Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas limpahan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Etika dan Hukum
Kesehatan yang berjudul “Dilema Etika Dalam Pelayanan Di Pemerintahan” ini
dengan cukup baik.

Penyusunan makalah ini merupakan salah satu persyaratan untuk


menyelesaikan tugas mata kuliah “Etika dan Hukum Kesehatan” di Program
Pascasarjana Magister Kesehatan Masyarakat, Universitas Muslim Indonesia,
Makassar. Makalah ini membahas berbagai informasi mengenai “Dilema Etika
Dalam Pelayanan Di Pemerintahan”

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari


kesempurnaan, maka dari itu kami mengharap kritik dan saran demi
kesempurnaan makalah ini.

Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu
pengetahuan dan menjadi motivasi untuk meningkatkan daya juang mahasiswa/i
pada masa kini dan yang akan datang.

Makassar, 05 Desember 2019

Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara etimologi, istilah etika berasal dari bahasa Yunani “ethos”. Kata
Yunani “ethos” dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti yaitu tempat
tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak,
perasaan, sikap dan cara berfikir. Dalam bentuk jamak “ta etha” artinya adalah
adat kebiasaan. Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu usila (Sanskerta),
lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik
(su). Istilah selanjutnya adalah Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti
ilmu akhlak.
Etika filosofis secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari
kegiatan berfilsafat atau berfikir, yang dilakukan oleh manusia. Oleh sebab itu,
etika merupakan bagian dari filsafat; etika lahir dari filsafat. Frankena dalam
Sumaryadi (2010) mengemukakan bahwa etika merupakan salah satu cabang
filsafat yang mencakup filsafat moral atau pembenaran-pembenaran filosofis.
Sebagai salah satu falsafah, etika berkenaan dengan moralitas beserta persoalan-
persoalan dan pembenaran-pembenarannya. Moralitas sangat diperlukan dalam
masyarakat karena perannya sebagai panduan bertindak (action guides).
Menurut James J Spillane (Labolo,2016:19) bahwa etika atau ethics
mempertimbangkan dan memperhatikan tingkah laku manusia dalam pengambilan
moral. Sedangkan menurut kamus Bahasa Indonesia bahwa etika merupakan ilmu
tentang baik buruk serta tentang hak dan kewajiban moral. Perilaku yang baik
mengandung nilai-nilai keutamaan, dimana nilai-nilai keutamaan yang
berhubungan erat dengan hakikat dan kodrat manusia yang luhur. Sedangkan
menurut Magis Suseno (Labolo, 2016:11) berkaitan moral dimana moral berkaitan
dengan ajaran-ajaran wejangan, kotbah-kotbah, patokan-patokan, kumpulan
peraturan dan ketetapan baik tulisan maupun lisan. Tentang bagaimana manusia
harus hidup dan bertindak agar ia bisa menjadi manusia yang baik. Sedangkan
menurut Keraf (Ismail, 2009:63-64) bahwa etika sebagai refleksi kritis dan
rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam
sikap dan pola perilaku hidup manusia baik secara pribadi maupun kelompok.
Begitu juga yang diutarakan oleh Kumorotomo (1992:7) dimana etika merupakan
penuntun tindakan untuk seluruh pola tingkah laku yang disebut bermoral.
Nilai-nilai etika yang hidup dan berlaku dalam suatu masyarakat, bukanlah
sekedar menjadi keyakinan pribadi bagi para anggotanya, akan tetapi juga
menjadi seperangkat norma yang terlembagakan. Dengan kata lain, suatu nilai
etika harus menjadi acuan dan pedoman bertindak yang membawa akibat dan
pengaruh secara moral. Etika merupakan kesediaan jiwa akan kesusilaan atau
kumpulan dari peraturan kesusilaan. Etika merupakan norma dan aturan yang
turut mengatur perilaku seseorang dalam bertindak dan memainkan perannya
sesuai dengan aturan main yang ada dalam masyarakat agar dapat dikatakan
tindakan bermoral.
Secara etimologis, istilah pemerintahan berasal dari kata dasar “perintah”
yang berarti menyuruh melakukan sesuatu, aba-aba, atau komando. Pemerintahan
dalam bahasa Inggris disebut government yang berasal dari bahasa Latin:
gobernare, greek kybernan yang berarti mengemudikan atau mengendalikan.
Secara umum pemerintah merupakan organisasi, badan, lembaga yang
memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang
di wilayah tertentu. Menurut C.F Strong dalam bukunya Modern Political
Constitutions menyebutkan bahwa “Government is therefore that organization in
which is vested the rights to exercise sovereign powers”. Pemerintahan adalah
organisasi dalam mana diletakkan hak untuk melaksanakan kekuasaan berdaulat
atau tertinggi. Jadi pemerintah diartikan sebagai organisasi atau lembaga.
Sesuai dengan moralitas dan perilaku masyarakat setempat, etika dapat
dianggap penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Masalah yang ada dalam
penyelenggaraan pemerintahan semakin lama semakin kompleks. Keberhasilan
pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam
lingkungan penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah melakukan adjusment
(penyesuaian) yang menuntut discretionary power (kekuatan
pertimbangan/kebijaksanaan) yang besar. Pemerintah memiliki pola perilaku yang
wajib dijadikan sebagai pedoman atau kode etik yang berlaku bagi setiap
aparaturnya. Etika dalam pemerintahan harus ditimbulkan dengan berlandaskan
pada paham dasar yang mencerminkan sistem yang hidup dalam masyarakat yang
harus dipedomani serta diwujudkan oleh setiap aparatur dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara umum nilai-nilai suatu etika
pemerintahan yang perlu dijadikan pedoman dan perlu dipraktekkan secara
operasional antara lain: bahwa aparat wajib mengabdi kepada kepentingan umum.
Aparat adalah motor penggerak “head“ dan “heart“ bagi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, Aparat harus berdiri di tengah-tengah,
bersikap terbuka dan tidak memihak (mediator), Aparat harus jujur, bersih dan
berwibawa, Aparat harus bersifat diskresif, bisa membedakan mana yang rahasia
dan tidak rahasia, mana yang penting dan tidak penting, dan aparat harus selalu
bijaksana dan sebagai pengayom.
Berbicara mengenai etika pemerintahan tidak terlepas dari etika birokrasi,
birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat modern yang
kehadirannya tak mungkin terelakkan. Eksistensi birokrasi ini sebagai
konsekuensi logis dari tugas utama negara (pemerintahan) untuk
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat (social welfare). untuk melayani
kepentingan rakyatnya yang disebut dengan istilah birokrasi.
Kaitannya dengan etika pemerintahan maka hal yang terkait proses
penyelenggaraan pemerintahan adalah menyangkut pentingnya melaksanakan
tugas dan tanggung jawab, mentaati berbagai ketentuan dan peraturan perundang-
undangan, melaksanakan hubungan kerja yang baik, serta menciptakan
lingkungan kerja yang kondusif, disamping itu aparatur pemerintah dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan koridor etika pemerintah perlu memberikan
pelayanan terbaik khususnya dalam proses pelayanan publik, dengan demikian
dapatlah dipahami bahwa konteks dalam beretika akan menjadi pedoman bagi
setiap aparatur pemerintah khususnya dalam melaksanakan tugasnya.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang permasalahan di atas, dapat dirumuskan
permasalahan penelitian yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan etika pemerintahan?
2. Bagaimana etika pemerintah dalam pelayanan publik?
3. Apa hubungan antara etika dengan Pelayanan Publik?
4. Bagaimana permasalahan etika dalam pelayanan publik?
5. Bagaimana analisa kasus etika dan moral dalam pelayanan Publik?
6. Bagaimana implementasi etika dalam penyelenggaraan pelayanan publik?
7. Bagaimana paradigma etika pelayanan publik?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu etika pemerintahan
2. Untuk mengetahui etika pemerintah dalam pelayanan publik
3. Untuk mengetahui hubungan antara etika dengan Pelayanan Publik
4. Untuk mengetahui permasalahan etika dalam pelayanan publik
5. Untuk mengetahu analisa kasus etika dan moral dalam pelayanan publik
6. Untuk mengetahui implementasi etika dalam penyelenggaraan pelayanan publik
7. Untuk mengetahui paradigma etika pelayanan publik
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Tentang Etika Pemerintahan


Istilah etika berasal dari Bahasa Yunani Kuno, bentu tunggal kata ‘etika’
yaitu ethos. Dalam kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak
1953- mengutip dari Bertens, 2000), etika mempunyai arti sebagai: “ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)”. Sedangkan kata ‘etika’ dalam
kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1988- mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak)
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenan dengan akhlak
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Urban ethics offers itself as a useful focus in many disciplines, enabling
researchers to connect actors, practices, techniques and imaginations in urban
situations. Urban ethics have not been easily picked up by other approaches in
urban research that tend to be concerned either with discourses or with the
materiality of changes, with everyday life or institutions, with a Foucauldian
focus on forms of governance or an interest in social movements.
Etika pemerintahan merupakan ajaran untuk berperilaku yang baik dan benar
sesuai dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia.
Sumaryadi (2010) menyatakan bahwa etika pemerintahan mengacu pada kode etik
profesional khusus bagi mereka yang bekerja dan untuk pemerintahan. Etika
pemerintahan melibatkan aturan dan pedoman tentang panduan bersikap dan
berperilaku untuk sejumlah kelompok yang berbeda dalam lembaga pemerintahan,
termasuk para pemimpin terpilih (seperti presiden dan kabinet menteri), DPR
(seperti anggota parlemen), staf politik dan pelayan publik.
Pengertian etika pemerintahan menurut Nurdin (2017:11) bahwa etika
pemerintahan merupakan ajaran untuk berperilaku baik dan benar sesuai dengan
nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia. Nurdin (2017:
12) mengatakan bahwa etika pemerintahan selalu berkaitan dengan nilai-nilai
keutamaan yang berhubungan dengan hak-hak dasar warga negara selaku
makhluk sosial. Nilai-nilai yang dikembangkan etika pemerintahan adalah :
1. Penghormatan terhadap hidup manusia dan HAM lainnya

2. Kejujuran baik terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia lainnya.

3. Keadilan dan kepantasan merupakan sikap yang terutama yang harus


diperlakukan terhadap orang lain

4. Kekuatan moralitas, ketabahan serta berani karena benar terhadap godaan

5. Kesederhanaan dan pengendalian diri

6. Nilai nilai agama dan sosial budaya termasuk nilai agama agar manusia dapat
bertinfak secara professional dan bekerja keras.

Etika pemerintahan merupakan etika terapan yang berperan dalam urusan


pengaturan tata kelola pemerintah. Etika pemerintahan merupakan bagian dari
yurisprudensi praktis (practical jurisprudence) atau filosofi hukum (philosophy of
law) yang mengatur urusan pemerintah dalam hubungannya dengan orang-orang
yang mengatur dan mengelola lembaga pemerintahan.

Pada hakekatnya etika pemerintahan bersumber dari peraturan perundang-


undangan, nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai sosial budaya yang berasal dari
kehidupan bermasyarakat serta berasal dari adat kebiasaan dan sejenis dengan itu.
Pemerintah sebagai alat kelengkapan sebuah organisasi modern yang mempunyai
tugas dan tanggung jawab untuk dapat merealisasikan cita-cita negara harus
memiliki keinginan yang kuat dan menanamkan nilai etis dalam diri aparatur agar
cita-cita negara dapat terwujud.

Etika pemerintahan mencakup isu-isu kejujuran dan transparansi dalam


pemerintahan, yang pada gilirannya berurusan dengan hal-hal seperti; penyuapan
(bribery); korupsi politik (political corruption); korupsi polisi (police corruption);
etika legislatif (legislatif ethics); etika peraturan (regulatory ethics); konflik
kepentingan (conflict of interest); pemerintahan yang terbuka (open of
government); etika hukum (legal ethics).
B. Etika Pemerintah dalam Pelayanan Publik
Praktek penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia dewasa ini masih
penuh dengan ketidakpastian biaya, waktu dan cara pelayanan. Mengurus
pelayanan publik ibaratnya memasuki hutan belantara yang penuh dengan
ketidakpastian. Waktu dan biaya pelayanan tidak pernah jelas bagi para pengguna
pelayanan. Hal ini terjadi karena prosedur pelayanan tidak pernah mengatur
kewajiban dari penyelenggara pelayanan dan hak dari warga sebagai pengguna.
Prosedur cenderung hanya mengatur kewajiban warga ketika berhadapan dengan
unit pelayanan. Ketidakpastian yang sangat tinggi ini mendorong warga untuk
membayar pungli kepada petugas agar kepastian pelayanan bisa segera diperoleh.
Ketidakpastian bisa juga mendorong warga memilih menggunakan biro jasa untuk
menyelesaikan pelayanannya daripada menyelesaikannya sendiri. Disamping itu
juga sering dilihat dan didengar adanya tindakan dan perilaku oknum pemberi
pelayanan yang tidak sopan, tidak ramah, dan diskriminatif. Sebagai konsekuensi
logisnya, dewasa ini kinerja pemerintah sebagai pelayan publik banyak menjadi
sorotan, terutama sejak timbulnya iklim yang lebih demokratis dalam
pemerintahan. Rakyat mulai mempertanyakan akan nilai yang mereka peroleh atas
pelayanan yang dilakukan oleh instansi pemerintah.
Permasalahannya sekarang adalah sejauhmana pemahaman dan penerapan
etika pelayanan publik oleh birokrasi pemerintah Indonesia? Masalah ini perlu
pengkajian secara kritis dan mendalam, karena berbagai praktek buruk dalam
penyelenggaraan pelayanan publik seperti : ketidakpastian pelayanan, pungutan
liar, dan pengabaian hak dan martabat warga pengguna pelayanan, masih amat
mudah dijumpai dihampir setiap satuan pelayanan publik. Dengan demikian
permasalahan pelayanan publik cukup kompleks, variabelnya sangat luas, upaya
memperbaiki birokrasi sebagai pelayan publik (ltublic seruice) termasuk
didalamnya upaya menanamkan etika sebagai nilai utama dalam pelyanan publik,
memerlukan waktu yang panjang dan diikuti dengan kemauan aparat untuk
merubah sikap dan orentasi perilakunya ke arah yang lebih mementingkan
peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
Menurut Mertins Jr16 ada empat hal yang harus dijadikan pedoman yaitu:
Pertama, equality, yaitu perlakuan yang sama atas pelayanan yang diberikan. Hal
ini didasarkan atas tipe perilaku birokrasi rasional yang secara konsisten
memberikan pelayanan yang berkualitas kepada semua pihak tanpa memandang
afiliasi politik, status sosial, etnis, agama dan sebagainya. Bagi mereka
memberikan perlakuan yang sama identik dengan berlaku jujur, suatu prilaku
yang patut dihargai. Kedua, equity, yaitu perlakuan yang sama kepada masyarakat
saja tidak cukup, selain itu juga perlakuan yang adil. Untuk masyarakat yang
pluralistik kadang kadang diperlukan perlakuan yang adil dan perlakuan yang
sama dan kadang-kadang pula dibutuhkan perlakuan yang adil tetapi tidak sama
kepada orang tertentu. Ketiga, Iogalty, adalah kesetiaan yang diberikan kepada
konstitusi, hukum, pimpinan, bawahan dan rekan kerja. Berbagai jenis kesetiaan
tersebut terkait satu sama lain, dan tidak ada kesetiaan yang mutlak diberikan
kepada satu jenis kesetiaan tertentu yang mengabaikan yang lainnya. Keempat,
responsibility, yaitu setiap apparat pemerintah harus siap menerima tanggung
jawab atas apapun yang ia kerjakan dan harus mengindarkan diri dari sindorman
"saya sekedar melaksanakan perintah dari atasan".

Secara umum fungsi etika pemerintahan dalam praktek penyelenggaraan


pemerintahan ada tiga yaitu :
1. Sebagai suatu pedoman, referensi, acuan, tuntunan dalam pelaksanaan tugas-
tugas pemerintahan
2. Sebagai acuan untuk menilai apakah keputusan dan/atau tindakan pejabat
pemerintahan itu baik atau buruk, terpuji atau tercela.
3. Sebagai referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi
tadi dinilai baik, terpuji, dan tidak tercela.

According to the White Paper, of 2001, governance is about how thing could
and also should be done; it refers to the exercise of power, from its rules to
processes and behaviors. Accountability, Roles in the legislative and executive
processes need to be clearer. Each of the EU institutions must explain and take
responsibility for what it does in Europe, but there is also a need for greater
clarity and responsibility from member states and all those involved in developing
and implementating EU policy at whatever level.

Di dalam etika pemerintahan ada tiga prinsip yang harus dipegang untuk
melaksanakan penyelenggaraan negara (Labolo dkk, 2015:423) yaitu :
1. Adanya itikad baik, artinya mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan, tidak
mengambil jalan pintas. Menempuh jalan pintas (menerobos) mengandung
konsekwensi melanggar nilai-nilai keadilan dan ini berarti bukan
memecahkan masalah melainkan menciptakan masalah baru.
2. Profesional artinya mampu bekerja secara cepat, tepat dan akurat, didukung
dengan perilaku yang sopan dan siap melayani secara adil.
3. Altruistik, artinya mengutamakan kemanfaatan bagi orang banyak (tidak
egois) dan berdiri di atas semua golongan.

Prinsip-prinsip etika pelayanan publik yang dikembangkan oleh Institute


Josephson America, yang dikutip oleh The Liang Gie (2006), dapat digunakan
sebagai rujukan atau referensi bagi para birokrasi publik dalam memberikan
pelayanan, antara lain :
1. Jujur, dapat dipercaya, tidak berbohong, tidak menipu, mencuri, curang dan
berbelit;
2. Integritas, memunyai prinsip, terhormat, tidak mengorbankan prinsip moral
dan tidak bermuka dua;
3. Memegang janji, memenuhi janji serta mematuhi jiwa perjanjian sebagaimana
isinya dan tidak menafsirkan isi perjanjian secara sepihak;
4. Setia, loyal dan taat pada kewajiban yang semestinya harus dikerjakan;
5. Adil, memperlakukan orang dengan sama, bertoleransi, menerima perbedaan
serta berpikiran terbuka;
6. Perhatian, memperhatikan kesejahteraan orang lain, memberikan kebaikan
dalam pelayanan;
7. Hormat, menghormati martabat manusia, privasi dan hak menentukan nasib
bagi setiap orang;
8. Kewarganegaraan, bertanggungjawab menghormati, menghargai dan
mendorong pembuatan keputusan yang demokratis;
9. Keunggulan, memperhatikan kualitas pekerjaan.

These principles are (Chryssides & Kaler, 1993) :


 Transparency – clarity in procedures and decision-making, particularly in
resource allocation. Organisations charged with care of a public good such
as sport have a particular obligation not simply to act in a fair and consistent
manner but also to be seen to do so. Thus their inner workings should as far
as possible be open to public scrutiny.
 Accountability: - sporting organisations are not only responsible to financial
investors through financial reporting procedures, but also to those who invest
other resources in the organisation – athletes, coaches, parents, supporters,
sponsors and so on, even where that investment is largely emotional rather
than material.
 Democracy: - access to representation in decision-making should be
available to those who make up the organisation’s ‘internal constituencies’ –
with for example representation on Boards of such organisations for
constituencies such as players, supporters, and managers as well as owners.
 Responsibility: - for the sustainable development of the organisation and its
sport, and stewardship of their resources and those of the community served.
 Equity: - in treatment of constituencies – for example gender equity in
treatment of sports participants and in terms of positions within the
organisation; and equity in treatment of sports participants (and employees)
with disabilities.
 Effectiveness: - the establishing and monitoring of measures of effectiveness
with measurable and attainable targets.
 Efficiency: - the achievement of such goals with the most efficient use of
resources.
C. Hubungan Antara Etika dengan pelayanan Publik
Dalam rangka menjelaskan mengenai kaitan antara etika dengan pelayanan
public Keban (2005:3) menyatakan bahwa: saran klasik di tahun 1900 sampai
1929 untuk memisahkan administrasi dari politik (dikotomi) menunjukan bahwa
administrator sungguh-sungguh netral, bebas dari pengaruh politik ketika
melakukan pelayanan publik. Akan tetapi kritik bermunculan menetang ajaran
dikotomi administrasi – politik pada tahun 1930-an, sehingga perhatian mulai
ditujukan kepada keterlibatan para administrator dalam keputusankeputusan
public atau kebijakan publik. Sejak saat ini mata publik mulai memberikan
perhatian khusus terhadap “permainan etika” yang dilakukan oleh para birokrat
pemerintahan. Penilaian keberhasilan seorang administrator atau aparat
pemerintah tidak semata didasarkan pada pencapaian criteria efisiensi, ekonomi
dan prinsip-prinsip administrasi lainnya, tetapi juga criteria moralitas, khususnya
terhadap kontribusinya terhadap publik interest atau kepentingan umum (Henry,
1995: 400).
Berdasarkan pendapat tersebut di atas diketahui bahwa alasan mendasar
mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah adanya publik interest atas
kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah kepada pemerintahlah
yang memiliki “tanggung jawab” atau responsibility. Dalam memberikan
pelayanan ini pemerintah diharapkan secara profesional melaksanakannya, dan
harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai siapa mendapat apa,
berapa banyak, dimana, kapan, dsb. Padahal, kenyataan menunjukan bahwa
pemerintah tidak memiliki tuntunan atau pegangan kode etik atau moral secara
memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak yang telah teruji
pasti selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak selamanya
benar. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga,
kelompok, partai bahkan sturktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku
seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki
“independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada “otonomi
dalam beretika”. Alasan lain lebih berkenaan dengan lingkungan di dalam
birokrasi yang memberikan pelayanan itu sendiri. Desakan untuk memberi
perhatian kepada aspek kemanusiaan dalam organisasi (organizational humanism)
telah disampaikan oleh Denhardt. Dalam literature tentang aliran human relations
dan human resources, telah dianjurkan agar manager harus bersikap etis, yaitu
memperlakukan manusia atau organisasi secara manusiawi.
Alasannya adalah bahwa perhatian terhadap manusia (concern for people) dan
pengembangannya sangat relevan dengan upaya peningkatan produktivitas,
kepuasan dan pengembangan kelembagaan. Alasan berikut berkenaan dengan
karakteristik masyarakat publik yang terkadang begitu variatif sehingga
membutuhkan perhatian khusus. Mempekerjakan pegawai negeri dengan
menggunakan prinsip “kesesuaian antara orang dengan pekerjaannya” merupakan
prinsip yang perlu dipertanyakan secara etis, karena prinsip itu akan menghasilkan
ketidakadilan, dimana calon yang dipekerjakan hanya berasal dari daerah tertentu
yang related lebih maju. Kebijakan affirmative action dalam hal ini merupakan
terobosan yang bernada etika karena akan memberi ruang yang lebih luas bagai
kaum minoritas, miskin, tidak berdaya, dan sebagainya , untuk menjadi pegawai
atau menduduki posisi tertentu. Ini merupakan suatu pilihan moral (moral choice)
yang diambil oleh seorang birokrat pemerintah berdasarkan prinsip justice – as –
fairness sesuai dengan pendapat John Rawls yaitu bahwa distribusi kekayaan,
otoritas, dan kesempatan sosial akan terasa adil bila hasilnya memberikan
kompensasi keuntungan kepada setiap orang, dan khususnya terhadap anggota
masyarakat yang paling tidak beruntung. Kebijakan mengutamakan “putera
daerah” merupakan salah satu contoh yang popular saat ini. Alasan penting
lainnya adalah peluang untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika
yang berlaku dalam pemberian pelayanan publik sangat besar.

Zaethaml, Parasuraman & Barry (dalam Ratminto dan Winarsih (2010)


mengemukakan lima indikator layanan yang terdiri :
1. Tangible atau ketampakan fisik, artinya layanan yang diberikan diwujudkan
dalam bentuk tampakan fisik seperti gedung, peralatan, pegawai, fasilitas-
fasilitas layanan lainnya
2. Reliability atau realibilitas adalah kemampuan untuk menyelenggarakan
pelayanan yang dijanjikan secara akurat

3. Responsiveness atau responsivitas adalah kerelaan untuk menolong customers


dan menyelenggarakan pelayanan secara ikhlas.

4. Assurance atau kepastian adalah pelayanan harus diberikan secara pasti

5. Empathy atau adanya perlakuan dan perhatian yang diberikan kepada


masyarakat.

D. Permasalahan Etika dalam Pelayanan Publik


Etika dalam pelayanan publik tidak sesederhana sebagaimana dibayangkan,
atau dengan kata lain begitu kompleksitas sifatnya baik berkenaan dengan nilai
pemberian pelayanan publik itu sendiri. Kompleksitas dan ketidakmenentuan ini
mendorong pemberi pelayanan publik mengambil langkah-langkah professional
yang didasarkan kepada “keleluasaan bertindak” (discretion). Dan keleluasaan
inilah yang sering menjerumuskan pemberi pelayanan publik atau aparat
pemerintah untuk bertindak tidak sesuai dengan kode etik atau tuntunan perilaku
yang ada. Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia,
pelanggaran moral dan etika dapat diamati mulai dari proses kebijakan public
(pengusulan program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas
kenyataan), desain organisasi pelayanan public (pengaturan struktur, formalisasi,
diskresi otoritas) yang sangat bias terhadap kepentingan tertentu, proses
manajemen pelayanan publik yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari
perencanaan teknis, pengelolaan keuangan, SDM, informasi, dan sebagainya),
yang semuanya itu tidak dapat disangkal, semua pelanggaran moral dan etika ini
telah diungkapkan sebagai salah satu penyebab melemahnya pemerintahan.
Bagi Indonesia, pembenahan moralitas yang terjadi selama ini masih sebatas
lips service tidak menyentuh sungguh-sungguh substansi pembenahan moral itu
sendiri. Karena itu pembenahan moral merupakan “beban besar” di masa
mendatang dan apabila tidak diperhatikan secara serius maka proses
“pembusukan” terus terjadi dan dapat berdampak pada disintegrasi bangsa.
Banyak permasalahan dan persoalan yang timbul dalam implementasi etika dalam
pelayanan publik. Begitu pula dampak, ekses-ekses dan hasil yang ditimbulkan
terhadap publik dalam pelaksanaan Otonomi daerah untuk mencapai tujuan seperti
yang diamanatkan oleh Undang Undang Pemerintahan Daerah dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

E. Analisa Kasus Etika dan Moral dalam Pelayanan Publik


Untuk memperoleh pemahaman yang lebih jelas dan mendalam, praja
diharapkan mampu menganalisa masalah yang terjadi dalam kehidupan
bermsayarakat, berbangsa, dan bernegara yang secara hakiki bergerak dinamis
mengikuti gejolak yang timbut dalam pola perilaku masyarakat Indonesia. Dalam
kasus yang akan dicantumkan dalam modul ini praja diharapkan memberikan
komentar terhadap kasus berikut. Adapun contoh kasus yang belakangan ini telah
terjadi antara lain :
1. Wakil Ketua Komisi X DPR Ferdiansyah memandang pemerintah harus
secara serius menangani kasus pemukulan yang dilakukan orangtua siswa
terhadap guru, dalam hal ini guru SMKN 2 Makasar, sulawesi Selatan.
Keseriusan pemerintah dinilai penting untuk melindungi guru dan tenaga
didik dalam menjalankan tugasnya. Menteri pendidikan dan Kebudayaan bisa
mengatur perjanjian antara sekolah dan pihak orang tua tentang masalah
etika. Sehingga ada sebuah bentuk perlindungan seorang guru dan tenaga
didik dalam mnejalankan tugasnya, lebih-lebih mnegajarkan masalah etika.
Bukankah nilai budaya yang luhur adalah ciri khas bangsa Indonesia, ketika
nilai budaya itu luncur, tidak menutup kemungkinan, akan melahirkan
generasi bangsa yang rendah etika, rendah etika berbanding lurus dengan
perilaku kehidupan seharihari, sehingga tidak mengherankan akan mudah
melakukan korupsi di masa yang akan datang. Kejadian tersebut disebabkan
karena si murid tidak mengerjakan PR dan keluar masuk keras sehingga
mengganggu rekannya, pada saat ditegur malah mengeluarkan kata-kata yang
tidak pantas, sehingga Sang guru menampar, dan si murid tidak terima lantas
melapor ke orangtuanya.
Pertanyaan yang perlu didiskusikan diantara para praja untuk membahas
contoh kasus tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Diskusikan apakah tindakan yang seharusnya dilakukan oleh dinas
pendidikan dalam kasus di atas dan berikan komentar anda terhadap tindakan
yang dilakukan oleh orang tua murid dalam kasus di atas? Jelaskan
alasannYa!
2. Nilai-nilai etika manakah yang kemungkinan dilanggar dalam kasus tersebut?
Diskusikan landasan hukum dan perundang-undangan yang dilanggar dalam
kasus tersebut masing-masing!
3. Bagaimana rekomendasi tindakan yang dapat diterapkan untuk mengatasi
permasalahan dalam kasus tersebut?
4. Bagaimana sikap dan pendapat para praja jika dalam melaksanaan tugas
sebagai Pegawai Negeri Sipil/Aparatur Sipil Negara kedepan dihadapkan
kepada persoalan-persoalan etika dan moralitas sebagaimana halnya kasus
tersebut atau dalam bentuk lainnya? Jelaskan bagaimana tindakan yang
seharusnya dilakukan jika para praja diharapkan dapat mengatasi situasi
tersebut?
Adapun contoh dilema etik dalam situasi pelayanan publik lainnya :
1. Auditor merasakan dilema saat mendapatkan intervensi dari obrik
2. Auditor mengalami perasaan tidak enak hati saat melaporkan kesalahan
teman
3. Auditor harus menghadapi persepsi public
4. Auditor merasa kecewa ketika melaporkan hasil pemeriksaan tidak
ditandatangai
5. Keterbatasan jumlah auditor, waktu audit dan insfrastruktur pendukung
merupakan faktor penghambat audit.

F. Implementasi Etika dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik


Faktor yang mempengaruhi Implementasi Etika dalam Pelayanan Publik di
Indonesia Saat Ini pada instansi-instansi pemerintah di Indonesia menurut penulis
dapat diidentifikasi sebagai berikut: dalam praktek penyelenggaraan pelayanan
publik di instansi instansi pemerintah khususnya yang menyelenggarakan
pelayanan secara langsung kepada masyarakat baik individu maupun badan,
petugas-petugas pemberi pelayanan memiliki dua sikap yang berbeda, yaitu sikap
yang absolutis dan sikap yang realitis, Sikap absolutis muncul berkaitan dengan
keyakinan petugas yang ber sangkutan bahwa dalam pelayanan publik dikenal
norma-norma yang bersifat absolute yang cenderung diterima semua tempat dan
bersifat universal (universal rules). Petugas yang memiliki sikap seperti ini akan
melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya berdasarkan nilai-nilai yang
diyakininya baik dan bersifat umum. Petugas yang termasuk kelompok ini adalah
petugas yang memiliki keyakinan profesi, keyakinan agama dan nilai-nilai
kemanusiaan yang kuat. Petugas yang memiliki sikap absolutis ini akan bersikap
tegas dan cenderung kaku (tidak memiliki toleransi terhadap penyimpangan
terhadap prosedur yang berlaku dan menyalahi nilai-nilai universal yang
diyakininya). Sikap realistis muncul pada petugas yang memiliki keyakinan yang
berbeda dengan keyakinan absolutis. Mereka beranggapan bahwa kebenaran itu
bersifat relatif sesuai dengan kondisi yang ada. Dengan kata lain bahwa kebenaran
itu memiliki konsekuensi yang baik berdasarkan kenyataan lapangan. Petugas
yang memiliki keyakinan seperti ini beranggapan bahwa norma yang bersifat
universal itu belum tentu baik apabila tidak sesuai dengan kondisi yang ada.
Dengan demikian akan terjadi kecenderungan untuk mengambil keputusan yang
dianggapnya benar pada saat melaksanakan tugasnya sesuai dengan kondisi yang
ada akan lebih sering terjadi.
Hal inilah yang membuka celah terjadinya ”kerjasama” yang menguntungkan
dengan ”penerima layanan” apabila petugas tidak memperhatikan aturan main
yang berlaku, belum ada kebenaran yang hakiki terhadap etika dalam
penyelenggaraan pelayanan publik baik bagi petugas pemberi layanan maupun
masyarakat sebagai penerima layanan. Kebenaran dalam beretika dalam
penyelenggaraan pelayanan publik masih dipengaruhi sikap yangdidasarkan pada
keyakinan pemberi pelayanan terhadap etika pelayanan publik dan keyakinan
masyarakat penerima layanan publik. Kondisi ini dapat diketahui dari kenyataan
di lapangan bahwa ”kebenaran dalam beretika” tergantung dari kepentingan
petugas dan kepentingan individu masyarakat penerima layanan. Apabila kedua
kepentingan terakomodasi dalam proses pelayanan maka pelayanan tersebut
dianggap telah memenuhi ”kebenaran etika”. Padahal dapat saja ”kebenaran
dalam beretika” tersebut melanggar rasa keadilan terhadap anggota masyarakat
yang lain atau bahkan masyarakat penerima layanan secara umum. Kondisi ini
muncul karena pelanggaran ”etika” hanya memiliki sanksi sosial saja yang sering
kali tidak efektif untuk mengubah tingkah laku melanggar dari petugas pemberi
layanan ataupun masyarakat penerima layanan, terjadi tumpang tindih terhadap
implementasi keempat tingkatan etika dalam proses penyelenggaraan pelayanan
publik kepada masyarakat. Etika pelayanan publik terdiri atas empat tingkatan,
yaitu:
a) Etika individu,
Pribadi yaitu etika yang memberikan tuntunan mengenai baik atau buruk
yang dipengaruhi orang tua, keyakinan agama, budaya, adat istiadat, dan
pengalaman masa lalu. Biasanya etika ini terbentuk sebelum menjadi pegawai
negeri (petugas penyelenggara pelayanan publik).
b) Etika profesi,
Etika profesi adalah serangkaian norma atau aturan yang menuntun perilaku
kalangan profesi tertentu salah satunya adalah pegawai negeri yang
menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Etika ini terbentuk pada
saat menjalankan atau menduduki jabatan tertentu atau dengan kata lain
terbentuk pada saat menjadi pegawai negeri.
c) Etika organisasi,
Etika organisasi adalah serangkaian aturan dan norma yang bersifat formal
dan tidak formal yang menuntun perilaku dan tindakan anggota organisasi
yang bersangkutan. Pegawai negeri sebagai penyelenggara pelayanan publik
juga terikat dengan organisasi tempat bekerja. Etika organisasi akan
mewarnai perilaku yang dimiliki pegawai negeri yang merupakan anggota
organisasi temapat ia bekerja.
d) Etika sosial
Etika sosial adalah norma-norma yang menuntun perilaku dan tindakan
anggota masyarakat agar keutuhan kelompok dan anggota masyarakat selalu
terjaga atau terpelihara.

Kondisi Implementasi Etika dalam Pelayanan Publik , dengan bertitik tolak


pada faktor yang mempengaruhi implementasi etika dalam penyelenggaraan
pelayanan publik maka dapat dirumuskan analisis kondisi implementasi etika
dalam pelayanan publik di pusat dan di daerah adalah sebagai berikut :
1. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik masih belum didukung dengan
kode etik profesi yang memadai. Penyelenggaraan pelayanan public
mencakup berbagai profesi sesuai dengan jenis pelayanan, misalnya
pelayanan di bidang kesehatan menyangkut profesi dokter dan profesi
perawat (tenaga medis), profesi apoteker, dan profesi lainnya. Berdasarkan
pengamatan hasil telaah literatur dan pengamatan lapangan diketahui bahwa
masih terbatasnya kode etik profesi yang dimiliki oleh petugas yang
melaksanakan pelayanan publik atau dengan kata lain masih banyak profesi
yang belum memiliki kode etik dan hanya beberapa profesi yang memiliki
kode etik seperti dokter, akuntan, pengacara. Meskipun secara umum para
petugas penyelenggara pelayanan publik sebagai pegawai negeri telah
memiliki kode etik pegawai negeri. Kode etik pegawai negeri memiliki sifat
yang umum (general) sehingga belum dapat dijadikan acuan bagi petugas
penyelenggara pelayanan yang memiliki profesi yang khusus (khas) yang
bersifat teknis. Oleh sebab itu kode etik pegawai negeri perlu didukung
dengan kode etik profesi.
2. Belum terimplementasikan secara optimal kebijakan pelayanan publik yang
memuat kode etik penyelenggaraan pelayanan publik. Meskipun kebijakan
pelayanan public telah diterbitkan seperti Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang
Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah kepada
Masyarakat dan KepmenPAN No.63/KEP/M.PAN/7/2003 Tanggal 10 Juli
2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik namun
belum terlaksana dengan baik di lapangan. Padahal yang terpenting adalah
pengimplementasiannya di lapangan. Kendala yang ditemui adalah kebijakan
tersebut belum sepenuhnya ditindaklanjuti dengan kebijakan yang bersifat
operasional oleh aparat baik di tingkat pusat maupun di daerah. Bukti di
lapangan menunjukkan bahwa terdapat variasi bentuk dan muatan kebijakan
mengenai pelayanan publik. Lebih-lebih belum ada kesepahaman apakah
kebijakan etika pelayanan publik dibuat dalam format hukum positif atau
tidak.
3. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa kesadaran untuk
beretika dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh petugas
penyelenggara dan oleh masyarakat penerima pelayanan publik masih rendah.
Mereka masih cenderung berorientasi pada kepentingan pribadi (kepentingan
sendiri). Disamping masih kurangnya pemahaman mereka terhadap etika
pelayanan publik. Bukti dilapangan menunjukkan di tiga lokasi penelitian
menunjukkan kecenderungan yang sama meskipun dengan alasan yang
berbeda-beda.

G. Paradigma Etika Pelayanan Publik


Etika pelayanan publik adalah suatu tata cara dalam melayani publik dengan
menggunakan kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau
norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik. Etika
menitikberatkan tentang sikap, tindakan dan perilaku manusia dalam berhubungan
dengan sesamanya, baik dalam masyarakat maupun organisasi publik. Etika
mempunyai peran penting dalam praktek administrasi publik. Paradigma
”dikotomi politik dan administrasi”, sebagaimana dijelaskan oleh Wilson
(Widodo,2001), menegaskan bahwa pemerintah memiliki dua fungsi yang
berbeda, yaitu fungsi politik yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan (public
policy making) dan fungsi administrasi, yaitu berkenaan dengan pelaksanaan
kebijakan.
Kekuasaan membuat kebijakan publik berada pada area politik (political
master) dan pelaksanaan kebijakan politik merupakan wilayah administrasi
publik. Dalam menjalankan kebijakan politik, administrasi publik mempunyai
kewenangan secara umum yang disebut ”discretionary power”, yaitu kebebasan
menafsirkan suatu kebijakan politik dalam bentuk program. Timbul suatu
pertanyaan, apakah ada jaminan dan bagaimana cara menjamin bahwa
kewenangan itu digunakan secara ”baik dan tidak secara buruk”. Atas dasar itu,
etika diperlukan dalam administrasi publik, etika dapat dijadikan pedoman,
referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh aparat birokrasi dalam
menjalankan kebijakan politik dan sekaligus digunakan sebagai standar penilaian
apakah perilaku aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan tersebut dapat
dikatakan baik atau buruk. Kondisi masyarakat yang semakin kritis
mengakibatkan birokrasi publik harus mengubah posisi dan peran (revitalisasi)
dalam memberikan pelayanan publik, yaitu dari yang suka mengatur dan
memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan
pendekatan kekuasaan berubah menuju ke arah yang lebih fleksibel, kolaboratis
dan dialogis, dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang
realistik pragmatis. Birokrat juga harus menunjukkan perilaku yang profesional,
efektif, efisien, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, reponsif, adaptif dan
dapat membangun kualitas pelayanan publik yang profesional. Pelayanan publik
yang professional adalah pelayanan publik yang berlandaskan akuntabilitas dan
responsibilitas dari pemberi layanan, yaitu aparatur pemerintah. Cirinya adalah
sebagai berikut :
1. Efektif, pencegahan pengulangan persyaratan dari satuan kerja / instansi
pemerintah lain yang terkait.
2. Sederhana, prosedur diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak
berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyaraka.
3. Transparan, ada kejelasan dan kepastian dalam pelayanan publik.
4. Persyaratan pelayanan, baik teknis maupun administratif.
5. Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang yang profesional.
6. Rincian biaya / tarif pelayanan dan prosedur pembayaran.
7. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
8. Ketepatan waktu, pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam
kurun waktu yang telah ditentukan.
9. Responsif, daya tanggap terhadap aspirasi masyarakat yang dilayani.
10. Adaptif, menyesuaikan terhadap tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat
yang dilayani seiring perkembangan. Meskipun telah digambarkan bahwa
dalam perkembangannya telah terjadi pergeseran paradigma etika pelayanan
publik, namun itu tidak berarti bahwa paradigma yang terakhir mudah
diimplementasikan. Mengapa? Karena dalam praktek kehidupan sehari-hari
masih terdapat dilema atau konflik paradigmatis yang cenderung
mendatangkan diskusi panjang. Dilema ini menyangkut pandangan absolutis
versus relativis dan adanya hierarki etika.

Anda mungkin juga menyukai