Anda di halaman 1dari 8

ETIKA DAN AKUNTABILITAS

Resume
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Administrasi Kelas F
yang dibimbing oleh Bapak Drs. Mochamad Rozikin, M.AP.

Oleh :
AMALIA HEGASARI

(135030101111076)

DWI OKTAVIA RIYANTI

(135030101111081)

MARSYARETA FITRIANI (135030100111067)

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG, 2016

A. Pendahuluan
Dewasa ini, tuntutan masyarakat akan kesungguhan pemerintah terhadap
penanggulangan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) semakin meningkat.
Masyarakat mengharapkan adanya sistem pemerintahan yang bersih dan mampu
menyediakan kebutuhan publik dan pelayanan publik yang optimal. Tuntutan yang
gencar dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah untuk menyelenggarakan
pemerintahan yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan
masyarakat, di samping adanya pengaruh globalisasi. Oleh karena itu, diperlukan
pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, dan
nyata sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung
secara berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas dari
KKN.
B. Pembahasan
Berdasarkan latar belakang di atas maka dalam penyelenggaraan negara atau
pemerintahan diperlukan etika. Etika dalam penyelenggaraan negara berfungsi untuk
menciptakan pemerintahan yang efektif dan efisien, mencegah penyalahgunaan
sumber daya negara bagi kepentingan pribadi atau golongan, dan mendorong
pengutamaan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi atau golongan.
Good Governance sebagai sebuah grand design pemerintahan modern sarat dengan
nilai-nilai yang dapat dijadikan benih-benih etika penyelenggara negara. UNDP
mendefinisikan good governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di
antara negara, sektor swasta, dan masyarakat.
Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa, terdapat
tata nilai yang harus diimplementasikan yaitu :
1.

KESETARAAN: memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat


untuk meningkatkan kesejahteraannya (EQUITY: to provide equal opportunities
for all citizens to increase their welfare).

2.

PENGAWASAN: meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggara


pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan
masyarakat luas (SUPERVISION: to enforce strict control and supervision over
public administration and development activities by involving the public as well
as community organizations). Melakukan kontrol dan supervisi terhadap

administrasi publik, dan mengembangkan aktivitas dengan melibatkan


masyarakat dan organisasi-organisasi kemasyarakatan.
3.

PENEGAKAN HUKUM: mewujudkan adanya penegakan hukum yang adil


bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan
memperhatikan

nilai-nilai

yang

hidup

dalam

masyarakat

(LAW

ENFORCEMENT: to assure that law enforcement and legal security are fair and
impartial (non-discriminating) and support human rights by taking account of
the values prevalent in society). Memastikan bahwa penegakan dan perlindungan
hukum dilakukan secara adil dan tanpa diskriminasi, dan mendukung hak asasi
manusia dengan memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
4.

DAYA TANGGAP: meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan


terhadap aspirasi masyarakat, tanpa kecuali (RESPONSIVENESS: to increase the
responsiveness of government administrators to complaints, problems, and
aspiration of the people). Meningkatkan respons dari aparat pemerintahan untuk
mengatasi masalah, komplain, dan aspirasi dari masyarakat, untuk mencari solusi
yang bermanfaat bagi masyarakat banyak.

5.

EFISIENSI DAN EFEKTIVITAS: menjamin terselenggaranya pelayanan


kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara
optimal dan bertanggungjawab (EFFECTIVENESS AND EFFICIENCY: to
provide services meeting the needs of the general public by utilizing all
resources optimal and wise). . Memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh
masyarakat luas, dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara
optimal dan bijaksana.

6.

PARTISIPASI: mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam


menyampaikan

pendapat

dalam

proses

pengambilan

keputusan,

yang

menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak


langsung (PARTICIPATION: to encourage all citizens to exercise their right to
express, directly or indirectly, their opinion in decision making processes).
Memberi dorongan bagi warga untuk menyampaikan pendapat, secara langsung
atau tidak langsung, dalam proses pengambilan keputusan untuk memberi
manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat luas.
7.

PROFESIONALISME: meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara


pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan

biaya yang terjangkau (PROFESSIONALISM: to increase the capacity, skills and


morals of the government administrators, so that they will have the emphaty to
provide accessible, fast, accurate, and affordable services). Meningkatkan
kapasitas, keterampilan, dan moral dari administrasi pemerintah, sehingga
mereka akan memperoleh empathi dalam memberikan pelayanan yang dapat
diakses, cepat, akurat, dan terjangkau.
8.

AKUNTABILITAS: Meningkatkan tanggungjawab dan tanggunggugat para


pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan
masyarakat luas (ACCOUNTABILITY: to enhance public accountability of
decision-makers in government, the private sector and community organization
in all areas political, fiscal, budgetary). Meningkatkan akuntabilitas terhadap
proses pengambilan keputusan di pemerintahan, sektor swasta dan organisasi
kemasyarakatan dalam semua hal (politik, fiskal, anggaran).

9.

WAWASAN KE DEPAN: Membangun daerah berdasarkan visi dan strategi


yang jelas dan mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan,
sehingga warga merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan
daerahnya (STRATEGIC VISION: to formulate an urban strategy, supported by
an adequate budgeting system, so that city residents have a feeling of ownership
and sense of responsibility for the further progress of their city). Kemampuan
untuk memformulasikan suatu strategi yang didukung oleh sistem anggaran yang
menunjang, sehingga warga merasa ikut memiliki dan bertanggung jawab untuk
terus meningkatkan pembangunan.

10. TRANSPARANSI: menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah


dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di
dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai (TRANSPARENCY: to
build a mutual trust between the government and the public, the government
administrator must provide adequate information to the public and easy access
to accurate information when needed). Keterbukaan menjadi sangat penting
untuk membangun kepercayaan bersama antara pemerintah dan masyarakat.
Pengelola pemerintahan harus mampu memberikan cukup informasi bagi
masyarakat, dan memudahkan akses informasi yang akurat jika dibutuhkan
publik.

Namun, paling tidak ada sejumlah karakteristik yang dianggap harus ada
dalam governance yaitu akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
Ketiga hal ini tidak dapat dipisahkan karena adanya hubungan yang erat dan saling
mempengaruhi dalam pencapaian manajemen publik yang baik. Akuntabilitas
menjadi salah satu unsur pokok yang sedang dilakukan oleh bangsa Indonesia saat ini
dalam

rangka

pencapaian

good

governance.

Akuntabilitas

bermakna

pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan


pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukan kekuasaan
sekaligus

menciptakan

kondisi

saling

mengawasi

(checks

and

balances).

Akuntabilitas menuntut adanya dua hal, yaitu kemampuan menjawab (answerability)


dan konsekuensi (consequences). keduanya berhubungan dengan tuntutan bagi para
birokrat atau aparat untuk menjawab secara periodik setiap pertanyaan-pertanyaan
yang berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka,
kemana sumber daya telah digunakan, dan apa yang telah dicapai dengan
menggunakan

sumber

daya

tersebut.

Sehingga

dapat

disimpulkan

bahwa

akuntabilitas berhubungan dengan kewajiban dari institusi pemerintahan maupun


aparat yang bekerja di dalamnya untuk membuat kebijakan maupun melakukan aksi
yang sesuai dengan nilai yang berlaku maupun kebutuhan masyarakat.
Sheila Elwood (1993) mengemukakan empat jenis akuntabilitas yang harus
dipenuhi oleh suatu organisasi publik, yaitu:
1.

Akuntabilitas kejujuran dan Akuntabilitas hukum


Akuntabilitas kejujuran terkait dengan penghindaran penyalahgunaan jabatan,
sedangkan akuntabilitas hukum terkait dengan jaminan adanya kepatuhan
terhadap hukum dan peraturan lainnya yang disyaratkan dalam penggunaan
sumber dana publik.

2.

Akuntabilitas proses
Akuntabilitas proses terkait dengan apakah prosedur yang digunakan dalam
melaksanakan tugas sudah cukup baik. Jenis akuntabilitas ini dapat diwujudkan
melalui pemberian pelayanan yang cepat, responsif, dan murah biaya.

3.

Akuntabilitas program
Akuntabilitas program terkait dengan pertimbangan apakah tujuan yang
ditetapkan dapat dicapai atau tidak, dan apakah telah mempertimbangkan

alternatif programyang memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang


minimal.
4.

Akuntabilitas kebijakan
Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban pemerintah baik
pusat maupun daerah terhadap DPR/DPRD dan masyarakt luas dalam hal
pengambilan suatu kebijakan. Ini artinya, perlu adanya transparansi kebijakan
sehingga masyarakat dapat melakukan penilaian dan pengawasan serta terlibat
dalam pengambilan keputusan.
Menurut Mardiasmo (2002), disamping keempat akuntabilitas di atas

ditambahkan akuntabilitas financial yang mengharuskan lembaga-lembaga publik


untuk membuat laporan keuangan untuk menggambarkan kinerja financial organisasi
terhadap pihak luar.
Demi terwujudnya akuntabilitas publik, maka lembaga-lembaga sektor
publik diharuskan untuk lebih menekankan pada pertanggungjawaban horizontal
yaitu

pertanggungjawaban

kepada

masyarakat

luas,

bukan

hanya

pada

pertanggungjawaban vertikal atau pertanggungjawaban kepada otoritas yang lebih


tinggi. Tuntutan yang kemudian muncul adalah perlunya dibuat laporan keuangan
yang

dapat

menggambarkan

kinerja

lembaga

sektor

publik.

Laporan

pertanggungjawaban adalah salah satu bentuk akuntabilitas dalam mewujudkan good


governance.
Secara umum laporan pertanggungjawaban dalam organisasi sektor publik
bertujuan untuk memberikan informasi yang berguna untuk pengendalian manajemen
dan pembuatan keputusan ekonomi, sosial, dan politik guna memudahkan
pertanggungjawaban. Masyarakat menggunakan laporan pertanggungjawaban dari
pemerintah untuk mengevaluasi keefisienan dan keefektifan kegiatan yang dilakukan
pemerintah dan membandingkan hasil program yang sedang berjalan dengan tahun
sebelumnya. Sementara itu, lembaga legislatif dan eksekutif serta dewan pengawas
menggunakan laporan pertanggungjawaban untuk membandingkan antara anggaran
yang telah dibuat dengan realisasi anggaran dan untuk saling mengawasi aktivitas
dana dan posisi keuangan untuk menganalisis keseimbangan dana.

C. Studi Kasus

Pertanggungjawaban Bodong Kunjungan Kerja DPR


Sabtu, 14 Mei 2016 | 06:18 WIB

VIVA.co.id Sebuah surat edaran dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia


Perjuangan (PDIP) mengungkapkan adanya potensi kerugian negara hingga Rp945
miliar, dari kegiatan kunjungan kerja (kunker) anggota dewan. Masalah terkait
kunjungan kerja DPR, sebenarnya sudah sering dipermasalahkan. Bahkan, pada
2011, DPR pernah membuat kesepakatan moratorium kegiatan studi banding ke luar
negeri. Surat moratorium itu ditandatangani 30 Mei 2011. Saat itu, kebijakan
menghentikan sementara kunjungan kerja ke luar negeri dilakukan, karena aktivitas
para legislator itu menuai kontroversi dan dinilai sebagai ajang pelesir. Setidaknya,
dalam Tahun Sidang 2009-2010 tercatat 12 kali kunjungan dilakukan anggota DPR
ke sembilan negara. Pada tahun anggaran 2010 saja, tercatat Rp19 triliun dipakai
untuk studi banding ke luar negeri. Sedangkan pada Tahun Sidang 2010-2011 DPR,
tujuh kali melakukan kunjungan ke negara asing. Total kunjungan yang telah
dilakukan adalah 19 kali studi banding ke 14 negara. Kunjungan tersebut, bahkan
sebelum Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dilakukan.
Di sisi lain, PDIP sebagai pihak yang mengeluarkan surat edaran itu menegaskan
bahwa indikasi adanya kunjungan kerja fiktif, bukan isapan jempol. Surat edaran
tersebut berdasarkan audit BPK atas laporan kunjungan para anggota DPR ke
daerah dalam periode 1 Januari hingga 31 Desember 2015. Ternyata, terdapat
laporan yang tidak memenuhi persyaratan, artinya laporan tersebut susah
diverifikasi pakah memang kegiatan yang dilakukan anggota Dewan itu bisa
dibuktikan, atau tidak. Hal ini terjadi karena para anggota DPR malas untuk
menyusun laporan secara lengkap. Di dalam laporan masih ditemukan beberapa
foto

kegiatan

kunjungan

kerja

yang

digunakan

berkali-kali.

Selain

itu,

penyimpangan lain yang ditemukan adalah adanya staf ahli yang justru melakukan
kunjungan kerja, bukan anggota DPR sendiri. Temuan itu tak bisa lantas
disimpulkan bahwa DPR secara kelembagaan telah membuat kerugian negara.
Masalah ini perlu penelusuran lebih lanjut untuk menyatakan benar tidaknya telah
terjadi upaya penggelapan uang negara, melalui rekayasa perjalanan dinas. Audit
BPK bukan spesifik menyoroti perjalanan anggota Fraksi PDIP saja. Tapi seluruh

anggota fraksi di DPR, sebagaimana aturan mengenai laporan kunjungan kerja


dalam Tata Tertib DPR Pasal 211 ayat 6, dan surat dari Sekjen DPR RI.
Jadi apa yang terjadi kasus di atas adalah penyimpangan dalam penyusunan
laporan pertanggungjawaban. Walaupun adanya peggelapan dana tersebut belum bisa
dibuktikan secara nyata, tetapi dengan ditemukannya foto kegiatan yang digunakan
berkali-kali dan adanya staf ahli yang juga melakukan kunjungan kerja, menunjukkan
bahwa terdapat sesuatu yang menyimpang atau tidak sesuai dengan aturan.
Penyimpangan

dalam

penyusunan

laporan

pertanggungjawaban

tersebut

menunjukkan bahwa tidak semua anggota DPR menerapkan asas akuntabilitas.


Akuntabilitas adalah sebuah konsep etika yang dekat dengan administrasi publik
pemerintahan yang bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan
melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga
mengurangi

penumpukan

kekuasaan

sekaligus

menciptakan

kondisi

saling

mengawasi. Akuntabilitas berhubungan dengan kewajiban dari institusi pemerintahan


maupun aparat yang bekerja di dalamnya untuk membuat kebijakan maupun
melakukan aksi yang sesuai dengan nilai yang berlaku maupun kebutuhan
masyarakat. Jika dikaitkan dengan pendapat Sheila Elwood (1993) terkait dengan
jenis akuntabilitas yang harus dipenuhi oleh suatu organisasi publik maka kasus
tersebut tidak sesuai dengan akuntabilitas kejujuran dan hukum. Akuntabilitas
kejujuran adalah akuntabilitas yang terkait dengan penghindaran penyalahgunaan
jabatan, sedangkan akuntabilitas hukum terkait dengan jaminan adanya kepatuhan
terhadap hukum dan peraturan lainnya yang disyaratkan dalam penggunaan sumber
dana publik. Menurut peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia
( Formappi), penyimpangan dalam penyusunan laporan kunjungan kerja memang
sering terjadi. Berdasarkan kasus tersebut maka seharusnya sebuah lembaga tinggi
negara sekelas DPR RI memiliki SOP yang rinci dan jelas tentang penyusunan
laporan terkait dengan kunjungan kerjanya sesuai dengan asas transparansi dan
akuntabilitas dalam pelaksanaan good governance. Adanya SOP ini juga akan
membuat para anggota DPR tidak bermalas-malasan dalam menyusun laporan
kunjungan kerja. Di samping itu, DPR RI juga seharusnya memiliki kode etik dengan
sanksi yang tegas pada setiap pelanggaran.

Anda mungkin juga menyukai