Erniwati
Universitas Negeri Padang.
Jl. Prof. Dr. Hamka, Air Tawar Barat, Padang Utara, Kota Padang.
e-mail: erniwatinur@fis.unp.ac.id
Naskah Diterima:8 Januari 2019 Naskah Direvisi:13 Juni 2019 Naskah Disetujui: 28 Juni 2019
DOI: 10.30959/patanjala.v11i2.482
Abstrak
Artikel ini menjelaskan tentang identitas etnis Tionghoa yang ada di Padang pada masa
Pemerintah Hindia Belanda. Mengkonstruksi identitas etnis Tionghoa di Padang menggunakan
metode sejarah melalui studi pustaka dan arsip dengan menelusuri sumber-sumber berupa buku,
arsip Pemerintah Hindia Belanda, dokumen perkumpulan sosial, budaya, dan pemakaman Heng
Beng Tong serta Hok Tek Tong. Data yang diperoleh kemudian dikritik dan dikronologiskan untuk
menghasilkan karya historiografi. Temuan artikel ini menunjukkan bahwa identitas etnis
Tionghoa di Padang masa Pemerintah Hindia Belanda dipengaruhi oleh penataan masyarakat di
daerah koloni oleh pemerintah Hindia Belanda dengan menerapkan sistem pemukiman
(wijkenstelsel), pembagian masyarakat melalui Indische Staatregeling serta berbagai aturan
lainnya. Penerapan sistem tersebut membentuk identitas etnis Tionghoa di Padang di mana secara
politis berada di bawah kontrol Pemerintah Hindia Belanda, namun secara social dan budaya
masih berorientasi kepada kebudayaan Tionghoa.
Kata kunci: etnis Tionghoa, identitas, Padang, Pemerintah Hindia Belanda.
Abstract
This article aims to explain the Chinese in Padang during the Dutch East Indies
government. Constructing a Chinese identity in Padang use historical methods through library
studies and archives by tracing sources such as books, Dutch East Indies government archives,
documents on social and funeral associations Heng Beg Tong and Hok Tek Tong. The data
obtained, critical and chronologist to produce historiography works. The findings of this article
indicate that the ethnic Chinese identity in Padang during the Dutch East Indies government by
implementing settlement system (wijkwnstelsel), classification of communities through the Indische
Staatregeling and other rules. The implementation of the system formed a Chinese ethnic identity
in Padang where it was politically under the control of the Dutch East Indies government, but
socially and culturally still oriented to Chinese culture.
Keywords: Chinese ethnic, identity, Padang, Dutch East Indies Government.
Barat dan kata “Chinezen” yang digunakan terbuka yang sampai menimbulkan korban
oleh Pemerintah Hindia Belanda1. jiwa. Padahal dari sisi kuantitas, etnis
Keberadaan etnis Tionghoa di Tionghoa disebut sebagai kelompok
hampir di seluruh kota di Indonesia tidak minoritas yang telah berinteraksi dengan
terlepas dari fenomena diaspora yang masyarakat Padang dalam waktu yang
sudah terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Pada kenyataannya, dominasi
lama oleh orang-orang Tionghoa keluar kelompok mayoritas seperti Minangkabau,
dari daratan Tiongkok. Proses diaspora membuat etnis Tionghoa melebur ke
etnis Tionghoa keluar dari daratan dalamnya, tanpa kehilangan identitas asli
Tiongkok didorong oleh faktor interen mereka (Erniwati, 2003: 70).
yang terjadi di Tiongkok dan faktor Proses adaptasi yang panjang
eksteren tempat mereka yang baru, salah memberikan keunikan tersendiri terhadap
satu daerah diaspora etnis Tionghoa adalah masing-masingnya, sehingga ditemukan
kota-kota di Nusantara (Indonesia), keberagaman etnis Tionghoa yang tinggal
termasuk Padang. di Indonesia. Kearifan lokal masing-
Hidup sebagai kelompok minoritas masing kota di Indonesia akan
di tengah masyarakat Indonesia yang memberikan dampak yang berbeda
plural menjadi hal yang tidak mudah untuk terhadap pembentukan identitas etnis
dijalani etnis Tionghoa di Indonesia. Tionghoa yang tinggal di wilayahnya,
Secara historis, kebijakan Pemerintah seperti etnis Tionghoa Padang akan
Hindia Belanda telah menempatkan etnis berbeda dengan etnis Tionghoa yang
Tionghoa sebagai kelompok yang terpisah tinggal di Jawa, Medan, Riau, Makasar,
dan berbeda dari masyarakat tempatan. Bangka, dan mereka yang tinggal di daerah
Sejumlah catatan tindak kekerasan yang lainnya. Akibatnya generalisasi yang
menimpa etnis Tionghoa dari berbagai selama ini diberikan tentang etnis
rezim politik di Indonesia menunjukkan Tionghoa perlu ditinjau kembali.
bahwa posisi etnis ini sangatlah rentan, Fokus kajian artikel ini adalah
baik dalam tataran lokal maupun nasional. dinamika pembentukan identitas etnis
Di Indonesia, konflik antara penduduk Tionghoa di Padang pada masa
setempat dengan etnis Tionghoa paling Pemerintahan Hindia Belanda. Periode ini
banyak terjadi jika dibandingkan dengan menjadi landasan pembentukan identitas
negara Asia Tenggara yang lainnya Tionghoa oleh politik lokal. Di satu sisi,
(Suryadinata, 2005: 181). Padahal tindak lokalitas Padang yang berfungsi sebagai
kekerasan menjadi suatu tragedi yang daerah rantau identik dengan
merusak nilai-nilai humanitas dan Minangkabau. Meskipun demikian,
meninggalkan ingatan pilu serta trauma, penduduk Padang sebetulnya sangat
sehingga beberapa etnis Tionghoa akhirnya beragam karena sifatnya yang terbuka
ada yang memilih meninggalkan terhadap berbagai pendatang.
Indonesia. Ada beberapa kajian terdahulu yang
Narasi kekerasan terhadap etnis patut dirujuk sebagai sumber acuan.
Tionghoa sebagai masa lalu yang kelam Pertama adalah buku yang berjudul Paco-
mengisi hampir perjalanan sejarah Paco (Kota) Padang: Sejarah Sebuah Kota
beberapa kota besar di Indonesia. di Indonesia pada Abad ke-20 dan
Fenomena berbeda ditemukan di Padang, Penggunanaan Ruang Kota karya Freek
etnis Tionghoa menjalani kehidupan yang Colombijn yang diterbitkan pada tahun
terjaga tanpa diwarnai dengan konflik 2006 oleh penerbit Ombak. Buku ini
mengulas mengenai keberadaan etnis
1 Tionghoa yang menjadi bagian dari
Lihat lebih lanjut Erniwati, 2016, 140 Tahun
Heng Beng Tong: Sejarah Perkumpulan
penduduk Padang. Colombijn melihat
Tionghoa 1876-2016, Depok: Komunitas bagaimana kontribusi etnis Tionghoa
Bambu, hlm. 1. dalam bidang perdagangan, terutama
Identitas Etnis Tionghoa…(Erniwati) 187
tentang pemanfaatan ruang Padang sebagai mencoba menggambarkan bahwa etnis
wilayah budaya, pusat perdagangan, Tionghoa juga memiliki keinginan untuk
pemerintahan, transportasi, dan pendidikan menjadi bagian dari “Ke-Jawa-an” tempat
sejak Pemerintah Hindia Belanda. Untuk mereka berdomisili dan menjadi bagian
mengatasi konflik antarsesama pengguna dari lingkungan tersebut.
ruang, maka master plan dibutuhkan agar Rustopo mampu membangun model
ruang untuk penggunaan umum dan penelitian sejarah dengan merekonstruksi
simbolik yang memberikan ciri khas karya sejarah kebudayaan dan bisa
Padang bisa digunakan dengan baik. dipertanggungjawabkan secara akademik.
Penelitian Colombijn tersebut Ia memakai teori konvergensi dari William
berguna untuk memberi pemahaman Stern, yakni hasil pertemuan (konvergensi)
tentang Padang sebagai suatu wilayah antara faktor pribadi dan lingkungan yang
lokalitas dengan kedinamisan yang digambarkan pada etnis Tionghoa dalam
kentara, terutama dalam penggunaan proses menjadi Jawa pada 1895-1998.
konsep ruang pada kemajemukan Kajian menggunakan silsilah dan faktor
masyarakat yang berada di dalamnya. lingkungan, mulai dari keluarga, tetangga,
Kelompok etnis Tionghoa sebagai hingga budaya. Pola kebudayaan Jawa
minoritas yang mempertahankan yang disampaikan Geertz menjadi rujukan
eksistensinya dalam berbagai bidang, dalam mengamati simbol ke-Jawa-an mana
terutama bidang perekonomian. Persaingan yang diadopsi.
dagang antara etnis Tionghoa dengan Gambaran Rustopo dan Willmott
Minangkabau disandingkan dengan tentang integrasi budaya Jawa dengan
pembangunan eksistensi diri untuk identitas etnis Tionghoa memiliki
mendapatkan tempat tersendiri dalam perbedaan dengan etnis Tionghoa di
ruang Padang. Meskipun etnis Tionghoa Padang. Pengintegrasian budaya Jawa pada
digambarkan oleh Colombijn berusaha identitas etnis Tionghoa diserap secara
untuk mendapatkan ruang di Padang, individu ataupun kelompok setelah melalui
namun dinamika kebudayaan berdasarkan beberapa proses adaptasi pribadi-pribadi
situasi politik yang tidak tetap di tataran yang kemudian men-Jawa-kan diri di
lokal maupun nasional, tidak tergambarkan Surakarta. Hal ini menggambarkan bahwa
dalam penjelasannya. Inilah yang menjadi pengaruh lokalitas begitu memengaruhi
pembeda antara tulisan Colombijn dengan kepribadian etnis Tionghoa dan mengikuti
tulisan ini. pola-pola kehidupan setempat. Namun di
Selanjutnya, dua karya yakni Padang, etnis Tionghoa tetap menjaga
Menjadi Jawa: Orang-orang Cina dan budaya leluhurnya melalui perkumpulan
Kebudayaan Jawa di Surakarta 1895-1998 marga, perkumpulan sosial, budaya, dan
karya Rustopo dan The Chinese of pemakaman Himpunan Bersatu Teguh
Semarang: A Changing Minority (HBT) dan Himpunan Tjinta Teman
Community in Indonesia karya Willmott. (HTT), meskipun pengaruh budaya
Dua karya ini merupakan hasil penelitian Minangkabau tidak dapat dipungkiri tetap
disertasi yang telah dipublikasikan. berdampak pada etnis Tionghoa Padang,
Willmott melihat masa lalu etnis Tionghoa seperti bahasa yang digunakan (bahasa
di Jawa berdasar teori sosio-kultural dari Pondok).
perkembangan secara intelektualitas dan HBT dan HTT berpusat di kota
mentalitas kemanusiaan dalam kehidupan Padang serta memiliki beberapa cabang di
sehari-hari secara personal maupun kota lain di Sumatera Barat, Riau, dan
kelompok. Etnis Tionghoa digambarkan Sibolga. Perkumpulan ini memiliki peran
sebagai bagian yang membentuk identitas dalam mewariskan dan melestarikan
Jawa secara kolektif serta berupaya untuk budaya terutama pada upacara kematian
mencari jati diri dalam pembangunan dengan menggunakan tradisi leluhur. Etnis
identitas ke-Jawa-annya. Tulisan ini juga Tionghoa di Padang akhirnya mampu
188 Patanjala Vol. 11 No. 2 Juni 2019: 185 - 201
bukit yang tinggi dan Gunung Monyet tangan (Vleming, 1988: 6-9). Fase
untuk bukit yang lebih rendah atau biasa pertama inilah yang menjadi titik pijak
disebut dengan Bukit Siti Nurbaya. terjalinnya hubungan etnis Tionghoa
Gunung Monyet yang berada di ujung dengan masyarakat di kota-kota pelabuhan
muara sungai berfungsi untuk melindungi di Nusantara. Pada fase ini kedatangan
daerah tersebut dari angin laut. etnis Tionghoa dilakukan dengan cara
berkelompok bersama ekspedisi yang
2. Kedatangan Etnis Tionghoa di dikelola oleh Kerajaan Tiongkok.
Padang Ekspedisi-ekspedisi ini dilakukan secara
Belum ada kepastian yang beberapa tahap, seperti ekspedisi Fa-Hsien
dipaparkan mengenai kapan kedatangan pada abad 4-5 M dan ekspedisi Cheng Ho
etnis Tionghoa ke Padang. Merujuk kepada pada abad 15 M (Sen, 2010: 83-213).
Victor Purcell diketahui bahwa proses Kedatangan pada fase ini tetap bergantung
masuknya etnis Tionghoa ke Nusantara pada angin Muson, sehingga rombongan
dikelompokkan ke dalam tiga fase. Fase ekspedisi membutuhan waktu yang lama
pertama, adanya hubungan dagang antara untuk kembali ke Tiongkok. Untuk
Kerajaan Tiongkok dengan kerajaan- mengisi waktu rombongan kemudian
kerajaan yang ada di Nusantara. Fase melaksanakan berbagai aktivitas, salah
kedua, kedatangan etnis Tionghoa satunya membina hubungan dagang
berlangsung pada saat kedatangan Bangsa dengan masyarakat setempat.
Eropa, yakni ketika Malaka berperan Berdasarkan penemuan arkeologi,
sebagai bandar dagang terbesar pada abad terdapat situs kuno di pedalaman
ke-16 di Asia Tenggara. Fase ketiga, etnis Sumatera, yakni sekitar hulu Sungai
Tionghoa datang ke Nusantara saat berada Batanghari (Situs Rambahan) berupa
di bawah Pemerintah Hindia Belanda. benda-benda peninggalan yang dibawa dari
Fase pertama, kedatangan etnis Tiongkok, seperti keramik Rajakula, yang
Tionghoa terjadi melalui hubungan dagang bersal dari masa Dinasti Han (abad 5-6 M)
antara Tiongkok dengan Nusantara. dan Dinasti Tang (abad 7-8 M). Kala itu
Hubungan tersebut terbina dalam Pulau Sumatera dinamai dengan Cin-Cou
hubungan sebagai Negara Vassal, karena (Benua Emas) oleh para pedagang yang
Tiongkok pada masa itu tidak mengakui berasal dari Tiongkok karena banyak emas
adanya Negara Koloni. Hal tersebut karena yang dihasilkan dari wilayah ini, terutama
Tiongkok tidak menerapkan bentuk negara Minangkabau. Hal inilah yang menjadi
koloni, namun daerah yang telah daya tarik kedatangan pedagang Tiongkok
ditaklukkan ditandai dengan sistem upeti untuk datang ke Minangkabau. Mereka
yang secara implisit menyatakan daerah melakukan perjalanan melalui jalur sungai
tersebut sudah ditaklukkan dan mengakui dan membuat pos-pos penampungan,
keberadaan Tiongkok (Wang, 1987: 14- sehingga muncullah pasar sebagai tempat
15). Oleh karena itu, tidak bisa dibenarkan untuk melakukan transaksi dengan cara
jika Nusantara pada masa itu berada di barter komoditi ekspor dengan benda
bawah dominasi Tiongkok. Hal itu terlihat berbahan emas dari berbagai daerah di
dari hubungan yang dibina antara Kerajaan pedalaman Minangkabau. Penemuan
Tiongkok dengan kerajaan-kerajaan yang Arkeologi lainnya juga terdapat di jalur
ada di Nusantara. Mereka bahkan saling Sungai Batang Kuantan, Sungai Kampar,
berkirim duta sebagai perwakilan kerajaan Sungai Siak, dan Sungai Batanghari yang
yang menandai baiknya hubungan antara mengalir mulai dari pedalaman
Kerajaan Tiongkok dengan kerajaan- Minangkabau hingga bermuara di Selat
kerajaan Nusantara. Pengiriman tersebut Malaka dan Laut Cina Selatan (Dobbin,
menunjukkan bahwa ada rasa hormat yang 1992: 55-68).
sedang saling ditunjukkan. Duta yang Selain membina hubungan dagang,
dikirim juga membawa beberapa buah Kerajaan Tiongkok juga membina
Identitas Etnis Tionghoa…(Erniwati) 191
hubungan persahabatan dengan kerajaan- pasar, bergantung kepada para pedagang
kerajaan yang ada di Nusantara, termasuk Belanda dan Tionghoa (Bond, 1988: 156).
Kerajaan Pagaruyung di pedalaman Fase inilah yang menjadi jembatan
Minangkabau. Hubungan tersebut terlihat terbinanya relasi dagang antara etnis
dari adanya pemberitaan Tiongkok yang Tionghoa dengan dengan pedagang
menyatakan bahwa Raja Adityawarman Minangkabau, baik di Padang maupun di
pernah mengirim utusan ke Tiongkok daerah pedalaman.
sebanyak enam kali selama rentang waktu Relasi yang terbina kemudian bukan
1371-1377. Selanjutnya diketahui bahwa saja dalam aspek perdagangan, melainkan
H. Puti Alam Naisyah Erma Moeloek dan juga dalam hal perkawinan. Etnis
H. Limbak Tjahaja mengatakan bahwa Tionghoa yang melakukan perkawinan
salah seorang putra Raja Tiongkok dengan masyarakat setempat, pada
dahulunya pernah meminang Bundo umumnya adalah kaum laki-laki yang
Kandug dengan mengirimkan seperangkat datang tidak dengan membawa keluarga
pelaminan sebagai ikatan. Rencana dari dataran Tiongkok. Keturunan dari
perkawinan tersebut sayang tidak jadi hasil perkawinan campuran etnis ini
terlaksana dikarenakan Putra Raja tersebut kemudian melahirkan kelompok Tionghoa
mengalami kecelakaan dalam perjalanan yang disebut dengan Tionghoa Peranakan
menuju Minangkabau, namun mahar yang (Lan, 2013: 24; Lohanda, 1993: 11;
dikirimkan telah diterima oleh Bundo Noordjanah, 2004: 41).
Kandung (Aswar, 1999: 425-434). Fase ketiga, yakni terjadi pada masa
Fase kedua, terlihat bahwa etnis Pemerintah Hindia Belanda. Pada fase ini,
Tionghoa secara aktif terlibat dalam etnis Tionghoa datang ke Padang untuk
kegiatan perdagangan dan pelayaran bekerja menjadi kuli di perkebunan dan
bersama dengan orang-orang dari Arab dan pertambangan yang dibuka oleh
India (Asnan, 2007: 43). Pada abad ke-17, Pemerintah Hindia Belanda, salah satunya
etnis Tionghoa telah bermukim di kota adalah pembukaan Tambang Batu Bara
Pariaman. Kota tersebut merupakan Ombilin di Sawahlunto. Mereka datang
pemukiman pertama etnis Tionghoa di secara berkelompok dengan sistem kuli
sekitar kawasan Pantai Barat Sumatera. kontrak. Sebelumnya, yang bekerja di
Tahun 1660 Vereenigde Oostindische pertambangan tersebut adalah kuli dari
Compagnie (VOC), yakni serikat dagang kelompok narapidana, kuli bebas, dan kuli
yang dimiliki Belanda menjadikan Padang lepas. Melalui Departemen Kehakiman,
sebagai pusat ekonomi dan politik. Pemerintah Hindia Belanda menugaskan
Pedagang Tionghoa dan VOC menjalin para narapidana dari penjara-penjara di
kontak dagang dengan penduduk Padang Batavia (terutama dari Glodok dan
yang pada mulanya juga merupakan para Cipinang) untuk menjadi buruh paksa di
pedagang dari daerah pedalaman. Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto
Peningkatan jumlah etnis (Erman, 2005: 73-75).
Tionghoa yang menetap di Padang pada Pengiriman buruh paksa ke
tahun 1682 menyebabkan VOC Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto
mengangkat seorang letnan Tionghoa yang dimulai pada awal tahun 1898 dengan
bernama Lie Pit (Erniwati, 2016: 35). Hal jumlah penambang 2.405 orang. Pada
ini dilakukan dengan tujuan mengontrol bulan Mei 1898, pengiriman buruh
dan mengatur etnis Tionghoa yang berada menurun menjadi 1.130 orang. Beberapa
di Padang. Faktor kemampuan memiliki faktor penyebab adalah meninggal karena
modal lebih, menyebabkan para pedagang sakit, melarikan diri, dan lainnya. Krisis
Tionghoa mampu menggeser peran para tenaga kerja tambang akhirnya terjadi pada
pialang Minangkabau hingga ke tahun berikutnya. Akibatnya Pemerintah
pedalaman. Akibatnya, barang-barang Hindia Belanda mendatangkan buruh
pokok yang diperoleh dari para pengecer di kontrak asal Tiongkok dengan Surat
192 Patanjala Vol. 11 No. 2 Juni 2019: 185 - 201
memiliki kebudayaan serta asal usul yang menjalankannya, bukan berarti tidak ada
berbeda dari Daratan Tionghoa. Pluralitas pembelokan yang terjadi. Maksudnya,
terlihat kentara dari perbedaan marga dan terkadang ada beberapa ritual yang
daerah asal (Hokkian, Khek, Canton, memiliki kesamaan fungsi, namun dalam
Kongfu dsb) di Tiongkok menjadi faktor tataran praktis, ada yang melakukannya
adanya keberagaman bahasa dan budaya berbeda. Misalnya, pesta memasak daging
yang dikembangkan. babi tidak mungkin dilakukan di tengah
Walaupun memiliki banyak masyarakat Padang yang mayoritasnya
ketidaksamaan tersebut, namun etnis etnis Minangkabau adalah muslim.
Tionghoa di Padang disatuan oleh adanya Sebagai pengganti digunakan makanan lain
rasa senasib sebagai perantau dari yang akan disediakan untuk menjaga
Tiongkok dan selalu menjunjung tinggi kemeriahan pesta..
serta menghormati leluhur. Hal itulah yang Berdasarkan fase kedatangan orang-
menjadi salah satu faktor tumbuhnya orang Tionghoa seperti yang telah
kesadaran akan identitas historis (Coppel, dijelaskan sebelumnya, maka etnis
1994: 31). Tionghoa yang ada di Indonesia dibagi
Adanya peyakinan untuk menjadi dua kelompok, yaitu pertama
menghormati roh leluhur mendorng peranakan dan totok. Tionghoa Peranakan
masing-masing kelompok etnis Tionghoa adalah orang Tionghoa yang telah
Padang membina hubungan kekerabatan melakukan perkawinan campuran dengan
melalui tradisi berserikat (hui) dan penduduk setempat. Kelompok ini adalah
bekerjasama (kongsi) (Comber, 1959: 9). keturunan dari orang-orang Tionghoa yang
Kedua tradisi ini menjadi faktor berdirinya datang pada fase pertama dan kedua. Lalu,
banyak kongsi-kongsi etnis Tionghoa di kelompok kedua dinamakan dengan
Padang, seperti kongsi marga, kongsi Tionghoa Totok, yaitu orang Tionghoa
dagang, kongsi sosial budaya dan yang datang di akhir masa masa
pemakaman serta kongsi lainnya yang Pemerintah Hindia Belanda serta masih
didirikan berdasarkan kepentingan melaksanakan kebudayaan leluhur dan
kelompok tertentu. Pada mulanya kongsi- berbahasa daerah asal. Kelompok ini
kongsi yang ada dikelola secara datang setelah Indonesia merdeka dan
konvensional, namun setelah kongsi- membawa keluarga.
kongsi tersebut beraktivitas secara bebas, Selain waktu kedatangan yang
kemudian Pemerintah Hindia Belanda berbeda pada kedua kelompok tersebut,
melakukan strukturisasi dengan budaya dan bahasa juga menjadi poin
meregistrasinya menjadi organisasi penting yang menunjukkan bahwa mereka
modern pada tahun 1894 (Brief memang benar-benar tidak sepenuhnya
Gouvernements Secretaris No. 2775, memiliki persamaan. Meskipun
Buitenzorg 31 Desember 1895; kebudayaan leluhur sama-sama diwarisi,
Departement van Justice Ochtendrapport namun penerapannya di tanah perantauan
van 5 September 1895 No. 1). akan berbeda. Kelompok Tionghoa
Identitas ke-Tionghoa-an yang Peranakan tidak bisa lagi berbahasa daerah
ditanamkan melalui pewarisan nilai-nilai asal Tiongkok, namun mereka tetap
leluhur dan simbol-simbol budaya yang menjalani ritual-ritual keagamaan dan
digunakan dalam menjalankan ritual budaya seperti yang diwarisi secara turun-
keyakinan di kongsi menjadi sarana dalam temurun dari nenek moyang mereka.
menjaga identitas di perantauan (Cushman Identitas yang menunjukkan bahwa mereka
& Gungwu, 1991: 3-7). Melalui pewarisan adalah orang Tionghoa, tidak bisa begitu
ingatan kolektif secara lisan dari generasi saja dihilangkan. Ciri fisik, simbol-simbol,
ke generasi, identitas ini dapat serta kebudayaan masih dilaksanakan dan
dipertahankan dan diwariskan ke hal ini menjadi salah satu media yang
keturunan selanjutnya. Dalam
Identitas Etnis Tionghoa…(Erniwati) 195
menyatukan etnis Tionghoa Totok dan diajukan oleh beberapa tokoh marga Lie,
Peranakan. yakni Lie Lian Seng, Lie Sim Tjoan, dan
Lie Pang Ko. Atas persetujuan sekretaris
b. Identitas Budaya Gubernur Jendral Hindia Belanda de
Sistem pemukiman yang Graef, pendirian Long Se Tong berhasil
diberlakukan oleh Pemerintah Hindia dilakukan dengan presiden pertamanya Lie
Belanda terhadap penduduk menyebabkan Lian Seng (Belsuit No. 38 tanggal 21
etnis Tionghoa hidup berkelompok dalam September 1909)
suatu kawasan pecinan yang dinamakan Marga Tan (Chen), berasal dari
Kampung Pondok. Sistem permukiman Negeri Tan di Provinsi Holm, Kabupaten
menyebabkan etnis Tionghoa memiliki Huai Yang (saat ini bernama Tan Chou).
ruang untuk memelihara sistem Negeri Tan adalah hadiah yang diberikan
kekerabatan yang dimulai dari marga Raja Tjiu Bu kepada Raja Sun, yang
hingga kesamaan keyakinan kepada merupakan keturunan Chong Hoa karena
leluhur.. telah berjasa terhadap negara. Puncak
Marga (She) atau nama keluarga kejayaan Kerajaan Tang tercapai saat Tan
merupakan penanda identitas dari mana Goang Kong menjadi penglima perang.
seseorang berasal. Akibatnya, marga Atas jasanya tersebut, Tan Goang Kong
menjadi sebuah identitas genetik dalam mendapatkan gelar kehormatan Kai Tjiang
keturunan etnis Tionghoa. Jika dalam Seng Ong. Sejak saat itu, hari kelahiran
budaya barat nama marga diletakkan di Tan Goan Kong dirayakan, yakni setiap
belakang nama, sebaliknya etnis Tionghoa tanggal 10 Februari saat musim semi.
meletakkan nama marga di depan nama Pendirian Himpunan Keluarga Tan
mereka. Hal ini disebabkan karena marga dilaksanakan untuk menggalang kerjasama
tidak saja menjadi identitas diri, tetapi juga dan persaudaraan. Berawal di rumah
menjadi salah satu pengelompokan untuk Cinang Tan Siang di Muara Padang
identitas budaya bagi etnis Tionghoa. disepakati didirikan Himpunan Keluarga
Etnis Tionghoa Padang berasal Tan sejak 22 Maret 1888 dan diresmikan
dari berbagai marga, tetapi yang memiliki oleh Seri Paduka Gubernur Jenderal
lembaga resmi berupa rumah marga seperti Hindia Belanda di Cipanas tahun 1918
Lee/Lie & Kweek (1878), marga (Belsuit No. 2 tanggal 26 Agustus 1918).
Gouw/Goh/Go (1888), marga Tan (1888), Himpunan Keluarga Tan mengadakan
marga Huang/Oey/Ng/Oei (1924), marga upacara sembahyang besar dua kali
Tjoa (1931), dan marga Lim (1870) setahun, yakni She Jiet Tjo Ong pada Jie
(Erniwati 2016: 77-90). Gwee Cap Go dan Tang Tjiek. Upacara
Marga Lie (Lee) adalah marga bulanan juga dilaksanakan, yakni setiap Ce
yang anggotanya paling banyak dan It (bulan 1) dan Cap Go (bulan 5). Jumlah
tersebar hampir di seluruh penjuru dunia. Anggota Marga Tan di Padang saat ini
Perkumpulan Marga Lie (Long Se Tong) lebih kurang 325 orang, dan sebagian
Padang didirikan pada tahun 1878, namun berdomisili di luar Padang.
baru menjadi lembaga resmi tahun 1909 Selanjutnya Perkumpulan Marga
berdasarkan Register der Besluiten Huang, yang diresmikan pada tahun 1924.
Gouveneur General Hindia Belanda, 1909. Penghormatan yang dilakukan marga ini
Marga Lie bergabung dengan marga Kwee adalah kepada Koan Te Koen dan leluhur
sehingga di Padang dikenal dengan nama Laoco Oei Hoei Ho. Setiap tahun
marga Lie-Kwee. Penggabungan ini karena Perkumpulan Marga Huang melakukan
mereka memiliki nenek moyang yang sembahyang sebagai peringatan perayaan
sama-sama berasal dari Hokkian, ulang tahun Laoco Oei Hoei Ho pada
Kampung Leng Tiam. Long Se Tong bulan ke-3 hari ke-28 setiap penanggalan
didirikan secara resmi pada tanggal 21 Imlek. Selain itu, yang rutin dilaksanakan
September 1909 setelah akte pendirian adalah sembahyang Ce-it dan Cap Go, dan
196 Patanjala Vol. 11 No. 2 Juni 2019: 185 - 201
sembahyang hari Tong Cup Pia (Kue Pia). Toapekongnya Gho Kui Cak. Himpunan
Perkumpulan Marga Huang sering Keluarga Gho melakukan sembahyan
mengadakan pertemuan, baik tingkat kepada Ho Tek Peng Djin dan Kuan Tek
nasional maupun internasinal yang Ya (Kuan Kong). Himpunan Keluarga Go
langsung dikoordinir oleh Forum terkenal dengan orang pintar, paling hebat
Komunikasi Keluarga Besar Perkumpulan dan menepati janji dengan baik. Salah
Marga Huang yang berpusat di Jakarta. seorang Marga Gho pernah menjadi dokter
Marga Tjoa atau Tjee Jang Tong kepercayaan Raja dengan gelar Ho Seng
(She Tjoa) yang didirikan di Padang pada 3 Thai Tee dengan nama asli Gho Chin Djin.
September 1931, dengan President Bahkan Kong Hu Tzu pernah memuji
pertama yang bernama Tjoa Ka Toan, dan orang bermarga Gho dengan predikat baik
Vice-President Tjoa Tjeng Gie. Tujuan (Belsuit No. 41, 1918).
perkumpulan ini didirikan adalah untuk Di antara banyak faktor yang
memajukan pergaulan di antara bangsa membentuk identitas budaya adalah
Tionghoa (She Tjoa) serta memberikan kepercayaan, rasa aman, dan pola perilaku.
bantuan kepada yang mendapatkan Selain ketiga faktor tersebut, proses
musibah, perayaan pesta, serta penguburan asimilasi dan akulturasi seiring perjalanan
berdasarkan aturan. Sedekah dan waktu juga memengaruhi identitas budaya
sembahyang agama yang disandingkan mereka. Proses pembentukan identitas
dengan arak-arakan atas penghormatan budaya tersebut, bisa juga terjadi secara
kepada orang yang sudah meninggal juga tidak sengaja melalui pencarian, resistensi,
menjadi kegiatan rumah marga (Statuaten separatisme, dan integrasi.
dari Vereeniging Tjee Jang Tong Padang, Identitas kelompok marga terjaga
1930). dikarenakan setiap marga mendirikan
Himpunan Keluarga Lim (Kioe perkumpulan untuk menunjukkan
Liong Tong) Padang yang didirikan pada perbedaan masing-masingnya.
tanggal 28 Maret 1870 dengan President Kebudayaan yang berbeda itulah yang
pertama, Lim Ma Hie dan Vice-President menjadi penciri sebagai penunjuk identitas
Lim Eng Tjiang (Javanese Courant no, 86, mereka. Perkumpulan akan dibuat jika
1920). Sekretariat Himpunan Keluarga sudah memiliki banyak anggota. Dalam
Lim saat ini berada di Jl. Pulau Karam No. perkumpulan tersebut, setiap kelompok
68 Padang. Hingga tahun 2013, anggota marga akan melaksanakan upacara
Himpunan Keluarga Lim terdiri atas 350 sembahyang untuk menghormati leluhur
orang laki-laki dan 150 anggota dan melaksanakan beragam perayaan
perempuan (Laporan Kegiatan Himpunan sebagai proses pewarisan kebudayaan
Keluarga Lim, 14 Maret 2013). Marga ini leluhur. Misalnya, setiap perayaan tahun
menjadikan Ma Tjo Po (Ma Zu), yakni baru Imlek (Cue-it), tiap marga akan
dewi laut sebagai leluhur yang dihormati. melaksanakan upacara sembahyang di
Tujuan pembentukan perkumpulan ini rumah marga dan di perkumpulan sosial
adalah untuk membantu sesama marga budaya pemakaman masing-masing (HBT
Lim yang terkena musibah serta dan HTT). Perayaan upacara disertai
melaksanakan kegiatan di bidang sosial, dengan kemeriahan parade Barongsai dan
kesenian dan budaya. atraksi budaya lainnya.
Kemudian Himpunan Keluarga Gho Selain perkumpulan keluarga, etnis
(Yang Leng Tong) Padang yang berdiri Tionghoa Padang juga memilki kelompok
pada 14 Januari 1888 (tahun Imlek 2439) sosial, budaya dan pemakaman yang
dengan ketua pertama yang bernama Gho heterogen. Perkumpulan tersebut adalah
Tjong. Himpunan Keluarga diresmikan Hok Tek Tong (HTT) dan Heng Beng
oleh Pemerintah Hindia Belanda pada Tong (HBT). HTT berdiri pada tahun 1863
tanggal 14 Desember 1917, yang dengan Tuako pertama Lie Kauw Keng
bertepatan dengan hari kelahiran Shejit (Pengurus Himpunan Tjinta Teman, 1987:
Identitas Etnis Tionghoa…(Erniwati) 197
3). HBT berdiri pada tahun 1876 dengan c. Identitas Nasional
Tuako pertama Oei A King (Huishoudelijk Identitas nasional yang dimaksud di
Reglement, 1924; Reglement Peraturan, sini adalah kebangkitan identitas etnis
1899; Belsuit No. 62, 1895). Meskipun Tionghoa terhadap kebangkitan
pendirian perkumpulan ini sudah lama, nasionalisme Tiongkok. Penyebaran
namun peresmian yang dilakukan oleh identitas ini terjadi tidak hanya pada
Pemerintah Hindia Belanda baru individu semata, namun juga kepada
dilaksanakan pada tahun 1895. kelompok. Situasi politik dalam negeri
Perkumpulan etnis Tionghoa mulai Tiongkok ini ternyata memengaruhi
terstruktur dan terorganisir dengan baik sebagian etnis Tionghoa yang tinggal di
setelah Pemerintah Hindia Belanda perntauan, termasuk yang tinggal di
melakukan penataan terhadap Padang. Hal ini dipengaruhi oleh
perkumpulan etnis Tionghoa Padang pada gencarnya propaganda yang dilakukan oleh
tahun 1894 (Staatsblad No. 79: 1895; Pemerintah Tiongkok melalui berbagai
Staatblad No. 129: 1917). cara, di antaranya adalah melalui dispora
Keanggotaan HTT dan HBT terdiri etnis Tionghoa keluar dari dataran
atas laki-laki Tionghoa dengan panggilan Tiongkok, propaganda yang dilakukan
Hiati. Syarat keanggotaan untuk tergabung organisasi sosial pendidikan Tiog Hwa
dalam perkumpulan ini adalah minimal Hwe Kwan (THHK) yang didirikan di
sudah berusia 16 tahun yang tercantum Padang pada tahun 1907 oleh Gho Goan
pada pasal dalam Anggaran Dasar dan Tee (Dokumen THHK, 1963).
Anggaran Rumah Tangga HBT dan HTT THHK memberikan pelajaran
(Huishoudelijk Reglement, 1924; kepada para siswa dengan
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah mengembangkan bahasa Mandarin. Selain
Tangga Himpunan Tjinta Teman, 1987). itu, pelajaran yang diberikan adalah
Hampir semua etnis Tionghoa tentang bagaimana kebesaran dan
tergabung ke dalam salah satu keagungan para leluhur serta beberapa
perkumpulan ini. Faktor yang pelajaran lain yang berkaitan dengan nilai-
menyebabkan hal itu terjadi karena etnis nilai ke-Tionghoa-an. Penanaman rasa
Tionghoa yang tinggal di Padang secara malu karena tiak mengetahui kebudayaan
sosial dan budaya dipengaruhi oleh dan tidak bisa berbahasa Tiongkok juga
lingkungan setempat, serta faktor ekonomi diberikan.
dengan beragam alasan lainnya. Oleh Gerakan nasionalis yang
karena itu, tergabung ke dalam salah satu dikumandangkan Dr. Sun Yat Sen
perkumpulan antara HTT dan HBT mendapatkan dukungan dari kalangan etnis
haruslah dilakukan oleh etnis Tionghoa Tionghoa Padang. Hal itu terlihat dari
Padang. keikutsertaan mereka dalam propaganda
Latar sejarah, budaya, wilayah dengan memuat foto Dr. Sun Yat Sen di
domisili, dan karakteristik mereka koran lokal, penggalangan dana secara
memengaruhi bagaimana entis Tionghoa teroganisir oleh perkumpulan-perkumpulan
memposisikan diri dalam konteks identitas etnis Tionghoa yang ada di Padang,
budaya yang dikembangkan. Atas dasar pengibaran bendera Tiongkok, serta
kesadaran kolektif pada identitas historis, melaksnakan upacara penghormatan
etnis Tionghoa mampu berkembang serta kepada Dr. Sun Yat Sen. Penggalangan
mempertahankan kebudayaan dari tanah dana dilakukan dengan cara melaksanakan
leluhur, meskipun sudah mengalami kegiatan pameran ataupun bazar yang juga
perubahan dan penyesuaian dengan dilakukan hingga ke wilayah pedalaman
kebutuhan dan waktu. Sumatera Barat seperti Padangpanjang,
Bukittinggi, dan Payakumbuh.
Selanjutnya, propaganda yang
dilakukan Kuo Min Tang cabang Padang
198 Patanjala Vol. 11 No. 2 Juni 2019: 185 - 201