Oleh :
AMALIA HEGASARI
(135030101111076)
(135030101111081)
II.
d. Thomas Hobbes
Kekuasaan berasal dari ketertiban dan berada pada seorang penguasa tunggal. Negara
menggunakan hokum untuk membuat manusia tunduk.
e. Jean-Jacques Rousseau
Negara dibentuk karena adanya niat-niat baik untuk melestarikan kebebasan dan
kesejahteraan individu. Rousseau mendesakkan pentingnya persamaan demi tujuantujuan yang lebih besar.
III.
orang lain, merebut dan memiliki yang paling disenangi untuk dirinya sendiri.
Demoratis atau tidaknya suatu Negara tergantung kepada ada tidaknya peluang rakyat
untuk mengontrol pemerintah mereka dan bagaimana kondisi hidup mereka. Dalam suatu
sistem yang demokratis warga Negara punya hak untuk menentukan peraturan-peraturan
yang mengontrol tindakan mereka. Negara hendaknya memiliki sarana untuk menjawab
kebutuhan-kebutuhan rakyat yang sebenarnya. Sarana tersebut adalah birokrasi. Birokrasi
diharapkan dapat menjadi alat untuk menjembatani kebijakan-kebijakan administrative
yang diambil oleh penguasa berdasarkan aspirasi rakyat.
IV.
keleluasaan tindakan itu adalah rakyat sehingga wibawa birokrat hanya akan bisa dijamin
sejauh dia memperhatikan kepentingan rakyat.
Suatu masyarakat yang demokratis sangat tergantung kepada kesediaan para warga
Negara untuk menaati hokum, membayar pajak, dsb. Kesediaan seperti ini erat kaitannya
dengan kepercayaan warga Negara kepada pemerintah. Kepercayaan warga Negara kepada
pemerintah dipengaruhi oleh komitmen para birokrat dengan nilai-nilai yang paling
mendasar dalam masyarakat yang demokratis. Wibawa birokrat akan terangkat apabila
setiap warga Negara sudah percaya dengan birokrasi pemerintahan mereka.
VI.
VII.
ETIKA PEMBANGUNAN
Definisi yang sederhana mengatakan bahwa pembangunan adalah proses perubahan
dari suatu keadaan tertentu kearah keadaan lain yang lebih baik. Dalam tugas
pembangunan, administrator diharapkan memiliki komitmen terhadap tujuan-tujuan
pembangunan, baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam pelaksanaannya secara
efektif dan efisien. Dia harus berorientasi kepada kegiatan (bukan hanya terpaku pada
aturan-aturan legalistic), mampu memecahkan masalah kemasyarakatan dan mampu
merumuskan kebijakan-kebijakan tertentu kea rah kemajuan. Singkatnya dia harus mampu
menjadi agen-agen perubahan.
Pembangunan nasional tidak hanya mengutamakan tercukupinya kebutuhankebutuhan materi, sistem ekonomi yang sehat, dan taraf hidup yang lebih baik, melainkan
juga terbinanya manusia-manusia Indonesia yang berwatak, berkepribadian, memiliki
rasionalitas dan visi ke depan, dan mempunyai nilai-nilai moralitas yang tinggi. Manusia
tidak ditempatkan sebagai objek pembangunan, tetapi sebagai subjek atau titik sentral
yang akan menentukan arah pembangunan itu sendiri. Untuk itu para administrator yang
terlibat harus selalu mempertimbangkan nilai-nilai yang wajib dianut dalam menjalankan
tugas.
1. Kebebasan
Hak untuk bebas merupakan yang melekat pada setiap individu karena martabatnya
sebagai manusia, bukan karena pemberian dari masyarakat dan negara. Kebebasan
perlu
ditegakkan
supaya
wajah
pembangunan
tetap
beradab
dan
Kesimpulan yang bisa ditarik dari uraian diatas, seperti yang telah diuraikan bahwa
proses administrasi negara senantiasa menuntut pertanggungjawaban etis. Sebagai salah
satu bagian dari bidang kajian etika sosial, etika administrasi negara memiliki lingkup
yang cukup luas. Etika administrasi negara berusaha menempatkan kaidah-kaidah moral
dalam menghadapi berbagai permasalahan yang menyangkut kedudukan pribadi seorang
administrator dalam proses interaksinya dengan negara dan masyarakat.
untuk melakukan reklamasi di pesisir Jakarta. Keputusan Ahok untuk mengeluarkan empat
izin pelaksanaan reklamasi tersebut selanjutnya memunculkan perdebatan tentang siapa yang
sebenarnya memiliki kewenangan dan bertanggungjawab terhadap proyek reklamasi ini.
Terkait keluarnya izin pelaksanaan reklamasi, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
(KNTI) menyebutkan setidaknya ada 5 pelanggaran yang dilakukan oleh Pemerintah DKI
Jakarta. Pertama, mereka telah menerbitkan izin melampaui kewenangannya. Sebagai Ibukota
Negara Indonesia, DKI Jakarta telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional. Maka,
kewenangan pengelola dan pemanfaatannya tidak bisa terlepas dari peran pemerintah pusat.
Kedua, Pemerintah DKI menerbitkan izin reklamasi tanpa adanya Perda Rencana
Zonasi. Padahal berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 sebagai aturan yang secara khusus
mengatur pengelolaan sumber daya dan wilayah pesisir laut di bawah 12 mil, pada Pasal 9
memandatkan adanya Peraturan Zonasi sebagai arahan pemanfaatan sumber daya di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil. Peraturan tersebut bertujuan meminimalisasi adanya konflik
pemanfaatan sumber daya.
Pelanggaran hukum selanjutnya adalah penerbitan izin reklamasi tanpa didasarkan pada
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) UU No. 32 Tahun
2009, KLHS wajib dilakukan dalam penyusunan dan evaluasi kebijakan, rencana, dan/atau
program yang berpotensi menimbulkan dampak atau risiko lingkungan hidup. Reklamasi 17
pulau yang dipastikan akan mengubah bentangan alam, adalah salah satu di antaranya.
Penerbitan izin reklamasi dengan penilaian lingkungan hidup secara parsial (setengahsetengah) tanpa melalui kajian kawasan terpadu dan holistik, adalah pelanggaran keempat.
Sudah banyak kajian akademik maupun pendapat ahli yang menyatakan bahwa reklamasi
akan menimbulkan tiga dampak utama bagi lingkungan, yaitu sedimentasi, eutrofikasi, dan
penumpukan logam berat di dalam air. Intinya, reklamasi akan memperburuk kondisi
lingkungan di Teluk Jakarta.
Pelanggaran kelima disebabkan Pemerintah DKI Jakarta menerbitkan izin reklamasi
tanpa mengikuti prosedur perizinan lingkungan hidup berdasarkan PP No. 27 Tahun 2007.
Perizinan lingkungan hidup berupa Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup, Izin
Lingkungan, dan dokumen AMDAL tidak pernah diumumkan kepada masyarakat luas,
termasuk yang terdampak langsung yakni nelayan tradisional. Ironis, sebagai pihak yang
turut urun kepentingan, nelayan seolah-olah tidak dianggap sebagai bagian dari masyarakat
Jakarta.
Terbitnya AMDAL Tunggal dan perizinan dari Pemerintah DKI Jakarta patut menjadi
pertanyaan bersama. Sebab di tengah pergolakan tentangan masyarakat sekitar didukung
pendapat ahli dan akademisi mengenai dampak buruk reklamasi, pemerintah tidak gentar
mengurungkan niatnya membatalkan surat perizinan. Tertangkapnya Ketua Komisi D DPRD
DKI Jakarta dan Direktur PT. Agung Podomoro Land oleh KPK seolah menjawab satu
persatu pertanyaan-pertanyaan besar masyarakat. Membawa publik pada dugaan ke arah yang
sama yaitu reklamasi Teluk Jakarta sarat akan praktik korupsi.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa demi mengemban misi administrative
para birokrat memperoleh kebebasan untuk bertindak atau mengambil keputusan (diskresi).
Tetapi harus diingat bahwa sumber dari keleluasaan tindakan itu adalah rakyat. Apa yang
telah dilakukan Pemerintah DKI Jakarta terkait dengan reklamasi sudah melenceng dari
konsep diskresi itu sendiri dimana semua seharusnya dilakukan demi kepentingan rakyat.
Pemprov DKI tidak mengindahkan penolakan dari masyarakat, nelayan, maupun kalangan
akademisi. Padahal sudah jelas bahwa ke depannya reklamasi dapat merusak ekosistem laut
yang menjadi sumber mata pencahariaan utama bagi nelayan.
Oleh karena itu, sebagai administrator/birokrat disamping harus memenuhi persyaratanpersyaratan teknis mereka juga harus mempunyai landasan normative yang terkandung dalam
nilai-nilai moral. Nilai-nilai normative yang juga harus dianut oleh para administrator
berkenaan dengan konsep keadilan. Pemerintah harus menyelenggarakan pengaturan dan
pengurusan kehidupan masyarakat secara adil melalui terselenggaranya proses administrasi
dalam birokrasi yang adil. Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah kesediaan para
administrator untuk mempertanggungjawabkan tindakan, keputusan, dan kebijakan yang
dibuatnya. Jika ketiga hal tersebut dilakukan, akan diperoleh hubungan yang harmonis antara
pemerintah dan rakyat, sehingga penyelenggaraan pemerintahan berjalan dengan lancar
karena rakyat memberikan kepercayaan sepenuhnya pada pemerintah