Anda di halaman 1dari 15

PERAN ETNIS TIONGHOA DALAM KEHIDUPAN

PEREKONOMIAN HINDIA BELANDA PADA MASA


PEMERINTAHAN KOLONIAL BELANDA

Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas akhir semester genap 2016/2017

Mata kuliah Struktur Ekonomi dan Politik Asia Tenggara

Dosen Pengajar: Prof. Susanto Zuhdi dan Dita Prameswari Putri, M.Hum

SHEILA JASMINE MEUTIA AZZARA

1606826501

ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS INDONESIA

2017
BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Kedatangan bangsa Cina ke nusantara telah dimulai sejak masa
prasejarah. Nenek moyang bangsa Indonesia datang melalui dua jalur. Jalur
pertama berasal dari Yunan, Tiongkok Selatan yang menyusuri Siam,
semenanjung Indochina, menyebrangi Selat Malaka dan kemudian tiba di
Sumatera. Sedangkan, jalur kedua berangkat dari Hokkian dan Kwangtung,
Tiongkok Tenggara menuju Taiwan, Filipina, dan kemudian tiba di Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa pulau lainnya (Setiono, 2008, hal. 11).
Salah satu budaya yang mereka bawa dari Daratan Asia adalah peradaban
perunggu. Mereka kemudian menjadi nenek moyang berbagai suku di
Indonesia.
Ada beberapa perjalanan penting bangsa Cina yang tercatat dalam
masa sejarah Indonesia. Pertama, perjalanan agamawan Buddha Fa Hien (Fa
Xien) ke Pulau Jawa. Ia menuliskan dalam catatannya tentang Kerajaan
Tarumanegara, kerajaan Hindu yang berada di Jawa Barat dan berpusat di
aliran Sungai Citarum. Tercatat bahwa kedatangan tersebut sebagai
kedatangan pertama bangsa Cina ke nusantara sekitar abad ke-5 masehi
(Setiono, 2008, hal. 22). Kedua, perjalanan Laksamana Cheng Ho ke
nusantara sekitar tahun 1403 M. Pelayaran pasukan Laksamana Cheng Ho
singgah di beberapa kota pelabuhan, seperti Palembang, Semarang, Surabaya,
Bangka, dan lain-lain. Pelayaran Laksamana Cheng Ho yang diutus oleh
Kaisar Zhu Di dengan kapal selebar 120 meter bukan untuk misi agresi atau
ekspansi, melainkan misi perdamaian, persahabatan, perdagangan, hingga misi
dakwah (Yuanzhi, 2000, hal. 11). Kedua perjalanan penting tersebut, apabila
diurutkan berdasarkan kerangka waktu, dilakukan oleh bangsa Cina sejak
nusantara masih berada di zaman kerajaan Hindu-Buddha dan kerajaan Islam.
Bukti bahwa bangsa Cina mulai hidup menetap di Indonesia tercatat
pada zaman kerajaan Hindu-Buddha. Imigran Tionghoa pertama yang datang
ke Indonesia tercatat datang dari pedagang Hokkien yang berasal dari Fujien

1
pada abad ke-9 dan 10 Masehi (Oetomo, 1987). Kesaksian ini banyak tertulis
dalam catatan Musafir Arab yang berlayar ke Sumatera. Pelayaran Laksamana
Cheng Ho yang datang ke nusantara pada abad ke-15 juga memberikan
kontribusi pada pembentukan komunitas Etnis Tionghoa di nusantara. Dalam
persinggahan pelayaran armada Laksamana Cheng Ho, awak pelayaran Cheng
Ho kerap turun ke darat untuk mengisi ulang persediaan bahan bakar serta
persediaan stok untuk dapur dan kebutuhan kapal lainnya. Selama turun ke
darat, mereka berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Sebagai contoh, selama
armada Cheng Ho singgah di Semarang, Cheng Ho kerap mengajarkan
masyarakat sekitar untuk bertani, beternak, juga mengajarkan agama Islam
kepada masyarakat sekitar. Interaksi seperti itu kemudian mendorong
terbentuknya sebuah hubungan di antara pasukan Cheng Ho dengan
masyarakat sekitar. Salah satu hubungan yang terbentuk adalah perkawinan.
Salah satu awak kapal Cheng Ho, Sam Po Soei Soe, terpikat dengan gadis
Betawi yang sedang menari, Sitiwati, ketika sedang turun ke daerah Ancol dan
kemudian terjadi pernikahan di antara mereka (Hidayatullah, 2005). Tidak
sedikit perkawinan silang ini terjadi di antara penduduk pribumi dan
pendatang Tionghoa. Kedatangan bangsa Cina kemudian banyak tercatat pada
abad ke-17. Lim dan Mead (2011) mengutip sejumlah sumber bahwa pada
abad ke-17, pedagang Cina mulai berdatangan dan menetap di Batavia,
Makassar, Ternate, dan Ambon. Menetapnya komunitas Tionghoa di kota-kota
tersebut jauh sebelum Belanda datang ke Sunda Kelapa. Bangsa Cina
kemudian dipekerjakan sebagai petugas pelabuhan oleh kolonial Belanda
(Sutherland, 2004).
Kedatangan para imigran asal Tiongkok tersebut terus berlanjut hingga
abad ke-19 dan 20. Berbeda dengan imigran sebelumnya yang datang untuk
berdagang, motif kedatangan imigran Tiongkok pada masa ini adalah
menghindari huru-hara di kampung mereka, tekanan politik di bawah Dinasti
Qing Manchuria, dan kesulitan ekonomi yang diakibatkan oleh Perang Opium.
Padahal, di masa itu, Pemerintah Tiongkok memberlakukan larangan migrasi
ke luar bagi rakyat Tiongkok (Lim & Mead, 2011, hal. 6).

2
Hadirnya etnis Tionghoa yang kemudian membentuk komunitas serta
berketurunan dalam kehidupan masyarakat nusantara memberikan peran dan
kontribusi terhadap kehidupan sosial, terutama perekonomian masyarakat.
Jumlah etnis Tionghoa yang terus bertambah dikarenakan gelombang migrasi
etnis Tionghoa dari Tiongkok yang berkelanjutan mengindikasikan bahwa
etnis Tionghoa memiliki peran dan kontribusi yang tidak dapat
dikesampingkan dalam kehidupan perekonomian masyarakat Hindia Belanda.
Kontribusi tersebut kemudian tercatat dalam sejarah dan dapat menjadi tolak
ukur dan bukti nyata di hari ini bahwa etnis Tionghoa telah menjadi bagian
dari kehidupan masyarakat Indonesia dan tidak dapat dimungkiri peran
sertanya sejak awal masa sejarah nusantara.

1.2 Rumusan Masalah


Penulis, dalam makalah ini, berusaha menjawab beberapa pertanyaan, antara
lain:
1. Bagaimana kedudukan etnis Tionghoa di Hindia Belanda semasa
Pemerintahan Kolonial Belanda?
2. Bagaimana peran etnis Tionghoa dalam perekonomian Hindia Belanda
pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk memaparkan kedudukan dan peran etnis Tionghoa selaku
pendatang di negara Hindia Belanda selama pemerintahan Kolonial
Belanda.
2. Untuk menginformasikan lebih spesifik kepada pembaca peran etnis
Tionghoa dalam perekonomian Hindia Belanda pada abad ke-18 hingga
abad ke-20.

3
BAB II

Isi

2.1 Definisi Konsep


2.1.1 Etnis Tionghoa
Etnis Tionghoa yang menjadi subjek pada makalah ini adalah
penduduk Hindia Belanda yang merupakan keturunan Tionghoa, baik yang
lahir dan merupakan keturunan langsung Tiongkok maupun lahir di Indonesia
dan merupakan campuran Tiongkok-Indonesia. Purcell (1951, hal. 444)
menuliskan bahwa ada perbedaan penyebutan di kalangan etnis Tionghoa
Indonesia bagi mereka yang lahir dan besar di Indonesia dan mereka yang
lahir dan besar di Tiongkok. Mereka yang lahir dan berketurunan secara
turun-temurun di Indonesia disebut ‘Peranakan’. Sedangkan, mereka yang
lahir dan besar di Tiongkok dan kemudian bermigrasi ke Indonesia disebut
‘Singkek’ atau ‘Totok’. Dua perbedaan mendasar antara etnis Tionghoa
Peranakan dan Singkek/Totok (Lim & Mead, 2011), yaitu:
1. Perbedaan sosialisasi kultur. Tionghoa-peranakan lebih banyak
disosialisasikan percampuran kultur Tionghoa dan kultur
masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Sedangkan, Tionghoa-
Singkek hanya disosialisasikan oleh keluarganya kultur Tionghoa.
Perbedaan kultur ini juga meliputi cara berpakaian, cara makan,
dan lain-lain.
2. Perbedaan penguasaan bahasa. Tionghoa-peranakan cenderung
tidak menggunakan dialek bahasa Mandarin apapun, walaupun
mereka bisa berbicara bahasa Mandarin. Sedangkan, Tionghoa-
Singkek dapat berbicara bahasa Mandarin dan menggunakan
dialek yang sesuai dengan asal familinya, seperti Hokkian, Hakka,
Canton, dan sebagainya.

Penyebutan etnis Tionghoa di masa pemerintahan kolonial Belanda


menggunakan istilah ‘Cina’. Istilah ‘Cina’ merupakan sebutan yang berasal
dari Eropa dan telah digunakan selama ratusan tahun di Indonesia. Sebutan

4
tersebut digunakan baik oleh penduduk asli (pribumi) maupun orang Eropa,
bahkan hingga hari ini. Pada dasarnya, generasi tua etnis Tionghoa kurang
menyukai istilah ‘Cina’ kepada mereka karena terdengar kasar, namun
generasi muda etnis Tionghoa menganggap istilah ini netral (Lim & Mead,
2011, hal. 5). Dapat disimpulkan bahwa penyebutan imigran yang berasal dari
Tiongkok sebagai ‘orang Cina’ merupakan sebutan bagi etnis Tionghoa di
Hindia Belanda selama masa pemerintahan kolonial Belanda yang turun
menurun kerap digunakan hingga hari ini.

2.1.2 Pemerintahan Kolonial Belanda

Pemerintahan kolonial Belanda diwakili oleh utusan resmi Pemerintah


Belanda untuk memerintah di negara jajahan Hindia Belanda. Pemerintahan
kolonial Belanda mulai memerintah atas nama Belanda di Hindia Belanda
sejak tahun 1816 setelah Belanda berhasil menang melawan Napoleon
(Purcell, 1951). Sebelumnya, Belanda diwakili oleh Perusahaan Dagang
Hindia Timur atau Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) untuk
memonopoli serta mengatur perdagangan di negara koloni pada tahun 1602.
VOC menunjukkan kemunduran di akhir abad ke-18 dan kemudian runtuh
pada tahun 1799. Pemerintahan di negara jajahan mulai diambil alih oleh
Pemerintahan Belanda pada tahun 1800 (Kumar, 1997).

Belanda kemudian mengalami aneksasi oleh Napoleon Bonaparte


sebagai bagian dari Kekaisaran Perancis. Aneksasi ini tidak terlalu
memberikan dampak kepada negara jajahan Belanda karena pemerintahan di
negara koloni tetap dimandatkan kepada Pemerintahan Belanda. Pada masa
ini, Pemerintahan Belanda yang menjalankan mandat diwakili oleh Herman
William Daendels yang ditunjuk oleh Louis Bonaparte selaku pemegang
otoritas tertinggi Belanda (Ricklefs, 2001, hal. 145). Kekaisaran Perancis
kemudian mengalami kekalahan dari invasi pasukan Inggris dan kemudian
harus menyerahkan seluruh kekuasaan Kekaisaran Perancis ke tangan Inggris,
termasuk Hindia Belanda. Hindia Belanda kemudian diperintah oleh Sir
Thomas Stamford Raffles dari Inggris pada tahun 1811-1815. Pendudukan

5
Inggris tidak berlangusng lama. Inggris kembali menyerahkan Hindia
Belanda kepada Belanda pada tahun 1816 melalui Perjanjian Tuntang
(Ricklefs, 2001). Sejak tahun 1816 hingga 9 Maret 1942, Pemerintahan
Belanda resmi menjadi pemerintah yang berdaulat di negara Hindia Belanda.

2.2 Pembahasan
2.2.1 Demografi Etnis Tionghoa pada Masa Pemerintahan Kolonial
Belanda
Tidak ada pencatatan resmi yang dapat dijadikan sumber resmi jumlah
etnis Tionghoa di Hindia Belanda selama pemerintahan kolonial Belanda
kecuali sensus penduduk yang diselenggarakan oleh pemerintahan kolonial
Belanda tahun 1930. Hal serupa juga berlaku pada negara-negara lain, di
mana terjadi kesulitan dalam pencatatan penduduk resmi dari etnis Tionghoa.
Hal ini disebabkan karena tidak adanya dokumen asli para imigran serta
pencatatan resmi oleh petugas pelabuhan setempat. Para imigran tidak
membawa dokumen asli dan resmi mereka karena, pada abad ke-19, terdapat
hukum resmi yang dibuat oleh pemerintah Cina untuk melarang penduduknya
bermigrasi ke negara lain dan terdapat hukuman yang sangat berat bagi yang
melanggar. Dampak yang kemudian timbul dari adanya larangan tersebut
adalah terjadinya migrasi berulang (repeated migration) (Brown, 1997, hal.
35). Migrasi berulang adalah kedatangan etnis Tionghoa ke negara-negara
Asia Tenggara untuk bekerja dengan kontrak pendek (short-time contract)
selama beberapa kali. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab kesulitan
pencatatan etnis Tionghoa di Hindia Belanda.
Walaupun tidak dapat mendata secara lengkap, pemerintahan kolonial
Belanda diketahui mulai mencatat jumlah etnis Tionghoa di Hindia Belanda
sejak 1860. Faktor kendala yang telah dijabarkan di paragraf sebelumnya
menjadi salah satu alasan pencatatan sebelum sensus penduduk tahun 1930
kurang signifikan dalam pencatatan etnis Tionghoa. Berikut adalah tabel
demografi etnis Tionghoa di Hindia

6
Tabel 2.1 Populasi Etnis Tionghoa di Masa Pemerintahan Kolonial
Belanda 1860-1930 (dalam ribuan)
Tahun Penduduk Etnis Etnis Etnis Etnis Total
asli Eropa Tionghoa Arab Asia
(pribumi) lainnya
1860 - 44 221 9 - -
1870 - 49 260 13 - -
1880 - 60 344 16 - -
1890 - 74 461 22 - -
1900 - 91 537 27 - -
1905 37.348 95 563 30 - -
1920 48.300 168 809 45 22 49.344
1930 59.138 240 1.233 71 48 60.727
Sumber: Victor Purcell, The Chinese in Southeast Asia, (London:
Oxford University Press, 1951), hal. 443.

Jumlah penduduk beretnis Tionghoa mencapai 2 persen total


penduduk Hindia Belanda pada sensus 1930. Jumlah tersebut merupakan
jumlah dan presentase terbesar penduduk beretnis asing di Hindia Belanda.
Purcell (1951, hal. 444) menuliskan bahwa sekitar 750.000 etnis Tionghoa
yang menetap di Hindia Belanda ketika sensus tahun 1930 merupakan
Tionghoa-Peranakan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak etnis
Tionghoa yang telah lama menetap di Hindia Belanda dan melakukan
perkawinan silang dengan penduduk asli. Tak diragukan lagi bahwa etnis
Tionghoa memiliki andil dalam perekonomian Hindia Belanda dengan jumlah
pekerjanya yang cukup signifikan jumlahnya.

2.2.2 Kedudukan Etnis Tionghoa di Hindia Belanda semasa


Pemerintahan Kolonial Belanda

Penduduk Hindia Belanda digolongkan menjadi tiga lapisan


masyarakat oleh pemerintahan kolonial Belanda. Golongan pertama di
lapisan masyarakat adalah golongan Eropa, baik yang berasal dari

7
Belanda maupun dari negara lain di Eropa. Golongan kedua di
masyarakat Hindia Belanda adalah golongan Timur Asing, yaitu
penduduk yang berasal dari etnis Melayu, Arab, India, dan Tionghoa
(Purcell, 1951, hal. 442). Dan pemerintahan kolonial Belanda
menaruh penduduk asli Hindia Belanda atau yang disebut sebagai
golongan Pribumi di golongan terakhir. Golongan-golongan ini
kemudian memisahkan hak-hak dan kewajiban masyarakat.
Golongan-golongan ini juga memisahkan etnis-etnis ke berbagai
sektor, termasuk perekonomian. Etnis Tionghoa digolongkan sebagai
kelas menengah dalam perekonomian (Tan, 2008, hal. 116).
Namun, pemisahan kelas penduduk ini tidak mengistimewakan
golongan Tionghoa terlalu jauh. Di bidang perekonomian, pada masa
diberlakukannya hukum agraria tahun 1860, etnis Tionghoa dilarang
memiliki lahan atau tanah pertanian. Etnis Tionghoa, yang
dikategorikan sebagai golongan Timur Asing, tidak diperbolehkan
turut serta terlibat dalam pertanian dan kepegawaian pemerintahan
(Tan, 2008, hal. 117). Etnis Tionghoa juga dipisahkan institusi
pendidikan yang tidak sebaik institusi pendidikan untuk orang Eropa
dan mereka diadili di pengadilan yang kurang lebih setara dengan
pribumi (Purcell, 1951).

2.2.3 Peran Etnis Tionghoa dalam Perekonomian Hindia


Belanda di Masa Pemerintahan Kolonial Belanda

Kedatangan bangsa Tionghoa sebagai pedagang yang sudah


jauh lebih dulu daripada Belanda tentunya memberikan corak dalam
perekonomian Hindia Belanda. Bangsa Tionghoa menjadi mitra
dagang bangsa Belanda sejak awal berdirinya Perusahaan Hindia
Timur Belanda (Verenigde Oost-Indische Compagnie) (Suhandinata,
2009, hal. 10). Di kemudian hari, etnis Tionghoa yang datang ke
Hindia Belanda tak hanya untuk berdagang, tetapi mencari
peruntungan hidup di Hindia Belanda akibat kesulitan ekonomi yang
dialami di kampung mereka. Oleh karena itu, di masa pemerintahan

8
kolonial Belanda, profesi yang dilakoni oleh etnis Tionghoa tidak
hanya sebagai pedagang, tapi juga petani, penambang emas, peminjam
uang (rentenir), tuan tanah, pegawai bank dan berbagai macam
lainnya. Akan tetapi, etnis Tionghoa tetap menunjukkan dominansinya
di bidang bisnis.

Masuknya kembali Belanda ke Hindia Belanda di tahun 1816


membawa beberapa perubahan. Salah satunya, penjualan beberapa
barang tidak lagi ditangani oleh pemerintah. Akan tetapi, etnis
Tionghoa tetap dapat menangani penjualan atas tembakau, garam,
gula, dan opium sendiri terlepas dari pemerintah dan hal ini
mempertahankan kondisi kemakmuran mereka. Tidak hanya dalam
penjualan barang, pemerintahan kolonial Belanda juga
memberlakukan pengumpulan pendapatan pajak di berbagai aspek
(tax-farming). Pada praktek tax-farming, etnis Tionghoa banyak
dipekerjakan sebagai pemungut pajak oleh pemerintah. Oleh karena
itu, etnis Tionghoa tetap terjaga pengaruhnya di dalam perekonomian
Hindia Belanda (Purcell, 1951, hal. 501).

Di masa sistem tanam paksa (cultuurstelsel), etnis Tionghoa


memiliki peran tersendiri. Berbeda dengan penduduk asli (pribumi)
yang memiliki lahan diwajibkan untuk mengikuti sistem ini. Etnis
Tionghoa pada saat itu berperan sebagai peminjam uang (money-
lenders) bagi penduduk asli (pribumi). Pada praktik Cultuurstelsel,
petani tetap dikenakan pajak selain harus menyerahkan hasil tani.
Sehingga, banyak petani pribumi terpaksa meminjam uang kepada
peminjam uang Tionghoa (Chinese money-lenders) (Ricklefs, 2001).

Mr. Jan O. M. Brock, sebagaimana dikutip oleh Purcell (1951,


hal. 501), mengatakan bahwa posisi-posisi golongan masyarakat
dalam perekonomian Hindia Belanda di tengah abad ke-19 agak
terlihat jelas. Etnis Tionghoa dengan bisnis dan posisinya yang berada
di kelas menengah menjadi distributor kebutuhan antargolongan
dalam perekonomian. Tiap barang yang akan dijual oleh Eropa

9
disalurkan lewat Tionghoa, sedangkan tiap kebutuhan yang dibeli oleh
Pribumi dibeli melalui pedagang Tionghoa. Bahkan, pedagang
Tionghoa di tahun 1892 berhasil menggeser produk pakaian impor
untuk memenuhi kebutuhan pakaian masyarakat dengan produksi
Batik (Purcell, 1951, hal. 502). Kelihaian etnis Tionghoa dalam
berdagang menjadikan Tionghoa sebagai kelompok penduduk yang
memiliki pendapatan tertinggi pada akhir abad ke-19. Hal ini
menimbulkan kecemburuan dari bangsa Eropa terhadap etnis
Tionghoa yang didasari oleh keunggulan etnis Tionghoa. Pada masa
Ekonomi Pintu Terbuka (Ekonomi Liberal) tahun 1860, pemerintah
kolonial Belanda menerapkan persaingan terbuka untuk pengusaha
swasta dalam mengelola ekspor komoditas. Sistem ini kemudian
memberikan keuntungan hingga empat kali lipat bagi sektor
perdagangan ekspor Hindia Belanda. Pada sistem ini, banyak
pengusaha swasta dari berbagai golongan ikut serta dan pengusaha
golongan Tionghoa menunjukkan perkembangan terbaik
dibandingkan pengusaha golongan Eropa, walaupun jumlah etnis
Tionghoa lebih sedikit (Purcell, 1951).

Ketika perdagangan opium dan substitusinya dilarang oleh


pemerintahan kolonial Belanda dan mendirikan pegadaian (pawnshop)
milik negara, pedagang Tionghoa mulai beralih ke pegadaian tersebut.
Mereka mengembangkan pegadaian tersebut dan di kemudian hari
membentuk monopoli pegadaian. Tak hanya itu, pedagang Tionghoa
sebelum masa krisis ekonomi (malaise) 1930 menguasai perdagangan
sektor gula (Purcell, 1951). Salah satu raja gula dari etnis Tionghoa
adalah Oei Tiong Ham. Oei Tiong Ham merintis usaha gula di
Semarang pada awal 1880-an dan usahanya meluas ke beberapa kota
lainnya (Setiono, 2008, hal. 260). Pendapatan bisnis yang diterima
dari perdagangan gula mencapai 450.000 juta gulden untuk
keuntungan bersih dan pendapatan 250 juta dibayarkan untuk laba
investasi Tionghoa (Purcell, 1951, hal. 535). Tertulis oleh Purcell
dalam bukunya, pedagang Tionghoa juga menguasai perdagangan

10
grosir komoditas pangan seperti beras. Mereka mengimpor beras dari
Siam dan Saigon hingga 4 juta piculs. Tak hanya mengimpor beras,
mereka juga mengekspor sejumlah komoditas seperti singkong,
rempah-rempahh, dan lain-lain (Purcell, 1951, hal. 540). Dan bisnis
yang mereka kuasai lainnya adalah spekulasi lahan/tanah, atau yang
kerap masyarakat kita sebut dengan tuan tanah. Bisnis spekulasi tanah
ini cukup menguntungkan hingga pada 1904 pemerintah kolonial
Belanda mulai meningkatkan pajak petak lahan bagi tuan tanah seperti
mereka untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk asli (pribumi)
dan menurunkan pengaruh etnis Tionghoa.

Tak hanya menjadi pedagang, imigran Tionghoa yang datang


ke Sumatera berprofesi sebagai buruh kuli. Ribuan buruh kuli asal
Tiongkok dipekerjakan di perkebunan tembakau di pantai timur
Sumatera pada tahun 1864 dan kemudian dipekerjakan juga di
perkebunan karet dan menggeser kuantitas buruh etnis Jawa di pantai
timur Sumatera. Tercatat selama rentan waktu 1888-1931 sebanyak
305.000 imigran asal Tiongkok masuk melalui Pelabuhan Belawan,
Medan. Sejak tahun 1920an, jumlah imigran Tiongkok yang datang
mulai menurun dan kemudian rekrutmen serta pendatangan buruh
Tiongkok secara resmi berhenti pada tanggal 31 Desember 1931.
Buruh kuli etnis Tionghoa lebih banyak dipekerjakan di luar Pulau
Jawa (Purcell, 1951, hal. 504-505).

Tabel 2.2 Jumlah Buruh Kuli Lahan Tembakau Pantai Timur Sumatera

Etnis
Tahun
Tionghoa Jawa
1930 21.000 5.000
1931 19.000 6.000
1939 8.000 10.000
Sumber: Victor Purcell, The Chinese in Southeast Asia, (London: Oxford
University Press, 1951), hal. 505.

11
BAB III

Kesimpulan

Etnis Tionghoa yang tiba ke nusantara sejak masa kerajaan Hindu-Buddha


selalu bertambah jumlahnya, terutama pada masa pemerintahan kolonial Belanda,
dan memiliki peran yang cukup signifikan dalam perekonomian masyarakat. Etnis
Tionghoa sebagai kelas menengah dalam penggolongan masyarakat Hindia
Belanda dikenal dengan identitas kelas menengah pedagang atau pebisnis. Etnis
Tionghoa menjalankan peran mereka sebagai kelas pebisnis dengan mendominasi
distribusi beberapa sektor perdagangan seperti pangan dan obat-obatan (beras,
gula, opium), tambang, dan tekstil. Etnis Tionghoa mulai menguasai perdagangan
komoditas pasca-masa tanam paksa. Tidak hanya menjadi distributor unggul
antara golongan Eropa dan golongan Pribumi, etnis Tionghoa juga menjadi
distributor ekspor-impor sejumlah komoditi ke atau dari daerah Siam dan Saigon.
Tidak hanya menguasai perdagangan produk, etnis Tionghoa juga menguasai jasa
perekonomian seperti peminjaman uang (money-lenders) di masa tanam paksa
dan pekerja bank pada akhir abad ke-19. Etnis Tionghoa juga menguasai
perburuhan kebun tembakau dan karet di pantai timur Sumatera pada abad ke-19.
Etnis Tionghoa tak hanya menunjukkan keunggulannya dalam bisnis kepada
golongan Pribumi, tetapi juga menunjukkan keunggulan bisnisnya di hadapan
golongan Eropa dengan menunjukkan progres terbaik di antara kalangan
pengusaha swasta yang bergerak di Hindia Belanda dan kemudian menimbulkan
kecemburuan dari golongan Eropa.

Aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh etnis Tionghoa tak semulus profit
yang didapatkan. Mereka kerap mengalami hambatan dengan munculnya larangan
dari pemerintahan kolonial Belanda, baik yang bersifat rasial dan bersifat umum
seperti pelarangan perdagangan opium yang menjadi ladang bisnis bagi etnis
Tionghoa. Dari pembahasan di atas, Penulis dapat menelaah bahwa dominasi
ekonomi etnis Tionghoa di Indonesia tidak dimulai dan berlangsung sejak
Indonesia merdeka hingga sekarang, tetapi etnis Tionghoa telah memberikan
dominasi ekonomi ke dalam perdagangan sejumlah sektor di negara ini sejak
pemerintahan kolonial Belanda.

12
Daftar Pustaka

Brown, Ian. (1997). Economic Change in Southeast Asia, c. 1830-1980. Kuala


Lumpur: Oxford University Press.

Hidayatullah, Fauzan Ahmad. (2005). Laksamana Cheng Ho dan Kelenteng Sam


Po Kong. Yogyakarta: Mystico Press.

Kumar, Ann. (1997). Java and Modern Europe: Ambiguous Encounters.


Richmond: Curzon Press.

Lim, Hermanto dan David Mead. (2011). Chinese in Indonesia: A Background


Study. Dallas: SIL International.

Oetomo, D. (1987). Chinese of Pasuruan: Their Identity and Language. Canberra:


Australia National University.

Purcell, Victor. (1951). The Chinese in Southeast Asia. London: Oxford


University Press.

Ricklefs, M. C. (2001). A History of Modern Indonesia since c.1200 (Third


edition ed.). Hampshire: Palgrave.

Setiono, Benny G. (2008). Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Transmedia.

Suhandinata, Dr. Ir. Justian. (2009). WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas
Ekonomi dan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sutherland, Hether. (2004). The Makassar Malays: Adaptation and Identity, c.


1790-1860. Dalam T. P. Barnard (Penyunt.), Contesting Malayness: Malay
Identity Across Boundaries (hal. 76-106). Singapore: Singapore University
Press.

Tan, Mely G. (2008). Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan. Jakarta:


Yayasan Obor Indonesia.

Yuanzhi, Kong. (2000). Muslim Tionghoa Cheng Ho. Jakarta: Pustaka Populer
Obor.

13
14

Anda mungkin juga menyukai