Anda di halaman 1dari 10

BEBERAPA KONSEPSI TENTANG LEGITIMASI KEKUASAAN, BIROKRASI,

DAN ADMINISTRASI NEGARA


Resume
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Administrasi Kelas F
yang dibimbing oleh Bapak Drs. Mochamad Rozikin, M.AP.

Oleh :
AMALIA HEGASARI

(135030101111076)

DWI OKTAVIA RIYANTI

(135030101111081)

MARSYARETA FITRIANI (135030100111067)

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG, 2016

BEBERAPA KONSEPSI TENTANG LEGITIMASI KEKUASAAN, BIROKRASI,


DAN ADMINISTRASI NEGARA
( Resume )
I.

ANTARA LEGITIMASI SOSIOLOGIS DAN LEGITIMASI ETIS


Kekuasaan adalah kemampuan sekelompok orang atau sekelompok manusia untuk
mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah
laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai
kekuasaan. Pada zaman dahulu, legitimasi kekuasaan biasanya bersifat religi, yaitu
meyakini bahwa pemimpin atau yang pada saat itu disebut sebagai raja adalah keturunan
langsung dari Tuhan. Sehingga apapun yang raja perintahkan dianggap pasti akan
membawa kebaikan bagi semua orang. Namun, pada kenyataannya banyak dari
pemimpin-pemimpin tersebt yang tidak becus dalam menjalankan pemerintahan.
Legitimasi religi kemudian tergantikan oleh legitimasi sosiologis. Legitimasi sosiologis
menyangkut proses interaksi di dalam masyarakat yang memungkinkan sebagian besar
kelompok sosial setuju bahwa seseorang patut memimpin mereka. Legitimasi sosiologis
melihat kewenangan atas kekuasaan berdasarkan bulat tidaknya kesepakatan yang terdapat
dalam masyarakat. Hal ini berbeda dengan legitimasi etis yang memasukkan unsure
norma-norma moral dalam kekuasaan.
Negara adalah satu-satunya pihak yang berhak menentukan prioritas pemenuhan
kepentingan. Negara harus mampu menempatkan kepentingan komunitas di atas
kepentingan individu manapun. Dalam melaksanakan kekuasaannya tersebut Negara tidak
boleh sewenang-wenang. Segala tindakan yang dilakukan oleh Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan baik secara sosiologis maupun etis.

II.

LEGITIMASI KEKUASAAN NEGARA MENURUT BEBERAPA PEMIKIR


a. Plato
Plato mengemukakan bahwa mereka yang mempunyai kekuatan nalar terbesar
hendaknya diberi kekuasaan terbesar untuk memerintah.
b. Thomas Aquinas
Kekuasaan didasarkan pada hal-hal religi, nilai-nilai kebajikan dan keadilan.
Mengurangi hal-hal keduniaan dan materialism. .
c. Niccolo Machiavelli
Kaidah etika politik yang dianut oleh Machiavelli ialah bahwa apa yang baik adalah
segala sesuatu yang dapat memajukan Negara. Suatu pemerintahan tidak seharusnya
bertindak setengah-setengah.Machiavelli memisahkan antara prinsip-prinsip moral
dan prinsip-prinsip ketatanegaraan.

d. Thomas Hobbes
Kekuasaan berasal dari ketertiban dan berada pada seorang penguasa tunggal. Negara
menggunakan hokum untuk membuat manusia tunduk.
e. Jean-Jacques Rousseau
Negara dibentuk karena adanya niat-niat baik untuk melestarikan kebebasan dan
kesejahteraan individu. Rousseau mendesakkan pentingnya persamaan demi tujuantujuan yang lebih besar.
III.

GAGASAN TENTANG DEMOKRASI


Demokrasi adalah sistem pemerintahan dimana kekuasaan terletak pada mayoritas
rakyat dan pelaksanaannya dilakukan melalui wakil-wakil yang terpilih. Pemerintah harus
memiliki kekuatan dan otoritas tetapi jangan lantas menyebabkan kejahatan. Nafsu
manusia yang tak terkendali acapkali mendorongnya untuk mengambil setiap keuntungan
dari

orang lain, merebut dan memiliki yang paling disenangi untuk dirinya sendiri.

Demoratis atau tidaknya suatu Negara tergantung kepada ada tidaknya peluang rakyat
untuk mengontrol pemerintah mereka dan bagaimana kondisi hidup mereka. Dalam suatu
sistem yang demokratis warga Negara punya hak untuk menentukan peraturan-peraturan
yang mengontrol tindakan mereka. Negara hendaknya memiliki sarana untuk menjawab
kebutuhan-kebutuhan rakyat yang sebenarnya. Sarana tersebut adalah birokrasi. Birokrasi
diharapkan dapat menjadi alat untuk menjembatani kebijakan-kebijakan administrative
yang diambil oleh penguasa berdasarkan aspirasi rakyat.
IV.

BIROKRASI : KONSEP, TUJUAN, DAN MODEL


Secara epistemologis istilah birokrasi berasal dari Bahasa Yunani: Bureau, yang
artinya meja tulis atau tempat bekerjanya para pejabat. Birokrasi adalah tipe dari suatu
organisasi yang dimaksud untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan
cara mengkoordinasikan secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang, atau
sebagai sarana bagi pemerintah yang berkuasa untuk melaksanakan pelayanan publik
sesuai dengan aspirasi masyarakat. Keputusan-keputusan politis hanya akan bermanfaat
bagi setiap warga negara jika pemerintah mempunyai birokrasi yang tanggap, sistematis,
dan efisien. Ciri-ciri pokok dari struktur birokrasi sebagai berikut:
1. Birokrasi melaksanakan kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi, melalui
distribusi pembagian tugas secara tegas untuk memperkerjakan hanya sesuai keahlian
dengan spesealisasi pada jabatan-jabatan tertentu dan bertanggung jawab atas
pelaksanaan tugas masing-masing secara efektif.
2. Pengorganisasian mengikuti prinsip hirarki, bahwa unit yang lebih rendah berada
dibawah pengawasan dan pembinaan unit yang lebih tinggi. Agar dapat

mempertanggungjawabkan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan bawahannya, maka


atasan diberi wewenang untuk mengatur bawahan, serta mempunyai hak untuk
memerintah dan bawahan punya kewajiban untuk mematuhinya. Tetapi wewenang itu
hanya berlaku sepanjang berkenaan dengan tugas-tugas kedinasan.
3. Pelaksanaan tugas diatur dalam suatu sistem peraturan-peraturan abstrak yang
konsisten dan mencakup penerapan aturan-aturan dalam suatu kasus tertentu. Sistem
pedoman ini untuk menjamin adanya keseragaman dalam pelaksanaan setiap tugas.
4. Pejabat yang ideal melaksanakan tugas-tugasnya dengan semangat (formal dan tidak
bisa bersifat pribadi)
5. Pekerjaan dalam organisasi birokratis didasarkan pada kualifikasi teknis dan
dilindungi dari pemecatan oleh sepihak. Pekerjaan dalam suatu organisasi birokratis
mencakup sauatu jenjang karier serta mengandung suatu sistem kenaikan pangkat
yang berdasarkan prestasi.
6. Birokrasi mengatasi masalah-masalah dalam organisasi yakni memaksimalkan
efisiensi dalam organisasi, bukan hanya mengatasi masalah-masalah individu saja.
Tiga alasan mengapa kehadiran birokrasi dirasa semakin diperlukan, antara lain:
pluralism politik, proses konsentrasi, dan kompleksitas teknologi. Tujuan dibentuknya
birokrasi adalah supaya kepentingan-kepentinga umum dapat dipenuhi melalui
serangkaian aturan yang sama bag semua pihak. Oleh sebab itu birokrasi sekali-kali tidak
boeh memihak dalam melakukan pelayanan kepada siapapun, termasuk kepada individuindividu yang mendapat kedudukan sebagai pejabat atau penguasa itu sendiri.
Model Birokrasi
1. Birokrasi tradisional
Yang diutamakan adalah terwujudnya keharmonissan hirarkis bahwa masyarakat
sudah terkondisi di dalam suatu sistem yang berjenjang, sehingga diperlukan
loyalitas dan keselarasn sosial.
2. Birokrasi akibat pengaruh sistem colonial
Menekankan pada struktur apolitis dan terpisah dari aspirasi rakyat.
3. Birokrasi rasional
Mengandalkan efisiensi dan kualitas keputusan yang objektif bukan kepada pembuat
keputusan.
V. WIBAWA BIROKRAT
Guna mengemban misi administrative para birokrat memperoleh kebebasan untuk
bertindak atau mengambil keputusan (diskresi). Tetapi harus diingat bahwa sumber dari

keleluasaan tindakan itu adalah rakyat sehingga wibawa birokrat hanya akan bisa dijamin
sejauh dia memperhatikan kepentingan rakyat.
Suatu masyarakat yang demokratis sangat tergantung kepada kesediaan para warga
Negara untuk menaati hokum, membayar pajak, dsb. Kesediaan seperti ini erat kaitannya
dengan kepercayaan warga Negara kepada pemerintah. Kepercayaan warga Negara kepada
pemerintah dipengaruhi oleh komitmen para birokrat dengan nilai-nilai yang paling
mendasar dalam masyarakat yang demokratis. Wibawa birokrat akan terangkat apabila
setiap warga Negara sudah percaya dengan birokrasi pemerintahan mereka.
VI.

FILSAFAT NORMATIF BAGI ADMINISTRATOR


Supaya proses administrasi dan pelayanan public dapat dilaksanakan sesuai dengan
harapan setiap warga negara dan interaksi antara para pejabat dengan masyarakat umum
dapat terbina secara harmonis, setiap pejabat hendaknya memiliki landasan yang pasti
dalam bertindak atau mengambil keputusan. Administrator harus mengabdi kepada
kepentingan umum, bukan sebaliknya. Karena itu disamping harus memenuhi persyaratanpersyaratan teknis mereka juga harus mempunyai landasan normative yang terkandung
dalam nilai-nilai moral. Pada akhirnya nilai-nilai moral inilah yang akan menentukan
apakah warga masyarakat menaati ketentuan-ketentuan lembaga pemerintahan hanya
karena hukum formal atau kedudukan pejabat yang tinggi, atau masyarakat memang
mencintai pejabat karena kearifan dan keluhuran budi dan tingkah laku mereka.
Nilai-nilai normative yang juga harus dianut oleh para administrator berkenaan
dengan konsep keadilan. Di dalam kehidupan bernegara, nilai keadilan merupakan nilai
intrinsic yang sangat penting, bahkan bagi negara keadilan merupakan cita-cita tertinggi
yang harus dicapai dengan segala upaya. Pemerintah harus menyelenggarakan pengaturan
dan pengurusan kehidupan masyarakat secara adil melalui terselenggaranya proses
administrasi dalam birokrasi yang adil.
Selanjutnya landasan normative yang tidak kalah pentingnya adalah kesediaan para
administrator untuk mempertanggungjawabkan tindakan, keputusan, dan kebijakan yang
dibuatnya. Birokrasi wajib mempertimbangkan pertanggungjawaban kepada masyarakat
luas sebagi unsur pokok yang harus dilayani. Dengan demikian masyarakat dapat
mengetahui kualitas birokrasi serta wibawa organisasi secara keseluruhan.

VII.

ETIKA PEMBANGUNAN
Definisi yang sederhana mengatakan bahwa pembangunan adalah proses perubahan
dari suatu keadaan tertentu kearah keadaan lain yang lebih baik. Dalam tugas
pembangunan, administrator diharapkan memiliki komitmen terhadap tujuan-tujuan
pembangunan, baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam pelaksanaannya secara

efektif dan efisien. Dia harus berorientasi kepada kegiatan (bukan hanya terpaku pada
aturan-aturan legalistic), mampu memecahkan masalah kemasyarakatan dan mampu
merumuskan kebijakan-kebijakan tertentu kea rah kemajuan. Singkatnya dia harus mampu
menjadi agen-agen perubahan.
Pembangunan nasional tidak hanya mengutamakan tercukupinya kebutuhankebutuhan materi, sistem ekonomi yang sehat, dan taraf hidup yang lebih baik, melainkan
juga terbinanya manusia-manusia Indonesia yang berwatak, berkepribadian, memiliki
rasionalitas dan visi ke depan, dan mempunyai nilai-nilai moralitas yang tinggi. Manusia
tidak ditempatkan sebagai objek pembangunan, tetapi sebagai subjek atau titik sentral
yang akan menentukan arah pembangunan itu sendiri. Untuk itu para administrator yang
terlibat harus selalu mempertimbangkan nilai-nilai yang wajib dianut dalam menjalankan
tugas.
1. Kebebasan
Hak untuk bebas merupakan yang melekat pada setiap individu karena martabatnya
sebagai manusia, bukan karena pemberian dari masyarakat dan negara. Kebebasan
perlu

ditegakkan

supaya

wajah

pembangunan

tetap

beradab

dan

berkeperikemanusiaan. Ada beberapa corak kebebasan yang perlu dipertimbangkan


dalam proses menggerakkan roda pembangunan :
a. Kebebasan mengeluarkan pendapat
Kebebasan mengeluarkan pendapat perlu dijamin dengan alasan bahwa disamping
untuk melindungi hak asasi juga bisa dijadikan sumber masukan bagi pemerintah
supaya bisa mengetahui kekurangannya.
b. Kebebasan Pers
Kebebasan pers dipergunakan sebagai sarana untuk mengkomunikasikan ide-ide
pembangunan. Jadi seharunya pers bersikap netral dalam menyampaikan berita.
c. Kebebasan berserikat
Kebebasan berserikat perlu dilindungi dalam menuju sistem politik yang
demokratis. Rakyat mempunyai hak untuk menyelenggarakan rapat, melakukan
pertemuan-pertemuan, atau bahkan membentuk berbagi corak kelompok sosial
untuk memenuhi kepentingan bersama.
d. Kebebasan Beragama
Kebebasan beragama merupakan hak individu yang wajib dijamin. Sudah terbukti
bahwa keyakinan spiritual yang muncul dari ketaatan kepada agama akan menjadi
motor pembangunan yang dapat diandalkan, sementara nilai-nilai moral
pembangunan itu sendiri tak akan pernah dilupakan.
2. Persamaan
Nilai-nilai moral yang terkandung dalam gerak pembangunan juga ditentukan oleh
seberapa jauh proses proses itu dapat menciptakan persamaan derajat bagi warga

negara. Yang pertama-tama harus ditegakkan oleh pemerintah adalah persamaan di


depan hukum bagi seluruh masyarakat. Banyak permasalahan hukum di Indonesia
yang masih memihak kepada para pejabat dan menjatuhkan masyarakat miskin di
depan hukum.
Aspek persamaan yang juga membutuhkan perhatian adalah persamaan kesempatan
bagi seluruh lapisan masyarakat. Persamaan kesempatan di negara berkembang bisa
terwujud apabila pemerintah berperan aktif untuk menciptakan peluang-peluang
terutama bagi kaum miskin dan kurang berpendidikan.
3. Demokrasi dan Partisipasi
Persoalan etika pembangunan muncul karena ternyata metode membangun yang
diterapkan oleh para penguasa dan administrator itu tidak cocok dengan kehendak
rakyat. Dengan demokratisasi diharapkan agar cara-cara yang ditempuh untuk
melakukan pembangunan itu sesuai dengan keinginan rakyat sehingga apapun hasil
dari pembangunan itu akan dapat dinikmati bersama. Konsep demokrasi adalah
masyarakat di segala tingkatan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang
menyangkut mereka.
Partisipasi disini hendaknya melibatkan segenap unsur masyarakat, meliputi birokrasi
pemerintah, para teknokrat, militer, lembaga swadaya, serikat buruh dan koperasi,
universitas, mahasiswa dan cendekiawan, kaum bisnis, profesi hakim dan pengacara,
apparat medis, para rohaniwan, filsuf, teolog dan seniman, serta seluruh unsur
masyarakat dalam segala fungsi yang ada.
4. Keadilan Sosial dan Pemerataan
Pembahasan mengenai keadilan dalam lingkup negara seringkali tidak tepat jika
hanya menyoroti hubungan individual. Keadilan juga bisa mempersoalkan struktur
politik masyarakat secara keseluruhan. Maka untuk mencapai keadilan sosial kita
harus membangun atau mengubah struktur proses politik, ekonomi, sosial, dan budaya
sehingga ia cukup kondusif bagi setiap masyarakat untuk memperoleh keadilan.
VIII.

REDEFINISI ETIKA ADMINISTRASI NEGARA


Dari segi materi atau isi, administrasi negara berarti melakukan kebijakan public
yakni menetapkan dan melaksanakan suatu kebijakan yang berpengaruh kepada
masyarakat umum. Jadi dalam praktek administrasi negara merupakan rangkaian
pengambilan kebijakan yang menghasilkan norma-norma formal, aturan-aturan, serta
keharusan-keharusan bagi tindakan sosial. Proses pengaturan itu tentunya akan
menunjang tertib sosial hanya apabila ia merujuk kepada rasa kebenaran dan keadilan
dari warga masyarakatnya, sehingga setiap aktivitas administrasi negara akan selalu
punya konsekuensi nilai.

Kesimpulan yang bisa ditarik dari uraian diatas, seperti yang telah diuraikan bahwa
proses administrasi negara senantiasa menuntut pertanggungjawaban etis. Sebagai salah
satu bagian dari bidang kajian etika sosial, etika administrasi negara memiliki lingkup
yang cukup luas. Etika administrasi negara berusaha menempatkan kaidah-kaidah moral
dalam menghadapi berbagai permasalahan yang menyangkut kedudukan pribadi seorang
administrator dalam proses interaksinya dengan negara dan masyarakat.

STUDI KASUS DAN PEMBAHASAN


Diskresi merupakan prinsip mendasar yang dimiliki oleh aparatur pemerintah dalam
mengelola pemerintahan. Asas ini memberikan legitimasi atas kebijakan yang diambil oleh
pemerintah demi kepentingan umum. Sejatinya diskresi merupakan kekuasaan yang bebas
dan dapat digunakan untuk mengatasi masalah tertentu. Dalam praktik pemerintahan,
penggunaan diskresi seharusnya tidak perlu dikhawatirkan oleh pejabat pemerintah. Yang
menjadi persoalan adalah penyalahgunaan diskresi (discretional corruption). Penyalahgunaan
itu terjadi karena pemahaman yang keliru atas diskresi atau adanya niat jahat untuk
memperoleh keuntungan tertentu. Seperti halnya yang terjadi pada pelaksanaan proyek
reklamasi Teluk Jakarta.
Mega proyek reklamasi Teluk Jakarta bukanlah hal baru dalam rencana perkembangan
pembangunan Ibu Kota. Walaupun telah mendapati penolakan dari masyarakat dan nelayan
karena dampak yang ditimbulkannya terhadap kerusakan lingkungan pesisir maupun
penggusuran ruang hidup dan penghidupan nelayan di daerah tersebut. Celakanya, meski
banyak kajian akademik maupun keluhan warga sekitar, hal itu tidak mampu menghentikan
konstruksi yang dilakukan oleh PT Muara Wisesa Samudera anak perusahaan PT Agung
Podomoro Land.
Pemerintah DKI Jakarta sendiri telah berulang kali menerbitkan peraturan untuk
menjamin kelangsungan reklamasi. Sejak dilantik pada 19 November 2014, Gubernur DKI
Jakarta Ahok Basuki Tjahaja Purnama telah merilis sebanyak 4 (empat) izin pelaksanaan
reklamasi. Mulai dari Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2238 Tahun 2014;
Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2268 Tahun 2015; Keputusan Gubernur
Provinsi DKI Jakarta No. 2269 Tahun 2015; dan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta
No. 2485 Tahun 2015. Substansinya senada, memberikan izin kepada beberapa perusahaan

untuk melakukan reklamasi di pesisir Jakarta. Keputusan Ahok untuk mengeluarkan empat
izin pelaksanaan reklamasi tersebut selanjutnya memunculkan perdebatan tentang siapa yang
sebenarnya memiliki kewenangan dan bertanggungjawab terhadap proyek reklamasi ini.
Terkait keluarnya izin pelaksanaan reklamasi, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
(KNTI) menyebutkan setidaknya ada 5 pelanggaran yang dilakukan oleh Pemerintah DKI
Jakarta. Pertama, mereka telah menerbitkan izin melampaui kewenangannya. Sebagai Ibukota
Negara Indonesia, DKI Jakarta telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional. Maka,
kewenangan pengelola dan pemanfaatannya tidak bisa terlepas dari peran pemerintah pusat.
Kedua, Pemerintah DKI menerbitkan izin reklamasi tanpa adanya Perda Rencana
Zonasi. Padahal berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 sebagai aturan yang secara khusus
mengatur pengelolaan sumber daya dan wilayah pesisir laut di bawah 12 mil, pada Pasal 9
memandatkan adanya Peraturan Zonasi sebagai arahan pemanfaatan sumber daya di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil. Peraturan tersebut bertujuan meminimalisasi adanya konflik
pemanfaatan sumber daya.
Pelanggaran hukum selanjutnya adalah penerbitan izin reklamasi tanpa didasarkan pada
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) UU No. 32 Tahun
2009, KLHS wajib dilakukan dalam penyusunan dan evaluasi kebijakan, rencana, dan/atau
program yang berpotensi menimbulkan dampak atau risiko lingkungan hidup. Reklamasi 17
pulau yang dipastikan akan mengubah bentangan alam, adalah salah satu di antaranya.
Penerbitan izin reklamasi dengan penilaian lingkungan hidup secara parsial (setengahsetengah) tanpa melalui kajian kawasan terpadu dan holistik, adalah pelanggaran keempat.
Sudah banyak kajian akademik maupun pendapat ahli yang menyatakan bahwa reklamasi
akan menimbulkan tiga dampak utama bagi lingkungan, yaitu sedimentasi, eutrofikasi, dan
penumpukan logam berat di dalam air. Intinya, reklamasi akan memperburuk kondisi
lingkungan di Teluk Jakarta.
Pelanggaran kelima disebabkan Pemerintah DKI Jakarta menerbitkan izin reklamasi
tanpa mengikuti prosedur perizinan lingkungan hidup berdasarkan PP No. 27 Tahun 2007.
Perizinan lingkungan hidup berupa Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup, Izin
Lingkungan, dan dokumen AMDAL tidak pernah diumumkan kepada masyarakat luas,
termasuk yang terdampak langsung yakni nelayan tradisional. Ironis, sebagai pihak yang
turut urun kepentingan, nelayan seolah-olah tidak dianggap sebagai bagian dari masyarakat
Jakarta.
Terbitnya AMDAL Tunggal dan perizinan dari Pemerintah DKI Jakarta patut menjadi
pertanyaan bersama. Sebab di tengah pergolakan tentangan masyarakat sekitar didukung
pendapat ahli dan akademisi mengenai dampak buruk reklamasi, pemerintah tidak gentar
mengurungkan niatnya membatalkan surat perizinan. Tertangkapnya Ketua Komisi D DPRD

DKI Jakarta dan Direktur PT. Agung Podomoro Land oleh KPK seolah menjawab satu
persatu pertanyaan-pertanyaan besar masyarakat. Membawa publik pada dugaan ke arah yang
sama yaitu reklamasi Teluk Jakarta sarat akan praktik korupsi.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa demi mengemban misi administrative
para birokrat memperoleh kebebasan untuk bertindak atau mengambil keputusan (diskresi).
Tetapi harus diingat bahwa sumber dari keleluasaan tindakan itu adalah rakyat. Apa yang
telah dilakukan Pemerintah DKI Jakarta terkait dengan reklamasi sudah melenceng dari
konsep diskresi itu sendiri dimana semua seharusnya dilakukan demi kepentingan rakyat.
Pemprov DKI tidak mengindahkan penolakan dari masyarakat, nelayan, maupun kalangan
akademisi. Padahal sudah jelas bahwa ke depannya reklamasi dapat merusak ekosistem laut
yang menjadi sumber mata pencahariaan utama bagi nelayan.
Oleh karena itu, sebagai administrator/birokrat disamping harus memenuhi persyaratanpersyaratan teknis mereka juga harus mempunyai landasan normative yang terkandung dalam
nilai-nilai moral. Nilai-nilai normative yang juga harus dianut oleh para administrator
berkenaan dengan konsep keadilan. Pemerintah harus menyelenggarakan pengaturan dan
pengurusan kehidupan masyarakat secara adil melalui terselenggaranya proses administrasi
dalam birokrasi yang adil. Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah kesediaan para
administrator untuk mempertanggungjawabkan tindakan, keputusan, dan kebijakan yang
dibuatnya. Jika ketiga hal tersebut dilakukan, akan diperoleh hubungan yang harmonis antara
pemerintah dan rakyat, sehingga penyelenggaraan pemerintahan berjalan dengan lancar
karena rakyat memberikan kepercayaan sepenuhnya pada pemerintah

Anda mungkin juga menyukai