawahi seluruh aliran Sungai kahayan dihapuskan dan dibentuk 2
onderafdeling yaitu (1)onderafdeling boven dajak berkedudukan di Kuala Kurun,dan (2)
onderafdeling Beneden dajak berkedudukan di Kuala Kapuas. Desa/kampung Pahandut terletak
dalam onderafdeling Beneden dajak. Kedua onderafdeling termasuk dalam lingkup afdeling
dajaklanden.

Pada tahun 1946, afdeling kapuas Barito beserta seluruh onderafdeling-nya dihapus. Bekas
wilayah onderafdeling Beneden dajak di pecah menjadi 2 distrik,yaitu (1) distrik Kapuas dan
(2)distrik Kahayan. Distrik kahayan itu sendiri terbagi menjadi 2 onderdistrik,yaitu (1) Onderdistrik
kahayan Hilir dengan Ibukota Pulang Pisau dan (2) Onderdistrik Kahayan Tengah dengan
ibukota Pahandut.
Kaltim ; Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani
perjanjian dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan mengakui pemerintahan Hindia
Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang
Residen yang berkedudukan di Banjarmasin.

Kalbar : SEJARAH KAPUAS HULU PADA ZAMAN BELANDA

Sejumlah pegunungan yang membentang di Kabupaten Kapuas Hulu, serupa Schwaner dan
Muller, ternyata diabadikan dari nama sejumlah pelaku ekspedisi berkebangsaan asing
pertengahan abad XIX di daerah itu. Wilayah perbatasan antara Kapuas dan Mahakam
merupakan salah satu wilayah yang paling terpencil di Borneo. Di sebelah timur, daerah
Mahakam Hulu, yang terisolasi oleh jeram-jeram yang sangat berbahaya, di mana suku Kayan-
Mahakam, suku Busang termasuk sub suku Uma Suling dan lain-lain serta suku Long Gelat
sebuah sub suku dari Modang menempati daratan-daratan yang subur, sedangkan suku Aoheng
mendiami daerah berbukit-bukit. Di sebelah barat, daerah Kapuas Hulu dengan kota niaga kecil
Putussibau, dikelilingi oleh desa-desa Senganan, Taman dan Kayan. Lebih ke hulu lagi, dua
desa kecil Aoheng dan Semukng. Di antara keduanya, sebuah barisan pegunungan yang besar
mencapai ketinggian hampir 2000 meter didiami oleh suku nomad Bukat atau Bukot dan Kereho
atau Punan Keriu, serta suku semi nomad Hovongan atau Punan Bungan.

Orang asing pertama yang mencapai dan melintasi pegunungan ini adalah Mayor Georg Muller,
seorang perwira zeni dari tentara Napoleon I yang sesudah Waterloo masuk dalam pamongpraja
Hindia Belanda. Mewakili pemerintah kolonial, ia membuka hubungan resmi dengan sultan-sultan
di pesisir timur Borneo. Pada tahun 1825, kendati Sultan Kutai enggan membiarkan tentara
Belanda memasuki wilayahnya, Muller memudiki Sungai Mahakam dengan belasan serdadu
Jawa. Hanya satu serdadu Jawa yang dapat mencapai pesisir barat. Berita kematian Muller
menyulut kontroversi yang berlangsung sampai tahun 1850-an dan dihidupkan kembali sewaktu-
waktu setiap kali informasi baru muncul. Sampai tahun 1950-an pengunjung-pengunjung daerah
itu pun masih juga menanyakan nasib Muller. Bahkan sampai hari ini hal-hal sekitar kematian
Muller belum juga terpecahkan. Diperkirakan Muller telah mencapai kawasan Kapuas Hulu dan
dibunuh sekitar pertengahan November 1825 di Sungai Bungan, mungkin di jeram Bakang
tempat ia harus membuat sampan guna menghiliri Sungai Kapuas. Sangat mungkin bahwa
pembunuhan Muller dilakukan atas perintah Sultan Kutai, disampaikan secara berantai dari satu
suku kepada suku berikutnya di sepanjang Mahakam dan akhirnya dilaksanakan oleh sebuah
suku setempat, barangkali suku Aoheng menurut dugaan Nieuwenhuis. Karena Muller dibunuh di
pengaliran Sungai Kapuas, dengan sendirinya sultan tidak dapat dituding sebagai pihak yang
bertanggungjawab. Bagaimanapun, ketika ekspedisi Niewenhuis berhasil melintasi daerah
perbatasan hampir 70 tahun kemudian, pada hari nasional Perancis tahun 1894, barisan
pegunungan ini diberi nama Pegunungan Muller.

Menjelang pertengahan abad XIX, Belanda telah berhasil menguasai daerah-daerah pesisir dan
perdagangan di muara sungai besar. Penguasaan niaga saja ternyata tidaklah cukup, dan
kekuatan-kekuatan kolonial membutuhkan penguasaan teritorial yang sesungguhnya, yang
berdasarkan struktur-struktur administratif dan militer. Dalam rangka inilah ekspedisi-ekspedisi
besar dilakukan pada perempat akhir abad XIX. Ekspedisi ke Kapuas Hulu dimulai pada 1893
oleh Nieuwenhuis. Eksplorasi lebih lanjut lalu menyusul pada tahun-tahun pertama abad yang
baru oleh Enthoven di Kapuas Hulu Hingga di tahun 1930-an, seluruh pedalaman Borneo telah
jatuh di bawah kekuasaan sebenarnya dari kekuatan-kekuatan kolonial, kecuali Kesultanan
Brunei yang sudah sangat menciut.

Informasi tentang Borneo dari sebelum zaman penjajahan tidak banyak diketahui. Abad XIX
terjadi migrasi suku Dayak Iban secara besar-besaran, memasuki lembah Rejang dari selatan,
mungkin dari daerah aliran Sungai Kapuas. Sebelumnya di daerah aliran Sungai Rejang tidak
terdapat suku Iban. Dengan bermigrasi ke daerah hulu sungai Saribas dan sungai Rejang, suku
Iban menyerang suku Kayan di daerah hulu sungai-sungai itu pada tahun 1863 dan terus maju ke
utara dan ke timur. Pesta perang dan serangan pengayauan menyebabkan suku-suku lain terusir
dari lahannya. Menjelang awal tahun 1900-an suku Dayak pengayau telah memasuki daerah
hulu Sungai Rajang, Kayan, Mahakam dan Kapuas yang terpencil.
Pada 6 September 1818 Belanda masuk ke Kerajaan Sambas. Tanggal 23 September Muller
dilantik sebagai Pejabat Residen Sambas dan esoknya mengumumkan Monterado di bawah
kekuasaan pemerintahan Belanda. Pada 28 November diadakan pula pertemuan dengan kepala-
kepala kongsi dan orang-orang Cina di Sambas. Tahun 1819, masyarakat Cina di Sambas dan
Mandor memberontak dan tidak mengakui pemerintahan Belanda. Seribu orang dari Mandor
menyerang kongsi Belanda di Pontianak. Pada 22 September 1822 diumumkan hasil
perundingan segitiga antara Sultan Pontianak, pemerintahan Belanda dan kepala-kepala kongsi
Cina.
Namun pada 1823, setelah berhasil menguasai daerah Lara, Sin Ta Kiu (Sam Tiu Kiu), Sambas,
kongsi Tai Kong mengadakan pemberontakan terhadap belanda karena merasa hasil
perundingan merugikan pihaknya. Dengan bantuan Sam Tiu Kiu dan orang-orang Cina di
Sambas, kongsi Tai Kong kemudian dipukul mundur ke Monterado.
Setelah gagal pada serangan kedua tanggal 28 Februari 1823, pada 5 Maret penduduk Cina
yang memberontak menyatakan menyerah dan kemudian 11 Mei komisaris Belanda
mengeluarkan peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban kongsi-kongsi. Tahun 1850,
kerajaan Sambas yang dipimpin Sultan Abubakar Tadjudin II hampir jatuh ke tangan perkongsian
gabungan Tai Kong, Sam Tiu Kiu dan Mang Kit Tiu. Kerajaan Sambas meminta bantuan kepada
Belanda. Tahun 1851, kompeni Belanda tiba dipimpin Overste Zorg yang kemudian gugur ketika
perebutan benteng pusat pertahanan Sam Tiu Kiu di Seminis Pemangkat. Ia dimakamkan di bukit
Penibungan, Pemangkat.
Abad 18
Tahun 1854 pemberontakan kian meluas dan didukung bangsa Cina yang di luar perkongsian.
Belanda kemudian mengirimkan pasukan tambahan ke Sambas yang dipimpin Residen
Anderson. Akhirnya pada 1856 Republik Monterado yang telah berdiri selama 100 tahun berhasil
dikalahkan. Tanggal 4 Januari 1857 Belanda mengambil alih kekuasaan Cina di kerajaan
Mempawah, dan tahun 1884 seluruh perkongsian Cina di Kalimantan Barat dibubarkan oleh
Belanda. Tahun 1914, bertepatan dengan Perang Dunia I, terjadi pemberontakan Sam Tiam (tiga
mata, tiga kode, tiga cara). Pemberontakan di Monterado dipimpin oleh bekas keluarga Republik
Monterado, sedangkan pemberontakan di Mempawah dipimpin oleh bekas keluarga Republik
Lan Fong. Mereka juga dibantu oleh masyarakat Melayu dan Dayak yang dipaksa untuk ikut.
Pemberontakan berakhir tahun 1916 dengan kemenangan di pihak Belanda. Belanda kemudian
mendirikan tugu peringatan di Mandor bagi prajurit-prajuritnya yang gugur selama dua kali
pemberontakan Cina (tahun 1854-1856 dan 1914-1916). Perang 1914-1916 dinamakan Perang
Kenceng oleh masyarakat Kalimantan Barat. Tahun 1921-1929 karena di Tiongkok (Cina) terjadi
perang saudara, imigrasi besar-besaran orang Cina kembali terjadi dengan daerah tujuan
Semenanjung Malaya, Serawak dan Kalimantan Barat.
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal yang
dimuat dalam STB 1938 No. 352, antara lain mengatur dan menetapkan bahwa ibukota wilayah
administratif Gouvernement Borneo berkedudukan di Banjarmasin dibagi atas 2 Residentir, salah
satu diantaranya adalah Residentie Waterafdeling Van Borneo dengan ibukota Pontianak yang
dipimpin oleh seorang Residen. Pada tanggal 1 Januari 1957 Kalimantan Barat resmi menjadi
provinsi yang berdiri sendiri di Pulau Kalimantan, berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun
1956 tanggal 7 Desember 1956. Undang-undang tersebut juga menjadi dasar pembentukan dua
provinsi lainnya di pulau terbesar di Nusantara itu. Kedua provinsi itu adalah Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Timur.

A.2.4. Masa Kemerdekaan

But the country was not aiming at subjecting to it's former ruler again. Strong resistance, mainly
on Jawa, and several diplomatical manouvres lead to the call for independence in 1945. The
Netherlands didn't recognise the government, and only have Indonesia sovereignty four years
later. Kalimantan did not play an important role during the battle for independence, but it had
important military role in the Indonesian confrontation with Malaysia. Because both camps
realized Sukarno was not looking for more land, but only internal political power, no big fights
were fought. Dayak at both sides of the borders used the opportunity to headhunt several people,
the ultimate way to show courage. (Tetapi negeri adalah tidak mengarahkan tunduk kepada
adalah penguasa/penggaris terdahulu lagi . Perlawanan yang kuat terutama di Jawa dan
beberapa manuver diplomatik mendorong terjadinya kemerdekaan indonesia pada tahun 1945.
Netherlands tidak mengenali pemerintah, dan hanya mempunyai Kedaulatan Indonesia empat
tahun kemudian. Kalimantan tidak memainkan peranan penting dalam pertempuran untuk
mencapai kemerdekaan, namun ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dengan malaysia
justru dimainkan peranannya. , Sebab kedua-duanya kemah [merealisir/sadari] Sukarno adalah
tidak mencari lebih [] daratan, tetapi hanya kuasa politis internal, tidak (ada) perkelahian besar
dilancarkan. Dayak pada kedua sisi (menyangkut) perbatasan menggunakan kesempatan ke
headhunt beberapa orang, jalan/cara yang terakhir untuk menunjukkan keberanian)

A.2.5. Sejarah Pembentukan Wilayah Administrasi

Pada masa kemerdekaan yakni sesudah pemulihan kedaulatan yang ditandai dengan konprensi
Meja Bundar (KMB) pada tanggal 14 Agustus 1950 pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS)
mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 1950 yang menetapkan pembagian
wilayah RIS atas 10 propinsi (propinsi administratif). Satu diantaranya adalah Propinsi
Kalimantan. Propinsi Kalimantan meliputi 3 keresidenan yakni Keresidenan kalimantan Barat,
Keresidenan kalimantan Selatan dan Keresidenan kalimantan Timur.

1. Residentie Zuid-Borneo (Keresidenan kalimantan Selatan)

2. Residentie Oost-Borneo (keresidenan kalimantan Timur)

3. Residentie West-Borneo (keresidenan Kalimantan Barat)^

Eks Daerah Otonom Dayak Besar dan Swapraja Kotawaringin dibentuk menjadi 3 Kabupaten
yaitu ; (1) Kabupaten Kapuas,(2) Kabupaten Barito dan (3) Kabupaten Kotawaringin yang
bersama-sama daerah Otonom Daerah Banjar dan Federasi Kalimantan Tenggara, di gabungkan
kedalam Keresidenan Kalimantan Selatan.

Undang-undang Darurat Nomor 2 Tahun 1953 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Januari 1953,
tapi karena terbentur sulitnya cara-cara pemilihan/pengangkatan anggota DPRD Propinsi, hingga
selalu gagal, maka sampai saatnya Kalimantan dipecah menjadi tiga propinsi otonom.

Setelah satu tahun terbentuknya Propinsi Kalimantan dan setelah meninjau berbagai segi,
rupanya pemerintah pusat berpendapat bahwa kini tibalah saatnya untuk meninjau kembali
pembagian Kalimantan lebih lanjut dalam beberapa daerah otonom propinsi. Dan kabinet dalam
rapatnya ke 33 tanggal 4 Oktober 1956 pada prinsipnya telah memutuskan untuk memekarkan
Propinsi Kalimantan yang sekarang ini menjadi tiga propinsi otonom, sedangkan untuk
memudahkan dibentuknya Propinsi Kalimantan Tengah kelak di kemudian hari, maka secara
administratif Kalimantan Selatan segera sesudah berlakunya undang-undang tersebut akan
dibagi menjadi dua keresidenan.

Propinsi Kalimantan Tengah yang akan meliputi Kabupaten Barito, Kabupaten Kapuas dan
Kabupaten Kotawaringin pembentukannya ditangguhkan selambat-lambatnya tiga tahun.
Penangguhan ini mengingat akan keadaan uang negara, besarnya penghasilan dapat dipungut
oleh propinsi sendiri di daerahnya masing-masing serta keadaan peralatan pemerintah pada
umumnya dan khususnya kekurangan akan tenaga-tenaga teknis yang kapabel.

Sesudah melalui sidang-sidang antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah maka
akhirnya disahkanlah Undang-undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang tentang Pembentukan
Daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Propinsi Kalimantan Selatan dan Propinsi Kalimantan
Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 1956) yang diundangkan pada
tanggal 7 Desember 1956. Tetapi di dalam Pasal 93 disebutkan bahwa Undang-undang ini mulai
berlaku pada hari yang akan ditentukan oleh Menteri Dalam Negeri. Berdasarkan Surat Menteri
Dalam Negeri Nomor 52/10/50 tanggal 12 Desember 1956 ditetapkan bahwa Undang-undang
tersebut mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1957. Pada tanggal 9 Januari 1957 dengan
disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia telah dilakukan serah terima
kekuasaan pemerintahan antara Gubernur Kalimantan (Milono) dengan Acting Gubernur
Kalimantan Selatan Syarkawi, Acting Gubernur Kalimantan Barat A.R Afloes, Acting Gubernur
Kalimantan Timur Bambang Pranoto di Banjarmasin. Pada kesempatan ini telah diresmikan pula
oleh Menteri Dalam Negeri Kantor Gubernur Pembentukan Propinsi Kalimantan Tengah di
Banjarmasin.

Pasal 1 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1956 tersebut di atas menyebutkan : “Daerah Otonom
Propinsi Kalimantan sebagai dimaksud dalam Undang-undang Darurat Nomor 2 Tahun 1953
(Lembaran Negara 1953 Nomor 8) dibubarkan dan wilayahnya dibagi untuk sementara menjadi
Daerah Tingkat I, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan nama
dan batas-batas sebagai berikut :

1. Propinsi Kalimantan Barat yang berkedudukan di Pontianak, yang wilayahnya meliputi Daerah-
daerah Otonom Kabupaten Sambas, Pontianak, Ketapang, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu
dan Kota Besar Pontianak, tersebut dalam Pasal 1 ad. 1 Nomor 9 sampai dengan 15
Undang-undang Darurat Nomor 2 Tahun 1953 (Lembaran Negara Nomor 9 Tahun 1953);

2. Propinsi Kalimantan Selatan yang berkedudukan di Banjarmasin, yang wilayahnya meliputi


Daerah-daerah Otonom Kabupaten Banjar, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara, Barito,
Kapuas, Kotawaringin, Kotabaru dan Kota Besar Banjarmasin, tersebut dalam Pasal 1 ad. 1
Nomor 1 sampai dengan 8 (delapan) Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953
(Lembaran Negara Nomor 9 Tahun 1953);

3. Propinsi Kalimantan Timur yang berkedudukan di Samarinda yang wilayahnya meliputi


Daerah-daerah Otonom Istimewa Kutai, Bulongan dan Berau, tersebut dalam Pasal 1 ad. II
Nomor 1 sampai 3 Undang-undang Darurat Nomor 2 Tahun 1953 (Lembaran Negara Nomor
9 Tahun 1953).

Di dalam Pasal 3 Undang-undang tersebut ditetapkan jumlah anggota Dewan Pemerintah


Daerah (DPD) masing-masing Propinsi sekurang-kurangnya lima orang, dengan ketentuan
jumlah tersebut diluar Gubernur Kepala Daerah Propinsi yang menjabat Ketua Dewan Pemerinah
Daerah Propinsi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Propinsi ini masing-masing
terdiri dari tiga puluh orang. Kemudian dengan Undang-undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957
tentang Pembentukan Daerah Swatantra Propinsi Kalimantan Tengah dan Perubahan Undang-
undang Nomor 25 tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swantantra Propinsi
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, maka terjadi pengurangan wilayah
pemerintahan atas Propinsi Kalimantan Selatan. Propinsi Kalimantan Selatan yang semula terdiri
dari delapan daerah kabupaten berkurang menjadi empat kabupaten dan satu kota besar, karena
Kapuas, Barito dan Kotawaringin dimasukkan ke dalam wilayah Propinsi Kalimantan Tengah.

Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1956, tentang Pembentukan DPRD dan DPD Peralihan,
ditentukan antara lain bahwa DPRD Peralihan akan bubar, sesudah DPRD atas dasar pemilihan
umum dilantik, tetapi selambat-lambatnya satu tahun. Pada tanggal 24 September 1956
dinyatakan mulai berlaku tentang undang-undang pemilihan anggota DPRD (dengan dasar
pemilihan umum) berdasarkan Undang-undang Nomor 19 tahun 1956).
Tetapi meskipun satu tahun berlaku ternyata DPRD atas dasar Undang-undang tersebut belum
dapat dibentuk , maka oleh Pemerintah Pusat dengan Undang-undang Darurat Nomor 9 Tahun
1957 yang ditetapkan kemudian dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1958, ditentukanlah
perpanjangan masa kerja DPRD Peralihan dengan ketentuan baru dapat bubar setelah DPRD
atas dasar pemilihan umum dilantik sampai dengan 17 Juli 1957. Sementara DPRD Peralihan
terus berjalan, keluarlah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Peraturan
Daerah sebagai pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 yang menjadi dasar
pemerintahan daerah ke DPRD semula, karena undang-undang tersebut mulai berlaku pada
tanggal 18 Januari 1957, sedangkan DPRD Peralihan di wilayah Kalimantan Selatan belum
bubar maka dengan sendirinya DPRD Peralihan menjalankan wewenang berdasarkan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1957. Dan dengan dasar Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 inilah
nama-nama daerah berubah yakni :

1. Propinsi menjadi Daerah Swatantra Tingkat I

2. Kabupaten menjadi Daerah Swatantra Tingkat II

3. Kota Besar menjadi Kotapraja.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1956 Peraturan Pemerintah Nomor 29


Tahun 1956 serta Petunjuk-petunjuk Menteri Dalam Negeri juga Peraturan Daerah Propinsi
Kalimantan Selatan tanggal 25 Februari 1957 Nomor 13 Tahun 1957 (yang diubah beberapa
kali), terakhir dengan Peraturan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan tanggal 20 Desember 1957
Nomor 23 Tahun 1957 diadakan serentak Pemilihan Umum DPRD Swatantra Tingkat I dan
Tingkat II/ Kotapraja di seluruh Wilayah Kalimantan Selatan (tidak termasuk lagi Kalimantan
Tengah), masing-masing daerah telah tersusun dan dilantik pada pertengahan 1958. Kemudian
menyusullah penyempurnaan Pemerintahan Daerah yang karena belum dapat dipilih oleh rakyat,
dipilih oleh masing-masing DPRD. Adapun dasar dari pemilihan Kepala Daerah tersebut di atas
adalah Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1957 tentang Penerapan Umum Mengenai
Syarat-syarat Kecakapan Pengetahuan dan Cara serta Pengesahan Kepala Daerah.

Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-


undang Darurat Tahun 1953 menjadi Undang-undang maka Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan
akhirnya mempunyai wilayah sebanyak tujuh Daerah Tingkat II / Kotapraja yang terdiri dari :

1. Daerah Kotapraja Banjarmasin dengan ibukotanya Banjarmasin

2. Daerah Tingkat II Banjar dengan ibukotanya Martapura

3. Daerah Tingkat II Barito Kuala dengan ibukotanya Marabahan

4. Daerah Tingkat II Hulu Sungai Selatan ibukotanya Kandangan

5. Daerah Tingkat II Hulu Sungai Tengah ibukotanya Barabai

6. Daerah Tingkat II Hulu Sungai Utara ibukotanya Amuntai

7. Daerah Tingkat II Kotabaru dengan ibukotanya Kotabaru.

Berdasarkan Undang Undang Darurat No.2 tahun 1953 (Lembaran Negara Tahun 1953 No.8)
terbentuk Daerah Kalimantan dengan ibukotanya di Banjarmasin. Perkembangan
ketatanegaraan, maka Pemerintah Pusat mengeluarkan UU Nomor 25 tahun 1956 yang isinya
membagi Kalimantan menjadi 3 (tiga) propinsi dan diberlakukan terhitung tanggal 1 januari 1957,
maka Kalimantan menjadi Kalimantan timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat.
Penjelasan UU nomor 25 tahun 1956 tersebut hanya menyatakan, bahwa Kalimantan Tengah
Akan dibentuk menjadi propinsi otonom selambat-lambatnya dalam jangka waktu tiga (3) tahun,
sebelumnya akan dibentuk terlebih dahulu daerah kerisedenan sebagai persiapan.
Akhirnya dengan Undang-undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957, lembaran Negara Nomor 53
tahun 1957 dan Tambahan Lembaran Negara tahun 1957 Nomor 1284 tertanggal 23 mei 1957
dibentuklah Propinsi Kalimantan Tengah

A.2.6. Masa Eksploitasi

Sejarah Kota Pontianak

Pada tanggal 24 Rajab 1181 Hijriah yang bertepatan pada tanggal 23 Oktober 1771 Masehi,
rombongan Syarif Abdurrahman Alkadrie membuka hutan di persimpangan tiga Sungai Landak
Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Kapuas untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat
tinggal dan tempat tersebut diberi nama Pontianak. Berkat kepemimpinan Syarif Abdurrahman
Alkadrie, Kota Pontianak berkembang menjadi kota Perdagangan dan Pelabuhan.

Tahun 1192 Hijriah, Syarif Abdurrahman Alkadrie dinobatkan sebagai Sultan Pontianak
Pertama. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Mesjid Raya Sultan
Abdurrahman Alkadrie dan Istana Kadariah, yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis
Kecamatan Pontianak Timur.

Adapun Sultan yang pernah memegang tampuk Pemerintahan Kesultanan Pontianak:


1. Syarif Abdurrahman Alkadrie memerintah dari tahun 1771-1808
2. Syarif Kasim Alkadrie memerintah dari tahun 1808-1819.
3. Syarif Osman Alkadrie memerintah dari tahun 1819-1855.
4. Syarif Hamid Alkadrie memerintah dari tahun 1855-1872.
5. Syarif Yusuf Alkadrie memerintah dari tahun 1872-1895.
6. Syarif Muhammad Alkadrie memerintah dari tahun 1895-1944.
7. Syarif Thaha Alkadrie memerintah dari tahun 1944-1945.
8. Syarif Hamid Alkadrie memerintah dari tabun 1945-1950.

SEJARAH PEMERINTAHAN KOTA

Kota Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie (lahir 1742 H) yang membuka
pertama Kota Pontianak, pada hari Rabu tanggal 23 Oktober 1771 bertepatan dengan tanggal 14
Radjab 1185, untuk kemudian pada Hijriah sanah 1192 delapan hari bulan Sja'ban hari Isnen,
SYARIF ABDURRAHMAN ALKADRIE dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Pontianak.

Selanjutnya 2 tahun kemudian setelah Sultan Kerajaan Pontianak dinobatkan, maka pada Hijrah
sanah 1194 bersamaan tahun 1778, masuk dominasi kolonialis Belanda dari Batavia (Betawi)
utusannya Petor (Asistent Resident) dari Rembang bernama WILLEM ARDINPOLA, dan mulai
pada masa itu bangsa Belanda berada di Pontianak, oleh Sultan Pontianak. Bangsa Belanda itu
ditempatkan di seberang Keraton Pontianak yang terkenal dengan nama TANAH SERIBU
(Verkendepaal).

Dan baru pada tanggal 5 Juli 1779, 0.1. Compagnie Belanda membuat perjanjian (Politiek
Contract) dengan Sultan Pontianak tentang penduduk Tanah Seribu (Verkendepaal) untuk
dijadikan tempat kegiatan bangsa Belanda, dan seterusnya menjadi tempat/kedudukan
Pemerintah Resident het Hoofd Westeraffieling van Borneo (Kepala Daerah Keresidenan
Borneo lstana Kadariah Barat), dan Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak
(Asistent Resident Kepala Daerah Kabupaten Pontianak) dan selanjutnya Controleur het Hoofd
Onderaffleeling van Pontianak/ Hoofd Plaatselijk Bestur van Pontianak (bersamaan dengan
Kepatihan) membawahi Demang het Hoofd der Distrik Van Pontianak (Wedana) Asistent
Demang het Hoofd der Onderdistrik van Siantan (Ass. Wedana/ Camat) Asistent Demang het
Hoofd der Onderdistrik van Sungai Kakap (Ass. Wedana/Camat).
Kronologis berdirinya Plaatselijk Fonds seterusnya Stadsgemeente, Pemerintah Kota Pontianak,
Kotapraja, Kota Besar, Kotamadya Dati 11 Pontianak dapat diuraikan sebagai berikut :

PLATSELIJK FONDS

Berada dibawah kekuasaan Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak (semacam
Bupati KDH Tk. II Pontianak). Plaatselijk Fonds merupakan badan, yang mengelola dan
mengurus Eigendom (milik) Pemerintah, dan mengurus dana /keuangan yang diperoleh dari :
Pajak, Opstalperceelen, Andjing Reclame, Minuman keras dan Retribusi Pasar, penerangan
jalan, semuanya berdasarkan Verordening/Peraturan yang berlaku.

Daerah kerja Platselijk Fonds adalah daerah Verkendepaal (Tanah Seribu). Pimpinan Plaatselijk
Fonds terdiri dari : Voorziter (Ketua) Beheerder Staadfonds (Pimpinan selain Voorzter),
Sekretaris. Behercomisie dibantu beberapa Comisieleden (Pengawasan) Plaatselijk Fonds,
setelah pendaratan Jepang, praktis terhenti, terkecuali soal kebersihan, dan bekerja kembali
dengan pimpinan tentara Jepang, setelah masuk tenaga sipil Jepang dan adanya Kenkarikan
(semacam Asisten Resident) Jepang, maka Platselijk Fonds dihidupkan kembali berganti nama
SHINTJO yang dipimpin orang Indonesia yaitu Alin. Bp. MUHAMMAD ABDURRACHMAN
sebagai SHINTJO dan untuk Pimpinan Pemerintah Sipil tetap ada Demang & Ass. Demang
dengan nama Jepang adalah GUNTJO.

STADSGEMEENTE (LAMDSHAAP GEMEENTE)

Berdasarkan Besluit Pemerintah Kerajaan Pontianak tanggal 14 Agustus 1946 No. 24/1/1940
PK yang disahkan/Goedgskeurd de Resident der WesteraMeeling Van Borneo (Dr. J VAN DER
SWAAL) menetapkan sementara sebagai berikut:

Yang menjadi Syahkota pertama adalah R. SOEPARDAN, dan Syahkota melakukan serah
terima harta benda dan keuangan Platselijk Fonds pada tanggal 1 Oktober 1946 dari Staats
Fonds MUHAMMAD ABDURRACHMAN.

Masa jabatan Syahkota R. SOEPARDAN 1 Oktober 1946 dan berakhir awal tahun 1948, untuk
selanjutnya berdasarkan penetapan Pemerintah Kerajaan Pontianak diangkat ADS. HIDAYAT,
dengan jabatan BURGERMESTER Pontianak sampai tahun 1950.

PEMERINTAHAN KOTA PONTIANAK

Pembentukan Stadsgerneente bersifat sementara, maka Besluit Pemerintah Kerajaan Pontianak


tanggal 14 Agustus 1946 No. 24/1/I946/KP dirobah dan diperhatikan kembali dengan Undang-
Undang Pemerintah Kerajaan Pontianak tanggal 16 September 1949 No. 40/1949/KP,
memutuskan mulai dari tanggal Peraturan ini berlaku maka Keputusan Pemerintah Kerajaan
Pontianak bertanggal 14 Agustus 1946 No. 24/1/1946/KP dirubah dan diperhatikan kembali.
Dalam undang-undang ini disebut Peraturan Pemerintah Pontianak dan membentuk Pemerintah
kota Pontianak. Sedangkan perwakilan rakyat disebut Dewan Perwakilan Penduduk Kota
Pontianak. Walikota pertama ditetapkan oleh Pemerintah Kerajaan Pontianak adalah NY.
ROHANA MUTHALIB, sebagai wakil Walikota Pontianak, dan apa sebab kedudukannya
sebagai Wakil Walikota Pontianak, mengingat pasal 25 dari U.U. Ketua Pontianak sebagai
Walikota hanya dapat diangkat lelaki yang menurut keputusan Hakim.
Sebagai pengganti NY. ROHANA MUTHALIB, oleh Pemerintah diangkat SOEMARTOYO,
sebagai Walikota Besar Pontianak, mengingat peralihan Kekuasaan Swapraja Pontianak kepada
Bupati/Kabupaten Pontianak tidak termasuk, maka Pemerintah Daerah Kota Besar Pontianak
berstatus Otonom. Sesuai dengan perkembangan Tata Pemerintahan, maka dengan Undang-
Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953, bentuk Pemerintahan LANDSCHAP GEMEENTE,
ditingkatkan menjadi KOTA PRAJA Pontianak. Pada masa ini Urusan Pemerintahan terdiri dari
Urusan Pemerintahan Umum dan Urusan Pemerintahan Daerah ( Otonomi Daerah ).

Selanjutnya perkembangan Pemerintah Kota Praja Pontianak berubah dan sebutannya yaitu
dengan berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 Penetapan Presiden No.6 Tahun 1959
dan Penetapan Presiden No.5 Tahun 1960, Instruksi Menteri Dalam Negeri No.9 Tahun 1964
dan Undang Undang No. 18 Tahun 1965, maka berdasarkan Surat Keputusan DPRD-GR Kota
Praja Pontianak No. 021/KPTS/DPRD-GR/65 tanggal 31 Desember 1965, nama Kota Praja
Pontianak diganti menjadi KOTAMADYA PONTIANAK. Kemudian dengan Undang-Undang
No.5 Tahun 1974, maka sebutan/nama Kotamadya Pontianak berubah menjadi KOTAMADYA
DAERAH TINGKAT II PONTIANAK. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah di Daerah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia merubah
sebutan untuk Pemerintah Tingkat 11 Pontianak menjadi sebutan Pemerintah Kota Pontianak.

Harry Widianta dan Retno Handini. Ekskavasi Situs Gua Babi Tahap III - IV Kabupaten Tabalong Propinsi
Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian Arkeologi Banjarmasin. 1998/1999.

Sartono Kartodirdjo, ”Historiografi Tradisional, Modern , Fungsi dan Strukturnya”, dalam Makalah
Simposium Internasional Ilmu Humaniora I, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1993,
hal. 7.

http://www.depdagri.go.id

http://0141117.tripod.com/sejarah.htm

“Hikayat Banjar” adalah sebuah manuskrip tua yang telah lama dikenal di daerah Kalimantan Selatan
sejak Zaman Kerajaan Banjar. Nama asli dari manuskrip tersebut beberapa macam, misalnya : Hikayat
Lambung Mangkurat, Tutur Candi, Hikayat Raja-raja Banjar dan Kotawaringin, Cerita Lambung
Mangkurat dan Turunan Raja-raja Banjar dan Kotawaringin. Tidak diketahui mengenai penulis Hikayat
Banjar, tetapi satu hal yang jelas adalah penulis atau penyalinnya bukanlah satu orang Raja, melainkan
ditulis dan/atau disalin dari sumber lisan oleh orang banyak. Oleh karena itu dapat dimengerti jika
terdapat banyak koleksi naskah Hikayat Banjar yang tidak sama bentuk dan isinya.

Lihat J.J. Ras, Hikayat Banjar: A Study in Malay Historiography, The Martinus Nijhoff, 1968, hal. 238.

Tentang Sarunai Fridolin Ukur menyebutnya sebagai sebuah kerajaan Orang Dayak Maanyan yang rusak
oleh Jawa. Lihat .Fridolin Ukur, Tanya Jawab Tentang Suku Dayak, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1977,
hal. 46.

A.B. Hudson, ibid.

Menurut Schrieke, Keling identik dengan Kediri Utara lihat B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies
Part Two, N.V. Mijvarking van Hocke, Bandung, 1957, hal. l26.

A. Van Der Ven, op.cit., hal.93


M.Z. Arifin Anis,”Banjarmasih Sebagai Bandar Perdagangan Pada Abad XVII”.Dalam Jurnal Vidya Karya
Nomor 2, Oktober 2000, Banjarmasin, hal. 91

Lebih jauh tentang isi Proklamasi 11 Juni 1860, lihat Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sedjarah
Kalimantan, Fadjar, Banjarmasin, 1953, hal. 51-53 dan H.G. Gusti Mayur, Perang Banjar, CV. Rapi,
Banjarmasin, 1979, hal. 60-61.

Soenarto et al., ibid., hal. 32-33. Lihat pula Depdikbud, Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, Proyek
Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Banjarmasin, 1977/1978, hal. 64-65 yang terdiri dari 3
afdeling yaitu Afdeling Banjarmasin, Afdeling Martapura dan Afdeling Amuntai. Bandingkan dengan
Amir Hasan Kiai Bondan, op.cit., hal. 192-194.

M. Idwar Saleh et al, Sejarah Daerah Tematis Zaman Kebangkitan Nasional (1900-1942) di Kalimantan
Selatan, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Banjarmasin, 1978/1979,

bagian ini diambil dari anonim (1978),sejarah daerah Kalimantan Selatan. Departemen pendidikan dan
Kebudayaan, Jakarta;Gusti Mayur H (1979). Perang Banjar. CV Rapi. Banjarmasin dan Anonim
(2002)Sejarah kaimantan Tengah.Draft-3.Naskah Belum diterbitkan

Kodam X/LM, loc.cit.

Alex A. Koroh, op.cit, hal. 58.

Alex A. Koroh, ibid, hal. 59.

Alex A. Koroh, ibid, hal. 60.

Alex A. Koroh, loc.cit.

Kodam X/LM, ibid, hal. 574

Kodam X/LM, loc.cit.

Kodam X/LM, loc.cit.

Kodam X/LM, ibid, hal. 576.

Masukkan kedalam sejarah saja

Kerajaan islam

Lebih detail permasalajhan migrasi penduduk cari di Bab 8

Cek lagi. Sebelum 1865 kalseltim dikuasai secara tidak langsung oleh VOC, Kekalahan Pada perang
Banjar menyebabkan kerajaan Banjar dan Bawahannya di kuasai penuh kecuali Kalteng karena mereka
masih berperang sampai tahun 1905

Dari sejarah banjar.


Sumber : Languages of Indonesia, Kalimantan. Part of _Ethnologue: Languages of the
World_, 13th Edition; Barbara F. Grimes, Editor; Summer Institute of Linguistics, 1996

ETNIS DAN BAHASA DAYAK DI KALIMANTAN


1. AHE (AHE DAYAK, DAYAK AHE) [AHE] 30,000 (1990 UBS). Austronesian,
Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Land Dayak. Work in
progress.
2. AMPANANG [APG] 30,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). East central, southeast
of Tunjung, around Jambu and Lamper. Austronesian, Malayo-Polynesian,
Western Malayo-Polynesian, Borneo, Barito, Mahakam. Survey needed.
3. AOHENG (PENIHING) [PNI] 2,630 (1981 Wurm and Hattori). North central near
Sarawak border. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian,
Borneo, Kayan-Murik, Muller-Schwaner 'Punan'. Survey needed.
4. BAHAU [BHV] 3,200 (1981 Wurm and Hattori). Northeast, north and southeast of
Busang. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo,
Kayan-Murik, Kayan. Survey needed.
5. BAKUMPAI (BARA-JIDA) [BKR] 40,000 or more (1981 Wurm and Hattori).
Kapuas and Barito rivers, northeast of Kualakapuas. Austronesian, Malayo-
Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Barito, West, South. Dialects:
BAKUMPAI, MENGKATIP (MANGKATIP, OLOH MENGKATIP). Related to
Ngaju, Kahayan, Katingan. Survey needed.
6. BANJAR (BANJARESE, BANDJARESE, BANJAR MALAY) [BJN] 2,100,000 in
Indonesia (1993 Johnstone); 3,000,000 in all countries (1993 J. Collins); 1.2% of
the population (1989); 800,000 in Hulu, 700,000 in Kuala (1981 Wurm and
Hattori). Around Banjarmasin in the south and east, and one pocket on east
coast south of the Kelai River mouth. Also in Sabah, Malaysia. Austronesian,
Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Sundic, Malayic, Malayan,
Local Malay. Dialects: KUALA, HULU. Needs intelligibility testing with Malay and
Indonesian. Strongly influenced by Javanese. Settled 800 to 1000 A.D. Muslim.
Survey needed.
7. BASAP [BDB] 17,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). Eastern Kalimantan,
scattered throughout Bulungan, Sangkulirang, and Kutai. Austronesian, Malayo-
Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, Rejang-Sajau.
Dialects: JEMBAYAN, BULUNGAN, BERAU, DUMARING, BINATANG,
KARANGAN. Cave-dwellers. Traditional religion, Christian. Survey needed.
8. BEKATI' (BAKATIQ) [BAT] 4,000 (1986 UBS). Northwestern near Sarawak
border, around Sambas and Selvas. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western
Malayo-Polynesian, Borneo, Land Dayak. Bible portions 1986. Work in progress.
9. BENYADU' [BYD] 45,000 possibly (1981 Wurm and Hattori). Northwestern near
Sarawak border, around Tan, Darit. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western
Malayo-Polynesian, Borneo, Land Dayak. Survey needed.
10. BIATAH (BIDEYU, SIBURAN, LUNDU, LANDU) [BTH] 20,100 in all countries
(1981 Wurm and Hattori). Northwest Kalimantan, on Sarawak border. Mainly in
Sarawak, Malaysia. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-
Polynesian, Borneo, Land Dayak. May be distinct from Biatah of Sarawak.
Christian, traditional religion. NT 1963. Bible portions 1887-1912.
11. BOLONGAN (BULUNGAN) [BLJ] 15,000 (1989). Northeast, around
Tanjungselor, lower Kayan River. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western
Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Dayic, Murutic,
Tidong. May be a dialect of Tidong or Segai. Classification uncertain. Traditional
religion. Survey needed.
12. BUKAR SADONG (SADONG, TEBAKANG, BUKA, BUKAR, SERIAN,
SABUTAN) [SDO] 34,600 in all countries (1981 Wurm and Hattori). Also
Sarawak, Malaysia. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-
Polynesian, Borneo, Land Dayak. Dialects: BUKAR SADONG, BUKAR
BIDAYUH (BIDAYUH, BIDAYAH).
13. BUKAT [BVK] 400 (1981 Wurm and Hattori). North central near Sarawak border,
Kapuas River, southeast of Mendalam, 3 areas. Austronesian, Malayo-
Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Muller-Schwaner
'Punan'. Survey needed.
14. BUKITAN (BAKITAN, BAKATAN, BEKETAN, MANGKETTAN, MANKETA,
PAKATAN) [BKN] 410 (1981 Wurm and Hattori). Iwan River, on the Sarawak
border. Also in Sarawak, Malaysia. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western
Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, Melanau-Kajang, Kajang. Dialects:
PUNAN UKIT, PUNAN BUSANG. Christian. Survey needed.
15. BURUSU [BQR] 6,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). Northeast, around
Sekatakbunyi, north of Sajau Basap language. Austronesian, Malayo-Polynesian,
Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, Rejang-Sajau. Survey needed.
16. DAYAK, LAND [DYK] 57,619 (1981). Western Kalimantan. Austronesian,
Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Land Dayak. Dialects:
KARAGAN (KARANGAN), SIDIN (SIDING, SINDING), MERATEI (MERETEI),
SAU (SAUH, BIRATAK), SERMAH (BIONAH), BERANG, SABUNGO, SANTAN,
GURGO, SINAN, SUMPO, BUDANOH, SERING, GUGU, MATAN, TEMILA,
BEHE, IPOH, MANYUKAI (MENJUKE, MENYUKAI, MANYUKE, MANUKAI),
PUNAN (BUNAN, MURANG PUNAN, PENYABUNG PUNAN, BUSANG,
DJULOI), KATI, BETA. There may be several languages represented among the
dialects listed. All Land Dayak in Sarawak are covered by separate listings. Bible
portions 1935. Survey needed.
17. DJONGKANG [DJO] 45,000 possibly (1981 Wurm and Hattori). Northwest, south
of Balai Sebut. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian,
Borneo, Land Dayak. Survey needed.
18. DOHOI (OT DANUM, UUT DANUM, UUD DANUM) [OTD] 80,000 (?) (1981
Wurm and Hattori) including 2,700 Ulu Ai'. Extensive area south of the Schwaner
Range on the upper reaches of south Borneo rivers. The Ulu Ai' are on the
Mandai River with 7 villages. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-
Polynesian, Borneo, Barito, West, North. Dialects: OT BALAWAN, OT BANU'U,
OT MURUNG 1 (MURUNG 1, PUNAN RATAH), OT OLANG, OT TUHUP,
SARAWAI (MELAWI), DOHOI, ULU AI' (DA'AN). Dohoi and Murung 1 may be
separate languages. Traditional religion, Christian. Selections 1982. Work in
progress.
19. DUSUN DEYAH (DEAH, DEJAH) [DUN] 20,000 (?) (1981 Wurm and Hattori).
Southeast, Tabalong River northeast of Bongkang. Austronesian, Malayo-
Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Barito, East, Central-South,
Central. Survey needed.
20. DUSUN MALANG [DUQ] 10,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). East central, west
of Muarainu, northeast of Muarateweh. Austronesian, Malayo-Polynesian,
Western Malayo-Polynesian, Borneo, Barito, East, Central-South, South. Closest
to Ma'anyan, Paku, Dusun Witu, and Malagasy. Survey needed.
21. DUSUN WITU [DUW] 25,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). Southeast, regions of
Pendang and Buntokecil; south of Muarateweh. Austronesian, Malayo-
Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Barito, East, Central-South,
South. Closest to Ma'anyan, Paku, Dusun Malang, Malagasy. Survey needed.
22. EMBALOH (MBALOH, MALOH, MALO, MEMALOH, MATOH, PARI, PALIN,
SANGAU, SANGGAU) [EMB] 10,000 (1991 NTM). West central, Hulu Kapuas
Regency, just south of the Sarawak border, upper Kapuas River: Embaloh,
Leboyan, Lauh, Palin, Nyabau, Mandai, and Kalis tributaries. Austronesian,
Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Sundic, Mbaloh. Dialect: KALIS
(KALIS MALOH, KALIS DAYAK). Complex of ethnic groups: Taman of upper
Kapuas Rer, Suai, Taman Mendalem, Taman Sibau, Palin, Lauk, Leboyan, Kalis
Dayak. Traditional religion, Christian. Work in progress.
23. HOVONGAN (PUNAN BUNGAN) [HOV] 1,000 (1991 NTM). North central near
Sarawak border, 2 areas. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-
Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Muller-Schwaner 'Punan'. Dialects:
HOVONGAN, SEMUKUNG UHENG. Traditional religion, Christian. Work in
progress.
24. IBAN (SEA DAYAK) [IBA] 415,000 in all countries (1995 P. Martin); 1,000,000
including second language users (1995 WA). Also in Sarawak and Sabah,
Malaysia, and Brunei. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-
Polynesian, Sundic, Malayic, Malayic-Dayak, Ibanic. Dialects: BATANG LUPAR,
BUGAU, SEBERUANG, KANTU', DESA, KETUNGAU (AIR TABUN, SIGARAU,
SEKALAU, SEKAPAT, BANJUR, SEBARU', DEMAM, MAUNG). Seberuang
(20,000 speakers on the Kapuas River) may be a separate language. Typology:
SVO. Traditional religion, Christian. Bible 1988. NT 1933-1952. Bible portions
1864-1968.
25. KAHAYAN (KAHAIAN, KAHAJAN) [XAH] 45,000 (1981 Wurm and Hattori).
Kapuas and Kahayan rivers, south central, northeast of Ngaju. Austronesian,
Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Barito, West, South.
Related to Ngaju, Katingan, and Bakumpai. Survey needed.
26. KATINGAN [KXG] 45,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). Katingan River, south
central. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo,
Barito, West, South. Related to Ngaju, Kahayan, and Bakumpai. Survey needed.
27. KAYAN MAHAKAM [XAY] 1,300 (1981 Wurm and Hattori). North central,
Mahakam River, 2 areas. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-
Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Kayan. A mixture of Kayan and Ot Danum
(Dohoi). Survey needed.
28. KAYAN, BUSANG (KAJAN, KAJANG, BUSANG) [BFG] 3,000 (1981 Wurm and
Hattori). On the upper Mahakam, Oga, and Belayan rivers. Austronesian,
Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Kayan.
Dialects: MAHAKAM BUSANG, BELAYAN, LONG BLEH. Christian, traditional
religion. Survey needed.
29. KAYAN, KAYAN RIVER (KAYAN RIVER KAJAN, KAJANG) [XKN] 2,000 (?)
(1981 Wurm and Hattori). Northeast, Kayan River, 2 areas. Austronesian,
Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Kayan.
Dialects: UMA LAKAN, KAYANIYUT KAYAN. Survey needed.
30. KAYAN, MENDALAM (MENDALAM KAJAN) [XKD] 1,500 (1981 Wurm and
Hattori). North central, northeast of Putus Sibau, Mendalam River. Austronesian,
Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Kayan.
Survey needed.
31. KAYAN, WAHAU (WAHAU KAJAN) [WHU] 500 (?) (1981 Wurm and Hattori).
Northeast, north of Muara Wahau. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western
Malayo-Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Kayan. Survey needed.
32. KELABIT (KALABIT, KERABIT) [KZI] 1,650 in all countries (1981 Wurm and
Hattori). Remote mountains, on Sarawak border, northwest of Longkemuat.
Mainly in Sarawak, Malaysia. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western
Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Dayic, Kelabitic.
Dialect: LON BANGAG. Mountain slope. Agriculturalists: paddy and hill rice. Part
Christian. Bible portions 1965.
33. KEMBAYAN [XEM] 45,000 possibly (1981 Wurm and Hattori). Northwest, near
Sarawak border, around Balaikarangan, Kembayan, Landak River. Austronesian,
Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Land Dayak. Survey
needed.
34. KENDAYAN (BAICIT, KENDAYAN-AMBAWANG, KENDAYAN DAYAK) [KNX]
150,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). Kalimantan Barat, northeast of
Bengkayang in the Ledo area, extending into the jungle area of Madi and Papan.
Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Sundic, Malayic,
Malayic-Dayak. Dialects: AMBAWANG, KENDAYAN. Indonesian is well
understood only by the few who have had at least a 6th grade education. Survey
needed.
35. KENINJAL (KANINJAL DAYAK, DAYAK KANINJAL, KANINJAL) [KNL] 35,000
(1990 UBS). West central, Sayan and Melawi rivers, around Nangapinoh,
Nangaella, Nangasayan, Gelalak. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western
Malayo-Polynesian, Sundic, Malayic, Malayic-Dayak. Work in progress.
36. KENYAH, BAHAU RIVER (BAHAU RIVER KENYA) [BWV] 1,500 (?) (1981
Wurm and Hattori). Northeast, on Sarawak border, around Longkemuat, Iwan
River. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo,
Northwest, North Sarawakan, Kenyah, Main Kenyah. Dialects: LONG ATAU,
LONG BENA, LONG PUYUNGAN. Survey needed.
37. KENYAH, BAKUNG (BAKUNG, BAKUNG KENYA, BAKONG) [BOC] 2,000 in all
countries (?) (1981 Wurm and Hattori). Northeast, near the Sarawak border, Oga
River and southeast of Datadian, and around Kubumesaai. Also in Sarawak,
Malaysia. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian,
Borneo, Northwest, North Sarawakan, Kenyah. Dialects: BOH BAKUNG, OGA
BAKUNG, KAYAN RIVER BAKUNG. Muslim. Survey needed.
38. KENYAH, KAYAN RIVER (KAYAN RIVER KENYA, KENYA, KENJA, KENYAH,
KINJIN, KINDJIN, KEHJA) [KNH] 6,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). Northeast,
Apo Kayan highlands where Kayan River begins, Iwan River, and around
Longbia. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian,
Borneo, Northwest, North Sarawakan, Kenyah, Main Kenyah. Dialects: LOWER
KAYAN KENYAH, LONGBIA, KAYANIYUT KENYAH, LONG NAWAN, LONG
KELAWIT. Christian. NT 1978. Bible portions 1956-1957.
39. KENYAH, KELINYAU (KELINYAU, KELINJAU, KENJA, KENYAH, KENYA,
KINJIN, KINDJIN, KEHJA) [XKL] 1,200 (?) (1981 Wurm and Hattori). Northeast,
Kinjau River, around Long Laes, and Telen River. Austronesian, Malayo-
Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan,
Kenyah, Main Kenyah. Dialects: UMA BEM, UMA TAU, LEPO' KULIT, UMA
JALAM. Survey needed.
40. KENYAH, MAHAKAM (MAHAKAM KENYA, KENYA, KENJA, KENYAH, KINJIN,
KINDJIN, KEHJA) [XKM] 7,000 (1981 Wurm and Hattori). Northeast, east of
Bahau, and on Mahakam River, 5 areas. Austronesian, Malayo-Polynesian,
Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Kenyah,
Main Kenyah. Dialects: MAHAKAM KENYAH, BOH. Survey needed.
41. KENYAH, UPPER BARAM (UPPER BARAM KENJA, KENJA, KENYAH, KINJIN,
KANYAY, KINDJIN) [UBM] 2,660 in all countries (1981 Wurm and Hattori).
Border with Sarawak, northwest of Longkemuat. Mainly in Sarawak, Malaysia.
Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo,
Northwest, North Sarawakan, Kenyah, Main Kenyah. Survey needed.
42. KENYAH, WAHAU (WAHAU KENYA) [WHK] 1,000 (?) (1981 Wurm and Hattori).
Northeast, north of Muara Wahau and Wahau Kayan. Austronesian, Malayo-
Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan,
Kenyah. Dialect: UMA TIMAI. Survey needed.
43. KEREHO-UHENG (PUNAN KERIAU) [XKE] 200 (1981 Wurm and Hattori). North
central near Sarawak border, south of Bukat and Hovongan. Austronesian,
Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Muller-
Schwaner 'Punan'. Survey needed.
44. LARA' (LURU) [LRA] 12,000 in all countries (1981 CBFMS). Upper Lundu and
Sambas rivers, around Bengkayang east of Gunung Pendering, and farther
north, Pejampi and two other villages. Also Sarawak, Malaysia. Austronesian,
Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Land Dayak.
Traditional religion.
45. LAWANGAN (LUWANGAN, NORTHEAST BARITO) [LBX] 100,000 (1981 Wurm
and Hattori). Around the Karau River in east central Kalimantan. Austronesian,
Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Barito, East, North.
Dialects: TABUYAN (TABOYAN, TABOJAN, TABOJAN TONGKA), AJUH,
BAKOI (LAMPUNG), BANTIAN (BENTIAN), BANUWANG, BAWU, KALI, KARAU
(BELOH), LAWA, LOLANG, MANTARAREN, NJUMIT, PURAI, PURUNG,
TUWANG, PASIR, BENUA. At least 17 dialects. Tawoyan may be inherently
intelligible. Survey needed
46. LENGILU [LGI] 10 (?) (1981 Wurm and Hattori). Northeast, between Sa'ban and
Lundayeh. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian,
Borneo, Northwest, North Sarawakan, Dayic, Kelabitic. Nearly extinct.
47. LUNDAYEH (SOUTHERN MURUT, LUN DAYE, LUN DAYAH, LUN DAYA, LUN
DAYOH, LUNDAYA) [LND] 25,000 in Kalimantan (1987); 10,000 in Sarawak,
Malaysia (1987); 2,800 in Sabah, Malaysia (1982 SIL); 450 in Brunei (1987);
38,250 in all countries. Interior about 4 degrees north from Brunei Bay to
headwaters of Padas River, to headwaters of Baram and into Kalimantan,
Indonesian mountains where tributaries of Sesayap River arise. Austronesian,
Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North
Sarawakan, Dayic, Kelabitic. Dialects: LUN DAYE, PAPADI, LUN BAWANG
(LONG BAWAN, SARAWAK MURUT). Most speakers live in Indonesia. Not
Murutic, although sometimes called Southern Murut. Christian (Lunbawang,
some Lundayeh), traditional religion (others). Bible 1982. NT 1962. Bible portions
1947.
48. MA'ANYAN (MAANYAK DAYAK, MA'ANJAN, SIANG) [MHY] 70,000 (1981 Wurm
and Hattori). South around Tamianglayang, area of the drainage of Patai River.
Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Barito,
East, Central-South, South. Dialects: SAMIHIM (BULUH KUNING), SIHONG
(SIONG), DUSUN BALANGAN. Related to Malagasy. Traditional religion. NT in
press (1996). Bible portions 1950.
49. MALAYIC DAYAK [XDY] 520,000 including 300 Tapitn, 100,000 (?) Banana',
100,000 (?) Kayung, 200,000 Delang, 10,000 Semitau, 10,000 Suhaid, 20,000
Mentebah-Suruk (1981 Wurm and Hattori). Banana' and Tapitn are western,
between Singakawang, Bengkayang, Darit, and Sungairaya; Kayung and Delang
are southern, between Sandai, Muarakayang, Pembuanghulu, Sukamara, and
Sukaraja; Semitau, Suhaid, and Mentebah-Suruk are eastern, southeast of
Kapuas River from Sintang to Putus Sibau. Austronesian, Malayo-Polynesian,
Western Malayo-Polynesian, Sundic, Malayic, Malayic-Dayak. Dialects: TAPITN,
BANANA', KAYUNG (KAYONG), DELANG, SEMITAU, SUHAID, MENTEBAH-
SURUK. May constitute 3 or more languages. Related to Selako, Kendaya, and
Keninjal. Work in progress.
50. MALAY, BERAU (BERAU, MERAU MALAY) [BVE] 20,000 (?) (1981 Wurm and
Hattori). East central coastal area, Tanjungreder and Muaramalinau in the north
to Sepinang in the south. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-
Polynesian, Sundic, Malayic, Malayan, Local Malay. Shares phonological
innovations with Kutai Malay, Banjar, and Brunei. Survey needed.
51. MALAY, BUKIT (BUKIT, MERATUS) [BVU] 50,000 (1981 Wurm and Hattori).
Southeastern, Sampanahan River, northwest of Limbungan. Austronesian,
Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Sundic, Malayic, Malayan,
Local Malay. Traditional religion. Survey needed.
52. MALAY, KOTA BANGUN KUTAI [MQG] 80,000 (1981 Wurm and Hattori).
Central Mahakam River basin. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western
Malayo-Polynesian, Sundic, Malayic, Malayan, Local Malay. Not intelligible with
Tenggarong Kutai Malay. May be intelligible with Northern Kutai. Survey needed.
53. MALAY, TENGGARONG KUTAI (KUTAI, TENGGARONG) [VKT] 210,000,
including 100,000 in Tenggarong, 60,000 in Ancalong, 50,000 in Northern Kutai
(1981 Wurm and Hattori). Mahakam River basin, east central coastal area, from
Sepinang and Tg. Mangkalihat in the north to Muarabadak and Samarinda in the
south. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Sundic,
Malayic, Malayan, Local Malay. Dialects: TENGGARONG KUTAI, ANCALONG
KUTAI, NORTHERN KUTAI. Many dialects. Tenggarong and Kota Bangun are
not inherently intelligible. Shares phonological innovations with Berau Malay,
Banjar, and Brunei. Survey needed.
54. MODANG [MXD] 15,300 (1981 Wurm and Hattori). Around Segah, Kelinjau, and
Belayan rivers in northeast Kalimantan, 5 areas. Austronesian, Malayo-
Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Modang.
Dialects: KELINGAN (LONG WAI, LONG WE), LONG GLAT, LONG BENTO',
BENEHES, NAHES, LIAH BING. Survey needed.
55. MUALANG [MTD] 10,000 (1981 Wurm and Hattori). Along the Ayak and Belitang
Rivers, about 200 miles upstream from Pontianak. Austronesian, Malayo-
Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Sundic, Malayic, Malayic-Dayak,
Ibanic. Closely related to Iban. Survey needed.
56. NGAJU (NGADJU, NGAJU DAYAK, BIADJU, SOUTHWEST BARITO) [NIJ]
250,000 (1981 Wurm and Hattori). Kapuas, Kahayan, Katingan, and Mentaya
rivers, south. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian,
Borneo, Barito, West, South. Dialects: PULOPETAK, KAPUAS (NGAJU, BARA-
DIA), BA'AMANG (BARA-BARE, SAMPIT), MANTANGAI (OLOH
MANGTANGAI). Related to Katingan, Kahayan, Bakumpai. Trade language for
most of Kalimantan, from the Barito to the Sampit rivers, east of the Barito
languages, and north in the Malawi River region. Bible 1858-1955. NT 1846, in
press (1996). Bible portions 1897-1905.
57. NYADU (NJADU, BALANTIANG, BALANTIAN) [NXJ] 9,000. West and north
Kalimantan, Landak, tributary of Sambas River. Austronesian, Malayo-
Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Land Dayak. Similar to Lara'
spoken along upper Lundu and Sambas Rivers. Bible portions 1952. Survey
needed.
58. OKOLOD (KOLOD, KOLOUR, KOLUR, OKOLOD MURUT) [KQV] 2,000 to 3,500
in all countries (1985 SIL). Northeast along Sabah border, east of Lumbis, north
of Lundayeh. Primarily Kalimantan and Sarawak, Malaysia, and some in Sabah,
Malaysia. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian,
Borneo, Northwest, North Sarawakan, Dayic, Murutic, Murut. Traditional religion,
Christian. Work in progress.
59. PAKU [PKU] 20,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). Southeast, south of Ampah.
Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Barito,
East, Central-South, South. Closest to Ma'anyan, Malagasy, Dusun Malang,
Dusun Witu. Survey needed.
60. PUNAN APUT (APUT) [PUD] 370 (1981 Wurm and Hattori). Northeast, west and
north of Mt. Menyapa. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-
Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Muller-Schwaner 'Punan'. Survey needed.
61. PUNAN MERAH [PUF] 137 (1981 Wurm and Hattori). Northeast, Mahakam
River, east of Ujohhilang. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-
Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Muller-Schwaner 'Punan'. Distinct from Punan
Merap. Survey needed.
62. PUNAN MERAP [PUC] 200 (?) (1981 Wurm and Hattori). Northeast, east of
Longkemuat. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian,
Borneo, Northwest, Rejang-Sajau. Distinct from Punan Merah. Survey needed.
63. PUNAN TUBU [PUJ] 2,000 (1981 Wurm and Hattori). Northeast, Malinau,
Mentarang, and Sembakung rivers, 8 locations. Austronesian, Malayo-
Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan,
Kenyah. May not be a Kenyah language. Survey needed.
64. PUTOH [PUT] 6,000 (1981 Wurm and Hattori). Northeast, east of Lundayeh and
Sa'ban, Mentarang River, around Longberang, Mensalong, and Bangalan.
Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo,
Northwest, North Sarawakan, Dayic, Kelabitic. Dialects: PA KEMBALOH, ABAI.
Survey needed.
65. RIBUN [RIR] 45,000 possibly (1981 Wurm and Hattori). Northwest, south of
Kembayan. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian,
Borneo, Land Dayak. Survey needed.
66. SA'BAN [SNV] 1,000 in all countries (1981 Wurm and Hattori). Northeast on
Sarawak border, south of Lundayeh. Also in Sarawak, Malaysia. Austronesian,
Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North
Sarawakan, Dayic, Kelabitic. Bible portions 1969. Survey needed.
67. SAJAU BASAP (SAJAU, SUJAU) [SAD] 6,000 (?) (1981 Wurm and Hattori).
Northeast, northeast of Muaramalinau. Austronesian, Malayo-Polynesian,
Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, Rejang-Sajau. Dialects:
PUNAN SAJAU, PUNAN BASAP, PUNAN BATU2. Distinct from Basap, but
related. Survey needed.
68. SANGGAU [SCG] 45,000 possibly (1981 Wurm and Hattori). Northwestern,
around Sanggau, Kapuas River. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western
Malayo-Polynesian, Borneo, Land Dayak. Survey needed.
69. SARA [SRE] Smaller than Lara. Near Sanggau-Ledo northeast of Ledo.
Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Land
Dayak. Some dialect differences but one written form can serve. Work in
progress.
70. SEBERUANG [SBX] 20,000 (1993 UBS). Kapuas River. Austronesian, Malayo-
Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Sundic, Malayic, Malayic-Dayak,
Ibanic. Typology: SVO. Traditional religion, Christian. Work in progress.
71. SEGAI [SGE] 2,000 (1981 Wurm and Hattori). Northeast, Kelai River and around
Longlaai. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian,
Borneo, Kayan-Murik, Modang. Dialects: KELAI, SEGAH. Bolongan may be a
dialect. Survey needed.
72. SELAKO (SELAKO DAYAK, SALAKAU, SILAKAU) [SKL] 100,000 in Kalimantan
(?) (1981 Wurm and Hattori); 3,800 in Sarawak, Malaysia (1981 Wurm and
Hattori). Northwest, around Pemangkat. Austronesian, Malayo-Polynesian,
Western Malayo-Polynesian, Sundic, Malayic, Malayic-Dayak. Mainly traditional
religion.
73. SELUNGAI MURUT [SLG] 800 in all countries (1981 Wurm and Hattori); 300 in
Sabah (1990 SIL). Along the upper reaches of the Sembakung River, east of
Lumbis. Also in Sabah, Malaysia. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western
Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Dayic, Murutic, Murut.
74. SEMANDANG [SDM] 30,000 (1981 Wurm and Hattori). West central, around
Balaiberkuwak, north of Sandai. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western
Malayo-Polynesian, Borneo, Land Dayak. Dialects: SEMANDANG, GERAI,
BEGINCI, BIHAK. Traditional religion, Christian. Bible portions 1982. Work in
progress.
75. SEMBAKUNG MURUT (SIMBAKONG, SEMBAKOENG, SEMBAKONG,
TINGGALAN, TINGGALUM, TINGALUN) [SMA] 5,000 in all countries (?) (1981
Wurm and Hattori). Along the Sembakung River in northern Kalimantan, from the
mouth, into Sabah, Malaysia. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western
Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Dayic, Murutic,
Tidong.
76. SIANG (OT SIANG) [SYA] 60,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). Central, east of
Dohoi. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo,
Barito, West, North. Dialects: SIANG, MURUNG2. Related to Dohoi. Survey
needed.
77. TAGAL MURUT (SUMAMBU-TAGAL, SUMAMBU, SUMAMBUQ, SEMEMBU,
SEMAMBU) [MVV] 2,000 Alumbis in Kalimantan; 28,000 to 48,000 in Sabah,
Malaysia (1987 SIL); 30,000 to 50,000 in all countries (1991 SIL). Along the
Pegalan Valley, Alumbis River. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western
Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Dayic, Murutic, Murut.
Dialects: RUNDUM (ARUNDUM), TAGAL (TAGOL, NORTH BORNEO MURUT,
SABAH MURUT), SUMAMBU (SEMEMBU, SUMAMBUQ), TOLOKOSON
(TELEKOSON), SAPULOT MURUT (SAPULUT MURUT), PENSIANGAN
MURUT (PENTJANGAN, TAGAL, TAGUL, TAGOL, TAGGAL, LAGUNAN
MURUT), ALUMBIS (LUMBIS, LOEMBIS), TAWAN, TOMANI (TUMANIQ),
MALIGAN (MAULIGAN, MELIGAN, BOL MURUT, BOLE MURUT). NT 1984-
1991. Bible portions 1965-1990.
78. TAMAN (TAMAN DAYAK, DAYAK TAMAN) [TMN] 5,000 to 6,000 (1991 NTM).
North central, Kapuas River in the area directly upriver from Putussibau, and the
Mendalam and Sibau tributaries. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western
Malayo-Polynesian, Sundic, Mbaloh. Traditional religion, Christian. Work in
progress.
79. TAUSUG (TAW SUG, SULU, SULUK, SOOLOO, TAUSOG, TAOSUG, MORO
JOLOANO, JOLOANO SULU) [TSG] 12,000 in Kalimantan (1981 Wurm and
Hattori); 330,000 in the Philippines (1975 census); 110,000 in Sabah, Malaysia
(1982 SIL); 492,000 in all countries (1981 Parshall). 500,000 others speak it as
second language in the Philippines (1986 SIL). Settlements along the coast of
northeastern Kalimantan, immigrants from the Sulu Archipelago in the
Philippines. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian,
Meso Philippine, Central Philippine, Bisayan, South, Butuan-Tausug. Fishermen.
Muslim. NT 1985. Bible portions 1918-1993.
80. TAWOYAN (TAWOYAN DAYAK, TABOYAN, TABUYAN, TABOJAN, TABOJAN
TONGKA) [TWY] 20,000 (?) (Wurm and Hattori 1981). East Central around
Palori. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo,
Barito, East, North. May be inherently intelligible with Lawangan. Survey needed.
81. TIDONG (CAMUCONES, TIDUNG, TEDONG, TIDOENG, TIRAN, TIRONES,
TIROON, ZEDONG) [TID] 25,000 in all countries (1981 Wurm and Hattori); 9,800
in Malaysia. Population center is along Sembakung and Sibuka Rivers of eastern
Kalimantan, coast and islands around Tarakan and interior, Malinau River. Also
Sabah, Malaysia. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-
Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Dayic, Murutic, Tidong.
Dialects: NONUKAN (NUNUKAN), PENCHANGAN, SEDALIR (SALALIR,
SADALIR, SARALIR, SELALIR), TIDUNG, TARAKAN (TERAKAN), SESAYAP
(SESAJAP), SIBUKU.
82. TUNJUNG (TUNJUNG DAYAK) [TJG] 50,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). East
central, between Adas, Dempar, Melak, and east around the lake; south around
Muntaiwan. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian,
Borneo, Barito, Mahakam. Dialects: TUNJUNG (TUNJUNG TENGAH),
TUNJUNG LONDONG, TUNJUNG LINGGANG, PAHU. Work in progress.

Anda mungkin juga menyukai