Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas akhir semester genap 2016/2017
Dosen Pengajar: Prof. Susanto Zuhdi dan Dita Prameswari Putri, M.Hum
1606826501
UNIVERSITAS INDONESIA
2017
BAB I
Pendahuluan
1
pada abad ke-9 dan 10 Masehi (Oetomo, 1987). Kesaksian ini banyak tertulis
dalam catatan Musafir Arab yang berlayar ke Sumatera. Pelayaran Laksamana
Cheng Ho yang datang ke nusantara pada abad ke-15 juga memberikan
kontribusi pada pembentukan komunitas Etnis Tionghoa di nusantara. Dalam
persinggahan pelayaran armada Laksamana Cheng Ho, awak pelayaran Cheng
Ho kerap turun ke darat untuk mengisi ulang persediaan bahan bakar serta
persediaan stok untuk dapur dan kebutuhan kapal lainnya. Selama turun ke
darat, mereka berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Sebagai contoh, selama
armada Cheng Ho singgah di Semarang, Cheng Ho kerap mengajarkan
masyarakat sekitar untuk bertani, beternak, juga mengajarkan agama Islam
kepada masyarakat sekitar. Interaksi seperti itu kemudian mendorong
terbentuknya sebuah hubungan di antara pasukan Cheng Ho dengan
masyarakat sekitar. Salah satu hubungan yang terbentuk adalah perkawinan.
Salah satu awak kapal Cheng Ho, Sam Po Soei Soe, terpikat dengan gadis
Betawi yang sedang menari, Sitiwati, ketika sedang turun ke daerah Ancol dan
kemudian terjadi pernikahan di antara mereka (Hidayatullah, 2005). Tidak
sedikit perkawinan silang ini terjadi di antara penduduk pribumi dan
pendatang Tionghoa. Kedatangan bangsa Cina kemudian banyak tercatat pada
abad ke-17. Lim dan Mead (2011) mengutip sejumlah sumber bahwa pada
abad ke-17, pedagang Cina mulai berdatangan dan menetap di Batavia,
Makassar, Ternate, dan Ambon. Menetapnya komunitas Tionghoa di kota-kota
tersebut jauh sebelum Belanda datang ke Sunda Kelapa. Bangsa Cina
kemudian dipekerjakan sebagai petugas pelabuhan oleh kolonial Belanda
(Sutherland, 2004).
Kedatangan para imigran asal Tiongkok tersebut terus berlanjut hingga
abad ke-19 dan 20. Berbeda dengan imigran sebelumnya yang datang untuk
berdagang, motif kedatangan imigran Tiongkok pada masa ini adalah
menghindari huru-hara di kampung mereka, tekanan politik di bawah Dinasti
Qing Manchuria, dan kesulitan ekonomi yang diakibatkan oleh Perang Opium.
Padahal, di masa itu, Pemerintah Tiongkok memberlakukan larangan migrasi
ke luar bagi rakyat Tiongkok (Lim & Mead, 2011, hal. 6).
2
Hadirnya etnis Tionghoa yang kemudian membentuk komunitas serta
berketurunan dalam kehidupan masyarakat nusantara memberikan peran dan
kontribusi terhadap kehidupan sosial, terutama perekonomian masyarakat.
Jumlah etnis Tionghoa yang terus bertambah dikarenakan gelombang migrasi
etnis Tionghoa dari Tiongkok yang berkelanjutan mengindikasikan bahwa
etnis Tionghoa memiliki peran dan kontribusi yang tidak dapat
dikesampingkan dalam kehidupan perekonomian masyarakat Hindia Belanda.
Kontribusi tersebut kemudian tercatat dalam sejarah dan dapat menjadi tolak
ukur dan bukti nyata di hari ini bahwa etnis Tionghoa telah menjadi bagian
dari kehidupan masyarakat Indonesia dan tidak dapat dimungkiri peran
sertanya sejak awal masa sejarah nusantara.
3
BAB II
Isi
4
tersebut digunakan baik oleh penduduk asli (pribumi) maupun orang Eropa,
bahkan hingga hari ini. Pada dasarnya, generasi tua etnis Tionghoa kurang
menyukai istilah ‘Cina’ kepada mereka karena terdengar kasar, namun
generasi muda etnis Tionghoa menganggap istilah ini netral (Lim & Mead,
2011, hal. 5). Dapat disimpulkan bahwa penyebutan imigran yang berasal dari
Tiongkok sebagai ‘orang Cina’ merupakan sebutan bagi etnis Tionghoa di
Hindia Belanda selama masa pemerintahan kolonial Belanda yang turun
menurun kerap digunakan hingga hari ini.
5
Inggris tidak berlangusng lama. Inggris kembali menyerahkan Hindia
Belanda kepada Belanda pada tahun 1816 melalui Perjanjian Tuntang
(Ricklefs, 2001). Sejak tahun 1816 hingga 9 Maret 1942, Pemerintahan
Belanda resmi menjadi pemerintah yang berdaulat di negara Hindia Belanda.
2.2 Pembahasan
2.2.1 Demografi Etnis Tionghoa pada Masa Pemerintahan Kolonial
Belanda
Tidak ada pencatatan resmi yang dapat dijadikan sumber resmi jumlah
etnis Tionghoa di Hindia Belanda selama pemerintahan kolonial Belanda
kecuali sensus penduduk yang diselenggarakan oleh pemerintahan kolonial
Belanda tahun 1930. Hal serupa juga berlaku pada negara-negara lain, di
mana terjadi kesulitan dalam pencatatan penduduk resmi dari etnis Tionghoa.
Hal ini disebabkan karena tidak adanya dokumen asli para imigran serta
pencatatan resmi oleh petugas pelabuhan setempat. Para imigran tidak
membawa dokumen asli dan resmi mereka karena, pada abad ke-19, terdapat
hukum resmi yang dibuat oleh pemerintah Cina untuk melarang penduduknya
bermigrasi ke negara lain dan terdapat hukuman yang sangat berat bagi yang
melanggar. Dampak yang kemudian timbul dari adanya larangan tersebut
adalah terjadinya migrasi berulang (repeated migration) (Brown, 1997, hal.
35). Migrasi berulang adalah kedatangan etnis Tionghoa ke negara-negara
Asia Tenggara untuk bekerja dengan kontrak pendek (short-time contract)
selama beberapa kali. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab kesulitan
pencatatan etnis Tionghoa di Hindia Belanda.
Walaupun tidak dapat mendata secara lengkap, pemerintahan kolonial
Belanda diketahui mulai mencatat jumlah etnis Tionghoa di Hindia Belanda
sejak 1860. Faktor kendala yang telah dijabarkan di paragraf sebelumnya
menjadi salah satu alasan pencatatan sebelum sensus penduduk tahun 1930
kurang signifikan dalam pencatatan etnis Tionghoa. Berikut adalah tabel
demografi etnis Tionghoa di Hindia
6
Tabel 2.1 Populasi Etnis Tionghoa di Masa Pemerintahan Kolonial
Belanda 1860-1930 (dalam ribuan)
Tahun Penduduk Etnis Etnis Etnis Etnis Total
asli Eropa Tionghoa Arab Asia
(pribumi) lainnya
1860 - 44 221 9 - -
1870 - 49 260 13 - -
1880 - 60 344 16 - -
1890 - 74 461 22 - -
1900 - 91 537 27 - -
1905 37.348 95 563 30 - -
1920 48.300 168 809 45 22 49.344
1930 59.138 240 1.233 71 48 60.727
Sumber: Victor Purcell, The Chinese in Southeast Asia, (London:
Oxford University Press, 1951), hal. 443.
7
Belanda maupun dari negara lain di Eropa. Golongan kedua di
masyarakat Hindia Belanda adalah golongan Timur Asing, yaitu
penduduk yang berasal dari etnis Melayu, Arab, India, dan Tionghoa
(Purcell, 1951, hal. 442). Dan pemerintahan kolonial Belanda
menaruh penduduk asli Hindia Belanda atau yang disebut sebagai
golongan Pribumi di golongan terakhir. Golongan-golongan ini
kemudian memisahkan hak-hak dan kewajiban masyarakat.
Golongan-golongan ini juga memisahkan etnis-etnis ke berbagai
sektor, termasuk perekonomian. Etnis Tionghoa digolongkan sebagai
kelas menengah dalam perekonomian (Tan, 2008, hal. 116).
Namun, pemisahan kelas penduduk ini tidak mengistimewakan
golongan Tionghoa terlalu jauh. Di bidang perekonomian, pada masa
diberlakukannya hukum agraria tahun 1860, etnis Tionghoa dilarang
memiliki lahan atau tanah pertanian. Etnis Tionghoa, yang
dikategorikan sebagai golongan Timur Asing, tidak diperbolehkan
turut serta terlibat dalam pertanian dan kepegawaian pemerintahan
(Tan, 2008, hal. 117). Etnis Tionghoa juga dipisahkan institusi
pendidikan yang tidak sebaik institusi pendidikan untuk orang Eropa
dan mereka diadili di pengadilan yang kurang lebih setara dengan
pribumi (Purcell, 1951).
8
kolonial Belanda, profesi yang dilakoni oleh etnis Tionghoa tidak
hanya sebagai pedagang, tapi juga petani, penambang emas, peminjam
uang (rentenir), tuan tanah, pegawai bank dan berbagai macam
lainnya. Akan tetapi, etnis Tionghoa tetap menunjukkan dominansinya
di bidang bisnis.
9
disalurkan lewat Tionghoa, sedangkan tiap kebutuhan yang dibeli oleh
Pribumi dibeli melalui pedagang Tionghoa. Bahkan, pedagang
Tionghoa di tahun 1892 berhasil menggeser produk pakaian impor
untuk memenuhi kebutuhan pakaian masyarakat dengan produksi
Batik (Purcell, 1951, hal. 502). Kelihaian etnis Tionghoa dalam
berdagang menjadikan Tionghoa sebagai kelompok penduduk yang
memiliki pendapatan tertinggi pada akhir abad ke-19. Hal ini
menimbulkan kecemburuan dari bangsa Eropa terhadap etnis
Tionghoa yang didasari oleh keunggulan etnis Tionghoa. Pada masa
Ekonomi Pintu Terbuka (Ekonomi Liberal) tahun 1860, pemerintah
kolonial Belanda menerapkan persaingan terbuka untuk pengusaha
swasta dalam mengelola ekspor komoditas. Sistem ini kemudian
memberikan keuntungan hingga empat kali lipat bagi sektor
perdagangan ekspor Hindia Belanda. Pada sistem ini, banyak
pengusaha swasta dari berbagai golongan ikut serta dan pengusaha
golongan Tionghoa menunjukkan perkembangan terbaik
dibandingkan pengusaha golongan Eropa, walaupun jumlah etnis
Tionghoa lebih sedikit (Purcell, 1951).
10
grosir komoditas pangan seperti beras. Mereka mengimpor beras dari
Siam dan Saigon hingga 4 juta piculs. Tak hanya mengimpor beras,
mereka juga mengekspor sejumlah komoditas seperti singkong,
rempah-rempahh, dan lain-lain (Purcell, 1951, hal. 540). Dan bisnis
yang mereka kuasai lainnya adalah spekulasi lahan/tanah, atau yang
kerap masyarakat kita sebut dengan tuan tanah. Bisnis spekulasi tanah
ini cukup menguntungkan hingga pada 1904 pemerintah kolonial
Belanda mulai meningkatkan pajak petak lahan bagi tuan tanah seperti
mereka untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk asli (pribumi)
dan menurunkan pengaruh etnis Tionghoa.
Tabel 2.2 Jumlah Buruh Kuli Lahan Tembakau Pantai Timur Sumatera
Etnis
Tahun
Tionghoa Jawa
1930 21.000 5.000
1931 19.000 6.000
1939 8.000 10.000
Sumber: Victor Purcell, The Chinese in Southeast Asia, (London: Oxford
University Press, 1951), hal. 505.
11
BAB III
Kesimpulan
Aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh etnis Tionghoa tak semulus profit
yang didapatkan. Mereka kerap mengalami hambatan dengan munculnya larangan
dari pemerintahan kolonial Belanda, baik yang bersifat rasial dan bersifat umum
seperti pelarangan perdagangan opium yang menjadi ladang bisnis bagi etnis
Tionghoa. Dari pembahasan di atas, Penulis dapat menelaah bahwa dominasi
ekonomi etnis Tionghoa di Indonesia tidak dimulai dan berlangsung sejak
Indonesia merdeka hingga sekarang, tetapi etnis Tionghoa telah memberikan
dominasi ekonomi ke dalam perdagangan sejumlah sektor di negara ini sejak
pemerintahan kolonial Belanda.
12
Daftar Pustaka
Suhandinata, Dr. Ir. Justian. (2009). WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas
Ekonomi dan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yuanzhi, Kong. (2000). Muslim Tionghoa Cheng Ho. Jakarta: Pustaka Populer
Obor.
13
14